close

tamiang

Kebijakan Lingkungan

Mengapa Hakim PTUN Tolak Gugatan Izin Kawasan Karst Tamiang?

Pada tanggal 15 Agustus 2018 lalu bertempat di PTUN Banda Aceh Majelis Hakim yang diketuai Hujja Tulhaq, SH,MH dengan hakim anggota Miftah Sa’ad Caniago, SH,MH dan Rahmad Tobrani, SH, telah membacakan putusan terhadap gugatan pemberian izin kawasan Karst Aceh Tamiang. Hakim menolak gugatan yang diajukan oleh pengacara Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA). Hakim menyatakan bahwa Pemkab Aceh Tamiang berhak mengeluarkan izin tersebut. Mengapa hakim memutuskan demikian?

Pengacara HAkA, Nurul Ikhsan, SH, dalam sebuah kesempatan menjelaskan alasan-alasan hakim menolak gugatan aktivis lingkungan. Segala alasan yang telah dikemukakan oleh pengacara HAkA dalam persidangan, termasuk sidang lapangan yang meninjau langsung lokasi sengketa, tidak menjadi pertimbangan hakim. Hakim lebih mempertimbangkan segi prosedural yang dilakukan oleh tergugat. Padahal lokasi izin tambang tersebut, kasat mata dan sangat jelas posisinya dalam kawasan Karst Aceh Tamiang.

Fakta-fakta yang dimunculkan dalam persidangan oleh sejumlah saksi ahli menunjukan bahwa izin lahan yang digugat adalah kawasan Karst. Qanun Kabupaten Aceh Tamiang Nomor 14 Tahun 2013 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2012-2032  juga disebutkan daerah Karst merupakan kawasan lindung geologis.

Dalam RTRW Kabupaten Aceh Tamiang, lanjut Nurul Ikhsan, Pemerintah Kabupaten Aceh Tamiang secara jelas dan tegas menetapkan bahwa Kecamatan Tamiang Hulu adalah Kawasan Cagar Alam Geologi sebagai bagian dari Kawasan Lindung Geologi berupa Kawasan Karst Kabupaten Aceh Tamiang. Pemerintah menetapkan secara hukum Kawasan tersebut, sebagai kawasan Rawan Bencana. Karena itu, jelas Kawasan Tamiang Hulu tidak diperuntukkan sebagai kawasan industri besar apalagi tambang.

“Seharusnya pemerintah yang baik melindungi Karst ini, bukan malah memberikan izin,”ujar Nurul.

Keputusan Bupati Aceh Tamiang Nomor : 05 Tahun 2017 Tentang Perubahan Izin Lingkungan Rencana Kegiatan Industri Semen Kapasitas Produksi 10.000 ton/hari Klinker di Kampung Kaloy Kecamatan Tamiang Hulu Kabupaten Aceh Tamiang Provinsi Aceh oleh PT. Tripa Semen Aceh.

Memang dalam izin tersebut telah dikeluarkan sejumlah area goa Karst dari wilayah pertambangan. Namun hal ini tidak bisa dibenarkan menjadi pertimbangan keluarnya izin, karena daerah Karst itu merupakan sebuah daerah satu kesatuan yang saling terkait satu sama lain.

Sementara hakim memutuskan berdasarkan pertimbangan utamanya yaitu belum adanya penetapan dari Menteri bahwa daerah tersebut merupakan kawasan Karst. Selain itu hakim juga menyatakan bahwa Pemkab Aceh Tamiang berhak mengeluarkan izin tersebut. Hakim terlalu bersandarkan pada teknis prosedur dalam pemberian izin, tidak melihat substansi ancaman yang akan terjadi pada daerah akibat izin pertambangan yang dikeluarkan tersebut. Keputusan hakim ini menjadi sebuah kerugian yang besar masyarakat dan alam Tamiang.

Majelis hakim dalam putusannya, tidak mempertimbangkan aspirasi masyarakat, sebab sejak awal diterbitkan izin lingkungan PT.TSA, aktivis Yayasan HAkA, aktivis lingkungan, dan masyarakat telah menyampaikan penolakan atas Izin PT.TSA karena rencana kegiatan industri semen dengan kapasitas produksi 10.000 metrik ton per-hari berpotensi merusak kawasan bentang alam karst.

Pengacara HakA tanpa ragu akan mengajukan banding terhadap putusan ini. Sidang ini sendiri telah berlangsung selama lebih kurang 6 bulan, menjalani 12 kali persidangan termasuk sekali sidang lapangan. Namun dari beberapa sumber, ada yang menyatakan hakim tidak sampai ke lokasi yang persisnya menjadi kawasan Karst. Padahal jika hakim mencapainya, Ia akan melihat ada banyak goa Karst, sekitar 600 goa dengan diameter berkisar antara 14-40 meter membentang di kawasan tersebut.[]

 

 

read more
EnergiKebijakan Lingkungan

Hakim PTUN Tolak Gugatan Aktivis Lingkungan terhadap Izin Pabrik Semen

Tanggal 8 Februari 2018 Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA) memasukan gugatan kepada Bupati Aceh Tamiang terkait dengan Keputusan Bupati Aceh Tamiang Nomor : 05 Tahun 2017 Tentang Perubahan Izin Lingkungan Rencana Kegiatan Industri Semen Kapasitas Produksi 10.000 ton/hari Klinker di Kampung Kaloy Kecamatan Tamiang Hulu Kabupaten Aceh Tamiang Provinsi Aceh oleh PT. Tripa Semen Aceh.

Menurut HAkA Keputusan Bupati tersebut tidak sesuai dengan RTRW Kabupaten Aceh Tamiang dan berpotensi merusak Kawasan Lindung Geologis/Kawasan Karst.

Hari ini, Rabu (15/8/2018) bertempat di PTUN Banda Aceh Majelis Hakim yang diketuai Hujja Tulhaq, SH,MH dengan hakim anggota Miftah Sa’ad Caniago, SH,MH dan Rahmad Tobrani, SH, akan membacakan putusannya.

Sementaraa HAkA sendiri diwakili oleh pengacaranya yaitu Nurul Ikhsan, SH, Harli SH, Jehalim Bangun, SH, Askhalani, S.Hi dan Wahyu Pratama, SH.

Dalam putusannya, Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negeri Banda Aceh menolak gugatan yang diajukan oleh HAkA terkait diterbitkannya izin lingkungan tentang rencana kegiatan industri semen PT Tripa Semen Aceh (PT.TSA), Kampung Kaloy, Kabupaten Aceh Tamiang. Hakim beralasan Pemkab Aceh Tamiang berhak mengeluarkan izin tersebut.

Putusan Majelis Hakim yang menolak gugatan ini, menurut Koordinator Tim Pengacara Yayasan HAkA, Nurul Ikhsan, SH, tidak sesuai dengan dalil-dalil yang disampaikan HAkA dalam gugatannya atas beberapa pertimbangan pokok.

”Dalam surat gugatan kami mendalilkan bahwa Keputusan Bupati Nomor 05 Tahun 2017 Tentang Perubahan Izin Lingkungan Rencana Kegiatan Industri Semen PT.TSA Klinker bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik, “ tegas Nurul Ihksan.

Peraturan yang bertentangan, kata Nurul Ihksan, misalnya, Qanun Kabupaten Aceh Tamiang Nomor 14 Tahun 2013 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2012-2032. HAkA akan mengajukan banding atas putusan tersebut.

Dalam RTRW Kabupaten Aceh Tamiang, lanjut Nurul Ikhsan, Pemerintah Kabupaten Aceh Tamiang secara jelas dan tegas menetapkan bahwa Kecamatan Tamiang Hulu adalah Kawasan Cagar Alam Geologi sebagai bagian dari Kawasan Lindung Geologi berupa Kawasan Karst Kabupaten Aceh Tamiang.

Pemerintah menetapkan secara hukum Kawasan tersebut, sebagai kawasan Rawan Bencana. Karena itu, jelas Kawasan Tamiang Hulu tidak diperuntukan sebagai kawasan industri besar apalagi tambang.

Sebagai tambahan, majelis hakim dalam putusannya, juga tidak mempertimbangkan aspirasi masyarakat, sebab sejak awal diterbitkan izin lingkungan PT.TSA, aktivis Yayasan HAkA, aktivis lingkungan, dan masyarakat telah menyampaikan penolakan atas Izin PT.TSA karena rencana kegiatan industri semen dengan kapasitas produksi 10.000 metrik ton per-hari berpotensi merusak kawasan bentang alam karst, yang menurut Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Aceh Tamiang sudah ditetapkan sebagai kawasan lindung geologis;

Dengan ditolaknya gugatan tersebut, menurut Ihksan, tidaklah merupakan kekalahan aktivis HAkA semata akan tetapi merupakan kekalahan masyarakat umum di dalam penyelamatan/pelestarian lingkungan hidup sebab kawasan bentang alam karst itu memiliki fungsi vital sebagai benteng alami untuk mencegah terjadinya bencana alam.

Staf HAkA, Badrul Irfan menambahkan, Kawasan Bentang Alam Karst Kaloy ,memiliki keindahan alam yang sangat mempesona dengan keberadaan beberapa dan sungai bawa tanah sehingga sangat cocok dikembangkan sebagai tempat pariwisata, penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, sehingga pantas dikonservasi. Bukannya malah dihancurkan menjadi kawasan pertambangan yang bisa merusak alam dan mengancam habitat satwa liar.

 

 

read more
Flora FaunaHutan

Kebun Sawit Ilegal dalam KEL akan Dihancurkan

Lebih dari 1.000 hektar perkebunan kelapa sawit ilegal di provinsi Aceh akan ditebang dan kawasan itu dikembalikan sebagai hutan lindung, kata seorang aktivis.

Pekerjaan menebang pohon sawit pada perkebunan kelapa sawit ilegal di Kawasan Ekosistem Leuser, kabupaten Tamiang, akan dimulai pada hari Senin, kata Koordinator Forum Konservasi Leuser (FKL), Tezar Pahlevi. Dinas Kehutanan Aceh Tamiang sudah memberitahukan hal ini kepada pemilik perkebunan ilegal minggu lalu.

“Apakah mereka suka atau tidak, mereka harus menyerahkan tanah karena mereka secara ilegal mengkonversi hutan lindung dan mereka tidak memiliki izin,” kata Tezar sebagaimana dikutip dari Jakarta Globe beberapa waktu lalu.

Sekitar 1.071 hektar dari kawasan konservasi seluas 2,6 juta hektar telah dikonversi menjadi perkebunan, kata Tezar, dan pemulihan sangat penting untuk melindungi seluruh kawasan hutan.

“Tentu saja akan memakan waktu, tetapi sejauh ini Aceh Tamiang dan pemerintah provinsi Aceh berkomitmen untuk itu,” katanya.

Ekosistem Leuser membentang di 13 kabupaten di Aceh dan tiga kabupaten di Sumatera Utara. Daerah ini berisi sejumlah flora dan fauna serta hewan langka seperti harimau, orangutan, badak dan gajah.

Tezar mengatakan setidaknya 3.000 hektar hutan lindung di Aceh perlu direhabilitasi karena konversi ilegal ke perkebunan kelapa sawit.

Indonesia memiliki tingkat deforestasi tertinggi di dunia – hampir dua kali lipat dari Brasil, menurut sebuah penelitian baru-baru ini – dengan luasan hutan primer dan sekunder yang luas yang dibuka untuk sektor perkebunan, terutama perkebunan kelapa sawit.[]

Sumber: thejakartaglobe.com 

 

read more
HutanKebijakan Lingkungan

Aktivis Sambut Baik Instruksi Bupati Tamiang

Bupati Aceh Tamiang mengeluarkan Instruksi Bupati (Inbup) Aceh Tamiang No.3725 tahun 2018 tentang Pembinaan, Pengendalian, dan Pengawasan Pelaksanaan Izin Usaha Perkebunan Kelapa Sawit di Kabupaten Aceh Tamiang. Instruksi ini dikeluarkan pada tanggal 25 Mei 2018 dan ditujukan kepada Kadis Pertanian, Perkebunan, dan Peternakan, Kadis PUPR, Kadis Lingkungan Hidup, Kadis Pertanahan dan Kadis Penanaman Modal, Pelayanan Terpadu Satu Pintu dalam lingkungan Pemkab Aceh Tamiang.

Instruksi ini berisikan sejumlah hal yang menyangkut diantaranya pembinaan, pengendalian, dan pengawasan Pelaksanaan Izin Usaha Perkebunan Kelapa Sawit di Aceh Tamiang secara terkoordinasi, efektif, dan terukur sesuai dengan kewenangan, tugas dan fungsi masing-masing. Beberapa poin yang menonjol dalam instruksi ini adalah untuk tidak menerbitkan rekomendasi, tidak memproses permohonan baru, dan penerbitan izin baru kecuali bagi perusahaan kebun sawit yang telah menanam lebih dari tiga tahun.

Kepada Greenjournalist, beberapa hari lalu, aktvis lingkungan, T. Muhammad Zulfikar secara prinsip menyambut baik Inbup tersebut. Ia mengatakan persoalan penggunaan lahan untuk HGU Perizinan Kelapa Sawit sangat mengkhawatirkan. Sehingga memang perlu segera dilakukan evaluasi, monitoring dan pembinaan secara terarah dan terukur.

“Pemkab Aceh Tamiang sebaiknya segera membentuk Tim Independen yang memantau pelaksanaan Inbup. (Hasil) Pemantauan perlu disampaikan kepada publik minimal 2 atau 3 bulan sekali, sehingga semua pihak mengetahui akankah Inbup cukup efektif dijalankan oleh SKPD atau tidak. Jika tidak dijalankan Bupati harus menegurnya,”ujarnya.

Persoalan perkebunan sawit di Aceh Tamiang merupakan problem yang harus segera diatasi karena banyak perkebunan yang merambah hutan dalam Kawasan Ekosistem Leuser. Hasil penelitian yang dilakukan oleh lembaga P3KA menunjukan aktivitas ilegal di hutan KEL terbanyak terjadi di Aceh Tamiang dengan 557 temuan. Kegiatan-kegiatan ilegal antara lain, illegal logging, perambahan, akses jalan, dan perburuan. Illegal logging terbanyak ditemukan di Aceh Tamiang dengan 279 kasus dan volume 1.782,8 meter kubik. Untuk perambahan ilegal terbanyak ditemukan di Aceh Tamiang dengan 217 kasus serta luasnya mencapai 1.556,8 hektare.

“Kita berharap dengan adanya Inbup ini proses tata kelola perkebunan sawit di Aceh Tamiang dalam 2 tahun ke depan dapat diperbaiki, namun jika tidak mampu dijalankan dalam 2 tahun maka nantinya bisa diperpanjang kembali,”kata T. Muhammad Zulfikar.

read more
HutanKebijakan Lingkungan

Hutan KEL Aceh Timur dan Tamiang, Menuju Kehancuran?

Banda Aceh – Hutan-hutan yang berada di Kabupaten Aceh Timur dan Aceh Tamiang serta dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) menghadapi ancaman kehancuran. Berbagai faktor yang menyebabkan kerusakan hutan tersebut, mulai dari alih lahan fungsi lahan, ilegal logging, pembukaan pemukian, perambahan hutan, penangkapan hewan liar dan berbagai gangguan lain. Sementara itu fungsi-fungsi yang menjaga kelestarian hutan masih sangat lemah sehingga tidak berjalan semestinya.

Kurniawan S | Foto: P3KA

Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebijakan Aceh (P3KA) menyampaikan hal tersebut diatas dalam kegiatan diseminasi hasil penelitian mereka yang bertajuk “Optimalisasi Pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser di Aceh Timur dan Aceh Tamiang”, Rabu (9/5/2018) di Banda Aceh. Sejumlah peneliti dari P3KA hadir dalam kegiatan tersebut antara lain Kurniawan S, T. Muhammad Zulfikar, Muhammad Nizar, Bahagia, Fadila dan Munzami HS. Penelitian ini berlangsung semenjak pertengahan tahun 2017 yang dilaksanakan di dua kabupaten tersebut.

Adapun lokasi yang menjadi fokus penelitian ini adalah desa-desa yang bersisian dengan hutan KEL. Hal ini dilakukan mengingat masyarakat desa tersebut telah berinteraksi dengan KE selama jangka waktu yang lama. Selain itu banyak kasus yang menyangkut perusakan hutan terjadi di desa-desa tersebut.

Ketua P3KA yang juga peneliti, Kurniawan, menyampaikan pemaparannya tentang kondisi sosial budaya masyarakat di daerah yang berdekatan dengan KEL. Selain itu Kurniawan menyampaikan analisis berdasarkan aspek legal sosial yang menjadi landasan kebijakan kehutanan.

T. Muhammad Zulfikar | Foto: P3KA

Bertindak selaku moderator adalah T. Muhammad Zulfikar, yang dalam pengantarnya menyampaikan bahwa semua kecamatan yang berada diperbatasan KEL mengalami kegiatan perambahan hutan yang parah. Hal ini terjadi karena hutan telah menjadi sumber mata pencarian bagi penduduk sekitar. Masyarakat sekitar hutan yang umumnya masyarakat miskin tidak mempunya lahan produktif yang dapat mereka jadikan tempat mencari nafkah.

Hal lain yang menonjol hasil dari penelitian ini adalah posisi garis batas KEL yang banyak tidak diketahui baik oleh masyarakat maupun aparat pemerintahan. Hal ini menyebabkan masyarakat masuk jauh ke dalam hutan dan tanpa sadar telah memasuki kawasan terlarang untuk kegiatan manusia. Aparat pemerintah juga kesulitan menjelaskan kepada masyarakat sejauh mana tapal batas KEL. Sosialisasi tapal batas KEL perlu mendapat perhatian khusus.

KEL memiliki luas sebesara 2.255.577 Ha yang mencakup 40% total luas Propinsi Aceh serta melintasi 13 kabupaten/ kota yang di Aceh. Menurut organisasi HAKA, kerusakan hutan dalam KEL pada tahun 2016 sebesar 4.097 Ha.

Menjadi tugas utama pemerintah dan dibantu oleh masyarakat untuk membenahi KEL yang ancaman kerusakannya sudah di depan mata. Membenahi lewat kebijakan yang pro lingkungan dan penganggaran yang memadai untuk pemantauan hutan Aceh.

 

 

 

 

 

 

read more
Hutan

Pemerintah Aceh dan LSM Musnahkan Pohon Sawit Haram

Pemerintah Kabupaten Aceh Tamiang bekerjasama dengan Dinas Kehutanan Provinsi Aceh, KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan) dan didukung oleh Forum Konservasi Leuser (FKL) melakukan restorasi kawasan hutan lindung yang telah berubah fungsi menjadi perkebunan sawit untuk memulihkan fungsi hutan lindung seperti sebelumnya. Upaya restorasi hutan lindung dalam Kawasan Ekosistem Leuser ini dimulai pada hari Senin (29/9/2014). Sebelumnya dilaksanakan sosialisasi kepada pemilik kebun dilakukan.

Restorasi ini dihadiri oleh Sekda Aceh Tamiang, Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Aceh, Kepala UPTD Kesatuan Pengelolan Hutan Wilayah III, Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Aceh Tamiang, Kapolsek Kejuruan Muda, Danramil Kejuruan Muda, tokoh masyarakat, aktivis lingkungan hidup serta para pemilik kebun.

Lahan kebun sawit ilegal yang masuk dalam hutan lindung di Kecamatan Tenggulon seluas 1071,46 dikuasai oleh 7 orang pengusaha perkebunan.

Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Aceh, Husaini Syamaun, mengatakan berbahagia sekali dengan kegiatan restorasi kawasan lindung ini. Ia sangat mendukung usaha pemerintah kabupaten Aceh Tamiang untuk menyelamatkan kawasan hutan lindung agar fungsi hidrologinya tetap terjaga sebagai bentuk pencegahan terjadinya bencana alam seperti banjir bandang dan tanah longsor.

Sementara Sekretaris Daerah Aceh Tamiang, Ir. Razuardi menuturkan, pihaknya sangat mendukung pengembalian fungsi hutan lindung seperti sediakala. Pengembalian fungsi hutan lindung ini diharapkan dapat mencegah bencana ekologi di Aceh Tamiang, ujarnya.

Ketua FKL Dedyansyah mengatakan  keseluruhan lahan yang dikuasai oleh pengusaha perkebunan tersebut masuk dalam kawasan hutan lindung bagian dari Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) yang telah di serahkan ke Pemerintah Aceh. Kegiatan restorasi ini merupakan program pemerintah untuk mengembalikan fungsi hutan lindung sebagaimana mestinya, ucapnya.

Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Aceh Tamiang, Alfuadi, dalam laporannya mengatakan, ini merupakan langkah awal yang diambil pemerintah kabupaten Aceh Tamiang dengan melakukan penebangan kelapa sawit di sepanjang batas kawasan hutan lindung sejauh 10 km. Di batas kawasan hutan lindung ini juga akan dipasang plang informasi mengenai batas kawasan hutan, tutupnya.

Pihak Dinas Kehutanan Kabupaten Aceh Tamiang akan melanjutkan proses penebangan sawit illegal di batas kawasan hutan lindung setelah hari raya Idul Adha.[rel]

read more