close

tambang

Kebijakan Lingkungan

JKMA : Pabrik Semen Harus Publikasi Daftar Lahan yang Dibeli

Fenomena konflik pembangunan pabrik semen di Kabupaten Pidie tidak boleh dibiarkan terus berlarut karena dapat mengganggu kehidupan masyarakat umum di sekitar konsesi.  Permasalahan ganti rugi lahan yang mengemuka ini dipastikan timbul karena proses ganti rugi yang tidak transparan dan tidak akuntabel.

Jaringan Komunitas Masyarakat Adat (JKMA) Aceh wilayah Pidie menilai proses ganti rugi yang dilakukan di masyarakat seharusnya diikuti dengan penyampaian informasi yang benar dengan menggunakan FPIC (Free, Proir, Informed, Consent) untuk menghindari pola pembodohan masyarakat demi memperoleh akselerasi proses dan keuntungan perusahaan.

Dari informasi masyarakat diperoleh bahwa proses ganti rugi yang dilakukan perusahaan terkesan ditutup tutupi, perusahaan juga menggunakan aparat Keamanan  bersama mereka setiap melakukan komunikasi terkait ganti rugi lahan, hal ini menurut JKMA wilayah Pidie secara psikologis sangat menekan masyarakat karena history konflik (GAM-RI) yang pernah mereka alami sehingga masyarakat tidak dapat berpikir dengan tenang.

Untuk memperoleh penyelesaian yang adil, Pemerintah Pidie diminta memfasilitasi penyelesaian konflik dan mengikutsertakan seluruh elemen masyarakat dan masyarakat adat agar penyelesaian konflik memiliki nilai monumental  untuk menghindari intimidasi dan penutupan informasi kepada masyarakat luas.

Selanjutnya JKMA wilayah Pidie meminta perusahaan PT Samana Citra Agung untuk menunjukkan data pembebasan lahan yang telah dilakukan bersama masyarakat dan bersedia membandingkan dengan data yang dimiliki  BPN  terkait kepemilikan lahan di sekitar konsesi PT Samana Citra Agung.

JKMA wilayah Pidie sangat mengapresiasi gerakan yang sudah dibangun oleh masyarakat Laweung dan Batee  yang meminta perusahaan untuk transparan dalam proses perizinan dan pembebasan lahan yang di lakukan oleh PT SCA, dan bila perusahaan memiliki indikasi melakukan pelanggaran maka JKMA meminta pemerintah untuk menindak sesuai dengan peraturan yang berlaku bahkan pencabutan izin.

Pengelolaan sumber daya alam Pidie secara arif dan bertanggung jawab diharapkan memberikan kesejahteraan bagi masyarakat dan generasi penerus Pidie dan sebaliknya jika di dikelola secara tidak bertanggung jawab maka akan mewarisi dampak bencana berkepanjangan dan konflik.

Demikian siaran pers yang disampaikan oleh JKMA Pidie, Mukhtar. [rel]

read more
Kebijakan Lingkungan

Moratorium Tambang Harus Jawab Isu Kesejahteraan & Lingkungan

Banda Aceh – Instruksi Gubernur Aceh tentang penutupan seluruh pertambangan illegal harus disikapi dengan bijak. Pertama, Intruksi tersebut harus dipandang sebagai sebuah semangat mencegah kerusakan di muka bumi baik bagi manusia maupun lingkungan hidup. Kedua, kebijakan tersebut  harus diikuti dengan langkah kongkrit untuk menjawab dampak yang timbul bagi perekonomian warga penambang akibat  intruksi Gubernur Aceh menutup pertambangan rakyat.

Demikian disampaikan oleh Juru Bicara Koalisi Peduli Hutan Aceh (KPHA), Efendi Isma dalam siaran persnya hari ini. Menurutnya fakta saat ini ada ribuan warga Aceh menggantungkan hidup dari usaha pertambangan khususnya tambang emas. Di sisi lain, ada dampak buruk yang ditimbulkan karena pengolahan hasil tambang emas  masih menggunakan bahan berbahaya seperti  air raksa dan sianida yang dipercaya merusak bagi manusia dan lingkungan hidup.

Menurut investigasi  KPHA, terdapat sejumlah lokasi pertambangan emas rakyat di Aceh seperti Pidie, Aceh Jaya dan Aceh Selatan dan sampai saat ini masih beroperasi serta menggunakan merkuri.

Pembiaran terhadap penggunaan  bahan berbahaya oleh warga dalam mengolah hasil tambang memang tidak boleh terjadi. Karena hal itu akan berdampak buruk bagi mereka sendiri dan lingkungan untuk jangaka waktu yang lama. Namun, menutup tambang emas tradisonal rakyat tanpa diikuti dengan solusi komprehensif, juga dapat disebut sebagai tindakan yang tidak bijak.

Menyikapi polemik Intruksi Gubernur soal penutupan pertambangan illegal di Aceh, Koalisi Peduli Hutan Aceh (KPHA) menilai ada beberapa hal yang harus segera dilakukan diantaranya:
1.    Pemerintah Aceh harus segera mengeluarkan Peraturan Pemerintah Aceh tentang Moratorium Tambang. Termasuk mengatur soal tambang rakyat.

2.    Segera melokalisir area pertambangan rakyat yang terdapat di seluruh Aceh, untuk mengetahui potensi dan menyusun rencana yang matang tentang pemanfaatan dan pengelolaan tambang Aceh yang berasaskan kesejahteraan berkeadilan bagi rakyat Aceh dan kelestarian lingkungan.

3.    Melakukan musyawarah dengan warga yang selama ini mengantungkan hidup mereka dari sector pertambangan emas  guna menemukan solusi perkonomian selama moratorium tambang Aceh.

4.    Pemerintah Aceh juga harus memastikan pemutusan mata rantai peredaran bahan berbahaya yang digunakan warga dalam aktivitas pertambangan emas. Selain itu, Pemerintah Aceh juga harus bertanggung jawab atas pembiaran penggunaan bahan berbahaya selama ini oleh warga. Termasuk juga memberantas mafia merkuri atau sianida yang bermain dan mengambil keuntungan dari bisnis tersebut selama ini di Aceh.

5.    Pemerintah segera membuat rencana program pertambangan rakyat dengan metode ramah lingkungan dan memastikan terlaksana dengan asaz kesejahteraan berkeadilan bagi seluruh rakyat Aceh. Program tambang rakyat yang ramah lingkungan adalah jaminan atas pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam menikmati sumber daya alam yang ada.

6.    Meninjau ulang seluruh izin perusahaan pertambangan di Aceh.  Guna memastikan tidak perampokan sumber daya alam oleh pihak- pihak tertentu yang kita yakini terjadi selama ini di Aceh. Termasuk juga soal pemenuhan kewajiban reklamasi dan CSR.

7.    Pemerintah Aceh harus mlakukan audit lingkungan Aceh secara menyeluruh, guna mengetahui secara menyeluruh ada tidaknya tindak pidana/ kejahatan di sector kehutanan dan pemanfaatan SDA Aceh.

8.    Membuka ke public seluruh proses pemanfaatan dan penerimaan hasil ekspolitasi SDA Aceh khususnya sector pertambangan.

9.    Mendesak Pemerintah Aceh segera melakukan revisi Qanun RTRWA. Mengingat Qanun Aceh yang telah disahkan pada akhir tahun 2013 itu, tidak merinci secara jelas soal jenis dan lokasi pertambangan di Aceh. [rel]

read more
Tajuk Lingkungan

Reformis…

Sebuah bangunan dingin tanpa kedaulatan. Bahkan di atas meja makan, kita dengan mudah menemukan produk label impor; yang sebenarnya bahan bakunya berasal dari belakang rumah kita. Ya, begitulah. Dan yang tampak oleh mata, mungkin kaum miskin di Jakarta hidup dalam keadaan yang lebih buruk dari kaum miskin di Aceh. Tapi kaum kaya di Aceh hidup sama mewahnya dengan kaum kaya di Jakarta. Sementara daya beli dari upah minimum terus merosot dari tahun ke tahun.

Saya rasa, istilah “reformis” telah mengandung makna yang buruk. Sebab mereka yang kini menjabat di pemerintahan sebagian besar adalah reformis – “laku tak sesuai cakap”. Ada kondisi lain yang mendasar, yaitu soal agraria. Ada berjuta-juta hektar tanah yang dibiarkan menganggur dan tidak difungsikan untuk memberi makan rakyatnya sendiri. Sektor pertanian seharusnya menjadi jalan keluar bagi barisan penganggur agar mereka bisa memperbaiki kondisi hidup. Tetapi sebagian besar tanah-tanah itu dikuasai kaum feodal dan tirani yang korup.

Bagaimana kebijakan pemerintah Aceh dalam rangka melindungi hutan? Saya rasa mereka terlalu banyak bicara mengenai hutan ketimbang bagaimana sungguh-sungguh memecahkan masalah yang ada di Kawasan Ekosistem Leuser saat ini. Begitu juga yang ada di hutan raya Seulawah.

Di sana terdapat fakta orang-orang yang bekerja dan hidup dari hasil hutan, tetapi kita tidak boleh sewenang-wenang memaksa mereka keluar dari sana. Sebab ada bentuk-bentuk kehidupan yang dapat menyangga lingkungan dalam jangka panjang bagi mereka yang sudah lama tinggal di hutan. Negara seharusnya bisa membantu mereka agar dapat mengelola material-material berharga secara rasional dan ramah  – sambil menghentikan arus jutaan orang lainnya yang mengalir menuju sungai-sungai “emas” di sana dengan cara memberi mereka pekerjaan lain.

Negara tidak perlu lagi mengulang “tragedi” demi sebuah undang-undang untuk membunuh mereka yang belum tentu bersalah. Namun tidak ada program ekonomi yang berkelanjutan tanpa tindakan-tindakan nyata untuk menghapus perusakan ekosistem.

Di sini, negara harus melakukan strategi peningkatan-peningkatan di dalam standar hidup mayoritas rakyat, yang dapat membantu mereka berpartisipasi lebih efektif di dalam pemulihan basis sumber daya alam di sekitarnya.

Dan saya rasa, Dewan Perwakilan Rakyat yang datang dari partai politik yang brengsek itu harus dipaksa untuk menyerahkan proposal pembangunan alternatif kepada rakyat, proses-proses dialog yang mewakili suatu langkah kritis dalam menentukan kebijakan pembangunan yang adil dan berkelanjutan bagi seluruh rakyat.

Bila negara memaksakan keinginannya sendiri, itu sebenarnya gejala bahwa kedaulatan rakyat sedang disingkirkan.

|Afrizal Akmal, 2014|

read more
Energi

Industri Batubara Memperburuk Kemiskinan

Lembaga pemerhati lingkungan Greenpeace menilai industri ekstraktif batubara tidak hanya mengakibatkan kerusakan, tapi juga telah melukai ekonomi nasional, memperburuk kemiskinan, dan mengancam penghidupan masyarakat yang tinggal di sekitar operasi pertambangan batubara.

Menurut Arif Fiyanto, Jurukampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, industri ekstraktif seperti pertambangan batubara mengguncang perekonomian Indonesia dan menyebabkan fluktuasi besar dalam neraca pembayaran dan nilai tukar.

Dampak dari fluktuasi ini juga menghambat pembangunan jangka panjang industri dengan nilai tambah yang lebih tinggi karena mengalihkan dan menghalau investasi modal awal.

“Pengembangan batubara tidak membantu masyarakat miskin pedesaan, karena pertambangan batubara justru membawa dampak yang sangat negatif pada pertanian, perikanan dan sektor lain dimana jauh lebih banyak orang bergantung untuk penghidupannya,” kata Arif dalam siaran pers yang berkaitan dengan laporan terbarunya berjudul Batubara Melukai Perekonomian Indonesia.

Selain itu, terdapat kelemahan sistemik di pasar batubara global, sehingga tidak bijaksana bila Indonesia terus berinvestasi dalam meningkatkan kapasitas ekspor batubara. Permintaan impor batubara Cina cenderung melemah, dengan berbagai faktor yang mendorong turunnya permintaan. Salah satu faktornya adalah bahwa selama dua tahun terakhir,  tingkat polusi di Cina telah mencapai mencapai rekor dengan tingkat PM 2,5 (polusi partikulat kecil berukuran diameter 2,5 mikrometer) pada Januari 2013. Ini adalah lebih dari 30 kali tingkat yang aman menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yaitu 25 mikrogram per meter kubik.

Selain itu, kebijakan baru di 26 provinsi di China untuk memangkas produksi dan konsumsi batubara akan mengurangi permintaan batubara China secara signifikan.

“Pemerintah harus segera menghentikan pembangunan ekonomi yang berbasis pada energi kotor batubara, seperti dampaknya yang merusak lingkungan dan mengganggu kesehatan warga. Apabila Indonesia masih terus melanjutkan pembangunan ekonomi yang bertopang pada batubara, maka dalam jangka panjang batubara dapat melukai perekonomian Indonesia, dan menjauhkan negara ini dari jalur pembangunan ekonomi rendah karbon,”pungkas Arif.

Sumber: okezone.com

read more
Energi

Warga Meulaboh Blokir Jalan ke Lokasi Tambang

Puluhan warga di kawasan Sumber Batu, Kecamatan Meureubo, Kabupaten Aceh Barat, Selasa (11/3/2014) siang melakukan aksi pemblokiran jalan menuju ke lokasi tambang batu bara PT Mifa Bersaudara yang berada di wilayah pedalaman di kabupaten itu. Akibatnya, aktivitas penambangan batubara untuk bahan bakar pembangkit listrik PLTU Nagan Raya ikut terganggu.

Tak hanya itu, warga juga memblokir jalan ke kawasan perkebunan karet yang selama ini dijadikan lokasi tambang oleh pihak perusahaan. Sehingga pekerja yang biasanya melakukan rutinitas tak bisa melakukan penambangan.

“Kami terpaksa melakukan aksi pemblokiran menuju ke lokasi tambang batu bara ini, karena janji ganti rugi lahan seluas 600 hektare hingga kini belum tuntas,” kata M Supardi Santoso selaku koordinator aksi kepada media, kemarin siang.

Dikatakannya, warga akan bersedia membuka pemblokiran jalan apabila tuntutan sudah dipenuhi oleh pihak perusahaan. “Jika tuntutan ini tak dipenuhi dalam waktu sepekan ini, kami akan menggelar aksi dengan jumlah massa yang lebih besar,” ancam Supardi.

Selain menggelar aksi di jalan ke lokasi tambang, masyarakat pemilik lahan di Sumber Batu, Kecamatan Meureubo, Aceh Barat juga menggelar aksi di kawasan perkebunan karet. Di lokasi ini, warga membentangkan spanduk dengan harapan persoalan ini segera ditanggapi pihak perusahaan.

Secara  terpisah Humas PT Mifa Bersaudara, Gunawan yang dikonfirmasi Serambi, kemarin sore melalui telepon selular mengaku tuntutan warga Sumber Batu, Kecamatan Meureubo, Kabupaten Aceh Barat terkait tuntutan ganti rugi lahan itu keliru. Menurutnya, tanah yang dituntut ganti rugi oleh warga tersebut merupakan lahan eks transmigrasi. “Kalau memang benar lahan ini milik warga silahkan tunjukkan buktinya,” kata Gunawan.

Ia mengakui, pihak perusahaan telah melunasi tuntutan ganti rugi lahan kepada masyarakat pemilik tanah yang sah dan memiliki sertifikat tanah, dan dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Negara (BPN). Sehingga tanah yang kini dijadikan sebagai lokasi tambang batu bara tersebut dinilai tak ada masalah.

Gunawan juga menegaskan, pihaknya bersedia menyelesaikan perkara ini dengan jalur musyawarah. Namun jika ada warga yang tetap ngotot dengan persoalan lahan tersebut dipersilahkan menempuh jalur hukum, karena tanah yang sudah dibayarkan pihak perusahaan ini telah dituntaskan dan bisa dibuktikan keabsahannya dengan sertifikat tanah yang dibeli dari setiap pemilik lahan di wilayah tambang.[]

Sumber: serambinews.com

read more
Tajuk Lingkungan

Setan Merkuri

Di jalanan, saya membenci pagi. Sebab di jalan – pagi begitu bising, begitu berisik, saling mendahului dan saling maki-memaki, klakson-mengklakson. Lebih berisik dari isi twitter dan lebih cerewet dari facebook. Tapi bagaimanakah mengalihkan perhatian ke pagi yang sepi 17 Mei 2013, di dalam sebuah mobil saat seorang ibu
bersalin dengan keceriaan yang seketika mati. Aulida Putri mungil lahir dengan benjolan besar di dahi,  jari-jari tangan yang terputus dan jari kaki yang juga tidak sempurna.

Hanya dengan membungkam berisik,  kita bisa merasakan apa yang mereka rasakan. Barangkali kita perlu menyimak apa arti pagi bagi Aulida Putri. Bayi dari pasangan Warga Keude  Panga, Aceh Jaya itu.
Dari mana datangnya cacat?

Nidar, ibu kandung Aulida: ketika  hamil – melahap kerang yang dibawa pulang suaminya setiap pulang kerja, dan kerang itu ternyata beracun. Ya., kerang itu tercemar merkuri penambang emas Gunong Ujeuen Kecamatan Krueng Sabee.

Lalu datang petaka itu. Merkuri berada di belakang kisah hidup Aulida yang baru saja ia mulai. Tapi saya yakin, Aulida bukan sendirian, sebab merkuri adalah zat racun yang pelan-pelan tapi pasti bisa membunuh siapa saja.
Anehnya, gelombang kesadaran massa akan bahaya merkuri belum tersentuh. Para pendulang masih menggerakkan mesinnya, mengguyur merkuri ke tanah dan sungai-sungai. Dari mana datangnya rasa bengal akan kejahilan? Dari dalam dirinya yang ingin segera kaya raya? Bukankah para pendulang itu juga manusia? Bukankah mereka punya bayi?

Di sini saya kira, Tuan-tuan harus turun tangan. Sebab situasi sudah tidak biasa. Manusia sedang mengulang kejahanamannya. Melakonkan rutinitas tanpa melihat tangisan generasi masa depan.

Dan ini bukan perang biasa, tapi sebuah latar kengerian yang sangat merisaukan.

Pedulikah Tuan? Tidak cukup dengan kata-kata normatif, sebab korban sudah mulai berjatuhan, dan pasti akan susul-menyusul. Bertindaklah Tuan.

Sumber: hutan-tersisa

read more
Kebijakan Lingkungan

Pascasebaran Merkuri di Aceh Jaya, Korban Mulai Berjatuhan

Sepanjang 2013 lalu angka kematian bayi di Aceh Jaya yang sebagian sungai dan sumur warganya tercemar merkuri, mencapai 33 orang. Dari jumlah itu, beberapa meninggal dengan kelainan bawaan sejak lahir. Misalnya, ada bayi yang mengalami kelainan jantung bawaan (cardioseptal defect), lahir prematur, atau terlahir sumbing mulai dari bibir sampai ke langit-langitnya (kelainan kongenital).

Begitupun, belum dapat dipastikan apakah kelainan bawaan pada bayi yang baru lahir itu disebabkan ibu dan ayahnya merupakan orang yang selama ini terpapar merkuri (air raksa) yang banyak digunakan penambang emas ilegal di Aceh Jaya untuk memisahkan butiran emas dari batu dan gumpalan tanah.

“Memang belakangan ini mulai banyak ditemukan di Aceh Jaya bayi yang lahir tidak normal atau dengan kelainan bawaan dan akhirnya meninggal. Tapi untuk mengklaim bahwa itu ada kaitannya dengan sebaran limbah merkuri di sejumlah tempat di Aceh Jaya, saya tak berani. Tentulah diperlukan penelitian yang mendalam,” kata Kepala Dinas (Dinkes) Aceh Jaya, Cut Kasmawati MM melalui Sekretaris Dinas, Ernani Wijaya SKep yang dikonfirmasi Serambi, Selasa (18/2/2014) malam.

Menurut Ernani, dengan sudah terungkapnya data lapangan tentang peredaran dan persebaran merkuri di Aceh Jaya itu, maka sebaiknya ke depan penyebab bayi lahir dengan kelainan bawaan dan kemudian meninggal, haruslah segera ditelusuri dengan saksama.

Ia mengaku khawatir dengan maraknya penggunaan air raksa yang didorong oleh maraknya penambangan emas di Gunong Ujeun, Kecamatan Krueng Sabee, Aceh Jaya. Karena, selain pekerja yang melakukan kontak langsung dengan bahan berbahaya itu, masyarakat yang mengonsumsi ikan/udang/kerang (lokan) dari laut dan sungai juga ikut teracuni. Bahkan anak-anak, bayi, hingga janin yang masih dalam kandungan pun berpotensi terkena bahaya merkuri.

Erna menilai, warganya tidak begitu peduli dengan bahaya merkuri karena dampaknya pada tubuh manusia tidak langsung terjadi dalam waktu singkat. Padahal, efek dari merkuri itu bisa menyebabkan kerusakan sistem saraf pusat, kerusakan otak, kerusakan sistem pencernaan, hingga berujung pada kematian.

Ia rincikan, sepuluh dari 33 bayi yang meninggal itu, disebabkan kondisi tidak normal saat masih dalam kandungan, sehingga bayi lahir prematur. Ke-13 bayi yang meninggal saat lahir itu, merupakan warga Kecamatan Panga, Teunom, Krueng Sabee, dan Sampoiniet. Kawasan ini merupakan kawasan yang banyak terdapat mesin pengolahan bijih emas menggunakan air raksa.

Sementara itu, mantan direktur eksekutif Walhi Aceh, Ir TM Zulfikar mendesak Pemerintah Aceh segera bertindak untuk membatasi peredaran cairan merkuri di Aceh. “Kami mempertanyakan mengapa air raksa ini bisa dengan gampang sekali diperoleh masyarakat. Padahal, untuk memperoleh merkuri, harus ada izin dengan prosedur yang ketat. Terkesan, peredaran merkuri di Aceh sama seperti peredaran narkoba. Cuma, pengedar narkoba sering tertangkap, sedangkan pengedar merkuri tidak pernah,” ujarnya. []

Sumber: serambinews.com

read more
Ragam

Bayi-Bayi Cacat ini Korban Merkuri?

Sejak pagi, Nidar (31), warga Keude Panga Kecamatan Panga, Aceh Jaya yang merupakan istri seorang penambang emas di Gunong Ujeun, Yusri (35) sudah merasakan tanda-tanda akan melahirkan. Rasa mules pun semakin terasa sehingga ia segera dibawa oleh keluarganya menuju RSU Cut Nyak Dhien di Meulaboh, Jumat tahun lalu (17 Mei 2013). Di tengah perjalanan, Nidar tak mampu lagi bertahan. Ia pun terpaksa bersalin di mobil saat masih dalam perjalanan ke rumah sakit. Anak keduanya ini kemudian diberi nama Aulida Putri.

Belum hilang rasa sakit akibat persalinan tanpa bantuan petugas medis, ia malah harus merasakan sedih begitu melihat kondisi fisik anaknya yang cacat fisik. Di dahi bayi itu terdapat sebuah benjolan cukup besar di antara dua matanya. Jari telunjuk dan jari tengah pada tangan kiri bayi itu juga puntung, seperti juga jari manis di kaki kirinya. Sementara, dua jari kaki lainnya juga tumbuh tidak sempurna.

Saat tiba di RSU Cut Nyak Dhien, Nidar dan bayinya langsung diberikan pertolongan pertama dan hari itu juga dirujuk ke RSU Zainoel Abidin di Banda Aceh. “Melihat kondisi anak saya, dokter di RS Cut Nyak Dhien menanyakan apa yang sering saya makan selama hamil. Saya katakan, suka makan kerang. Dokter itu pun menuding bahwa kerang yang saya makan tercemar merkuri,” cerita Nidar, Kamis (13/2/2014).

Kepada media lokal yang menanyakan lebih lanjut asal kerang (lokan) yang ia makan, Nidar menjawab, bahwa saat ia hamil, suaminya bekerja sebagai penambang emas di Gunong Ujeun Kecamatan Krueng Sabee. Setiap pulang bekerja, suaminya kerap membeli kerang yang dijual di Pasar Krueng Sabee.

Pasar dimaksud berlokasi tak jauh dari Kuala Kabong, muara sungai Krueng Sabee yang airnya berasal dari mata air Gunong Ujeun, tempat ratusan penambang tradisional mengambil batu mengandung emas. Aliran sungai itu melewati desa Panggong, Curek, Paya Seumantok, hingga Desa Kabong. Di desa-desa itu banyak terdapat tempat pengolahan emas menggunakan air raksa, karena penambang hanya mengambil batu emas untuk kemudian dibawa turun ke desa-desa sekitar, untuk dipisah unsur emasnya dari batu atau tanah.

Alat-alat pengolahan emas di sepanjang sungai tersebut tidak memiliki tempat pembuangan limbah yang baik. Sebagian hanya menggunakan kolam limbah dengan dinding tanah, sebagian lagi malah membuang  ke saluran pengairan untuk sawah, bahkan ada yang langsung membuangnya ke sungai.

Sebenarnya bukan penambang emas yang melakukan pencemaran merkuri–meskipun mereka tetap saja merusak lingkungan dengan melubangi lereng-lereng gunung hingga bisa menyebabkan longsor. Namun, aktivitas pengolahan emas dengan alat berat (warga setempat menyebutnya gelondong) yang menggunakan air raksa sebagai bahan pemisah emas lah yang berperan besar dalam pencemaran merkuri, karena pembuangan limbah yang tidak ramah lingkungan. Tanpa mereka sadari, perilaku ini telah menimbulkan masalah kesehatan yang serius, bahkan menyebabkan kematian.

Kisah tragis juga dialami seorang bayi di Desa Blang Baro pada tahun 2008 lalu yang ususnya terburai akibat tidak memiliki kulit perut. (Nama bayi dan keluarganya sengaja tak disebut atas pertimbangan kemanusiaan -red). Saat bayi ini masih dalam kandungan, banyak tetangganya yang bekerja sebagai pengolah batu emas yang dibawa dari Gunong Ujeun, termasuk kakek dari bayi malang itu. Lokasi mesin gelondong untuk memisahkan emas dari batu dan tanah gunung itu pun berada di sekitar rumahnya.

Saat itu, eksploitasi emas dari Gunong Ujeun sedang pada puncaknya. Tak heran, puluhan kilogram air raksa digunakan secara massal di sekitar tempat tinggalnya yang masuk dalam wilayah Kecamatan Panga. Hasil penelitian pada air sumur warga yang dilakukan Dinkes Aceh Jaya di kecamatan tersebut, menyebutkan tingkat pencemaran merkuri mencapai 83 persen, karen dari 12 sampel air yang diteliti, 10 sampel dinyatakan tercemar merkuri.

Ditambah lagi, perilaku pekerja yang jarang menggunakan sarung tangan dan penggunaan merkuri di tempat terbuka, menambah tingkat kerawanan paparan logam berat itu.

Bidan desa bernama Rosalina yang membantu proses persalinan di rumah pasien itu, tak mampu berbuat banyak untuk menyelamatkan bayi terebut. Apalagi untuk membawanya ke rumah sakit terdekat yang berjarak belasan kilometer dari rumah pasien.

“Bayi itu meninggal sesaat setelah lahir. Hampir semua bidan dan petugas Puskesmas di sini tahu kejadian itu yang kami yakini sebagai dampak dari pencemaran merkuri,” ujar Kepala Puskesmas Panga yang akrab dipanggil Mami, kepada Serambi, Kamis lalu. []

Sumber: serambinews.com

read more
1 2 3 4
Page 2 of 4