close

sawit

Kebijakan Lingkungan

Hutan Lindung dan Konservasi dalam Rongrongan Sawit

Jumlah perusahaan perkebunan kelapa sawit di Indonesia mencapai lebih dari 1500 perkebunan. Jumlah tersebut, menurut pernyataan Direktorat Jenderal Perkebunan (Ditjenbun), menghasilkan angka 21,25 miliar dolar AS atau setara dengan 287 triliun rupiah dari devisa ekspor. Angka tersebut menjadikan industri sawit berpengaruh terhadap perekonomian nasional. Pada tahun 2018, luas konsesi perkebunan kelapa sawit di Indonesia mencapai 14,03 juta hektare3. Luasan tersebut mampu menghasilkan hingga 31 juta ton crude palm oil (CPO). Masih dari data Ditjenbun, Indonesia mengekspor CPO sebesar 26 juta ton atau senilai 15 juta dolar AS.

Menilik keuntungan tersebut, beberapa kebijakan nasional yang dikeluarkan turut berpihak kepada industri kelapa sawit. Mulai dari Undang-undang Nomor 39 tahun 2014 tentang Perkebunan yang menyebutkan kelapa sawit sebagai Komoditas Perkebunan Strategis, hingga beberapa peraturan menteri yang menaungi industri sawit. Misalnya ketika pasokan (supply) kelapa sawit berlebih, maka dikeluarkan peraturan mengenai pemakaian minyak kelapa sawit sebagai campuran biodiesel dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 41 Tahun 2018 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati Jenis Biodiesel dalam Rangka Pembiayaan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit. Kemudian ketika harga CPO turun karena pasokan berlebih, Kementerian Perdagangan (Kemdag) merilis Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 123 Tahun 2019 tentang Penetapan Harga Patokan Ekspor (HPE) atas Produk Pertanian dan Kehutanan yang Dikenakan Bea Keluar (BK). Dalam aturan ini, bea keluar minyak sawit/crude palm oil (CPO) menjadi nol rupiah.

Keuntungan yang besar bagi pendapatan negara dan peraturan yang memudahkan serta memihak, tidak membuat industri kelapa sawit minim masalah. Justru pengusahaan perkebunan kelapa sawit oleh perusahaan swasta seringkali disertai dengan masalah konflik tenurial dan kerusakan lingkungan. Konflik dan kerusakan lingkungan tentu mengakibatkan kerugian bagi pemerintah dalam tata kelola sumber daya alam (SDA) di Indonesia. Dalam praktiknya, masih ditemui konsesi perkebunan kelapa sawit yang beroperasi di dalam kawasan hutan.

Usaha perkebunan yang ingin mendapatkan lahan konsesi di dalam kawasan hutan dimungkinkan dengan tata cara pelepasan kawasan yang diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 33 tahun 2010 jo. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 17 tahun 2011 jo. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan P.51/Menlhk/Setjen/KUM.1/6/2016 tentang Tata Cara Pelepasan Kawasan Hutan Produksi yang dapat dikonversi. Dengan demikian, investor yang hendak membangun perkebunan kelapa sawit yang berlokasi di dalam kawasan hutan wajib mendapatkan izin pelepasan kawasan hutan.

Namun, kewajiban tersebut tidak secara tegas diatur dalam pedoman perizinan perkebunan berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 93 tahun 2013. Dalam hal pengaturan penggunaan kawasan hutan, hanya disebutkan tentang perlu adanya pertimbangan teknis dari dinas yang membidangi kehutanan mengenai ketersediaan lahan.[]

Sumber: fwi.or.id

read more
Kebijakan Lingkungan

Pemerintah Aceh Teken Kerjasama Perdagangan Sawit dengan IDH

Banda Aceh – Pemerintah Aceh menandatangani kerjasama perdagangan kelapa sawit dengan Yayasan Inisiatif Dagang Hijau (IDH) Indonesia. Pelaksana Gubernur Aceh Nova Iriansyah, berharap kerjasama ini bisa menjadi pemantik awal untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat Aceh, sehingga petani kelapa sawit akan mengalami peningkatan kapasitas produksi khususnya Crude Palm Oil (CPO).

Penandatangan MoU antara Pemerintah Aceh dengan IDH Indonesia di Banda Aceh, Kamis, (8/8/2019) diharapkan memicu petani kelapa sawit mengalami peningkatan kapasitas produksi pertanian khususnya CPO. Hal ini dilakukan untuk mewujudkan Aceh Green Growth.

“IDH konsen terhadap produk sawit ramah lingkungan dan juga penjualan produk sawit Aceh terus berkembang berkelanjutan, tidak sekedar saat kita ke Eropa saja,” kata Nova Iriansyah terkait jalinan kerjasama dengan IDH.

Nova mengatakan, setelah kerjasama itu, nantinya pihak IDH akan memfasilitasi Pemerintah Aceh bertemu pembeli serta meyakinkan pembeli terhadap kualitas dan kapasitas sawit di Aceh.

“Ada kebutuhan pembeli sawit di Eropa, dengan persyaratan untuk memastikan seluruh produk CPO yang kita hasilkan harus berkelanjutan dan konsen terhadap lingkungan,” kata Nova

Ke depan, lanjut Nova, IDH akan terus mengawasi penjualan dan perkembangan CPO Aceh melalui GAPKI dan pengusaha kelapa sawit. Mereka akan memantau agar setiap perusahaan sawit tetap memegang komitmen untuk mempertahankan kelestarian lingkungan.

Sementara itu, Konselor Senior untuk Iklim dan Hutan Kedutaan Besar Kerajaan Norwegia, Oyvid Dahl, mengatakan kerja sama itu terjalin karena target dan indikator yang jelas serta memiliki konsep bisnis yang berkelanjutan. Kerjasama yang akan dilakukan berkaitan dengan program dan komitmen Presiden RI tentang moratorium hutan, akses pasar, sehingga kerjasama ini akan terus berkaitan dan terus berkelanjutan.

“Pembiayaan dan investasi hijau yang akan masuk ke Aceh apapun itu, harus dibangung dengan standar dengan pengelolaan dan kelestarian yang berkelanjutan,” kata Oyvid.

Adapun pemangku kepentingan yang turut melakukan penandatangan tersebut di antaranya, Konselor Senior untuk Iklim dan Hutan Kedutaan Besar Kerajaan Norwegia, Bupati Aceh tamiang, Bupati Aceh Timur, Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Aceh, dan LSM yang bergerak di bidang lingkungan. [rel]

read more
Tajuk Lingkungan

Benarkah Sawit Merusak Lingkungan?

Opini oleh Muhammad Nizar, S.T,M.T

Jagad media dihebohkan oleh pernyataan Plt Gubernur Aceh, Nova Iriansyah, yang menyatakan bahwa sawit di Aceh tidak merusak lingkungan, sebagaimana dilansir oleh AJNN.net tanggal 15 Juli 2019. Pernyataan Nova ini kemudian banyak dimuat kembali di media massa lokal dan langsung saja mendapat kecaman dari sejumlah aktivis lingkungan. Sudah menjadi pendapat umum dikalangan sebagian masyarakat dan pegiat lingkungan bahwa sawit sangat-sangat merusak lingkungan, tak terkecuali di Aceh. Nah ini kok tiba-tiba ada pemimpin propinsi menyatakan sebaliknya. Apa tidak meradang mereka yang selama ini getol mengkampanyekan tolak sawit.

Sebelum menyatakan apakah pendapat Nova tersebut benar atau pendapat aktivis lingkungan yang benar, maka harus ditelusuri kembali data-data yang valid terkait sawit. Bisa saja data-data ini nanti tidak menyenangkan satu pihak karena data juga sangat banyak sekali. Tergantung apa yang hendak ditulis, pasti ada data pendukungnya. Tapi paling tidak mari kita lihat data statistiknya terlebih dahulu.

Nova dalam wawancaranya dengan AJNN menyatakan dari total luas lahan kebun kelapa sawit di Aceh mencapai lebih dari 140 ribu hektare lebih, sebanyak 51 persen kebun kelapa sawit adalah milik rakyat atau petani. Sedangkan sisanya sebanyak 49 persen, merupakan lahan perkebunan milik perusahaan atau pengusaha. Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Joko Supriyono pernah menyebutkan, penggunaan lahan untuk sawit hanya sebesar 17 juta hektare, sedangkan penggunaan lahan di dunia untuk minyak nabati mencapai 278 juta hektare.

Indonesia sejak tahun 1911 (104 tahun silam) sudah mengembangkan perkebunan sawit yakni di Pulu Raja (Asahan, Sumatera Utara), Tanah Itam Ulu (Kab. Batubara, Sumatera Utara) dan Sei Liput (Aceh), daerah-daerah yang sampai sekarang masih tetap banyak terdapat kebun sawit. Perkebunan sawit juga merambah ke daerah Kalimantan dan tempat-tempat lain yang dianggap cocok dengan tanaman ini. Perekonomian daerah-daerah ini sangat bergantung pada sawit, baik perekonomian pemerintah maupun perekonomian masyarakat.

Tanaman sawit itu sendiri bukanlah tanaman yang bersifat merusak lingkungan sekitarnya. Sederhananya pohon sawit tidak merusak tanah dimana dia tumbuh, sawit tidak mengeluarkan zat-zat berbahaya seperti racun yang membahayakan makhluk lain. Sawit tidak membunuh tanaman lain sekitarnya, tidak seperti hewan predator yang memangsa binatang lain. Tidak ada bagian sawit, apakah daunnya, tandannya, batangnya, pelepahnya atau apalah yang berbahaya bagi manusia. Malah kalau mau jujur, semua bagian pohon sawit bisa dimanfaatkan dan bernilai ekonomi. Memang banyak mitos buruk tentang sawit tetapi sejauh ini mitos tetap mitos saja, tidak ada bukti ilmiah yang mendukungnya.

Negara-negara eropa yang membeli minyak dari sawit yaitu crude palm oil (CPO) malah menggunakan minyak ini sebagai campuran bahan bakar. Pencampuran dengan bahan bakar konvensional ini dimaksudkan untuk mengurangi emisi karbon dari penggunaan BBM konvensional. Sebutannya biofuel, merupakan energi terbarukan yang sangat berpotensi mengurangi pemanasan global. Jadi lagi-lagi, sawit itu sendiri tidak lah berbahaya. Artinya eropa sendiri percaya bahwa sawit tanaman ramah lingkungan.

Terus apanya yang “merusak lingkungan” kalau demikian? Yang merusak lingkungan bukanlah tanaman sawit itu sendiri. Yang merusak lingkungan adalah proses-proses pembukaan perkebunan sawit secara massive. Ini pun sebenarnya berlaku bagi tanaman apa saja yang dikembangkan secara massal. Berikut beberapa hal yang menjadi dampak negatif dari pembukaan kebun sawit, namun tidak terbatas pada yang dituliskan ini saja.

Pembukaan Kebun merusak habitat hutan
Kebun sawit membutuhkan lahan ribuan bahkan jutaan hektar lahan agar perusahaan atau masyarakat mendapat keuntungan yang maksimal. Lahan yang bisa diambil sebesar ini apalagi kalau bukan hutan, yang seolah-olah menjadi hadiah dari Tuhan gratis. Jutaan hektar hutan ini adalah habitat, tempat tinggal bagi berbagai satwa dan tanaman liar. Bahkan sejumlah satwa liar tersebut adalah endemik, artinya cuma bisa hidup di habitat tertentu saja, tidak bisa dibawa pindah tempat tinggal dengan seenaknya. Sebut saja orangutan, harimau, gajah, badak, beruang dan sebagainya merupakan contoh satwa kunci yang terancam kehilangan tempat tinggal. Hutan Leuser yang menjadi rumah mereka selama ribuan tahun terancam lenyap, sekaligus melenyapkan kehidupan damai mereka.

Bahkan sekarang pun Uni Eropa (UE) sudah sadar bahwa walaupun minyak sawit merupakan sumber energi terbarukan tetapi pembukaan kebun sawit merusak hutan. Komisi Eropa pada 13 Maret 2019 meloloskan aturan pelaksanaan (delegated act) dari kebijakan Arahan Energi Terbarukan II (Renewable Energy Directive/RED II). Dalam dokumen itu, Komisi Eropa menyimpulkan perkebunan kelapa sawit telah mengakibatkan deforestasi besar-besaran secara global oleh karena itu, UE berencana menghapus secara bertahap pemakaian biofuel berbasis minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) hingga mencapai 0% pada 2030.

Pembukaan Kebun mengubah fungsi lahan
Hutan yang berfungsi sebagai tempat penampung jutaan kilo liter air (water catchment) lenyap sehingga air tersebut dengan bebas membanjiri tempat tinggal manusia di musim hujan dan air lenyap dengan cepat di musim kemarau. Yang dibicarakan disini bukanlah manusia yang sedikit tapi jutaan manusia bergantung pada air yang disimpan di hutan. Kalau hutan sudah lenyap, maka tunggulah bencana dahsyat yang bakal menghantam.

Selain menampung air, hutan juga merupakan tempat menyimpan karbon (carbon storage) jutaan ton yang berasal dari pembakaran atau aktivitas makhluk hidup. Karbon yang dilepaskan begitu saja ke atsmosifr akan memicu pemanasan global yang menyebabkan perubahan iklim. Hutan yang lenyap berarti karbon yang lepas ke udara, karbon tidak bisa disimpan lagi di akar, daun, batang dan tempat-tempat lain dalam ekosistem. Ini merupakan dampak lingkungan yang sangat mengerikan.

Pembukaan kebun menimbulkan konflik lahan
Sangat sering pembukaan kebun besar-besaran mengambil lahan yang ternyata milik orang lain. Pengambilan lahan ini bisa secara sukarela ataupun secara paksa bahkan dengan kekerasan. Banyak konflik sosial yang muncul antara masyarakat terutama masyarakat adat dengan perusahaan besar terkait kepemilikian lahan. Masalah hak milik bukanla hal sepele, ini menyangkut hak asasi manusia. Ribuan orang menjadi korban konflik, masuk penjara atau nyawa melayang. Pemerintah belum mampu mengatasi masalah lahan secara optimal. Pemerintah cenderung berpihak kepada korporat-korporat dengan alasan mencari pendapatan daerah dan sebagainya.

Jadi jelaslah sekarang bahwa yang dimaksud sawit merusak lingkungan adalah proses-proses pembukaan kebun sawit secara besar-besaran. Kalau sekedar buka kebun sawit 1-2 hektar di lahan milik sendiri tentu tak masalah seperti banyak yang dilakukan masyarakat. Coba anda bayangkan, rumah anda yang sangat nyaman anda tinggali selama bertahun-tahun tiba-tiba digusur dan anda disuruh pindah atau anda bahkan dibunuh.

read more
Ragam

Harimau Sumatera Tersisa 400 Ekor, Habitatnya Hancur untuk Perkebunan

Apa yang terjadi jika manusia tidak berjuang menyelamatkan habitat harimau Sumatra? Seperti yang pernah terjadi sebelumnya dengan saudaranya di Jawa dan Bali. Harimau Jawa dan Bali tanpa mendapat perlindungan yang memadai akhirnya mengalami kepunahan. Harimau Jawa – Bali merupakan bukti korban perusakan hutan hujan. Jika kita tidak bisa melindungi hutan hujan Sumatra, harimau Sumatra akan menjadi makhluk yang punah berikutnya.

Saat ini, ada sekitar 400 harimau Sumatra yang tersisa di alam liar. Perusahaan-perusahaan besar dengan modalnya yang besar sangat intensif membuka perkebunan di area hutan hujan. Kegiatan pembukaan perkebunan ini secara sistematis menghancurkan habitat Harimau. Rumah bagi Harimau dan satwa-satwa lainnya lenyap, digantikan dengan barisan tanaman sawit dengan luas sepanjang mata memandang.

Sepertinya walau harimau Sumatera terancam kepunahan, saat ini manusia mempunya kondisi yang lebih baik untuk melindungi si belang ini. Faktanya, kita bisa melindungi harimau, dan pelaksanaannya relatif lebih aplikatif. Ada dua alasan mengapa saat ini lebih memungkinkan membantu menyelamatkan Harimau Sumatera yaitu :

Pertama, saat ini kita memiliki pengetahuan yang lebih banyak tentang harimau daripada yang kita miliki ketika Harimau Jawa punah pada 1970-an, atau harimau Bali pada 1930-an. Dan kita tahu lebih banyak cara bagaimana melindungi mereka juga secara tepat dan efisien.

Kedua, ada banyak orang-orang atau lembaga yang peduli terhadap pelestarian lingkungan terutama flora dan fauna. Masyarakat semakin sadar akan pentingnya kelangsung hidup spesies karena spesies ini memberikan efek pada kehidupan manusia. Sejumah aktivis dengan jujur telah berhasil membuat perusahaan besar sawit menghentikan kegiatan pembukaan perkebunan. Korporasi Besar di masa lalu menghancurkan hutan hujan namun sekarang akan banyak tentangan dari masyarakat.

read more
Kebijakan Lingkungan

Halangi Informasi HGU Sawit ke Publik Melawan Putusan Mahkamah Agung

Jakarta – Koalisi Masyarakat Sipil untuk Advokasi Data Hak Guna Usaha (HGU) mengecam kebijakan Menko Perekonomian Darmin Nasution yang melarang informasi dan data kebun kelapa sawit dibuka ke publik, pasalnya langkah ini bertentangan dengan UU No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP), pasal 11 ayat 2 bahwa data HGU merupakan informasi yang bersifat “wajib tersedia setiap saat.”

Surat Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian Kementerian Koordinator Pangan dan Pertanian, Musdalifah Machmud, dirilis dengan alasan melindungi kepentingan sektor kelapa sawit yang bernilai strategis terhadap ketahanan ekonomi nasional. [1] Arahan tersebut merupakan bentuk intervensi pemerintah kepada pihak swasta untuk tidak membuka data HGU sawit.

Surat arahan Menko Perekonomian tersebut bertentangan dengan UU KIP, terutama putusan Mahkamah Agung yang memutuskan data HGU kelapa sawit terbuka untuk publik. [2] Surat arahan pemerintah yang ditujukan kepada Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI), Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), dan pimpinan perusahaan-perusahaan di sektor kelapa sawit tersebut sama sekali tidak memiliki dasar hukum dan harus diabaikan, jika pemerintah dan industri sawit ingin membangun reputasi yang baik di mata dunia seharusnya dimulai dari transparansi atas data.

Poin-poin penting yang disampaikan dalam surat edaran itu pun saling bertentangan satu sama lain. Bagaimana mungkin Pemerintah akan mendorong kebijakan untuk pelaksanaan praktek perkebunan sawit berkelanjutan jika data informasi penting seperti HGU justru dikecualikan. Diktum pertama huruf a-e yang berisi tentang Verifikasi luas perkebunan kelapa sawit, Inpres Moratorium Sawit, Tumpang tindih kebun sawit dengan kawasan hutan, percepatan kebijakan satu peta dan penguatan ISPO tidak akan terlaksana dengan baik tanpa adanya transparansi dan partisipasi publik yang justru dijabarkan dalam diktum ke 2-4 yang jelas-jelas jauh dari komitmen sawit berkelanjutan.

Selain itu, langkah ini dinilai bertentangan dengan instruksi Presiden Jokowi terkait percepatan penyelesaian masalah pertanahan dan konflik agraria antara masyarakat dengan perusahaan perkebunan negara (BUMN) dan swasta. Pasalnya, sebagian besar konflik perkebunan tersebut disebabkan oleh HGU perusahaan sawit yang bermasalah dan tumpang tindih dengan wilayah garapan masyarakat, kampung dan desa. Salah satu prasyarat untuk menyelesaikan dan mengurai konflik agraria tersebut adalah adanya keterbukaan data HGU dan penguasaan lahan. Menurut catatan KPA, dari 144 konflik agraria perkebunan yang terjadi pada tahun 2018, 60 % terjadi di perkebunan sawit.

Diktum ketiga dari Surat yang ditandatangani Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian ini meminta kepada Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah terkait untuk menggolongkan data dan informasi mengenai Hak Guna Usaha (HGU) sebagai informasi yang dikecualikan.

Penetapan informasi publik sebagai informasi yang dikecualikan sebagaimana disebut Pasal 6 UU KIP mesti diuji terhadap beberapa poin, yakni:
1) Informasi yang dapat membahayakan negara;
2) Informasi yang berkaitan dengan kepentingan perlindungan usaha dari persaingan usaha tidak sehat;
3) Informasi yang berkaitan dengan hak-hak pribadi;
4) Informasi yang berkaitan dengan rahasia jabatan; dan/atau
5) Informasi publik yang diminta belum dikuasai atau didokumentasikan.

Sementara, informasi HGU merupakan informasi penting yang mesti diketahui para pihak berkepentingan guna mendorong pengelolaan perkebunan kelapa sawit lebih profesional dan berkelanjutan, sebagaimana yang diberikan standarnya oleh ISPO maupun RSPO. Pengelolaan perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan menjunjung prinsip keterbukaan/transparansi. Sehingga pengecualian informasi HGU ini merupakan langkah mundur dalam komitmen Pemerintah untuk meningkatkan praktik perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan.

Apabila perolehan HGU selama ini sesuai prosedur yang legal, maka tidak perlu timbul kekhawatiran atas penggunaan informasi HGU. Permasalahannya, perolehan izin-izin perkebunan (sawit) seringkali “tidak melalui prosedur yang legal”. Sehingga masih banyak ditemui perkebunan yang berada di kawasan hutan, berkonflik dengan masyarakat, bahkan beroperasi tanpa izin yang jelas (tanpa HGU). Ironisnya, “sertifikasi berkelanjutan” masih bisa didapatkan.

Diktum keempat dari Surat yang ditandatangani Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian ini juga menghimbau kepada para perusahaan kelapa sawit untuk tidak membuat kesepakatan dengan pihak lain, memberikan data atau informasi yang berkaitan dengan perkebunan kelapa sawit. Koalisi menilai himbauan ini kontroversial, karena dalam beberapa kasus perusahaan wajib membuka data dan informasi tersebut berdasarkan perintah pengadilan sebagaimana diatur dalam UU KIP pasal 18 ayat 1.

Sementara pasal 18 ayat 2 menyatakan pihak yang rahasianya diungkap memberikan persetujuan tertulis; dan/atau pengungkapan berkaitan dengan posisi seseorang dalam jabatan-jabatan publik. Artinya para pemilik data dilindungi haknya untuk membuka informasi berdasarkan prinsip kesukarelaan. Sehingga jika pemilik menyetujui untuk membuka data dan informasi, maka hal tersebut sah secara hukum.

Demikian Siaran Pers disampaikan oleh Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Advokasi Buka Data HGU yang terdiri dari YLBHI, Eknas WALHI, FWI, KPA, Sawit Watch, Huma, TUK Indonesia, Auriga, AMAN, Greenpeace Indonesia, Elsam dan Jatam.[rel]

read more
Flora FaunaHutan

Kebun Sawit Ilegal dalam KEL akan Dihancurkan

Lebih dari 1.000 hektar perkebunan kelapa sawit ilegal di provinsi Aceh akan ditebang dan kawasan itu dikembalikan sebagai hutan lindung, kata seorang aktivis.

Pekerjaan menebang pohon sawit pada perkebunan kelapa sawit ilegal di Kawasan Ekosistem Leuser, kabupaten Tamiang, akan dimulai pada hari Senin, kata Koordinator Forum Konservasi Leuser (FKL), Tezar Pahlevi. Dinas Kehutanan Aceh Tamiang sudah memberitahukan hal ini kepada pemilik perkebunan ilegal minggu lalu.

“Apakah mereka suka atau tidak, mereka harus menyerahkan tanah karena mereka secara ilegal mengkonversi hutan lindung dan mereka tidak memiliki izin,” kata Tezar sebagaimana dikutip dari Jakarta Globe beberapa waktu lalu.

Sekitar 1.071 hektar dari kawasan konservasi seluas 2,6 juta hektar telah dikonversi menjadi perkebunan, kata Tezar, dan pemulihan sangat penting untuk melindungi seluruh kawasan hutan.

“Tentu saja akan memakan waktu, tetapi sejauh ini Aceh Tamiang dan pemerintah provinsi Aceh berkomitmen untuk itu,” katanya.

Ekosistem Leuser membentang di 13 kabupaten di Aceh dan tiga kabupaten di Sumatera Utara. Daerah ini berisi sejumlah flora dan fauna serta hewan langka seperti harimau, orangutan, badak dan gajah.

Tezar mengatakan setidaknya 3.000 hektar hutan lindung di Aceh perlu direhabilitasi karena konversi ilegal ke perkebunan kelapa sawit.

Indonesia memiliki tingkat deforestasi tertinggi di dunia – hampir dua kali lipat dari Brasil, menurut sebuah penelitian baru-baru ini – dengan luasan hutan primer dan sekunder yang luas yang dibuka untuk sektor perkebunan, terutama perkebunan kelapa sawit.[]

Sumber: thejakartaglobe.com 

 

read more
HutanKebijakan Lingkungan

PT Cemerlang Abadi Garap Lahan di Eks HGU

BANDA ACEH – Siang itu ruang pertemuan kantor Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh tampak penuh. Ada tujuh pimpinan lembaga swadaya masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Tolak HGU PT Cemerlang Abadi di Aceh Barat Daya (Abdya) berkumpul.

Sedikit riuh saat Muhammad Nasir sedang sibuk mempersiapkan proyektor untuk mempresentasukan temuan baru koalisi ini. Direktur Walhi Aceh, Muhammad Nur pun mulai menyapa peserta diskusi. Hari itu, Kamis (24/5/2018), koalisi ini menggelar konferensi pers untuk memaparkan temuannya.

Semua tatapan tertuju ke arah layar putih. Muhammad Nasir yang didapuk menjadi juru bicara koalisi langsung memaparkan temuan koalisi 7 lembaga yang melakukan investigasi. Dia memperlihatkan melalui slide proyektor, perusahaan sawit PT Cemerlang Abadi menggarap tanah di bekas Hak Guna Usaha (HGU) yang sudah berakhir 31 Desember 2017.

Muhammad Nasir tampak semangat menjelaskan satu slide ke slide lainnya. Sesekali dia geleng-geleng kepala, tak habis pikir HGU sudah berakhir masih saja berani menggarap lahan untuk ditenam sawit.

Pada slide ke empat, Muhammad Nasir mencoba mendekati layar proyektor. Lalu dia jelaskan, ada 269 hektar lahan yang kembali digarap dengan menggunakan dua ekskavator. Ini sudah dilakukan sejak awal tahun 2018. PT Cemerlang Abadi melakukan Land Clearing (pembersihan lahan) di HGU yang sudah berakhir.

Atas dasar temuan itu juga kemudian Koalisi Tolak HGU PT Cemerlang Abadi dari 7 lembaga di Aceh melaporkan perusahaan tersebut ke Direktorat Kriminal Khusus (Ditkrimsus) Polda Aceh, Rabu (23/5/2018). Koalisi berharap polisi bisa bergerak cepat untuk memproses kasus ini sampai tuntas.

Ketujuh lembaga itu adalah Walhi Aceh, GeRAK, Forum LSM Aceh, HAkA, JKMA, LBH dan MaTA. Ketujuh lembaga inilah membawa kasus ini ke ranah hukum.

“Kami berharap kepolisian segera melakukan penyelidikan atas perkara ini,” kata Ketua Divisi Advokasi Walhi Aceh, Muhammad Nasir.

Penolakan terhadap perpanjangan izin HGU milik PT Cemerlang Abadi sudah berlangsung lama. Sejak 2015, arus penolakan sudah dilakukan oleh masyarakat maupun pemerintah kabupaten setempat. Namun, perusahaan sawit itu hampir saja bisa mendapatkan kembali perpanjangan HGU saat gubernur Aceh dipimpin oleh Plt Soedarmo.

Pada tanggal 20 Desember 2016 Plt Gubernur Aceh, Soedarmo menerbitkan surat dengan Nomor 525/BP2T/2657/2016, perihal Rekomendasi Perpanjangan HGU PT Cemerlang Abadi. Ini menjadi angin segar bagi perusahaan sawit tersebut.

Di sisi lain, pihak yang menolak HGU milik PT Cemerlang Abadi meradang. Masyarakat sipil, warga dan juga pemerintah Kabupaten Abdya terus menolak rencana tersebut. Pemerintah Kabupaten tidak mengeluarkan surat rekomendasi sehelai pun untuk perpanjangan HGU tersebut.

Setelah Irwandi Yusuf-Nova Iriansyah terpilih menjadi Gubernur-Wakil Gubernur Aceh yang baru, terbitlah surat pembatalan HGU milik PT Cemerlang Abadi pada tanggal 21 Februari 2018 Nomor 590/6993, perihal Pembatalan Izin HGU PT Cemerlang Abadi.

Yang menjadi persoalan kemudian, Pemerintah Aceh belum mencabut surat sebelumnya yang dikeluarkan oleh Plt Gubernur Soedarmo tentang rekomendasi perpanjangan HGU PT Cemerlang Abadi. Menurut Muhammad Nasir, ditakutkan surat pembatalan izin HGU yang dikeluarkan Gubernur Irwandi Yusuf tidak memiliki kekuatan hukum kuat.

“Ini karena surat sebelumnya belum dicabut, bisa saja ini bermasalah nantinya dan kekuatan surat pembatalan bisa lemah,” ungkap Muhammad Nasir.

 

HGU Puluhan Tahun Terlantar

Muhammad Nasir menjelaskan, seperti dilansir merdeka.com, perusahaan mendapatkan HGU nomor Nomor 45/HGU/BPN/87, tanggal 7 November 1987. Luas lahannya adalah 7.516 hektar untuk komoditas kelapa sawit di Abdya.

Namun pada 31 Desember 2017 lalu, HGU milik PT Cemerlang Abadi berakhir. Sampai batas akhir izin HGU itu, perusahaan ini baru melakukan penanaman kelapa sawit seluas 2.627 hektare. Sedangkan sisanya seluas 1.841 hektar ditelantarkan dan 2.286 hetar dikuasai oleh masyarakat atau enclave.

Muhammad Nasir menyebutkan, yang dilaporkan ke Ditkrimsus Polda Aceh adalah dugaan PT Cemerlang Abadi masih melakukan land clearing pada HGU yang sudah berakhir izin seluas 269 hektar. Secara hukum, perusahaan tersebut sebenarnya tidak bisa lagi melakukan aktivitas apapun di HGU tersebut.

Dia juga menyebutkan, selain tidak menggarap semua lahan sesuai dengan HGU yang telah diterbitkan tahun 1987, pihak perusahaan juga diduga mencoba mengelabui masyarakat dan pemerintah dengan cara hanya menanam sawit di pinggir atau sekeliling hutan saja.

Sedangkan hutan yang berada di tengah-tengah masih terlihat lebat. Muhammad Nasir curiga, ini akal-akalan perusahaan untuk tetap bisa menguasai semua lahan tersebut.

“Ini kami menduga modus saja, atas ketidakmampuan mereka menggarap semua lahan, jelasnya.

Sementara itu Koordinator Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh, Askhalani mengatakan, ada tiga periode HGU milik PT Cemerlang Abadi. Pertama adalah HGU atau izin dari Badan Pertanahan Negara (BPN), kedua Izin Usaha Perkebunan untuk Budidaya (IUPB) dari Gubernur dan Bupati setempat dan ketiga izin lingkungan dan Amdal.

“Nah izin lingkungan dan Amdal mereka ini tidak ada, sedangkan rekomendasi bupati dan gubernur juga tidak dimiliki,” jelasnya.

Menurut Askhalani yang merangkap jadi kuasa hukum Koalisi Tolak HGU PT Cemerlang Abadi menyebutkan, proses penolakan perpanjangan HGU milik PT Cemerlang Abadi sudah dilakukan sejak 2015 lalu, masa kepemimpinan Bupati Jufri.

“Sejak itu sudah dilakukan penolakan, dan sekarang bupati Akmal juga menolak, ucapnya.

Menurutnya, penolakan ini tidak terlepas dari tidak ada keuntungan apapun masuk ke pemerintah kabupaten Abdya sejak berdirinya perusahaan sawit tersebut. Akan tetapi hanya yang didapatkan oleh pemerintah setempat kerusakan jalan yang semakin parah.

“Ini harus mendapat perhatian dari penegakan hukum,” pintanya.

Undang-Udang yang dilanggar adalah UU Nomor 5 Tahun 1969 tentang pokok Agraria, UU Nomor 39 Tahun 2014 tentang perkebunan dan sejumlah peraturan lainnya. Termasuk UU Nomor 32 tahun 2009 tentang pengelolaan lingkungan hidup.

 

Janji Perusahaan

Dihubungi terpisah, Koordinator Lapangan (Korlap) PT Cemerlang Abadi, Agus Marhelis mengaku sudah mengetahui melalui media tentang laporan tersebut. Pihaknya akan menunggu surat panggilan resmi dari pihak Polda Aceh.

“Kita akan kooperatif, sebagai warga negara yang baik kita harus taat kepada hukum,” tegas Agus Marhelis melalui sambungan telepon genggamnya.

Agus mengaku operasional perusahaan tetap berjalan seperti biasa. Menurut pandangannya, yang dituduhkan kepada pihak perusahaan tidak memiliki alasan yang cukup.

“Karena menurut kami apa yang dituduhkan kepada kami itu mungkin beliau-beliau ini belum melihat secara langsung surat-surat yang kita miliki, jadi mereka perlu kita akan berikan, kita siap untuk bersilaturrahmi,” ungkapnya.

Menurutnya, pihak yang melaporkan PT Cemerlang Abadi ke Polda Aceh belum pernah sekalipun bertemu dengan manajemen perusahaan. Padahal bila mereka membutuhkan dokumen tentang perizinan milik perusahaan akan diberikan.

“Kami akan berikan kalau memang mereka perlu, tetapi mereka belum pernah berkomunikasi dengan kami,” ungkapnya.

Menyangkut dengan HGU yang berakhir 31 Desember 2017, diakui pihak PT Cemerlang Abadi. Agus menyebutkan, pihak perusahaan sudah melakukan pengurusan perpanjangan HGU sejak 2015 lalu. Semua persyarat sudah dipenuhi dan sekarang tinggal keputusan dari pemerintah pusat.

“Kita sudah melakukan permohonan secara prosedural di awal tahun 2016, kita sudah melakukan pendaftaran, bahkan pada tahun 2015 juga sudah kita melakukannya. Artinya segala prosedur yang ditentukan oleh BPN sudah kita penuhi,” ucapnya.

Pihak perusahaan berdalih, saat ini PT Cemerlang Abadi hanya menunggu kebijakan dari pemerintah pusat terkait perpanjangan HGU. Pihak perusahaan akan menyerahkan kepada kuasa hukum dan siap menghadapi gugatan tersebut. []

read more
Ragam

Limbah Pabrik Sawit Ensem Sawita Resahkan Masyarakat

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) asal pemilihan Kabupaten Aceh Timur, Iskandar Usman Al-Farlaky meminta Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) Provinsi Aceh segera turun ke Bayeun, Kabupaten Aceh Timur, guna menyikapi aksi demo yang dilakukan masyarakat ke PKS PT Ensem Sawita, yang limbahnya meresahkan warga di sana.

Permintaan itu dilakukannya dengan melayangkan surat ke Bapedal Aceh, Rabu (27/1). Dalam suratnya, ia menyebutkan persoalan pencemaran limbah ini tidak bisa didiamkan begitu saja, karena menyangkut kesehatan masyarakat luas. “Bapedal kami minta melakukan investigasi. Jika ditemukan kondisi adanya pencemaran limbah dan polusi udara melebihi ambang batas, maka izin amdal harus dicabut,” ujarnya.

Warga yang selama ini mengaku mengalami gangguan kesehatan, katanya, juga berhak mendapat kompensasi dari perusahaan, tanpa harus menunggu proposal dari warga. karena berdasarkan UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, perusahaan harus sangat memperhatikan kondisi kesehatan masyarakat di sekitar pabrik (PKS).

Langkah anggota dewan menyurati Bapedal Aceh ini, terkait aksi puluhan ibu-ibu dari lima gampong di Kecamatan Birem Bayeun, Langsa, Selasa (26/1), yang mendemo pengelola pabrik Pengolahan Kelapa Sawit (PKS) milik PT Ensem Sawita, di Gampong Aramiah.

Warga menuntut pihak perusahaan bertanggung jawab menciptakan lingkungan yang bebas limbah. Karena, bau busuk limbah dan asap dari PKS itu, telah menyebabkan warga terkena penyakit yang disebabkan pencemaran lingkungan.[]

Sumber: serambinews.com

read more
1 2 3
Page 1 of 3