close

tambang

Kebijakan Lingkungan

Pemerintah Aceh Larang Tambang Emas di Hutan Lindung

Banda Aceh – Penambangan emas di kawasan hutan lindung tidak dibenarkan. Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Aceh sampai sekarang belum pernah mengeluarkan izin untuk usaha tambang emas di kawasan hutan lindung. “Jadi, semua kegiatan penambangan emas yang ada di wilayah hutan lindung, dapat kita pastikan berstatus ilegal,” tegas Kepala DLHK Aceh, Ir Sahrial, Jumat (15/11/2019).

Secara umum, menurutnya, pengawasan terhadap kegiatan tambang di kawasan hutan lindung merupakan tanggung jawab DLHK kabupaten/kota. “Karena itu, kami mengimbau dinas lingkungan hidup dan kehutanan kabupaten/kota untuk memantau dan mengawasi usaha pertambangan di kawasan hutan lindung,” jelas Sahrial.

Ditanya apakah aktivitas warga mencari emas secara tradisional seperti yang berlangsung di pengunungan Geumpang, Pidie, selama ini mengganggu lingkungan atau tidak, Sahril mengatakan, aktivitas seperti itu tidak mengganggu lingkungan. “Kecuali, mereka mengeruk dasar sungai atau menggali sumur dengan kedalaman 10 sampai 20 meter, karena itu bisa jadi lubang jebakan dan membahayakan penambang sendiri. Jadi, mengindang atau mendulang emas tanpa menggunakan campuran merkuri tak mengganggu lingkungan,” ungkapnya.

Terkait ancaman pencemaran air sungai akibat penggunaan bahan kimia seperti merkuri atau air raksa (Hg), Sahrial mengatakan, saat musim hujan pihaknya pernah dua kali mengambil sampel air pada lima titik di Krueng Geumpang. Tujuannya, sebut Sahrial, untuk menguji kadar merkuri yang terdapat dalam air sungai tersebut apakah sudah melampui batas toleransi air baku atau belum.

Pengambilan sampel itu, menurut Sahrial, dilakukan karena di hulu Krueng Geumpang, ada kegiatan penambangan emas yang menggunakan merkuri. “Hasil pengujian di laboratorium, kadar pencemaran merkuri di sungai Geumpang masih di bawah standar air baku,” ujar Sahrial tanpa menyebut angka hasil uji lab tersebut.

Dikatakan, pengambilan sampel air sungai dilakukan pihaknya secara terjadwal, tiga atau empat bulan sekali. Hal itu sebagai bentuk tanggung jawab dan pengawasan dari Pemerintah Aceh terhadap ancaman pencemaran limbah merkuri akibat adanya penambangan emas di hulu sungai dan pegunungan terhadap masyarakat. “Tapi, kami tetap menyerukan kepada masyarakat yang mencari emas di pinggir Krueng Geumpang atau tempat lain, agar tidak menggunakan air raksa untuk mendapatkan emas,” pinta Sahrial.

Ia mengungkapkan, pemerintah melarang penambang menggunakan merkuri dalam mencari emas karena menurut berbagai referensi dan hasil penelitian, merkuri dapat merusak tubuh manusia secara permamen dan hingga saat ini belum bisa disembuhkan. “Air raksa sangat berbahaya bagi tubuh manusia. Meski hanya 0,01 mg masuk ke tubuh kita, air raksa tersebut tidak bisa dikeluarkan lagi dan dapat menyebabkan kematian. Contoh lain, Ibu hamil yang keracunan merkuri mengakibatkan bayi yang dilahirkan cacat, idiot, dan tubuhnya tidak sempurna,” timpal Sahrial.

Seruan tentang larangan penambang emas menggunakan merkuri atau bahan kimia berbahaya lainnya, tambah Sahrial, sudah pernah dikeluarkan pada 16 Agustus 2014 saat Gubernur Aceh dijabat oleh dr H Zainal Abdullah. “Pemerintah Aceh sangat peka dengan ancaman dari limbah merkuri terhadap lingkungan, kesehatan manusia, dan keberadaan mahluk hidup lainnya,” tutur Sahrial.

Untuk mengurangi ancaman pencemaran limbah merkuri terhadap lingkungan, air sungai, dan kesehatan manusia, kata Sahrial lagi, ke depan perlu dicarikan cara lain yang lebih efektif dan efisien, serta ramah lingkungan, untuk usaha penambangan emas. Untuk maksud tersebut, tambah Sahrial, DLKH Aceh akan berkoordinasi dengan pihak terkait lainnya.

Sumber: serambinews.com

read more
Energi

Plt Gubernur Aceh Cabut Rekomendasi Izin PT EMM

Banda Aceh – Pelaksana tugas (Plt) Gubernur Aceh Nova Iriansyah akhirnya mencabut rekomendasi izin PT Emas Mineral Murni (EMM) di Kabupaten Nagan Raya dan Aceh Tengah. Langkah tersebut dilakukan atas tuntutan masyarakat Aceh yang menolak PT EMM.

Nova mengaku sudah mengeluarkan Keputusan Gubernur nomor 180/821/2019, tentang pembentukan Tim Percepatan Penyelesaian Sengketa PT EMM. “Kami sudah mencabut rekomendasi Gubernur Aceh dan menyurati Menteri ESDM,” kata Nova Iriansyah dalam jumpa pers di kantor Bappeda Aceh, Senin (22/4/2019).

Selanjutnya, kata Nova, ia akan membentuk tim untuk menindaklanjuti aspirasi masyarakat Aceh, untuk segera menyelesaikan persoalan dengan PT EMM. Termasuk, menyurati Badan Koordinasi Penanaman Modal RI (BKPM-RI) yang telah mengeluarkan Izin Usaha Pertambangan (IUP).

“Kita minta BKPM RI untuk meninjau surat keputusan Kepala BKPM RI nomor 66/1/IUP/PMA/2017 perihal pemberian IUP kepada PT EMM. Surat sudah kami kirimkan,” kata Nova

Nova menjelaskan, Pemerintah Aceh memiliki pandangan yang sama terkait eksploitasi pertambangan sumber daya mineral khususnya pertambangan emas. Pasalnya, hal tersebut belum menjadi fokus pembangunan Pemerintah Aceh saat ini.

Nova menyesalkan ada pihak-pihak yang mengeluarkan berbagai dokumen pendukung hingga diterbitkannya IUP eksploitasi emas PT EMM oleh BKPM-RI. “Dokumen-dokumen yang dikeluarkan ini tidak sesuai dengan kekhususan Aceh, sebagaimana dengan pasal 156 Undang-undang Pemerintah Aceh,” ungkapnya.

Sementara itu, Kepala Biro Humas Pemerintah Aceh, Rahmad Raden menyebutkan, pihaknya akan mendukung penuh sikap Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh yang telah mengajukan banding untuk bisa mencabut izin PT EMM.

“Sikap kita membantu Walhi untuk memenangkan banding tersebut,” ujarnya.

Sumber: indonesiainside.id

read more
Energi

Tolak Tambang PT EMM, Mahasiswa Aceh Unjuk Rasa di Kantor Gubernur

Banda Aceh – Hampir seribuan mahasiswa lintas universitas di Aceh kembali menggelar demontrasi di kantor Gubernur Aceh, Selasa (9/4). Massa bergerak pukul 10.20 WIB dari Taman Ratu Safiatuddin, Banda Aceh menuju ke kantor gubernur yang hanya berjarak 200 meter.

Mahasiswa ini tergabung dalam Koprs Barisan Pemuda Aceh (Koprs-BPA), yang terdiri dari masing-masing perwakilan universitas di Aceh seperti Universitas Syiah Kuala, UIN Arraniry, Universitas Muhammadiyah Aceh, Universitas Serambi Mekkah dan kampus lainnya.

Peserta unjuk rasa mendesak agar Pemerintah Aceh menolak kehadiran perusahaan tambang PT Emas Mineral Murni (EMM) yang beroperasi di dua kabupaten di Aceh, antara lain di Beutong, Nagan Raya dan Pegasing, Aceh Tengah.

Demonstran menilai, aktivitas pertambangan itu akan berdampak pada kerusakan lingkungan. Peserta juga mencap Plt Gubernur Aceh, Nova Iriansyah sebagai pengkhianat jika tidak berdiri bersama rakyat menolak kehadiran PT EMM.

“Jika pemerintah Aceh tidak mengambil sikap untuk mendorong pemerintah pusat mencabut izin EMM, tidak menghentikan itu semua, maka kami rakyat Aceh akan kembali bergejolak, Ini adalah penjajah yang terbaru yang didukung oleh kapitalisme,” kata salah satu orator Teguh Permana lantang, di halaman kantor gubernur Aceh.

Demonstran juga meminta Plt Gubernur Aceh, Nova Iriansyah untuk turun dari ruangannya menemui mereka. Namun, Plt tak kunjung hadir. Massa pun mencoba merengsek masuk ke dalam kantor Gubernur. Beberapa saat sempat terjadi dorong-dorongan antara peserta aksi dengan barikade Satpol PP dan anggota Polisi.

“Kami sudah berkali-kali aksi, tapi mana Plt Gubernur, dia harus bertanggung jawab. Kami hanya meminta izin PT EMM dicabut sekarang juga,” ujar salah seorang orator dari atas mobil dengan peranti pengeras suara.

Massa yang semula menggelar aksi damai tersebut sempat terprovokasi untuk merangsek masuk ke dalam kantor Gubernur Aceh. Kata salah satu orator, itu adalah ulah dari provokasi yang ingin mencederai aksi mereka.
“Mundur kawan-kawan… Mundur, jangan terprovokasi,” teriak salah satu korlap aksi.

Peserta kemudian merengsek mundur dan memilih duduk lesehan di beranda kantor gubernur. Untuk menenangkan massa, salah satu peserta naik ke atas mobil melantunkan shalawat badar dan kemudian mengumandangkan azan.

Selanjutnya, salah satu orator perempuan dari universitas Abulyatama, Banda Aceh, Rahmatun Fonna juga menyampaikan orasinya. Dia meminta agar massa tetap tenang dan jangan meninggalkan kantor gubernur.
“Kawan-kawan ini kantor milik kita. Milik rakyat. Jangan mundur. Kita tunggu sampai pak Plt turun,” ucapnya.

Tepat pukul 12.30 WIB massa menghentikan sejenak orasinya. Sebagian memilih berteduh di halaman kantor gubernur.

Beberapa massa mahasiswa yang lain, kemudian bergerak ke papan nama kantor orang Gubernur di Aceh. Mereka memasang spanduk di sana dengan tulisan “Kantor Ini Di Segel”.

Unjuk Rasa di Takengon
Sebelumnya pada hari Senin (8/4/2019) juga berlangsung unjuk rasa menentang kehadiran perusahaan tambang di Takengon Aceh Tengah. Pengunjuk rasa yang terdiri dari masyarakat Aceh Tengah menentang kehadiran perusahaan tambang PT Linge Mineral Rosource di Gayo, Aceh Tengah. Demonstran dan petugas keamanan terlibat saling dorong sehingga mengakibatkan satu orang pengujuk rasa terluka.

Demonstran menentang perusahaan tambang di Takengon | Foto: rencongpost.com

Kejadian bentrokan tersebut antara pengunjuk rasa dengan aparat kepolisian terjadi di depan gedung DPRK Aceh Tengah. Aksi massa tolak tambang PT. Linge Mineral Resource di Aceh Tengah merupakan bentuk kesadaran masyarakat akan dampak yang akan terjadi jika tambang beroperasi di daerah mereka.

Luas areal yang diusulkan menjadi daerah tambang sebesar 9.684 ha tentunya akan terjadi dampak yang cukup serius terhadap kondisi ekologis di Aceh Tengah. Terlebih Aceh Tengah merupakan hulu dari berbagai Daerah Aliran Sungai (DAS) yang ada di Aceh.

PT. Linge Mineral Resource mendapatkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi pada tahun 2009 dari Bupati Aceh Tengah dengan nomor 530/2296/IUP-Eksplorasi/2009 dengan luas area 98.143 ha. Kemudian pada tahun 2019 PT. Linge Mineral Resource akan menyusun AMDAL untuk mendapatkan Izin Lingkungan dengan area yang diusulkan 9.684 ha berlokasi di Proyek Abong, Des Lumut, Desa Linge, Desa Owaq, dan desa Penarun, Kecamatan Linge, Kabupaten Aceh Tengah, dengan target produksi 800.000 ton/tahun omoditas Emas dan turunannya.

Sumber: rencongpost.com

read more
Energi

LSM Minta Plt Gubernur Aceh Perpanjang Moratorium Tambang

Takengon – Sejumlah LSM meminta Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Aceh, Ir Nova Iriansyah agar melanjutkan Instruksi Gubernur (Ingub) tentang moratorium Izin Usaha Pertambangan (IUP), Mineral Logam dan Batubara. Pasalnya, moratorium IUP yang telah diberlakukan Pemerintah Aceh sejak Oktober 2014 telah berakhir 5 Juni 2018, namun tidak diperpanjang.

Desakan tersebut mengemuka setelah adanya rencana PT Linge Mineral Resource akan melakukan penambangan dan pengolahan biji emas DMP di Proyek Abong, Kecamatan Linge, Kabupaten Aceh Tengah.

“Ini yang menjadi pertanyaan kami, kenapa Plt Gubernur tidak melanjutkan moratorium izin usaha pertambangan,” kata Koordinator LSM Jang-Ko, Maharadi, dalam pernyataanya yang diterima media, Sabtu (6/4/2019).

Padahal, lanjut Maharadi, Pemerintah Aceh sudah berkomitmen untuk mencegah serta menyelamatkan hutan dan lingkungan di Aceh dari dampak penambangan mineral logam. “Kalau hanya upaya melanjutkan investasi di sektor pertambangan, Pemerintah Aceh perlu mengkaji ulang. Sebab wilayah tengah Aceh hidup dari perkebunan kopi, bukan tambang emas,” jelasnya.

Menurutnya, keberadaan tambang akan berdampak serius terhadap keberlangsungan kopi Gayo. Selain itu juga memberikan efek serius terhadap lingkungan serta terhadap nilai-nilai kearifan masyarakat Gayo.

“Dengan tidak dilanjutkannya moratorium, ada kesan Pemerintah Aceh membiarkan investor mengeruk hasil bumi Aceh,” tegasnya.

Maharadi mengaku, akan tetap menolak kehadiran aktivitas pertambangan di Aceh, khususnya di Aceh Tengah, meskipun Pemerintah Aceh, memiliki alasan tersendiri. Hasil yang didapat dari pertambangan dia katakan tidak sebanding dengan potensi penderitaan rakyat. “Selain melanjutkan moratorium, kami juga meminta agar IUP yang tidak mematuhi peraturan perundang-undangan, agar segera dicabut,” pungkasnya.

Pada Jumat (5/4/2019) malam, sekitar 14 elemen sipil dan OKP melakukan pertemuan membahas tentang rencana penambangan PT Linge Mineral Resource. Dari hasil diskusi, hampir seluruh peserta diskusi menolak hadirnya perusahaan tersebut.

Belasan elemen sipil tersebut juga bersepakat dan merencanakan akan menggelar aksi unjuk rasa ke gedung DRPD, Senin (8/4/2019) besok untuk menyampaikan aspirasi penolakan terhadap PT Linge Mineral Resource.

“Kami menginginkan agar izin perusahaan tersebut dibekukan sebelum adanya kejelasan tentang manfaatnya bagi masyarakat serta lingkungan,” kata Ketua Bidang Lingkungan KNPI Aceh Tengah, Abrar Syarif.

Sumber: serambinews.com

read more
Energi

WALHI Sampaikan Kesimpulan pada Sidang Gugatan Izin Tambang PT. EMM

Jakarta – WALHI Aceh mengajukan kesimpulan para penggugat dalam sidang lanjutan gugatan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi PT. Emas Mineral Murni (PT. EMM), di Pengadilan Tata Usaha Negara, Jakarta, pada Kamis (4/4/2019) melalui kuasa hukumnya.

WALHI Aceh bersama warga telah menyampaikan 63 bukti surat, seperti surat keputusan DPR Aceh nomor 29/DPRA/2018 yang menyatakan bahwa IUP Operasi Produksi PT. EMM bertentangan dengan kewenangan Aceh, dan meminta kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) RI untuk mencabutnya/membatalkan izin tersebut. Kemudian surat Komite Peralihan Aceh (KPA) Nagan Raya dan KPA Aceh Barat yang menyatakan dengan tegas menolak PT. EMM, surat dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang menyatakan PT. EMM tidak memiliki Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH), surat pernyataan tolak tambang PT. EMM oleh anggota DPD asal Aceh, petisi tolak tambang PT. EMM yang telah ditandatangani oleh berbagai komponen masyarakat di Aceh, surat pernyataan dan bantahan dari masyarakat Beutong Ateuh Banggalang, dan berbagai bukti surat lainnya termasuk surat pernyataan tolak tambang dari murid SD yang ditujukan kepada Presiden Republik Indonesia.

Sampai pada agenda sidang kesimpulan, WALHI Aceh telah menghadirkan tiga orang saksi fakta dari perwakilan masyarakat Beutong Ateuh Banggalang, Nagan Raya. Ketiga warga tersebut bersaksi terkait kondisi sosial budaya, dampak tambang PT. EMM pada saat kegiatan eksplorasi, kondisi faktual di lapangan, ancaman tambang terhadap sumber kehidupan masyarakat, situs sejarah, lahan pertanian/perkebunan, pendidikan dan kesehatan, dan terkait PT. EMM yang tidak melakukan sosialisasi kegiatan tambang kepada masyarakat.

Selain saksi fakta dari masyarakat Beutong Ateuh Banggalang, dalam sidang gugatan izin PT. EMM juga hadir Ketua Komisi II DPR Aceh Nuruzzahri, yang bersaksi terkait kewenangan Aceh berdasarkan Undang-undang nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Ketua Komisi II juga memberikan kesaksian terkait proses paripurna khusus DPR Aceh yang memutuskan menolak izin PT. EMM, selain itu juga menceritakan kepada majelis hakim terkait sejarah konflik GAM dengan RI dimana salah satu faktor penyebabnya terkait pengelolaan sumber daya alam yang tidak adil di Aceh.

WALHI Aceh menghadirkan saksi ahli, Ade Widya Isharyati, S.ST.,M.Eng yang merupakan ahli lingkungan hidup dari Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh.

Kemudian, dalam kesimpulan para penggugat juga memasukan keterangan saksi dan ahli yang dihadirkan oleh pihak tergugat dan tergugat II intervensi yang mendukung gugatan para penggugat, seperti saksi Samsuar, S.Pd, yaitu Geuchik Gampong Blang Meurandeh yg dihadirkan oleh PT. EMM, namun dalam satu pernyataannya menyebutkan “bahwa bila makam para Ulama dirusak, maka ia yang akan pertama kali mati, melawan pertambangan.”

Begitu pula Samsuar menyampaikan bahwa sejak tahun 2013 telah terjadi penolakan PT. EMM dari masyarakat, dan dia juga ikut menandatangani petisi tolak tambang PT. EMM. Kemudian keterangan ahli tergugat II intervensi, Dr. Tri Haryati, S.H., M.H, dan DR. Halikul Khairi. Khusus untuk keterangan ahli Halikul Khairi, keterangannya menyatakan tentang mikro dan makro kewenangan berdasarkan UU 23/2014 dan UU 11/2006, bahkan menyatakan bahwa Pasal 156 dan Pasal 165 merupakan kewenangan makro, sehingga yang digunakan adalah UU 23/2014 bukan UUPA. Walau pernyataannya diluar teori dan ketentuannya, kami juga memaklumi bahwa ia adalah Ahli yg dihadirkan oleh PT. EMM.

Kesimpulan utama dari seluruh pembuktian adalah, tentang kewenangan Aceh berdasarkan UUPA yang tidak boleh dikurangi atau dikangkangi oleh siapapun termasuk BKPM. Kedua, tentang Konsultasi dan Pertimbangan Gubernur dan DPRA sebagai wujud pemenuhan ketentuan PP 3/2015, kebenaran tidak memperoleh keputusan apapun dari Kabupaten Aceh Tengah, sedangkan Aceh Tengah masuk ke dalam areal pertambangan, penolak masyarakat, LSM, dan pihak-pihak lainnya yang membuktikan tidak adanya keterlibatan masyarakat dan pemerhati lingkungan hidup dalam penyusunan dan persetujuan baik Amdal, Izin Lingkungan dan lainnya, sampai dengan persoalan administratif yg dirangkum dalam sebelum dan setelah penerbitan Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi.

Intinya terdapat setidaknya 19 item Kesimpulan yang telah disampaikan dan terbukti berdasarkan ketentuan dan bukti-bukti yang telah disampaikan terdahulu.

Kuasa Hukum dalam akhir sidang menyampaikan kepada Majelis Hakim, “Bahwa rezim hidrokabon yang berada di Aceh Utara, Provinsi Aceh juga telah gagal menjawab kemakmuran bagi rakyat, walau telah puluhan tahun melakukan penambangan, penggalian dan pengrusakan terhadap alam.”

“Jika mereka yang menyatakan menambang akan menghasilkan devisa dan menambah pendapatan negara, pertanyaannya adalah apakah dengan tidak menambang negara akan dirugikan?”

Tidak ada uang yang cukup untuk memperbaiki kerusakan yang akan timbul dari ulah pertambangan, biarlah rakyat hidup bahagia, aman, nyaman di tanah airnya sendiri, dan cukuplah pusat membuat kekacauan di tanoh Aceh, tanoh para aulia dan syuhada, yang rela menyumbang harta, tenaga bahkan jiwa, melawan Belanda demi mencapai satu tujuan utama yaitu “Kemerdekaan Republik Indonesia”.

WALHI hari ini mewakili warga Aceh berjuang melawan penjajahan model baru, mengajak seluruh masyarakat Aceh untuk berdoa dan mendukung tujuan bersama ini, agar majelis hakim harus melihat bahwa tujuan kita bukan harta, tetapi tanoh Aceh sebagai tanoh para ulama, syuhada dan aulia harus tetap dijaga agar tetap terselamatkan dari tangan-tangan yang akan merusak bumi Aceh.

Sidang putusan akan dilaksanakan pada 11 April 2019 di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Timur. Demikian siaran pers disampaikan oleh Direktur Walhi Aceh , M. Nur.[]

read more
Kebijakan Lingkungan

Gubernur Cabut Izin Pertambangan, 549 Ribu Hektare Lahan di Aceh Selamat

Banda Aceh – Pencabutan 98 Izin Usaha Pertambangan (IUP) eksplorasi dan Operasi Produksi (OP) mineral logam dan batubara secara kolektif oleh Gubernur Aceh dinilai telah menyelamatkan ratusan ribu hektare hutan dan lahan di Aceh. Luas lahan dari total 98 IUP yang dicabut atau diakhiri melalui Surat Keputusan (SK) Gubernur Aceh Nomor 540/1436/2018 itu mencapai 549.619 hektare (Ha).

Kadiv Kebijakan Publik dan Anggaran GeRAK Aceh, Fernan mengatakan seluas 549 Ha lebih hutan dan lahan di Aceh terselamatkan dengan SK Gubernur Aceh tersebut dalam siaran persnya Jumat (29/3/2019).

Fernan merincikan, total luasan lahan 549.619 Ha tersebut terbagi dari Kabupaten Aceh Besar 4.656 Ha (4 IUP), Aceh Jaya 31.368 Ha (10 IUP), Aceh Barat 20.329 Ha (7 IUP), Nagan Raya 90.576 Ha (1 IUP), Abdya 298 Ha (2 IUP), Aceh Selatan 59.826 Ha (14 IUP), Aceh Singkil 46,313 Ha (6 IUP).

Selanjutnya, Subulussalam 6.227 Ha (8 IUP), Gayo Lues 41.200 Ha (2 IUP), Aceh Tamiang 33.559 Ha (4 IUP), Aceh Tengah 92.425 Ha (13 IUP), Aceh Timur 6.080 Ha (2 IUP), Pidie Jaya 2.555 Ha (2 IUP).

“Terakhir yang paling tinggi di Kabupaten Pidie, yaitu seluas 114.205 Ha dengan sebaran 14 IUP,” jelasnya.

Selain itu, Fernan juga menuturkan terkait perkembangan tata kelola IUP mineral logam dan batubara di Aceh. Kata dia, berdasarkan data dari Dinas ESDM Aceh. Pada 2014 lalu, izin di Aceh mencapai 138 IUP dengan luas areal lebih kurang 841.649 Ha.

Kemudian, setelah berlakunya moratorium pertambangan hingga 2019, izin yang tersisa hanya tinggal 28 IUP dengan luas areal lebih kurang 48.136 Ha, atau berkurang seluas 793.513 Ha, (94,28 %).

“Dari sisa 48,136 Ha itu terbagi lagi, 2 persen masuk Hutan Produksi (HP) dan 98 persen masuk Areal Penggunaan Lain (APL),” ujarnya.

Kata Fernan, untuk sebaran perizinan pertambangan mineral dan batubara di Aceh hingga Maret 2019 dari 28 IUP tersebut, terbagi dalam beberapa izin antara lain Batubara 9 IUP, Biji Besi 14 IUP, Pasir Besi 2 IUP, Penanaman Modal Asing (PMA) 2 IUP dan Kontrak Karya 1 IUP.

“Untuk luas bukaan tambang mineral logam dan batubara aktif sampai Maret 2019 dari luas 48.136 Ha itu, yang telah dibuka baru hanya seluas 195 Ha atau 0,41 persen,” tuturnya.

Lanjut Fernan, mereka juga merekomendasikan agar Pemerintah Aceh mempertegas pemanfaatan lahan IUP berakhir itu guna untuk validasi data spasial lahan tersebut dengan melakukan kajian pemanfaatan mengenai skema Tanah Objek Reforma Agraria (TORA), Hutan Kemasyarakatan (HKM), hutan adat dan sebagainya. Namun, untuk memaksimal kerja pemerintah, maka dinilai juga perlu membentuk tim terkait persoalan ini.

“Lalu, kepada Kanwil BPN dapat melakukan pengkajian kembali terhadap lahan IUP berakhir terhadap status hak atas tanah dari lahan bekas tambang itu, dan memastikan potensi konflik di kawasan budidaya saat pemanfaatannya,” kata Fernan.

Sementara itu, Peneliti di PWYP, Rizky Ananda menyarankan Pemerintah Aceh agar memanfaatkan lahan seluas 549 ribu lebih itu menjadi tempat terbuka hijau.

“Maupun bisa juga dilakukan pengembalian fungsi lahan, kembalikan ke asal mulanya menjadi hutan lagi,” imbuhnya.

Bahkan, menurut Rizky, kesempatan ini juga bisa menjadi momentum untuk menyelaraskan pertambangan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA).[rel]

read more
Energi

Persoalan Tambang Beutong Berpotensi Melanggar HAM

Pengelolaan sumber daya alam sektor tambang yang mendapat penolakan dari masyarakat berpotensi memunculkan pelanggaran HAM. Banyak kasus yang telah terjadi di Indonesia terkait pendirian tambang, mulai dari intimidasi, pengancaman, pemerkosaan, pembunuhan, kriminalisasi dan sampai pada penghilangan orang secara paksa. Dalam beberapa catatan persoalan lingkungan hidup di Aceh juga terjadi hal yang sama dan masyarakat selalu berada di pihak yang dirugikan.

Persoalan tambang di Beutong Ateuh Banggalang ACeh berpotensi menimbulkan pelanggaran HAM masa depan. Gejolak penolakan tambang oleh masyarakat jika tidak mendapatkan respon baik dari Pemerintah Aceh dikhawatirkan akan menjadi pemantik terjadinya konflik yang lebih luas. Karena persoalan tambang di Beutong Ateuh Banggalang tidak hanya menyangkut persoalan lingkungan hidup, sosial budaya, dan HAM, juga masalah kewenangan dan kekhususan Aceh yang dilanggar oleh Pemerintah Pusat.

DPRA dalam merespon tuntutan masyarakat pada tanggal 6 November 2018 telah melaksanakan rapat paripurna khusus terkait permasalahan PT. Emas Mineral Murni (PT. EMM) di Beutong Ateuh Banggalang. Berdasarkan keputusan paripurna DPRA Nomor 29/DPRA/2018, yang disampaikan kepada Plt. Gubernur Aceh dan Kepala BKPM RI, menetapkan: (1) Menyatakan bahwa izin usaha pertambangan operasi produksi yang dikeluarkan oleh BKPM RI Nomor 66/1/IUP/PMA/2017 tanggal 19 Desember 2017 bertentangan dengan kewenangan Aceh sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

(2) Merekomendasikan kepada Kepala BPKM RI untuk mencabut/membatalkan izin Nomor 66/1/IUP/PMA/2017 tanggal 19 Desember 2017 yang diberikan kepada PT. EMM untuk melakukan eksploitasi di Kecamatan Beutong dan Kecamatan Beutong Ateuh Banggalang Kabupaten Nagan Raya serta Kecamatan Celala dan Kecamatan Pegasing Kabupaten Aceh Tengah.

(3) Meminta kepada Pemerintah Aceh untuk membentuk tim khusus yang melibatkan DPRA untuk melakukan upaya hukum terhadap izin usaha pertambangan operasi produksi yang dikeluarkan oleh BKPM RI Nomor 66/1/IUP/PMA/2017 tanggal 19 Desember 2017.

Atas hasil paripurna itu, sampai hari ini Plt. Gubernur juga belum melakukan langkah konkrit menindaklanjuti keputusan DPRA. Selain itu, Plt. Gubernur Aceh juga belum merespon tuntutan massa mahasiswa, OKP/Ormas, anggota DPRK, anggota DPD RI, dan tuntutan berbagai komponen masyarakat yang disampaikan dalam berbagai aksi di Aceh.

Hari HAM Sedunia 10 Desember 2018 setidaknya menjadi momentum bersama untuk menagih janji pemerintah dan Pemerintah Aceh dalam bingkai perdamaian menyelesaikan persoalan HAM masa lalu dan potensi pelanggaran HAM masa depan dalam sektor pengelolaan sumber daya alam di Aceh. Untuk mengisi momentum tersebut, WALHI Aceh, Koalisi NGO HAM bersama Korps Barisan Pemuda Aceh (BPA) dan segenap elemen sipil lainnya membuat aksi damai pada hari HAM sedunia 10 Desember 2018. Aksi ini akan berlangsung di kantor Gubernur Aceh dan bundaran Simpang Lima Banda Aceh. Kita berharap Plt. Gubernur Aceh berada ditempat saat aksi damai berlangsung sehingga pernyataan sikap massa dapat diterima secara langsung. [rel]

read more
HutanKebijakan LingkunganPerubahan Iklim

Darurat Tambang Emas dalam Pekarangan

Picture3
Ilustrasi : Foto int

Tambang emas ilegal di Aceh kian meresahkan, telah mengancam terjadi bencana ekologi. Tidak hanya merambah hutan, tetapi sudah mulai bergeser ke pemukiman, hingga ke depan halaman rumah warga.

Pertambangan ilegal ini tidak lagi bisa disebut tambang tradisional. Pasalnya, alat berat sudah bertabur di areal pertambangan ilegal seluas 1.108,93 ha yang tersebar di empat gampong (desa) di Kecamatan Beutong, Kabupaten Nagan Raya.

Keempat gampong itu meliputi Blang Baroe PR, Panton Bayam, Blang Leumak dan Krueng Cut. Permukiman keempat gampong ini, hampir seluruhnya terdapat lubang di pinggir, depan dan samping rumah mereka.

Lubang itu merupakan galian untuk menambang emas. Semakin diperparah, lubang-lubang itu berisi air tanpa dipagar. Tentunya sangat rentan terjadi kecelakaan.

Selain permukiman yang dijadikan areal pertambangan, kegiatan ilegal itu juga dilakukan di kawasan sungai, baik aliran yang melintasi permukiman warga, maupun hulu sungai yang berada di kawasan hutan produksi dan lindung. Sungai yang memiliki aktivitas pertambangan emas yaitu Krueng Cut, serta Krueng Pelabuhan yang merupakan sub Daerah Aliran Sungai (DAS) Krueng Cut.

Pertambangan seperti itu memang bukan hal yang baru di Aceh. Di Kecamatan Geumpang, Kabupaten Pidie juga bernasib sama. Bedanya, tambang di sana jauh dari pemukiman warga, namun tetap merambah hutan lindung dan merusak aliran sungai mengancam bencana alam.

Berdasarkan hasil investigasi Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh, menemukan fakta yang mencengangkan. Hasil dari hitungan cepat yang dilakukan tim Walhi Aceh, ada 65 alat berat berada di lokasi pertambangan ilegal tersebut.

Namun menurut pengakuan warga, justru semakin mengagetkan, warga memperkirakan ada 120 unit alat berat lebih sedang beroperasi setiap hari di empat gampong tersebut. Parahnya lagi, di kawasan itu sudah tersedia bengkel alat berat, tentunya ini sudah sangat sistemik.

“Berbeda pertambangan di Geumpang dan Beutong, di Geumpang ada lubang di sungai. Sedangkan di Beutong ada di belakang rumah warga,” kata Kepala Divisi Advokasi Walhi Aceh Muhammad Nasir di kantornya, Selasa (3/10).

Untuk masuk ke area pertambangan bukan perkara mudah. Meskipun sulit, tim investigasi Walhi Aceh berhasil mendapatkan banyak informasi dan data terkait pertambangan ilegal di kawasan itu.

Baik itu proses penambangan, pengangkutan Bahan Bakar Minyak (BBM) hingga pemasaran. Memang penambangan emas di empat gampong itu belum menggunakan mercuri, tetapi proses tambang yang dilakukan melalui saring.

Secara ekonomi dan status sosial di empat gampong tersebut tak ditampik terjadi perubahan. Bahkan ada warga yang memiliki rumah kecil, bantuan, hanya dua kamar terdapat mobil mewah jenis Fortuner terparkir di depan.

Demikian juga, perhiasan yang digunakan oleh kaum hawa setempat, semua dari emas. Sehingga ini telah memantik warga setempat merelakan permukiman, lahan perkebunan dan persahawan dijadikan areal pertambangan emas.

“Secara status sosial memang meningkat. Tetapi ini tidak sebanding dengan kerusakan lingkungan. Karena tambang itu habis pakai dan tak bisa diperbaiki,” jelasnya.

Bahkan mirisnya, berkembang anekdot bila memang memungkin rumah-rumah warga ikut dibongkar untuk mendapatkan emas. Saat ini, warga berpendapat sedang berjalan dan menginjak-injak emas yang ada di bawah telapak kaki mereka.

“Kalau diizinkan, rumah-rumah dibongkar, mereka yakin banyak emas di sana,” tukasnya.

Akibat permukiman warga sudah dijadikan areal pertambangan, semua tanaman produktif, seperti kelapa, pinang, sudah ditebang. Demikian juga areal persawahan tak dapat lagi ditanam padi, karena sudah berlubang dan dijadikan pertambangan emas.

Areal sungai seluas 261,73 hektare juga sudah dijadikan wilayah pertambangan. Berdasarkan pengakuan warga setempat, dulunya sungai Krueng Cut lebar antara 20 sampai dengan 30 meter. usai ada pertambangan, lebar sungai sudah melebihi 100 meter.

“Kami tidak menemukan mercuri, karena mengambil serbuk emas, disaring dan ada karpet, emas lengket di karpet. Proses penggunakaan marcuri bisa terjadi tahap kedua pada pembeli,” tegasnya.

Adanya pertambangan emas itu memang ada multi efek ekonomi bagi warga setempat. Bagi yang tidak memiliki lahan, bisa menjadi kurir atau perantara yang mengantar BBM untuk kebutuhan 120 alat berat.

Karena untuk mengangkut BBM untuk alat berat yang berada di seberang sungai Krueng Cut juga bukan perkara mudah. Karena mobil jenis apapun tidak bisa dilalui, sehingga harus menyeberang menggunakan speed boat.

Ongkos yang diberikan pun bukan murah. Setiap satu jeriken dibandrol harga Rp 100 ribu. Sementara satu speed boat bisa mengangkut 20 jeriken berisi 20 liter BBM.

Agen penyuplai BBM itu pun, bisa mendapatkan keuntungan Rp 1,5 juta per hari. Bayangkan, berapa pendapatan mereka per bulan? Ya bisa mencapai Rp 45 juta.

“BBM itu diambil dari SPBU, itu BBM bersubsidi,” tegasnya.

Setiap gampong yang masuk dalam wilayah pertambangan emas ilegal itu ada portal. Jadi, alat berat masuk harus terlebih dahulu membayar pada penjaga pintu sebesar Rp 500 ribu. Ada empat gampong yang dilalui, maka mereka mengeluarkan uang Rp 4 juta.

Lain lagi ada kutipan yang katanya untuk gampong. Setiap bulannya, pemilik alat berat harus menyetor kepada panitia Rp 10 juta. Namun, Walhi Aceh tidak mengetahui aliran dana tersebut, baik uang masuk yang dikutip di pintu masuk, maupun iuran per bulan.

“Tapi kita menduga itu masuk ke panitia di gampong, ini berdasarkan pengalaman di tambang Geumpang,” tukasnya.

Memang tak bisa ditampik, perputaran roda perekonomian meningkat. Bahkan, ada warga yang hanya bekerja 15 hari, menghasilkan emas 15 kilogram dengan nilai Rp 20 miliar lebih.

Meskipun demikian, Walhi Aceh menilai dampak yang akan dirasakan dalam jangka panjang jauh lebih berbahaya dan kerugian materil juga lebih besar.

Hilangnya areal perkebunan dan pertanian, ancaman terhadap rumah warga dan fasilitas umum, hingga ancaman banjir bandang sewaktu-waktu akan terjadi di kawasan itu.

Termasuk maraknya illegal logging, hingga tidak ada lagi penahan air saat banjir tiba. Tentu dampaknya tidak hanya dirasakan oleh warga permukiman areal pertambangan, tetapi juga puluhan gampong di sekitar itu akan merasakan nantinya.

“Bencana banjir berpotensi. Bila terjadi banjir bandang, di Beutong berpotensi terjadi, karena sungai sudah rusak dan berpotensi rumah warga akan menimpa juga daerah lain,” tukasnya.

Temuan ini tentunya harus menjadi bahan pertimbangan pihak pemerintah. Baik itu pemerintah kabupaten setempat, maupun pemerintah Aceh harus bersikap, sebelum bencana ekologi terjadi.

Karena sekarang masih ada waktu untuk dilakukan penanggulangan secara persuasif melindungi lingkungan untuk anak cucu masa yang akan datang. [merdeka/acl]

read more
1 2 3 4
Page 1 of 4