close

terumbu karang

Kebijakan Lingkungan

Soal Wisata Bahari, Indonesia Bisa Belajar dari Malaysia

Konservasi pesisir dan sumber daya perairan bukan cuma bertujuan untuk menjaga keanekaragaman hayati laut namun juga mendukung perikanan berkelanjutan dan meningkatan perekonomian masyarakat dan negara secara lestari.

Demikian terungkap dalam diskusi ‘Sea Conservation & Safety Diving’ yang diselenggrakan Ecodiver Journalist di Jakarta, Sabtu (7/3/2015). Hadir dalam kesempatan tersebut Direktur Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan Kementerian Kelautan dan Perikanan Agus Darmawan, perwakilan Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu Yohanes Budoyo dan Runner up Miss Scuba International 2012 Yovita Ayu.

Menurut Agus, saat ini sekitar 55% dari hasil perikanan tangkap nasional berasal dari wilayah pesisir.

“Itu artinya kerusakan ekosistem di suatu wilayah pesisir akan berdampak penting terhadap masyarakat yang selama ini tergantung pada sumberdaya pesisir dan laut,” katanya.

Dia melanjutkan, perlindungan habitat dan ikan mampu menjaga keindahan dan kelestarian ekosistem bawah laut. Hal bisa menjadi daya tarik wisatawan, termasuk penyelam. Dalam perkembangannya kawasan tersebut bisa menjadi objek wisata pilihan yang berdampak pada perekonomian masyarakat sekitar.

Agus mengungkapkan, untuk mendorong pengelolaan ekeosistem pesisir dan laut berkelanjutan pemerintah mengembangkan model pengelolaan kawasan konservasi perairan terintegrasi. Sejak diinisiasi tahun 1980-an, kawasan konservasi perairan telah mencapai  16,5 Juta hektare atau sekitar 5% dari luas Perairan Laut Teritorial Indonesia

Sementara itu Yohanes menuturkan, pada kawasan konservasi laut dikembangkan sejumlah zona yang bertujuan untuk pengelolaan berkelanjutan. Diantaranya adalah zona inti yang ketat soal pemanfaatan dan zona pemanfaatan dimana peluang usaha masih terbuka.

Yohanes menuturkan, untuk kegiatan wisata yang dilaksanakan secara ramah lingkungan, seperti menyelam, relatif bisa dilakukan pada semua zona. Dia mengajak para penikmat wisata bahari agar turut berperan dalam konservasi laut demi kelestariannya.

Soal wisata bahari berkelanjutan, Indonesia bisa belajar banyak dari negeri jiran Malaysia. Menurut Yovita Ayu, demi mengonservasi terumbu karang dan ikan yang menjadi buruan para penyelam, Malaysia berani mengambil tindakan untuk  menutup total aktivitas yang merusak seperti yang dilakukan di Pulau Sipadan.

Pulau yang dulunya sempat menjadi objek sengketa dengan Indonesia itu kini berkembang menjadi salah satu tujuan utama penyelam dari seluruh dunia. “Malaysia menutup resor dan merubuhkan bangunan yang ada di sana. Pengunjung pun dibatasi dengan tiket masuk yang sangat mahal,” katanya.

Meski fasilitas terbatas, lanjut Yovita, minat pengunjung justru sangat tinggi. Mereka rela antre hingga setahun lamanya. “Sebab yang dicari penyelam bukan fasilitas resor yang mewah. Namun terumbu karang indah dan ikan-ikan yang beraneka ragam,” katanya. [rel]

read more
Ragam

Pasir Keruk Ancam Great Barrier Reef

Keputusan Australia di minggu ini terakhir Januari 2014, untuk membuang pasir keruk dan lumpur di perairan Great Barrier Reef telah meningkatkan kewaspadaan, bahwa harta ekologis ini akan segera terdepak dari daftar World Heritage Site (Situs Warisan Dunia).

Tahun lalu Komite Warisan Dunia dari UNESCO memperingatkan bahwa tanpa perbaikan pengelolaan segera, Great Barrier Reef bisa masuk di Daftar Warisan Dunia yang Terancam pada Juni 2014 – bisa memalukan dan memukul perekonomian Australia karena merupakan tujuan wisata penting.

Minggu ini WWF-Australia dan Australian Marine Conservation Society mengeluarkan laporan kinerja dan gerak laju pemerintah yang mengizinkan pengerukan dan menilai, bahwa pemerintah telah gagal memenuhi hal yang disarankan Komite Situs Warisan Dunia itu.

“Kita akan mengalami kemunduran soal terumbu karang. Benar-benar menyedihkan,” kata Direktur Kampanye Terumbu Karang WWF Australia, Richard Leck. “Pemerintah Australia dan Queensland banyak bicara tapi sangat sedikit bertindak,” kata Leck. “Kenyataan di lapangan, proyek-proyek industri utama yang merusak seperti ini sudah lama terjadi, membuang puing atau hasil kerukan di perairan terumbu karang, dan terus disetujui.” Dia mencatat bahwa pengerukan dapat mendorong endapan yang dapat menggelontor dan mengubur karang.

Para pemerhati lingkungan juga menyalahkan pemerintah karena gagal mengatasi pencemaran dan mengalihkan kewenangan soal kebijakan lingkungan dari pemerintah federal ke pemerintah negara bagian Queensland. Para ahli lingkungan menyatakan, bahwa itu melemahkan undang-undang negara untuk melindungi terumbu karang.

Perlindungan Pelabuhan
Badan pengelola Great Barrier Reef Marine Park mengatakan, lembaga Federal dan Menteri Lingkungan Hidup Greg Hunt menyetujui rencana pengerukan dasar laut untuk memperluas pelabuhan batubara di Abbot Point.

Para pejabat juga berwenang melimpahkan hingga 3 juta meter kubik kerukan bahan ke perairan terumbu karang. Namun, pembuangan itu harus memenuhi puluhan syarat ketat terkait lingkungan seperti pengujian endapan tercemar, pemantauan mutu air, dan mengimbangi dampak terhadap nelayan komersial.

Persetujuan tersebut juga merupakan bagian dari rencana badan pengelola Taman Nasional Laut untuk membatasi pembangunan pelabuhan sepanjang pantai Great Barrier Reef untuk pengadaan fasilitas, kata kepala badan pengelola taman nasional laut, Russell Reichelt.

“Sebagai pelabuhan laut yang telah beroperasi selama hampir 30 tahun, Abbot Point lebih baik dibanding pelabuhan lain di sepanjang pantai Great Barrier Reef. Perluasan ini sebagai penambah modal, dan pengerukannya merupakan upaya pemeliharaan, yang jumlahnya sangat minim secara berarti dibandingkan di wilayah lain,” kata Reichelt.

Great Barrier Reef adalah kumpulan lebih dari 2.800 bagian karang yang terpisah, membentang sekitar 2.000 kilometer dari  timur laut lepas pantai Queensland yang menjadi rumah bagi keanekaragaman kehidupan laut yang mencengangkan. Tapi ahli lingkungan dan pengamat PBB mengatakan daerah tersebut telah menghadapi tantangan berat dalam beberapa tahun terakhir.

Laporan Australian Institute of Marine Science 2012 yang didanai pemerintah dan terbit dalam jurnal PNAS menyimpulkan, bahwa terumbu karang ini telah kehilangan setengah dari tutupan karang selama 27 tahun terakhir. Periode itu kira-kira sama dengan masuknya Great Barrier Reef dalam daftar sebagai Situs Warisan Dunia .

Ancaman lokal termasuk limpasan pencemaran dan meledaknya bulu seribu (crown of thorn) yang mencekik spesies lain. WWF mengatakan masalah ini . ditambah dengan tekanan terus menerus dari pengerukan dan alur pelayaran yang meningkat.

“Komite Situs Warisan Dunia akan memandang suram keputusan ini,” kata Leck . Dia menyarankan bahwa Komite Situs Warisan Dunia dapat memutuskan memasukkan Great Barrier Reef dalam daftar “Warisan Dunia yang Terancam” pada pertemuan Juni 2014 di Doha, Qatar.

Sumber: NGI

read more
Ragam

Cara Warga Desa Melestarikan Terumbu Karang Buleleng

Langit yang biru, laut yang biru, dan pemandangan alam atas serta bawah laut yang luar biasa, membuat Desa Les tak hanya menjadi salah satu pelopor nelayan ramah lingkungan, tetapi juga tempat yang pantas untuk dihormati dan dikenang akan kearifan masyarakatnya dalam menghargai alamnya.

Desa Les, di Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng, Propinsi Bali adalah salah satu desa yang sadar akan bahaya kehilangan terumbu karang. Sebelum tahun 1982 hanya terdapat nelayan ikan untuk tujuan konsumsi di Desa Les.

Nelayan dari pulau Jawa yang mencari ikan hias di desa inilah yang mendorong nelayan Les, mempelajari apa yang sedang dilakukan oleh nelayan Jawa tersebut.

Kemudian, nelayan Les pun mulai beralih. Dari profesi sebagai nelayan ikan untuk konsumsi,  menjadi nelayan ikan hias. Pada awalnya nelayan ikan hias Les hanya berjumlah empat sampai tujuh orang. Melihat perkembangan yang dihasilkan, jumlah nelayan ikan hias terus berkembang dalam jumlah yang lumayan besar.

Cara tangkap yang dilakukan pada waktu itu adalah dengan menggunakan jaring yang tradisional. Sejalan dengan meningkatnya permintaan pasar serta tergiur kemudahan yang ditawarkan penggunaan sianida, nelayan kemudian beralih menggunakan sianida.

Karena kebutuhan keluarga yang mendesak, maka kegiatan menggunakan sianida ini berlangsung cukup lama. Secara perlahan terumbu karang desa les semakin rusak. Ikan-ikan hias dan konsumsi pun berkurang secara drastis. Para nelayan Desa Les, harus mencari ikan hias jauh dari kampung halaman mereka. Waktu itu, pencarian ikan hias bisa mencapai dataran sulawesi dan Nusa Tenggara Timur.

Beberapa orang dan LSM pencinta lingkungan pun mulai mengadakan perdekatan ke beberapa tokoh nelayan ikan hias Desa Les. Dan beberapa di antaranya mulai sadar akan bahaya dari sianida.

Pada tahun 2001, sianida pun mulai ditinggalkan, dan kembali pada jaring tradisional. Bahkan jaring pun digunakan yang lembut, agar tidak merusak karang-karang Desa Les.

Nelayan Desa Les kini tak lagi menggunakan peledak. Rehabilitasi karang pun dilakukan. Kelompok nelayan ikan hias juga dibentuk, untuk mewadahi kegiatan para nelayan. Dan dilakukan standarisasi untuk pencarian ikan hias yang ramah lingkungan.

Desa Les pun menjelma menjadi desa wisata selam yang cukup menarik. Berkat program transplantasi karang yang dilakukan kelompok nelayan Les, terumbu karang yang dulunya rusak karena sianida, sekarang sudah menjelma menjadi barisan hard dan soft coral yang indah. Ikan-ikan warna-warni yang dulunya hilang, kembali berdatangan menghiasi dunia bawah lautnya.

Kondisi terumbu karang Indonesia saat ini semakin memprihatinkan. Di kawasan Indonesia tengah dan timur, yang notabene memiliki sebagian besar sebaran terumbu karang di indonesia, yaitu 60.000 kilometer persegi, kerusakan terus terjadi. Data Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyebutkan, hanya 30 persen terumbu karang dalam kondisi baik, 37 persen dalam kondisi sedang, dan 33 persen rusak parah.

Sebagian besar terumbu karang dunia, sekitar 55 persen, terdapat di Indonesia, Filipina, dan Kepulauan Pasifik; 30 persen di Lautan Hindia dan Laut Merah; 14 persen di Karibia; dan 1  persen di Atlantik Utara.

Selain pemanasan global dan penimbunan laut dengan dalih reklamasi, faktor pendorong kerusakan terumbu karang di Indonesia yang terbesar, justru datang dari masyarakat pesisir sendiri. Pencarian hasil laut dengan menggunakan bom dan potasium masih sering dilakukan.

Sumber: NatGeo Indonesia

read more