close

sungai

Ragam

Din Syamsuddin: Penguasaan Air oleh Swasta Haram

Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsudin mendesak pemerintah segera mencabut izin perusahaan air kemasan. Menurut dia, air seharusnya dikuasai negara dan tidak boleh diprivatisasi. Jika air diprivatisasi, dia menilai air kemasan yang dijual hukumnya haram.

Dikatakan Din, saat ini pihaknya tengah berjuang dalam menggugat Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Menurut dia, UU tersebut membuka peluang privatisasi dan komersialisasi air. Apalagi pengelolaan air tersebut dilakukan oleh perusahaan swasta asing.

Sebagai bentuk konkret imbas negatif komersialisasi air tersebut adalah banyaknya air kemasan berbagai merk. Sebab, air merupakan pangkal penciptaan dan sumber kehidupan.

“Air kemasan tidak boleh diserahkan ke swasta apalagi swasta asing. Air itu seharusnya dikuasai negara,” ungkap Din Syamsuddin dalam Musyawarah Nasional Tarjih Muhammadiyah ke 28 di Palembang, Jumat (28/2/2014).

Ia mengungkapkan, jika air terus dikelola swasta untuk bisnis air kemasan, maka bukan tidak mungkin akan memberi dampak buruk bagi kehidupan manusia, seperti di bidang pertanian.

“Sudah berapa jutaan kubik air yang disedot swasta dari bumi kita ini. Jika dibiarkan, bagaimana nasib pertanian kita ke depan,” kata dia. Oleh karena itu, dirinya menantang pimpinan tarjih Muhammadiyah untuk menetapkan fatwa haram terhadap air kemasan. Hal ini memperkuat landasan yudisial review UU Sumber Daya Air itu.

“Saya tunggu apakah nanti difatwakan atau tidak. Kalau bagi saya, air kemasan itu haram,” tukasnya.

Sumber: TGJ/merdeka

read more
Ragam

Misteri Air Sungai Mendadak Merah Terungkap

Hasil penyelidikan Polresta Kota Bontang akhirnya menguak bahwa merahnya air sungai di sekitar Tanjung Laut, Kota Bontang, berasal dari limbah pencucian drum bekas pewarna pupuk.

Kapolres AKBP Heri Sasangka mengungkapkan, pihaknya sudah memeriksa tiga saksi, masing-masing berinisial SS, A, dan S. Dari keterangan ketiganya, drum-drum yang mereka cuci tersebut dibeli dari Pos 7 dekat wilayah PT Pupuk Kaltim dengan tujuan untuk wadah buah naga. Saat dicuci, masih ada sisa-sisa bahan pewarna sehingga pada saat dibuang ke sungai, air langsung ikut berubah warna.

“Sudah diamankan lima drum berukuran 200 liter. Ketiga pelaku tersebut masih saksi sehingga tidak ditahan dan saat ini sudah dipulangkan ke rumahnya,” ujarnya, Rabu (12/2/2014).

Meski demikian, Polresta telah mengirimkan sampel air sungai ke laboratorium. Kemungkinan hasil dari laboraturium akan diterima sampai dua atau tiga hari ke depan. “Jika dari hasil tersebut ternyata limbah yang dibuang tersebut berbahaya atau mengandung B3, maka kasus ini akan kami lanjutkan ke penyidikan. Namun, mudah-mudahan saja bukan bahan berbahaya,” lanjutnya.

Sementara itu, warga sekitar Tanjung Laut masih gempar dengan berubahnya air sungai menjadi merah. Meski pada Rabu siang (12/2/2014) tadi kondisi air sungai sudah surut, warga terus menelusuri asal mula warna merah itu.

“Kita tahunya perusahaan besar yang menjual pupuk, ya cuma Pupuk Kaltim. Kok aneh ya, seharusnya drum bekas pewarna itu tidak boleh dijual sembarangan, tapi kenapa warga bisa mendapatkan dengan mudah. Sama saja membuang limbah kan,” tanya Mahfud, salah satu nelayan yang bermukim di Tanjung Laut, Bontang.

Sumber: kompas.com

read more
Ragam

Pesona Terpendam Krueng Sawang Aceh

Terbengkalai selama konflik. Namun, masa damai pun tak membuatnya ramai. Itulah kondisi Krueng Sawang, di Kecamatan Sawang, Kabupaten Aceh Utara, Nanggroe Aceh Darusssalam.

Belasan tahun silam, sungai ini menghipnotis ribuan pengunjungnya. Sungai berair jernih dengan hamparan bebatuan yang mengalir puluhan kilometer ke hulunya di Pegunungan Bukit Barisan.

Bila dulu sungai ini dapat menjadi sepi pengunjung karena konflik bersenjata di Tanah Rencong, sekarang penyebab kondisi yang sama adalah kekhawatiran bahwa lokasi ini akan menjadi tempat pasangan muda mudi berbuat maksiat.

Di pintu masuk kota kecamatan Aceh Utara, tertera pengumuman “Dilarang Berwisata di Krueng Sawang”. Sumardi (38), warga Gandapura, Kabupaten Bireuen, singgah di Krueng Sawang saat bersua Kompas.com. Dia mengatakan sengaja mampir seusai hajatan keluarga, untuk sejenak bernostalgia.

Sumardi mengaku dulu kerap mendatangi sungai ini. “Padahal, jika lokasi ini dibuka kembali untuk umum dengan kesepakatan tertentu, pasti banyak manfaat yang dirasakan, terutama masyarakat sekitar lokasi,” ungkapnya, Minggu (12/1/2014). Menurut Sumardi, era 1990-an merupakan masa jaya Krueng Sawang. Setiap hari selalu ada orang datang ke sana. Pedagang kecil dan tukang parkir bisa mendapatkan penghasilan dari sungai tersebut.

“Sudah saatnya pemerintah bersama unsur terkait memberikan pemahaman agar masyarakat tak menafsirkan sendiri batas berwisata Islami,” ujar Sumardi. Ia mengatakan, bila tak segera dibenahi, potensi wisata sungai ini akan mati suri. Pendapatan daerah yang seharusnya bisa diperoleh juga turut sirna.

Sumber: NGI/KOMPAS.com

read more
Ragam

Korsel Bangun Taman Impian dari Tempat Pembuangan Sampah

Bermula dari kegelisahan anak bangsa Korea Selatan, yang merasa bersalah, ketika lingkungannya rusak tercemar limbah industri pada tahun 1970-an karena mengejar pertumbuhan ekonomi. Hal yang sama juga terjadi di Indonesia. Bedanya, anak bangsa Indonesia belum secara total menebus ‘dosa-dosa’ kerusakan lingkungan yang mereka buat seperti bangsa Korea.

”Bumi tempat kita tinggal adalah warisan yang amat berharga. Generasi mendatang juga akan menempati Bumi ini. Kami mendorong masa depan yang hijau dan ramah lingkungan sehingga generasi mendatang bisa menikmati lingkungan yang asri nan sehat,” kata Yoon Seung-joon, Presiden Korea Environmental and Technology Institute, pada 29 Oktober lalu, di arena Expo Lingkungan, COEX, Seoul.

Korea Selatan menjadikan persoalan lingkungan hidup sebagai tantangan sekaligus peluang bisnis. Bahkan, bisnis industri lingkungan Korea Selatan telah merambah ke berbagai belahan dunia. Ratusan orang asing sudah berkunjung dan menyaksikan langsung proyek percontohan penanganan lingkungan hidup yang dibuat Korea Selatan.

Shim Choong-goo, pejabat Kementerian Lingkungan Hidup Korea, mengatakan, Korea telah melakukan berbagai terobosan penting di bidang teknologi untuk mengatasi persoalan lingkungan hidup. Kini Korea Selatan bahkan dimintai bantuan merancang masterplan (tata ruang induk) yang ramah lingkungan di 12 negara dan melakukan studi kelayakan untuk proyek lingkungan internasional di 112 negara.

Tingginya tingkat pencemaran lingkungan karena ”Negeri Ginseng” tersebut tengah gencar-gencarnya meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Pada saat itu terjadi ketidakseimbangan sehingga menghasilkan tingkat polusi yang tinggi. Kebijakan sekarang antara mencari harmoni pertumbuhan ekonomi dan pelestarian lingkungan,” kata Shim Choong-goo.

Lingkungan tercemar yang dimaksud Shim Choong-goo adalah sungai-sungai dan aliran-alirannya, ekosistem, kualitas udara, air minum, perkotaan yang kotor karena sampah, dan lain-lain. Sektor-sektor inilah yang sekarang mendapat perhatian Korea Selatan.

Sebelumnya, saat negeri ini dibangun di era tahun 1960-an yang kemudian berlanjut hingga tahun 1970-an, industri tumbuh cukup pesat. Saat itu perkembangan industri berat dan kimia tidak terkendali sehingga pencemaran lingkungan tidak terhindar.

Sekarang, dampak buruk dari sampah dan limbah industri dapat diatasi. Rekayasa teknologi industri pengolah sampah, limbah, dan air lindinya telah diterapkan untuk teknologi tepat guna dan telah dipasarkan ke mancanegara.

Alat-alat teknologi lingkungan buatan Korea telah mampu menyelesaikan pekerjaan yang berkaitan dengan urusan daur ulang sampah dan pemurnian air sungai dan rawa-rawa serta udara. Dengan demikian, lingkungan benar-benar kembali sehat.

Ilalang di rawa-rawa menjadi tumbuh subur, capung-capung beterbangan di atasnya, binatang melata seperti ular bisa kembali hidup di lingkungan yang sudah dinormalkan kembali. Begitu pula burung-burung mulai bisa hidup di rawa-rawa dan berkembang biak. Restorasi lingkungan hidup dengan hasil binatang-binatang yang lincah dan liar yang menjadi penghuninya dipertontonkan kepada dunia.

Saat berada di tempat pembuangan akhir (TPA) Sudakwon yang terletak di luar kota Seoul—sekitar 40 menit perjalanan dengan mobil dari Seoul—ribuan orang sudah berkunjung. Sanitary landfill atau TPA dikatakan sebagai yang terbesar di dunia.

Menurut catatan pihak pengelola TPA Sudakwon, Sudokwon Landfill Site Management Corp (SLC), sudah 500.000 orang dari dalam dan luar negeri berkunjung ke TPA Sudakwon. Lokasi ini memang pantas untuk dijadikan studi banding bagi siapa saja yang berkepentingan dalam menangani sampah dan kebersihan lingkungan. TPA ini dirancang untuk bisa lahir menjadi taman impian (dream park) yang di dalamnya terdapat lapangan golf dan perumahan mewah.

TPA seluas 20 juta meter persegi ini dibagi menjadi empat lokasi TPA dan sebagian lainnya untuk kompleks olahraga dan hiburan. Penimbunan sampah di setiap TPA dibuat delapan lapis. Pertama sampah, tanah 0,5 meter, lalu ditutup sampah lagi dan seterusnya sampai delapan lapisan.

TPA 1 sudah dipakai untuk menimbun sampah sejak tahun 1992 hingga akhirnya tahun 2000 tempat ini sudah dipenuhi sampah. Pada 2001-2003 di lokasi tersebut dibangun konstruksi dan stabilisasi taman olahraga bagi warga. Tahun 2004 sampai tahun 2006 dibangun taman bunga liar, wilayah pengamatan, dan pembelajaran alam. Pada tahun 2013 dibangun lapangan golf, wilayah pengamatan lahan basah, alun-alun, lapangan olahraga berkuda yang disiapkan untuk ASEAN Games tahun 2014, dan tempat masuk ke wilayah pengamatan ekologi.

Dalam pelaksanaan the dream park dari TPA ini telah ditetapkan sebagai milestone dengan rentang waktu 1992-2026. Sesuai dengan rentang waktu tersebut, di kawasan TPA Sudakwon akan terdapat fasilitas warga yang berkualitas baik.

Secara lengkap akan ada Kompleks Ekobudaya (di dalamnya terdapat kompleks sumber daya, pusat lingkungan, serta taman seni dan lingkungan). Akan ada taman olahraga (lapangan golf publik, taman observasi, jungle tracking, dan taman olahraga warga), taman rekreasi tanah dan udara, lapangan parkir, serta stasiun induk CNG.

Selain itu, juga ada kompleks eco-event (meliputi arboretum, taman aroma/bunga, kebun raya, dan arena pameran lingkungan), observasi alam kompleks (danau alam, lahan basah, kawasan ekologi sungai, kawasan hutan ekologi, serta ruang pembelajaran dan observasi alam), serta kompleks penelitian lingkungan.

Sampah yang dibawa masuk ke TPA tersebut setiap hari mencapai 18.000 ton per hari. Sampah itu berasal dari rumah tangga, industri, dan konstruksi dari tiga daerah yang berpenduduk sekitar 24 juta orang, yakni kota Metropolitan Seoul, Incheon, dan Gyeonggi.

Gas yang dikumpulkan dan air lindi yang tertampung diolah dengan menggunakan teknologi mutakhir sehingga menjadi sumber daya yang berharga. Dari kawasan TPA tersebut gas didistribusikan melalui jaringan pipa yang ada ke fasilitas pembangkit listrik yang memproduksi tenaga listrik senilai 42 juta dollar AS dan menghasilkan kredit karbon 394.000 ton (CO2) dari Persatuan Bangsa-Bangsa.

Nanti jika pembangunan Kota Metropolitan Energi Lingkungan selesai dibangun pada 2020, setiap tahun akan menghasilkan energi sebesar 2,8 juta Gcal. Jumlah itu akan menjadi substitusi 1,92 juta barrel minyak mentah dan mengurangi 1,17 juta ton karbon setiap tahun.

Menurut perencanaan, Kota Metropolitan Energi Lingkungan di dalamnya terdapat Kota Limbah-Energi, Kota Energi Alam, Kota Bio-Energi, dan Kompleks Ekobudaya. Kota metropolitan dan taman yang bertema lingkungan itu akan menjadi lebih indah dengan dimanfaatkannya Gyungin Waterway.

Ditangani Korsel
Korea Selatan telah membuktikan mampu menjaga kelestarian lingkungan, menangani limbah, bahkan memulihkan lingkungan yang rusak akibat polusi. Sungai Han yang membelah kota Seoul semula kotor seperti Sungai Ciliwung, Jakarta. Namun, kini airnya jernih dan menjadi pemandangan yang menarik. Untuk menjaga kebersihan, penduduk dilarang beraktivitas di sungai itu.

”Seperti kegiatan memancing juga tidak boleh. Namun, kalau melintas dengan perahu boleh,” kata Minjeong Jeon dari Dongyang Int’l Travel Service Inc. Kemungkinan, kalau proyek kerja sama pemulihan Sungai Ciliwung antara Indonesia dan Korea Selatan sudah dikerjakan, nasib Ciliwung tidak mustahil seperti Sungai Han.

Saat ini Korsel tengah bersiap melakukan restorasi Sungai Ciliwung pula, setelah nota kesepahaman bersama ditandatangani Menteri Lingkungan Hidup RI Balthasar Kambuaya dan Menteri Lingkungan Hidup Republik Korea You Young-sook, di Jakarta, 3 Desember 2012.

Kegiatan perbaikan Ciliwung yang akan diawali dari kawasan Masjid Istiqlal ini diperkirakan menelan dana Rp 96,4 miliar. Sebagian besar dana proyek merupakan hibah dari Kementerian Lingkungan Hidup Korea.

”Kalau hitung-hitungannya sudah ketemu, kami akan mulai menggarap Ciliwung. Sekarang masih dilakukan revisi-revisi anggaran. Persoalan terberat untuk Ciliwung adalah sampahnya yang luar biasa banyak dan sungainya sangat kotor. Namun, tidak apa-apa, Sungai Han dulu juga begitu,” kata Lee Joon-heon, Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan KC Rivertech Co Ltd, Korea, seusai konferensi tentang teknologi lingkungan terdepan Korea di Seoul.

Sumber: Kompas

read more
Kebijakan Lingkungan

Pemkab Aceh Besar Tertibkan Lokasi Galian C

Tim penertiban yang dibentuk Pemkab Aceh Besar dalam dua hari terakhir kembali menutup 7 lokasi galian C yang dinilai menyalahi Surat Keputusan Bupati Aceh Besar Nomor 238 Tahun 2013. Ketujuh lokasi yang ditutup tersebut, masing-masing 4 lokasi di Kecamatan Indrapuri dan 3 lokasi lainnya di Kecamatan Kuta Cot Glie.

Pekan lalu, penertiban juga telah dilakukan pada 4 lokasi lainnya di Kecamatan Seulimuem dan Kuta Cot Glie. Tim penertiban yang melibatkan unsur Pemkab Aceh Besar, Satpol PP, Muspika, TNI, dan Polri itu dipimpin langsung oleh Kadistamben Aceh Besar  Fauzi ST MT, didampingi Kasatpol PP Aceh Besar M Rusli S.Sos.

Kadistamben Aceh Besar, Fauzi, Kamis (19/12/2013) menyatakan, permasalahan yang terjadi di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) Krueng Aceh bukan hanya tanggung jawab Distamben saja, namun diharapkan juga kepedulian instansi terkait lainnya untuk menjaga dan memelihara kelangsungan dan keberadaan DAS di wilayah Aceh Besar. Kepedulian masyarakat untuk menjaga lingkungan dan mendukung upaya Pemkab melestarikan alam demi kemaslahatan bersama juga sangat diharapkan. Penertiban seperti ini akan terus kita lakukan.

”Intinya, kita akan tertibkan seluruh Galian C yang menyalahi Surat Keputusan Bupati,” kata Fauzi.

Sebelum itu, pihaknya telah menurunkan tim ke lokasi-lokasi penambangan mineral bukan logam dan batuan (galian C) dalam wilayah kabupaten tersebut. Penurunan tim dimaksudkan untuk melakukan monitoring dan mendata kembali aktivitas penambangan galian C sehingga semua penambang tidak merusak lingkungan yang akhirnya menggangu keberlangsungan makhluk hidup baik manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan.

Fauzi menambahkan, hasil monitoring dan pengkajian Tim Pertambangan dan Energi Aceh Besar, jelasnya, ada lokasi-lokasi tertentu yang segera harus ditertibkan mengingat kondisi wilayah yang sangat mengkhawatirkan akan perusakan lingkungan khususnya sepanjang Krueng (sungai) Aceh.

Dikatakan Fauzi, dalam penertiban itu, Pemkab Aceh Besar menyampaikan, seluruh pemangku kepentingan termasuk pengusaha batu (stone crusher), AMP dan BCP tidak diperkenankan membeli pasir, kerikil, batu kali dan batu gunung termasuk tanah timbun dari penambang ilegal dalam kabupaten itu. Kepada pemilik ekskavator diminta segera menarik peralatannya yang disewakan kepada penambang galian C tak berizin.  []

Sumber: theglobejournal.com

read more
Ragam

Wisata Alam di Hutan Perhutani

Hamparan kebun durian yang berbatasan dengan hutan Perhutani menjadi pemandangan di sepanjang jalan memasuki Desa Lolong, Kecamatan Karanganyar, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah. Jalanan yang berkelok-kelok dan menanjak, serta kemunculan beberapa kera yang tiba-tiba melompat di pinggir jalan, memberi keunikan tersendiri pada setiap perjalanan menuju kawasan tersebut.

Desa Lolong berada di tenggara Kecamatan Kajen, ibu kota Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah. Desa ini berjarak sekitar 9 kilometer dari Kecamatan Kajen atau sekitar 34 kilometer dari jalur pantura Kota Pekalongan. Desa Lolong bisa ditempuh dalam waktu sekitar 1,5 jam dari Kota Pekalongan dengan menggunakan kendaraan bermotor.

Selama bertahun-tahun, keindahan alam Desa Lolong menjadi aset bagi masyarakat di wilayah itu. Keberadaan Sungai Sengkarang dengan lebar sekitar 60 meter yang mengalir di tengah desa, menambah kekayaan alam di Desa Lolong.

Awalnya, belum banyak yang menyadari bahwa keindahan alam tersebut merupakan kekayaan. Namun sejak sekitar setahun terakhir, para pemuda Desa Lolong dengan dukungan Pemerintah Kabupaten Pekalongan, memanfaatkan kekayaan dan keindahan alam Desa Lolong sebagai sebuah desa wisata. Para pemuda menyajikan wisata petualangan alam yang dikemas dalam Lolong Adventure.

Sekretaris Lolong Adventure, Khoerul Basar, pertengahan Oktober lalu menuturkan, awalnya masyarakat mengelola alam di Desa Lolong secara biasa. Mereka hidup dan menyatu dengan keasrian desa itu, dari hari ke hari. Sungai Sengkarang juga sering menjadi tempat bermain dan berenang bagi masyarakat setempat.

Pada sekitar tahun 2010, masyarakat mendapatkan bantuan dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Pariwisata. Masyarakat, termasuk para pemuda kemudian sepakat memanfaatkan bantuan tersebut untuk membeli perahu arung jeram serta kelengkapan alat-alat arung jeram.

Mereka pun belajar mengembangkan wisata arung jeram. Sebanyak 25 pemuda Desa Lolong terus belajar menyelenggarakan wisata petualangan alam tersebut, hingga sejak setahun lalu mereka mulai mengembangkannya secara profesional.

Hingga kini, terdapat enam perahu, bantuan PNPM Pariwisata. Selain alat-alat wisata petualangan air, mereka juga mendapatkan bantuan alat-alat outbound. Mereka juga mendapatkan bantuan bangunan posko dari pemda setempat.

Untuk meningkatkan profesionalitas dalam mengelola wisata arung jeram, para pemuda Desa Lolong juga mengikuti pelatihan River Guide Arung Jeram, hingga mendapatkan sertifikat. ”Sekarang ada 26 tenaga ahli arung jeram di desa ini,” kata Khoerul.

Kini, warga pun menjadikan rumah mereka sebagai home stay, dengan harga sewa sekitar Rp 250.000 per malam. Lolong juga menjadi salah satu daerah tujuan untuk lokasi perkemahan dan pelatihan alam, yang diselenggarakan sejumlah lembaga dan perusahaan.

Keberadaan wisata petualangan di Desa Lolong menambah pendapatan masyarakat. Menurut Koordinator Darat Lolong Adventure, Maman Firmansyah, dalam kondisi ramai, jumlah pengunjung bisa mencapai 50 orang per hari. Sementara dalam kondisi sepi, jumlah pengunjung sekitar 200 orang hingga 300 orang per bulan. Kondisi ramai biasanya berlangsung pada musim hujan, saat debit air sungai meningkat.

Profesi warga Desa Lolong yang sebagian besar menjadi petani durian, juga sangat mendukung pengembangan wisata alam di desa itu. Saat musim panen durian, sekitar Desember hingga Maret, sepanjang jalan menuju desa tersebut penuh dengan pedagang durian.

Selain memberikan nilai tambah bagi penghasilan warga yang sebagian besar berprofesi sebagai petani durian, pengembangan desa wisata menjadi sebuah upaya kampanye dan sosialisasi mengenai pentingnya pelestarian hutan.

Upaya warga menanami kebun mereka dengan pohon durian merupakan salah satu upaya pelestarian hutan. Durian menjadi tanaman penguat tanah, pada kondisi lahan di Desa Lolong yang bertekstur pegunungan. Warga juga menanami lahan dengan tanaman petai dan pucung atau kluwak.

Ajak masyarakat
Warga juga berupaya menyosialisasikan kelestarian alam, dengan mengajak masyarakat yang datang ke lokasi wisata tersebut, untuk ikut menjaga kebersihan. Menurut pendamping masyarakat Desa Lolong dari Komuniti Forestri (KF), yaitu komunitas masyarakat peduli hutan, Thomas Hari Adi, masyarakat memiliki bak sampah induk di tiap RT. Mereka juga mengelola sampah organik, seperti sampah durian menjadi kompos.

Pada sepanjang pinggir Sungai Sengkarang juga banyak ditanami bambu oleh masyarakat. Selain memberikan kesan asri, bambu tersebut berfungsi sebagai penahan erosi sehingga sungai tersebut terhindar dari longsor.

Para pemuda Desa Lolong juga menyadari adanya risiko yang sewaktu-waktu bisa muncul dari kegiatan yang mereka selenggarakan. Untuk mengantisipasi risiko, seperti air bah di Sungai Sengkarang, para pemuda Desa Lolong pun terbiasa membaca alam.

Mereka selalu mengamati pergerakan hujan di wilayah Lolong dan wilayah di atasnya. Apabila di Desa Lolong hujan, sedangkan wilayah di atasnya tidak hujan, petualangan air bisa dilanjutkan. Namun apabila wilayah Desa Lolong tidak hujan, sedangkan wilayah di atasnya hujan, petualangan air akan dihentikan.

Faktor risiko itu juga menjadi tantangan bagi pemuda dan warga Desa Lolong untuk mengampanyekan pelestarian hutan. Kelestarian hutan dan alam di wilayah Lolong, serta daerah-daerah di atasnya sama artinya dengan kelestarian usaha dan penghidupan warga dari wisata alam di desa tersebut.

Thomas Hari Adi mengatakan, melalui penyelenggaraan wisata alam, para pemuda Desa Lolong telah terbiasa mengampanyekan pentingnya pelestarian alam. Mereka telah menyadari pentingnya kelestarian alam untuk kelangsungan hidup dan penghidupan masyarakat. []

Sumber: kompas.com

read more
Kebijakan Lingkungan

Membangun Bendungan Raksasa, Berkah atau Musibah

Ketika China membutuhkan energi terbarukan sebesar 120.000 megawatt hingga tahun 2020, pemerintah mulai membangun bendungan di banyak sungai. Menurut China, ini adalah strategi yang aman untuk menekan polusi, mengontrol banjir dan meminimalkan perubahan iklim. Namun tidak semua ahli lingkungan dan ilmuwan di dunia setuju dengan strategi pemerintah China.

Pemerhati lingkungan menegaskan bahwa China sebaliknya telah menghalangi aliran bebas sungai, menghancurkan ekologi, memindahkan jutaan orang, meningkatkan kemungkinan gempa bumi dan akhirnya, ” menjual jiwa negara mereka untuk pertumbuhan ekonomi “.

Dalam membangun energi listrik terbarukan, insinyur China telah membangun mega – bendungan pada tingkat yang tak tertandingi dalam sejarah manusia. Jauh lebih besar dari Bendungan Hoover di Sungai Colorado – yang memiliki ketinggian 221 meter dan mampu menghasilkan listrik lebih dari 2.000 megawatt – sedang dibangun di sungai terbesar China. Bendungan yang dikenal dengan sebutan adalah Three Gorges Dam, selesai dibangun tahun 2008, membentang satu mil di Sungai Yangtze dan dapat menghasilkan sepuluh kali tenaga listrik daripada dari Bendungan Hoover. Namun Three Gorges hanya sebagian kecil program bendungan China saat ini.

Pemerintah sekarang terlibat dalam ekspansi baru bendungan berskala besar, waduk dalam waduk – sekitar 130 di seluruh Tenggara China.

Sejak tahun 1950 Cina telah membangun 22.000 bendungan dengan tinggi lebih dari 15 meter, kira-kira setengah dari total bendungan dunia saat ini . Selama tahun 1990, pertumbuhan ekonomi naik dan polusi udara mendorong kebutuhan energi bersih, mendorong China membuat mega – bendungan. Protes dari pemerhati lingkungan telah memperlambat beberapa bangunan bendungan dalam beberapa tahun terakhir . Tetapi di bawah 12 Rencana Lima Tahun yang ke-12 (2011-2015) pemerintah China tampaknya tidak lagi menahan diri. Oposisi telah ditekan dan pembangunan bendungan terus bergerak maju.

Sekitar 100 bendungan dalam tahap rekonstruksi atau perencanaan di sungai Yangtze dan anak sungainya. Semua sungai yang mengalir dari Dataran Tinggi Tibet, wilayah geologis tidak stabil dengan ketinggian rata-rata 4.500 meter (14.800 kaki). Aliran sungai mengalir turun dengan lembut, melewati batuan sedimen, menciptakan ngarai curam, banyak diantaranya lebih dalam dari Grand Canyon.

Pembangunan bendungan ternyata juga beresiko tinggi terhadap gempa bumi. Probe International, sebuah LSM Kanada, pada April 2012 memperingatkan bahwa hampir setengah dari bendungan baru Cina berada di zona tinggi hingga sangat tinggi resiko gempa dan sebagian besar sisanya dalam zona bahaya sedang.

Sumber: enn.com

read more
Kebijakan Lingkungan

DAS Sungai Kr. Aceh Kritis, Hanya Dua Persen Bagus

Daerah Aliran Sungai (DAS) Kr. Aceh saat ini mengalami kerusakan yang parah. Sungai ini merupakan sumber air bersih utama bagi warga kota Banda Aceh dan penduduk Aceh Besar. Dari data diperoleh, sekitar 2,36 persen DAS Kr. Aceh yang masih dalam keadaan baik. Sedangkan 25,77 persen berada dalam kondisi rusak. Total luas DAS Kr. Aceh mencapai 1.979,04 km2.

Fakta ini terungkap dalam Rapat Koordinasi Pengelolaan DAS Kr. Aceh, yang dibuka oleh Kepala Dinas Kehutanan Aceh, Ir.Husaini Syamaun MM, Jumat sore (1/11/2013) di Banda Aceh. Dalam kata sambutannya, Ir. Husaini mengatakan Sungai Kr. Aceh yang melewati empat kabupaten kota, Banda Aceh, Aceh Besar, Pidie dan Aceh Jaya, perlu segera dipulihkan kondisinya. ” Kita perlu tahu aktivitas apa saja yang dapat memulihkan sungai ini ataupun aktivitas apa saja yang merusaknya,” ujar mantan Kepala Bapedal Aceh ini.

Secara visual, kondisi Kr. Aceh, terutama di daerah hulu sangat mengenaskan. Terjadi pendangkalan sungai, sehingga dasar sungai yang berupa bebatuan dan pasir kelihatan. Debit air juga sudah menurun, saat ini debit puncak terjadi pada bulan Mei (48,74 m3/dtk), sedangkan debit terendah terjadi bulan Agustus dan September (10,38 m3/dtk).

Sementara itu, dalam pemaparannya, Kepala Bidang Planologi Dinas Kehutanan dan Perkebunan Aceh Saminuddin B Tou, mengatakan semua pihak harus mencari tahu persoalan apa yang sedang terjadi sehingga Kr. Aceh mengalami kondisi kritis. ” DAS harus didiagnosis dulu biar tahu penyakitnya sehingga tahu obatnya. Bukan sekedar mengobati gejalanya saja,” ujarnya.

Ia menambahkan kesadaran masyarakat atas DAS masih minim, perambahan hutan disekitar DAS terus terjadi dan galian C di sungai. ” Kita jangan terpaku pada badan sungai, tapi juga harus periksa kondisi hulu sungai,” katanya.

Ia mengharapkan usaha merehabilitasi lahan DAS lebih cepat dibanding laju kerusakannya. ” Harus ada upaya ekstra untuk pemulihan kawasan, ” sambungnya.

Dari lembaran data yang dibagikan ke peserta pertemuan diperoleh ada hal yang kontradiktif. Dalaam lembaran tersebut dikatakan hutan di daerah DAS masih cukup baik dengan tutupan 38,52 persen (67,083 Ha) karena lebih besar dari standar 30 persen. Juga disebutkan kondisi tutupan lahan hutan berpotensi semakin berkurang.

Namun disisi lain dikatakan lahan kritis yang terdapat di DAS Kr. Aceh dengan kategori sangat kritis 9,12 persen, kritis 16,65 persen, kemudian agak kritis 35,84 persen, sedangkan potensial kritis 36,03 persen dan terakhir adalah tidak kritis 2,36 persen. Kontradiktif, luas hutan masih bagus tapi luas lahan kritis juga besar.

Saminuddin B Tou mengklarifikasi data tersebut dengan mengatakan bahwa luas tutupan hutan yang dimaksud adalah status kawasan hutan. ” Jadi redaksinya kurang tepat, karena yang dimaksud adalah status kawasan,” ujarnya.[m.nizar abdurrani]

read more
1 2
Page 2 of 2