close

taman

Green Style

Pelajaran dari kota hijau Vaexjoe di Swedia

Pohon-pohon cemara, lumut dan makanan busuk menjadi bahan bakar Vaexjoe, Swedia, untuk menjadi kota berkelanjutan namun keterikatan orang pada mobil bisa menjadi rem bagi ambisi karbon-netral mereka.

Bersarang di antara danau-danau kemilau dan hutan pinus tebal di bagian selatan Swedia, Vaexjoe telah berjalan lebih jauh dalam penggunaan energi terbarukan, transportasi bersih dan konservasi energi serta memromosikan diri sebagai “Kota Eropa Terhijau.”

“Kami mulai sangat dini,” kata Henrik Johansson, anggota dewan lokal, kepada kantor berita AFP.

“Politisi kami menyadari pada 1960-an bahwa jika kota ingin berkembang, danau-danau harus dibersihkan–danau-danau ini tercemar akibat limbah industri kain pada abad ke-18 dan perluasan kota,” jelasnya.

Ia menambahkan, pemulihan perairan paling tercemar, Danau Trummen — yang terkenal dengan baunya yang berbahaya sejak abad ke-18– menjadi katalis bagi proyek-proyek lingkungan yang lebih ambisius.

“Ketika saya kecil, kau tidak akan bermimpi berenang di danau itu, tapi sekarang kau bisa melakukannya,” kata pejabat lingkungan berusia 39 tahun itu.

“Perubahan yang sangat jelas itu tinggal dalam pikiran orang-orang– itu menunjukkan bahwa jika kau benar-benar ingin melakukan sesuatu dan menetapkan hati untuk itu, kau akan berhasil,” tutur dia.

Dalam tahun 1990an, sebelum pemanasan global menjadi berita utama, kota itu mengumumkan rencana untuk meninggalkan bahan bakar fosil pada 2030 dan mengurangi separuh emisi karbon dalam waktu kurang dari dua dekade.

Kedua rencana itu termasuk di antara “tujuan hijau” utama yang juga mendorong para petani lokal bergerak ke sistem organik dan semua orang mengurangi konsumsi kertas serta menggunakan sepeda atau transportasi publik.

Hari ini emisi karbon dioksida Vaexjoe sudah hampir separuh dari tingkat emisi karbon mereka pada 1993 — salah satu tingkat terendah di Eropa dengan 2,7 ton per orang — dan hampir setengah dari rata-rata emisi karbon yang sudah rendah di Swedia.

Tahun 1970an Vaexjoe membangun pemanas distrik dan sistem pembangkit–memompa panas dan air panas dari satu ketel pusat ke seluruh kota.

Perusahaan energi milik pemerintah kota ini juga menjadi perintis peralihan penggunaan bahan bakar minyak ke biomassa — yang dihasilkan dengan membakar limbah dari industri kehutanan.

Dalam pembangkit yang berada di luar kota, direktur perusahaan energi pemerintah kota Bjoern Wolgast, mengambil segenggam penuh ranting kusut, lumut, dan kulit pohon dan menghirup aroma tajam pinus saat ekskavator membawa tumbuhan material berdebu ke dekat sabuk ban berjalan.

“Ini benar-benar energi terbarukan — hutan-hutan Swedia masih memroduksi lebih banyak dari yang kami ambil,” katanya. “Dan kami kirim lagi abunya untuk menyuburkan hutan,” tambah dia.

Sekarang hampir 90 persen dari sekitar 60.000 penduduk kota itu mendapatkan pemanas dan air hangat dari pembangkit yang juga memasok sekitar 40 persen dari kebutuhan listrik itu. Berkat serangkaian penyaring, emisi karbon dari pembangkit itu hampir bisa diabaikan — hanya seperduapuluh dari batas nasional.

Namun apakah Vaexjoe benar-benar “Kota Terhijau Eropa” masih jadi perdebatan dan slogan itu juga mengganggu sebagian penduduk lokal, termasuk pemilik restoran ekologis Goeran Lindblad.

“Mengapa kita masih bertahun-tahun di belakang kota lain di negeri ini dalam mendaur ulang sisa makanan?” tanya Lindblad, satu di antara yang pertama memulai daur ulang makanan dua tahun lalu.

Namun ketika dewan lokal mulai mengumpulkan limbah organik, upaya itu berlangsung sangat cepat.

Dua per tiga rumah tangga mendaftar secara sukarela — dengan imbalan biaya lebih rendah — dan sekarang armada bus biogas kota beroperasi di hampir sepenuhnya dengan gas produksi lokal dari makanan busuk dan limbah.

“Sulit membandingkan kota-kota dengan ukuran berbeda tapi menurut saya ini termasuk salah satu yang paling hijau di Eropa — mereka maju dan ambisius,” kata Cristina Garzillo, ahli pembangunan berkelanjutan pada jaringan pemerintah lokal ICLEI di Freiburg, Jerman.

Ryan Provencher, insinyur berusia 39 tahun, pindah dari Texas ke Swedia lebih dari satu dekade lalu dan menggambarkan apa yang terjadi di kota itu sebagai perubahan sesungguhnya ke revolusi hijau.

“Kami mendaurulang hampir semuanya. Saya hanya menggunakan mobil dua kali sepekan dan lebih suka lari atau bersepeda untuk kerja,” katanya.

Provencher tinggal bersama istri dan tiga anaknya di rumah paling ramah lingkungan Vaexjoe yang disebut positive house (rumah positif), yang mengirimkan lebih banyak energi kembali ke jaringan dari yang digunakan karena seluruh atapnya tertutup panel surya dan dilengkapi dengan perangkat penghemat energi.

Ia menyebut perbandingan kehidupannya di Vaexjoe dengan kehidupan di Waco, tempat orangtuanya tinggal, seperti “malam dan siang.”

“Bahan bakar sangat murah di sana sehingga tidak ada orang yang berpikir dua kali untuk mengendarai mobil,” katanya.

Namun seperti penduduk Waco, warga Vaexjoe juga sangat suka mobil dan sekitar 60 persen di antaranya menggunakan mobil, kondisi yang membuat upaya mencapai tujuan kota untuk meninggalkan bahan bakar fosil sulit dicapai.

“Kami tergantung pada perubahan nasional dan tentang mobil dan perusahaan bahan bakar membuat alternatif bahan bakat tersedia. Kami tidak bisa memaksa orang menyingkirkan mobil mereka,” kata Johansson. []

Sumber: antaranews.com

read more
Ragam

Ruang Hijau, Banjir dan Kesehatan Mental

Banjir kembali melanda Jakarta. Banjir juga melanda Manado dan kota-kota lain di Indonesia. Masalah ini terus berulang seolah menjadi momok yang tak bisa diatasi. Padahal, sudah banyak konsep pengelolaan lingkungan dan tata ruang yang kita baca dan temui. Sebagaimana kemarau, masalah banjir tidak lepas dari konsep mengelola air.

Sudah merupakan siklus alam bahwa air hujan ditampung dan diserap oleh tanah kemudian dialirkan dari hulu ke hilir. Namun saat fungsi peresapan tanah dan pengaliran air terganggu atau dirusak, terutama di daerah aliran sungai, bencana menjadi hal yang tidak dapat dielakkan.

Salah satu kelemahan aplikasi kebijakan yang menonjol adalah kurangnya atau ketiadaan ruang terbuka hijau (RTH). Ruang terbuka hijau adalah ruang dimana vegetasi tumbuh dengan dengan subur sehingga wilayah tersebut selain bisa mengurangi polusi juga bisa menyerap air.

Di Jakarta dan kota-kota lain di Indonesia, rata-rata luas ruang terbuka hijau di Indonesia masih dibawah 10% dari 30% ruang terbuka hijau publik dan privat yang disyaratkan oleh pemerintah.

Tidak hanya di pusat kota, lahan-lahan lain di daerah aliran sungai seperti di perbukitan dan lereng gunung di sekitar Jakarta, banyak yang telah mengalami alih fungsi. Lereng gunung dan perbukitan banyak yang gundul. Di wilayah lindung, vila-vila dibangun. Bantaran sungai menjadi lokasi perumahan, aturan jarak minimal perumahan dan bantaran sungai tidak dipatuhi, memersempit dan merusak aliran sungai mengganggu aliran dan resapan air.

Sungai-sungai di Indonesia juga menjadi lokasi pembuangan sampah terpanjang di dunia oleh warga yang tidak disiplin menjaga kebersihan. Perilaku menjaga kebersihan ini seharusnya bisa ditanamkan melalui pendidikan menciptakan rasa malu. Sementara di pusat kota, mal-mal dan jalan aspal dibangun mengurangi wilayah resapan air. Sehingga tidak heran jika air yang seharusnya bisa dikelola dan diserap, menjadi liar, mengalir ke mana-mana, merusak pemukiman warga.

Masalah banjir – sebaqaimana kemarau – memicu stres tidak hanya pada mereka tergenang air, namun pada masyarakat luas. Saat banjir atau hujan besar kemacetan sering kita temui. Aktivitas keluarga, kerja dan bisnis menjadi terganggu.

Penelitian terbaru dari European Centre for Environment and Human Health menyimpulkan, keberadaan ruang terbuka hijau (RTH) tidak hanya mampu mencegah banjir dan memerbaiki kualitas udara, namun juga bisa meningkatkan kesehatan mental secara signifikan dan berkelanjutan.

Penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Environmental Science & Technology ini menyatakan, pindah ke wilayah yang lebih hijau akan meningkatkan kesehatan mental dalam jangka panjang. Menurut tim peneliti dari University of Exeter Medical School, yang menjadi lokasi ECEHH, memerluas ruang terbuka hijau di perkotaan – dalam bentuk taman dan kebun – akan membawa manfaat signifikan bagi kesehatan masyarakat.

Temuan ini adalah hasil analisis jangka panjang atas British Household Panel Survey, kuisener yang diisi oleh 1000 responden yang tinggal di Inggris Raya. Para peneliti menfokuskan penelitian pada dua kelompok masyarakat yaitu mereka yang pindah ke wilayah yang lebih hijau dan mereka yang pindah ke wilayah yang lebih gersang.

Hasilnya, para peneliti menemukan, rata-rata mereka yang pindah ke wilayah yang lebih hijau akan mengalami peningkatan kesehatan mental secara langsung. Peningkatan kesehatan mental ini akan berlangsung setidaknya dalam 3 tahun setelah mereka pindah ke wilayah yang lebih hijau. Sementara penduduk yang pindah ke wilayah yang lebih padat dan gersang akan mengalami stres bahkan sebelum mereka pindah ke wilayah tersebut.

Tim peneliti menghilangkan faktor-faktor lain seperti tingkat pendidikan, pendapatan dan jenis pekerjaan dan fokus pada dampak ruang terbuka hijau. Menurut Dr Ian Alcock yang memimpin penelitian ini, dampak dari temuan ini sangat penting: “Kita menemukan bahwa penduduk yang pindah ke wilayah yang lebih hijau akan mengalami peningkatan kesehatan mental yang signifikan. Dan ini berdampak dalam jangka panjang. Temuan ini sangat penting untuk menjadi masukan bagi para ahli tata ruang agar memerkenalkan RTH-RTH baru di kota-kota mereka,” tuturnya.

Kerusakan lingkungan, banjir dan stres harus diatasi. Dimulai dengan memerluas, memertahankan, menjaga ruang hijau, terutama di daerah aliran sungai.

Sumber: Hijauku.com

read more
Ragam

Bandung Kembangkan Pertanian Kota

Meski memiliki julukan kota kembang, dengan jumlah penduduk yang besar dan pembangunan yang pesat, Bandung tak lagi memiliki banyak lahan hijau.

Untuk itu, pemerintah setempat mengembangkan urban farming atau pertanian perkotaan mulai tahun ini, di mana para keluarga di setiap Rukun Warga atau RW wajib menanam berbagai tanaman produktif yang bernilai ekonomis bagi keluarga.

Tanaman produktif tersebut yaitu termasuk sayur-sayuran seperti tomat, cabe rawit, kangkung, bawang daun, dan caisim.

Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kota Bandung, Ely Wasliah mengatakan, program yang sepenuhnya diprakarsai oleh pemerintah kota Bandung tersebut akan menyasar seluruh warga. Pemerintah kota sendiri akan memberikan bantuan sarana seperti bibit, pupuk, dan pot-pot atau rak-rak tanaman, ujarnya.

“Dari urban farming ini karena nanti yang akan dikembangkan di sana itu di antaranya adalah komoditas sayuran, jadi kebutuhan pangan sayuran untuk rumah tangga tersebut dipasok dari lahan pekarangannya sendiri. Kami bantuannya nanti dalam bentuk barang, benih, pupuk, juga ada rak-rak vertikultur yang memang cocok dikembangkan di lahan pekarangan,” ujarnya.

Dalam program urban farming, masyarakat dapat bercocok tanam di pekarangan masing-masing dengan memanfaatkan lahan yang ada. Meski lahan yang dimiliki sempit, masyarakat bisa menanam tanaman dengan sistem vertical garden, atau menanam secara vertikal di dinding dengan menggunakan rak-rak tanaman yang disusun berderet.

“Kalau misalnya satu RW semuanya rumah ini mengembangkan urban farming, jadi lingkungan itu akan nyaman, asri, hijau, menambah kontribusi terhadap Ruang Terbuka Hijau, RTH dari privat. Kalau yang di jalan-jalan yang taman-taman kan fasilitasnya RTH umum, publik. Kalau kami RTH privat, RTH yang ada di masyarakat,” ujar Ely.

Jayadi, ketua RW di kawasan Margahayu Raya, Kota Bandung mengatakan, dengan program ini lingkungan warga menjadi semakin hijau dan asri. Warga pun dapat menikmati hasil cocok tanam mereka sendiri.

“Di taman, di halaman rumah masing-masing, di sekolah, dan di tempat olahraga lapangan voli. Lingkungan jadi hijau, bagus dipandang, ada hasilnya, kelihatannya juga indah,” ujarnya. Warga Kota Bandung pun menyambut baik program pertanian perkotaan ini.

“Untuk nambah-nambah oksigen lah, artinya lingkungan kan jadi tidak terlalu panas. Kalau tidak ada pohon kan kita kepanasan,” ujar seorang warga bernama Umi. Yang lain mengatakan program ini memudahkan mereka dalam memasak dan membuat lebih hemat.

“Satu hijau; kedua ada manfaatnya seperti tanaman (sayuran), setidaknya kita mengurangi beli di warung-warung,” ujar Eli.

Konsep urban farming telah ada di beberapa negara. Salah satunya di Montreal, Kanada, dengan nama Lufa Farm yaitu konsep pertanian perkotaan di atas atap atau rooftop farming.

Di Indonesia, konsep urban farming yang diwajibkan untuk seluruh warga baru ada pertama kali di Kota Bandung. Diharapkan konsep ini bisa menjadi budaya baru yang tak hanya bermanfaat secara ekologi tetapi juga memiliki nilai ekonomi dan estetika.

Sumber: NGI/VOA Indonesia

read more
Perubahan Iklim

Biar Iklim Kota jadi Adem, Perbanyaklah Taman

Taman cocok bukan hanya cocok untuk berekreasi tapi ternyata taman kota juga berfungsi sebagai pengontrol iklim kota (mikro iklim). Sebagaimna yang diteliti oleh tim ilmuwan di Hamburg yang menemukan bahwa taman berguna dalam memerangi perubahan iklim.

Relaksasi sejenak di taman kota yang rindang dan hijau saat matahari panas terik tentu terasa nikmat. Tidak hanya lebih hijau dan lebih sunyi ketimbang wilayah urban di sekitarnya, namun juga lebih adem. Tidak ada gedung dan permukaan jalan yang dapat menyimpan dan merefleksikan panas matahari.

Tetap saja, setiap hari di Jerman, sebidang lahan berukuran sekitar 50 lapangan sepakbola diaspal atau menjadi korban pembangunan kota. Menjamurnya bangunan terutama berdampak pada iklim kota. Semakin padat sebuah kota, semakin terasa apa yang disebut dengan pulau bahang kota, yakni suhu udara di wilayah perkotaan yang lebih hangat dibandingkan wilayah pedesaan di sekitarnya. Di sebuah pusat kota Jerman, suhunya tiga derajat Celsius lebih tinggi daripada wilayah sekitarnya.

Sebuah studi mengenai pengaruh tanah dan vegetasi terhadap iklim kota menunjukkan betapa pentingnya bagi kota untuk mempunyai lahan yang terbuka dan tidak beraspal. Sebuah tim riset dari Hamburg baru-baru ini meluncurkan proyek Pengamatan Iklim Tanah Kota Hamburg (HUSCO).

Mereka menempatkan fasilitas pengukuran di dua titik untuk mengetahui sejauh apa tanah mendinginkan iklim sekitar dan bagaimana dampak dari jenis tanah yang berbeda-beda. Sebuah stasiun pengukuran ditempatkan di sebuah rawa dengan level air tanah yang tinggi, dan satu stasiun lagi di sebuah wilayah kering dengan level air tanah yang rendah.

Sensor jauh di dalam
Di kedua lokasi, tim ilmuwan membangun stasiun cuaca mini untuk mengukur suhu, kecepatan angin dan kelembapan. Mereka juga menggali parit dan menaruh sensor tanah tepat di bawah permukaan dan juga pada kedalaman 1,6 meter, jelas manajer proyek Annette Eschenbach. “Sensor antara lain mengukur suhu tanah dan kandungan air,” ungkap peneliti tanah dari Universitas Hamburg tersebut.

Sensor telah mengumpulkan data dalam 3 tahun terakhir. Bukti menunjukkan bahwa lokasi pengukuran mengering pada periode dengan curah hujan rendah, jelas Eschenbach. “Semuanya tergantung level air tanah di lokasi pengukuran.”

Tanah lembap terbantu oleh air tanah, sehingga cenderung mengering lebih lambat pada musim kering ketimbang tanah dengan level air tanah rendah.

Para periset menemukan bahwa tanah lembap lebih mendinginkan udara di sekitar dibandingkan tanah kering. Terutama sepanjang tahun, suhu di taman kota setengah derajat lebih rendah daripada lingkungan sekitar yang penuh bangunan. “Ini berarti taman kota berperan amat penting bagi iklim setempat,” kata Eschenbach.
Tim riset menggali lubang yang dalam untuk menaruh sensor

Tanah lembap paling efektif
Memiliki lebih banyak lahan tak beraspal di kota bisa menjadi elemen penting seraya manusia beradaptasi dengan perubahan iklim. “Membangun lebih banyak taman selalu bermanfaat bagi iklim kota,” tukas Annette Eschenbach. Namun periset itu menambahkan, proyek Hamburg telah menunjukkan bahwa taman sebaiknya dibuat di lokasi dengan tanah lembap. Dengan begitu, fungsi mendinginkan taman akan jauh lebih efektif.

Namun hasrat untuk membuat lebih banyak taman kota bertentangan dengan ambisi meluas untuk membangun lebih banyak permukiman di kota untuk menjaga harga sewa terus terjangkau. Para pakar mengkhawatirkan dampak pulau pahang kota akan semakin parah di masa depan, bukan hanya karena kota-kota semakin padat, tapi juga karena perubahan iklim global.

“Beberapa tahun terakhir sudah cukup lembap, jadi yang kami butuhkan segera saat ini adalah musim panas yang hangat dan kering,” Eschenbach menyimpulkan, sembari menambahkan bahwa studi HUSCO akan terus dilanjutkan. Sebuah periode dengan cuaca yang sangat panas, katanya, akan memungkinkan timnya untuk mendapat bukti lebih lanjut mengenai dampak taman kota terhadap iklim kota Hamburg.

Sumber: dw.de.com

read more
Green Style

Kampanye Green Campus Rambah UNS

Kampanye Go Green mulai merambah dunia kampus. Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta akan memiliki lahan bagi hutan pendidikan yang luasnya mencapai 40 hektare (ha). Selain itu, UNS juga akan mengembangkan Arboretum, yaitu lahan konservasi keanekaragaman hayati dengan pohon-pohon langka.

Hutan pendidikan itu berlokasi di Kabupaten Karanganyar, Wonogiri, dan Boyolali. Tiga daerah di Kabupaten Karanganyar yakni Jumantono, Jatikuwung, dan Jatiyoso dengan total luas lahan 7,5 ha. Wonosemar Kabupaten Boyolali dengan luas sekira 23 ha dan 10 ha di Kabupaten Wonogiri.

Dekan Fakultas Pertanian UNS Bambang Pujiasmanto menyebutkan jika pengembangan hutan pendidikan UNS diawali dengan penanaman pohon langka di seputar Fakultas Pertanian misalnya matoa, kepel.

“Fakultas Pertanian menjadi pilot project UNS sebelum dikembangkan di fakultas lainnya seperti fakultas Pendidikan Biologi di FKIP dan jurusan Biologi MIPA. Di Fakultas Pertanian sudah kita wajibkan setiap mahasiswa baru membawa satu pohon untuk ditanam. One student one tree,” jelasnya kepada wartawan di Kampus UNS Solo, Jawa Tengah, beberapa waktu lalu.

Untuk merealisasikan hutan kampus menurut Bambang diperlukan sekira 800 bibit pohon baru per hektarnya. Selain mendapat bibit dari mahasiswa baru, hutan kampus juga mendapat bantuan dari  Badan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS). []

Sumber: okezone.com

read more
Flora Fauna

Pemkab Aceh Barat Kembangkan Tanaman Kehati untuk RTH

Pemerintah Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh, mengembangkan 2,5 hektar taman keanekaragaman hayati (Kehati) untuk memenuhi kuota ruang terbuka hijau (RTH). Kepala Badan Lingkungan Hidup dan Kebersihan (BLHK) Aceh Barat Mulyadi saat dihubungi di Meulaboh  mengatakan dalam lokasi taman tersebut ditanami berbagai aneka tanaman pribumi yang akan dilestarikan.

“Selain memenuhi RTH Aceh Barat yang belum sampai pada target 30 persen yang dikelola oleh pemda, program ini juga langkah pemerintah untuk menjaga tanaman lokal yang sudah langka,” katanya, hari ini.

Ia menjelaskan, taman kehati tersebut berfungsi sebagai sarana pendidikan anak sekolah, lokasi penelitian, ekowisata/rekreasi dan pembibitan tanaman (nursery) serta pelestarian tanaman.

Mulyadi menjelaskan secara Undang-Undang Nomor 26/2007 tentang Tata Ruang diharapkan untuk suatu kawasan kota harus memiliki 30 persen dari luas kawasan, sementara Aceh Barat baru memiliki sekitar 10 persen.

Selain Aceh Barat, Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) Aceh mengerakkan program pembangunan taman kehati kepada kabupaten lain yakni Kabupaten Aceh Singkil, Aceh Utara dan Pidie. Tiga kabupaten ini mendapat lima hektar.

“Karena luas kehati kita baru 2,5 hektare saya telah meminta pengajuan perluasan minimal 2,5 hektare lagi dan hal ini sedang menanti persetujuan Bupati Alaidinsyah,” imbuhnya.

Lebih lanjut dikatakan, apabila ditotal secara keseluruhan Aceh Barat sudah memiliki lebih 30 persen RTH, akan tetapi tidak semua dikelola oleh pemerintah daerah karena wilayah itu memiliki tanah kosong yang tumbuh berbagai jenis pohon dan tanaman milik masyarakat.

Pada lokasi taman Kehati ini kata Mulyadi, dilengkapi dengan berbagai fasilitas seperti Balee Peuniyoh (tempat istirahat), MCK dan sekelilingnya di pagari dengan tanaman hijau.

Dalam tahap penyelesaian proyek sejak tahun 2013 itu, saat ini sudah disemai berbagai aneka pohon seperti Trem besi, sentang, Meranti, kayu kapur, gaharu, mahoni, kumbang, manee, pulai, Jati, Ketapang, Seumantok, matoa (tanaman papua) dan buah buahan.

“Untuk pemeliharaan berkelanjutan serta penyulaman didanai oleh Bapedal Aceh, nanti setelah diselesaikan baru taman ini diserahkan kepada Pemkab Aceh Barat,” katanya.

Sumber: waspada.co.id

read more
Green Style

Infrastruktur Indonesia Belum Ramah Lingkungan

Pembangunan infrastruktur Indonesia belum menggunakan konsep pembangunan ramah lingkungan. Itu karena terganjal beberapa hal, ungkap kalangan insinyur.

“Penerapan green infrastructure di Indonesia masih terkendala banyak hal yang kemudian membuat pemanfaatannya pun menjadi tidak optimal dan tidak sesuai dengan rencana awal,” kata Ketua Umum Persatuan Insinyur Indonesia (PII), Bobby Gafur Umar, dalam konferensi pers “Konferensi Federasi of Engineering Organisations se-Asean ke-31 (31th Conference of Asean Federation of Engineering Organisations 2013/Cafeo)” di Jakarta Convention Center, Jakarta, beberapa waktu lalu.

Bobby memaparkan beberapa penyebab yang mendorong pembangunan tersebut tidak optimal yakni kurangnya pengetahuan dan pemahaman sistem green infrastructure itu.

“Lalu, ada banyaknya perbedaan persepsi tentang kepentingan pembangunan green infrastructure oleh pemangku kepentingan (stakeholder) sampai lemahnya teknologi yang digunakan dalam perencanaan pembangunan,” ujarnya.

Sebenarnya, tutur Bobby, Indonesia memiliki banyak potensi yang bisa mendorong pembangunan ramah lingkungan. Hal ini dilihat dari potensi sumber daya alam Indonesia yang cukup baik, seperti luas lahan subur yang luas dan iklim yang baik.

“Walau banyak tantangan, prospek pembangunan dan pengembangan green infrastructure di Indonesia cukup baik,” ungkapnya. ()

Sumber: vivanews.com

read more
Ragam

Pemerintah Akan Perluas Kampanye Publik Hidden Park

Kegiatan Hidden Park Taman Tebet merupakan salah satu alternatif wadah aktivitas positif masyarakat perkotaan dalam memanfaatkan potensi Ruang Terbuka Hijau (RTH). Keterlibatan masyarakat secara luas perlu senantiasa digalakkan dalam kegiatan semacam ini, untuk meningkatkan kualitas kehidupan perkotaan dan menjaga kelangsungan RTH itu sendiri.

Hal ini diungkapkan Direktur Jenderal Penataan Ruang, Kementerian PU, M. Basuki Hadimuljono, saat menutup kegiatan Hidden Park 2013 di Taman Tebet Jakarta yang telah dilaksanakan sejak 26 Oktober sampai dengan 17 November 2013 setiap akhir pekannya (17/11/2013).

Kegiatan Hidden Park merupakan suatu kampanye pengaktifan taman kota sebagai ruang publik kreatif. Melalui kegiatan ini, diharapkan masyarakat memperoleh pengalaman interaksi yang baru dan menyegarkan antara individu, komunitas, dan Ruang Terbuka Hijau (RTH) itu sendiri.

Kegiatan ini pun merupakan suatu eksperimen sosial yang untuk identifikasi aspirasi masyarakat perkotaan terhadap RTH dan memfasilitasi diskusi antar pemangku kepentingan sehingga membuahkan kemitraan. Pada akhir rangkaian kegiatan ini, diharapkan muncul gerakan budaya bertaman yang semakin meluas, menumbuhkan tanggung jawab, dan rasa memiliki warga kota terhadap taman-tamannya.

Dalam kegiatan ini terdapat berbagai acara kreatif yang antara lain terdiri atas Moonlight Theater, Sunday Market, dongeng anak-anak, Urban Farming, senam Yoga, workshop membatik, permainan outdoor dan pertunjukan seni.

Berbagai acara kreatif tersebut diselenggarakan oleh beragam komunitas seperti Klab Cekatan, Sahabat Kota, Si Dalang, Jakarta Games Society, Komunitas Dokter Olahraga dan sebagainya. Banyak pula pelaku dunia usaha yang turut berpartisipasi dalam kegiatan ini seperti Teh Kotak untuk Alam, Campina, Indika Energy, Coca Cola, dan sebagainya.

Pada acara penutupan Hidden Park 2013 ini dilaksanakan penyerahan penghargaan kepada segenap pengisi acara dari berbagai pemangku kepentingan yang turut berpartisipasi. Pada kegiatan ini pun diserahkan pula aspirasi masyarakat berbentuk Wish Ribbon yang pada umumnya mengharapkan perluasan taman kota serta peningkatan kualitas sarana publik di taman kota.

Untuk menjaga keberlangsungan pemanfaatan Taman Tebet untuk kegiatan positif, Dirjen Penataan Ruang secara simbolis menyerahkan beberapa sarana publik yang disediakan sejak kegiatan Hidden Park, yaitu Rumah Buku, static bike, pull up bar, TRX Suspension, dan static walk.

Setelah pelaksanaan Hidden Park pada 2012 lalu di Taman Langsat dan tahun ini di Taman Tebet, Ditjen Penataan Ruang akan mereplikasi kegiatan serupa di kota-kota lainnya di Indonesia. Konsep pengembangan kegiatan Hidden Park yang akan datang, antara lain akan mengedepankan konsep Green and Blue Development yaitu harmoni pengembangan ruang terbuka hijau untuk kelestarian sumber daya air. [rel]

read more
1 2
Page 1 of 2