close

TFCA

Flora Fauna

TFCA Sebut Harimau Sumatera Tinggal 400 Ekor

Lebih kurang 4.000 harimau diyakini yang masih hidup bebas di luar penangkaran namun, usaha untuk melindungi harimau mengalami hambatan karena ketidakpastian jumlah subspesies yang masih ada berkeliaran di alam bebas. Upaya untuk menyelamatkan harimau dari kepunahan mengalami peningkatan setelah para ahli ekologi menyampaikan, harimau yang masih hidup di alam liar tinggal enam jenis di dunia.

Beberapa waktu lalu, sebuah hasil penelitian inovatif mengungkapkan, jumlah subspesies yang masih berkeliaran di alam liar tinggal enam jenis, yaitu, Harimau Bengal, Harimau Amur, Harimau Cina Selatan, Harimau Sumatra, Harimau Indocina, dan Harimau Malaya. Peneliti menambahkan bahwa tiga subspesies lain yang pernah ada dipastikan telah punah.

Dr Shu-Jin Luo dari Peking University di Tiongkok, mengatakan, kurangnya konsensus mengenai jumlah subspesies harimau telah menghambat upaya global dalam memulihkan spesies harimau dari petaka kepunahan.

“Hal itu terjadi karena penangkaran dan intervensi lansekap populasi liar semakin membutuhkan penggambaran eksplisit atas unit pengelolaan konservasi. Penelitian ini adalah yang kali pertama mengungkap sejarah alam harimau dari perspektif genom utuh. Hasilnya memberikan bukti yang kuat mengenai asal usul alam dan evolusi dari spesies megafauna yang kharismatik ini,” jelas Dr Luo.

Dr Luo dan rekan-rekan memulai penelitian dengan mengumpulkan tiga bukti genetik yang sebelumnya telah mereka temukan melalui riset mengenai sejarah evolusi harimau dan struktur populasi menggunakan pendekatan genom utuh untuk melihat urutan DNA harimau lengkap.

Mereka juga mengimplementasikan metode skrinning untuk mencari bukti kelompok harimau yang berbeda yang telah mengalami seleksi alam untuk beradaptasi dan berkembang biak. Mereka pun menemukan bahwa harimau telah ada di dunia semenjak dua hingga tiga juta tahun lalu.

Namun, bukti gen harimau yang mereka gunakan untuk penelitian, memperlihatkan partisipan harimau tersebut baru ada di dunia sekitar 110.000 tahun silam ketika predator mengalami kendala dalam berpopulasi.

Keragaman genetiknya yang terbatas justru mengantarkan para peneliti menemukan bukti bahwa subspesies harimau masing-masing memiliki sejarah evolusi yang unik dengan melihat pola yang sangat terstruktur di seluruh kelompok.

“Temuan ini cukup unik untuk kelompok kucing besar. Populasi harimau tidak ada campuran dengan hewan lain, seperti misalnya jaguar, yang terbukti mengalami campuran populasi di seluruh benua,” tulis Yu-Chen Liu, Peneliti Utama Studi.

Dia menambahkan, subspesies harimau memiliki fitur yang berbeda. Harimau Amur memiliki tubuh yang besar dengan bulu oranye pucat, sedangkan harimau Sumatra di Kepulauan Sunda tubuhnya cenderung lebih kecil dengan bulu yang gelap dan tebal.

Berdasarkan Tropical Forest Conversation Action (TFCA) Sumatera, Harimau Sumatra adalah subspesies terakhir dari jenis harimau yang berpopulasi di Indonesia. Dua jenis harimau lainnya di Indonesia, Harimau Bali sudah punah semenjak tahun 1940-an dan Harimau Jawa sudah tidak lagi pernah terlihat semenjak tahun 1980-an. Jumlah Harimau Sumatra diperkirakan tinggal tersisa 400 ekor saja.

Dr Luo mengatakan bahwa sinyal seleksi terkuat yang mereka temukan ada pada harimau sumatra, yakni mengandung gen ADH 7 yang berhubungan dengan ukuran tubuh di seluruh wilayah genom.

Para peneliti berpendapat, ukuran tubuh Harimau Sumatra yang lebih kecil bisa jadi karena kebutuhan energinya tidak sebesar jenis harimau lainnya. Lingkungan hidup Harimau Sumatra dan mangsa yang lebih kecil, seperti babi hutan dan anak rusa, mempengaruhi ukuran dan energi harimau sumatra.

“Harima dari Rusia secara evolusi berbeda dengan yang berasal dari India. Bahkan, harimau dari Malaysia sama sekali berbeda dengan yang berasal dari Indonesia,” jelasnya.

Jenis asal-usul spesies Harimau Cina Selatan masih belum terselesaikan oleh para peneliti. Pasalnya, hanya ada satu harimau tersebut yang ada di penangkaran karena subspesies lainnya telah punah di alam liara.

Para peneliti berencana untuk mempelajari spesimen lama dengan pengetahuan yang mereka dapat dari seluruh daratan Tiongkok untuk mengungkap sejarah evolusi harimau yang masih hidup di dunia. Mereka juga mengambil informasi dari gen specimen, termasuk yang mewakili harimau Caspian, Jawa, dan Bali yang punah.

Sumber: Journal Current Biology

 

 

 

read more
Green StyleKebijakan Lingkungan

Dewan Pengawas TFCA: Aceh Menjadi Leading Konservasi di Sumatera

Banda Aceh – Anggota Oversight Committee (Dewan Pengawas) Tropical Forest Conservation Action (TFCA) Sumatera, dalam pertemuan di Banda Aceh, Kamis (19/07/2018), Prof. Dr. Ir. Darusman, M. Sc, mengatakan Aceh bisa menjadi leading dalam usaha konservasi di Sumatera. Hal ini sangat memungkinkan karena kondisi hutan Aceh yang masih relatif luas dan paling bagus di Sumatera. Prof Darusman yang juga merupakan guru besar bidang Ilmu Tanah di Universitas Syiah Kuala ini menyampaikan hal tersebut dalam acara yang diselenggarakan TFCA Sumatera bertajuk ” Jalan Panjang Pelestarian Hutan & Spesies di Aceh”

Prof. Darusman merupakan anggota dewan pengawas tidak tetap dalam program TFCA Sumatera. Program ini memberikan dana hibah untuk konservasi hutan di wilayah Sumatera melalui pengalihan hutang (debt swap) Indonesia kepada Amerika Serikat. Perjanjian pengalihan hutang untuk lingkungan antara Pemerintah AS dan Pemerintah Indonesia, dibentuk berdasarkan U.S. Tropical Forest Conservation Act of 1998, Public Law No. 105-214.

Kedua negara bersepakat bahwa sebagian utang LN Indonesia akan ditransfer kedalam suatu rekening khusus yang hasilnya dipakai untuk membiayai kegiatan konservasi hutan di Sumatera. Rekening ini merupakan rekening trust fund yang berada di Singapura, mengingat Indonesia belum ada regulasi yang mengatur dana trust fund.

Prof. Darusman berharap acara ini dapat memberikan input atau masukan yang dapat ia sampaikan nantinya dalam rapat dewan pengawas sekitar awal September 2018 nanti. “Mari kita selesaikan tahap demi tahap kegiatan TFCA ini dan menyatukan visi dan misi untuk mensukseskan konservasi hutan Sumatera,” ujarnya.

Prof. Darusman menjelaskan para penerima dana hibah ini berasal dari LSM Lingkungan, kehutanan, konservasi, masyarakat adat dan lembaga kemasyarakatan lain yang berdiri dan bekerja di Indonesia secara sah, perguruan tinggi, lembaga regional atau lokal lainnya yang aktif di Indonesia.

Terdapat 13 bentang alam di Sumatera yang menjadi wilayah kerja TFCA Sumatera, sebagaimana terlihat pada gambar di bawah ini.

Bentang alam wilayah kerja TFCA Sumatera | Gambar dokumen TFCA Sumatera

Selain melaksanakan proyek konservasi kehutanan, TFCA Sumatera juga membuat program pelestarian spesies kunci yaitu harimau, badak, gajah dan orangutan. Adapun total dana yang dikelola yaitu dana khusus spesies sebesar 12,6 juta USD dan dana konservasi yang dikelola sebesar  42.6 juta USD (10 tahun
hingga 2020).[]

 

 

read more
Green StyleKebijakan Lingkungan

Empat LSM Lingkungan Presentasikan Program Hutan & Satwa Aceh

Banda Aceh – Program Tropical Forest Conservation Action for Sumatera (TFCA Sumatera) menyelenggarakan kegiatan pemaparan proyek perlindungan hutan Aceh, Kamis (19/7/2018) bertempat di Kyriad Hotel Banda Aceh. Kegiatan menghadirkan empat LSM lingkungan yang mendapat bantuan pendanaan dari TFCA Sumatera untuk mempresentasikan kegiatan mereka dalam melindungi hutan Aceh. TFCA sendiri adalah sebuah program kerjasama antara pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat dimana dananya diambil dari pengalihan hutang Indonesia (debt Swap) kepada Amerika. Uang yang berasal dari pembayaran hutang ditampung dalam rekening trust fund kemudian disalurkan untuk pembiayaan perlindungan hutan. Program berjalan selama delapan tahun (2009-2020) dengan total dana USD 42,6 juta.

Keempat LSM tersebut adalah Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) yang mempresentasikan program mereka di hutan gambut Rawa Tripa, Yayasan Leuser Internasional (YLI) yang menjelaskan program mereka di Suaka Margasatwa Rawa Singkil, Forum Konservasi Leuser (FKL) yang mempresentasikan kegiatan mereka di Kawasan Ekosistem Leuser dan Conservation Response Unit (CRU) Aceh yang memaparkan program perlindungan gajah di Kawasan Ekosistem Leuser. Setiap lembaga memaparkan apa yang telah mereka laksanakan dalam proyek TFCA, capaian-capaian, tantangan dan rencana program ke depan.

Wakil dari YEL, T. Muhammad Zulfikar dalam pemaparannya menyampaikan pentingnya kawasan gambut Rawa Tripa yang terletak di Nagan Raya dan sebagian Aceh Barat Daya. Hutan ini, yang menjadi habitat Orangutan Sumatera mengalami kerusakan parah akibat dibuka untuk perkebunan kelapa sawit. Karena itu YEL mengadvokasi kawasan gambut ini menjadi kawasan lindung.

“Gambut harus diselamatkan karena sudah banyak yang mengalami perubahan tata guna lahan,”ujarnya. Isu Rawa Tripa sempat menjadi perhatian public pasca gugatan sejumlah LSM terhadap PT Kallista Alam yang dituduh membakar lahan dan membuka kebun illegal. Gugatan ini dimenangkan LSM lingkungan hingga MA, namun sayangnya eksekusi putusan MA tertunda akibat gugatan balik yang dilancarkan oleh PT Kallista Alam. Seluas 1.605 hektar bekas lahan milik perusahaan ini dikembali kepada fungsi semula namun sayangnya akibat pengelolaan yang tidak jelas kini sebagian lahannya jadi ajang perebutan.

Menurut Zulfikar isu gambut sangat penting untuk dibicarakan dan dicarikan solusinya. Apalagi pemerintah Aceh dimasa Gubernur Zaini Abdullah mengeluarkan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) dari Qanun Tata Ruang Aceh. Kementerian LHK sudah memberikan rekomendasi agar KEL dimasukan kembali ke dalam Qanun RTRW Aceh.
Sekitar 13.000 hektar gambut di Rawa Tripa diperjuangkan menjadi kawasan lindung gambut. Sementara masih ada 3000-an hektar lahan gambut di Aceh Jaya yang belum tersentuh program advokasi. “Takutnya jika gambut Aceh Jaya tidak diadvokasi, gambut ini akan hilang sedikit-sedikit akibat perubahan lahan,”kata Zulfikar.

Zulfikar juga menegaskan pentingnya dibentuk badan yang khusus mengurusi masalah lahan gambut di Aceh. Jika di tingkat nasional ada Badan Restorasi Gambut, maka di Aceh perlu bentuk lembaga yang sejenis.

Selain program kehutanan, YEL juga memberikan bantuan kepada masyarakat sekitar hutan Rawa Tripa. Bantuan berupa keterampilan membuat pupuk, pemberian bantuan bibit tanaman dan ikan. Ini dilakukan agar kesejahteraan masyarakat sekitar dapat meningkat.

Sementara itu mewakili dari YLI, Nijar Tarigan menampilkan kegiatan yang mereka lakukan di suaka marga satwa Rawa Singkil. Ia menyebutkan Suaka Margasatwa Rawa Singkil seluas 102.500 ha yang berada di dalam KEL merupakan salah satu hutan rawa gambut yang masih tersisa di dunia yang perlu dipertahankan. Kawasan hutan ini rawan mengalami kerusakan dan membutuhkan perlindungan secara berkelanjutan, juga menjadi habitat banyak mamalia, tumbuhan, burung, spesies ikan dan banyak jenis reptil yang langka dan terancam, serta penting untuk memelihara berbagai jasa-jasa lingkungan.

Tampil mewakili CRU Aceh adalah Wahdi Azmi. Lembaga ini mendapat bantuan dana dari program TFCA spesies untuk khusus menangani gajah. Diantara program CRU Aceh yang menonjol adalah memasang Collar GPS pada gajah untuk mengetahui pergerakan gajah dan membangun barrier gajah dengan memadukan antara artificial barrier (barrier buatan manusia) dengan natural barrier (barrier alami) agar gajah liar tidak masuk pemukiman penduduk yang sering menimbulkan konflik.

Wahdi menyebutkan bahwa habitat gajah di Aceh masih mencukupi karena hutan Aceh masih relative luas. Hal ini berbeda dengan hutan di Sumatera lainnya yang luasnya semakin menyusut. Aceh mempunyai kesempatan yang bagus untuk menjaga kehidupan gajah yang tersebar hampir di seluruh daerah Aceh. Hanya saja gajah Aceh tidak mendiami daerah konservasi sendiri atau suaka marga satwa tapi tinggal dalam hutan-hutan yang pengelolaannya dibawah pemerintah Aceh. CRU Aceh akan memperjuangkan berdirinya suaka margasatwa (sanctuary) yang menjadi tempat berlindung hewan-hewan liar. CRU Aceh sendiri terpisah secara struktural dengan CRU-CRU lain yang berada di bawah BKSDA.

Topografi hutan Aceh yang ekstrim, tebing-tebing hutan yang curam menjadi natural barrier yang bagus bagi gajah. Barrier buatan sendiri tidak akan efektif bila tidak dikelola dengan benar. Perpaduan kedua barrier ini menjadikannya sebagai barrier yang efektif dan efisien. Saat ini terdapat 70-80 ekor gajah kawasan hutan Ulu Masen.

FKL lebih banyak mempresentasikan program patroli mereka dimana mereka sangat sering menemukan jerat hewan liar dan perambahan liar di kawasan KEL. Patroli rutin mereka laksanakan untuk mencegah perburuan hewan liar. Tak kurang dari ribuan jerat berbagai ukuran untuk berbagai macam hewan liat telah berhasil mereka sita. Selama berpatroli mereka ditemani oleh petugas dari BKSDA yang memang secara UU memiliki kewenangan khusus beroperasi dalam kawasan lindung.

Dana Hibah TFCA untuk Aceh
Selama lima siklus dan off cycle program TFCA, banyak lembaga lingkungan yang melaksanakan konservasi di Aceh dengan bantuan dana TFCA. Berikut daftar lembaga yang mendapat pendanaan untuk bekerja di propinsi Aceh:
1. Yayasan Leuser International
Nama Proyek: Pengamanan Kawasan Strategis Aceh Selatan – Singkil bagi Konservasi yang Berbasis Masyarakat Secara Berkelanjutan di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam
Bentang Alam: Taman Nasional Batang Gadis, Ekosistem Leuser dan Taman Nasional Gunung Leuser,
Durasi Hibah: Maret 2011-Januari 2017
Bantuan dana : Rp. 11.181.842.059

2. Yayasan Ekosistem Lestari
Nama proyek : Penyelamatan Ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa-Babahrot Melalui Upaya Penetapan Kawasan Lindung di Luar Kawasan Hutan dan Restorasi dengan Pendekatan Multi Pihak
Bentang Alam: Ekosistem Leuser dan Taman Nasional Gunung Leuser,
Durasi Hibah: Mei 2012-April 2017
Bantuan dana: Rp. 6.548.795.000

3. Konsorsium Jantho Lestari
Nama proyek : Kegiatan Konservasi Hutan Tropis di Cagar Alam Jantho Kabupaten Aceh Besar, Pidie dan sekitarnya untuk Perbaikan Fungsi Kawasan Konservasi, Keanekaragaman Hayati dan Peningkatan Taraf Hidup Masyarakat Sekitar Hutan
Anggota Konsorsium: 1. Yayasan Pemerhati Alam Dunia Hijau Indonesia (PADHI) 2. WWF-Indonesia
Bentang Alam: Hutan Seulawah – Ulu Masen,
Durasi Hibah: Juni 2014 – Mei 2017
Bantuan dana: Rp. 4.620.828.000

4. Konsorsium Suar Galang Keadilan
Nama proyek: Penguatan Kapasitas Penegak Hukum Dalam Penanganan Kasus Kejahatan Terhadap Satwa Liar yang Dilindungi di Aceh
Bentang Alam: Hutan Seulawah – Ulu Masen,
Durasi Hibah: Oktober 2016 – April 2017
Bantuan dana: Rp. 1.000.000.000

5. Konsorsium HAKA
Nama proyek: Konservasi Badak Sumatera Di Kawasan Ekosistem Leuser Melalui Peningkatan Peran Pemerintah Daerah dan Masyarakat Lokal
Anggota Konsorsium: 1. Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HaKA) 2. Forum Konservasi Leuser (FKL) 3. Forum Masyarakat Leuser Aceh Tenggara (FORMALAT)
Bentang Alam: Ekosistem Leuser dan Taman Nasional Gunung Leuser,
Durasi Hibah: November 2015-Oktober 2016
Bantuan dana: Rp. 1.000.000.000

(Sumber: tfcasumatera.org)

 

 

read more
Green StyleKebijakan Lingkungan

TFCA Paparkan Program Perlindungan Hutan Aceh kepada Media

Program Tropical Forest Conservation Action-Sumatra (TFCA-Sumatera) merupakan program konservasi terpadu di bawah perjanjian antara Pemerintah Amerika Serikat dan Pemerintah Indonesia. Program ini memanfaatkan fasilitasi pembiayaan konservasi, perlindungan, restorasi (pemulihan) dan pemanfaatan sumberdaya hutan tropis secara lestari di Pulau Sumatera.

Program TFCA-Sumatera menekankan pendekatan pengelolaan terpadu (antar komponen) dan kolaboratif (antar lembaga) serta mendorong partisipasi semua pihak pelaku pembangunan di berbagai sektor, untuk mewujudkan hutan yang lestari yang pada gilirannya berdampak pada kesejahteraan masyarakat dan pembangunan ekonomi wilayah secara berkelanjutan.

Hingga saat ini, keberadaan mitra TFCA Sumatera di 12 Bentang Alam dari 13 bentang alam prioritas TFCA Sumatera telah melaksanakan program dan telah memasuki masa akhir program serta telah melakukan grand close report. Berdasarkan identifikasi ada kebutuhan untuk melaksanakan advokasi media program-program mitra TFCA Sumatera Regional Utara khususnya untuk wilayah Aceh.

Advokasi media berupa media gathering berbentuk focus grup discusion (FGD) dengan media asing, nasional dan lokal mengenai kondisi terkini program mitra TFCA Sumatera regional utara di Provinsi Aceh. Dukungan media ini diharapkan menjadi stimulan pengetahuan publik terhadap isu-isu konservasi di Aceh dan khususnya menjadi dorongan kepada parapihak untuk memberi dukungan terhadap program mitra TFCA Sumatera di tingkat tapak. Kegiatan akan diadakan pada hari Kamis (19/07/2018) di Banda Aceh.

Adapun tujuan kegiatan ini antara lain untuk mempublikasi program mitra TFCA Sumatera, advokasi program mitra agar mendapatkan dukungan parapihak terutama untuk Provinsi Aceh, serta antisipasi miskomunikasi dan informasi antara program dengan liputan media.

Selain itu, pasca kegiatan ini diharapkan adanya kesamaan persepsi antara mitra dan media di tingkat tapak mengenai isu-isu konservasi hutan dan satwa terancam punah di Provinsi Aceh, masing-masing mitra TFCA dapat memaparkan data sebagai konten news masing-masing media dan update terbaru liputan program-program mitra TFCA Sumatera regional utara di Provinsi Aceh. [rel]

 

 

read more
Kebijakan Lingkungan

Debt for Nature Swap, Alihkan Hutang untuk Rawat Alam

Sejumlah donor menggelontorkan duitnya buat pelestarian hutan atau lingkungan di Indonesia. Tak tanggung-tanggung, jutaan dollar diberikan kepada berbagai lembaga konservasi lewat persetujuan pemerintah. Tapi  tahukah anda bahwa sejumlah dana konservasi tersebut berasal dari skema pengalihan hutang (debt swap)?

Sederhananya, hutang yang seharusnya dibayar Pemerintah Indonesia kepada negara pemberi hutang, dialihkan untuk biaya konservasi lingkungan. Melalui skema ini pemerintah tidak perlu susah-susah mikir anggaran untuk pelestarian lingkungan karena diambil dari pembayaran hutang. Walaupun kadang jumlahnya tidak signifikan jika dilihat dari total hutang yang ada namun setidaknya bisa memberi ‘nafas’ pada sisi anggaran. Kalau tidak seperti ini bisa-bisa untuk lingkungan pemerintah ogah menyediakan dana dengan alasan klasik, tidak ada anggaran.

Debt swap awalnya dimulai pada tahun 1980an, dimana negara yang memiliki hutang tidak sanggup membayar hutang luar negerinya. Negara pertama yang melakukan cara debt swap dengan jenis debt for equity ini adalah Chili pada tahun 1985.

Sementara itu Debt for nature swap pertama dilakukan di Bolivia pada tahun 1987 dimana debt for nature swap ini kemudian menjadi awal munculnya jenis debt swap lainnya, diantaranya debt swap for child development, education, health, disaster dan bidang-bidang pembangunan.

Salah satu mekanisme Debt for Nature Swap dilakukan oleh Amerika Serikat. Untuk menunjukkan komitmennya terhadap lingkungan, Amerika Serikat membuat proyek Tropical Forest Conservation Action (TFCA), sebuah proyek pengalihan utang Pemerintah Amerikat Serikat yang ditujukan kepada negara yang memiliki hutan hujan tropis dan hutang kepada Amerika Serikat.

Hutan hujan tropis dipilih dikarenakan hutan ini mampu menampung bermacam-macam makhluk hidup didalamnya baik berupa tumbuhan maupun hewan serta mengurangi gas karbon dan mengatur siklus hidrologi. Amerika Serikat telah membuat kesepakatan debt for nature swap dengan tujuh belas negara, salah satunya adalah Indonesia.

Pihak Amerika Serikat bersedia merelakan hutang Indonesia dengan pertimbangan bahwa manfaat pengurangan hutang melalui debt for nature swap dapat lebih bermanfaat daripada menunggu pembayaran kembali hutang yang macet. Namun hutang ini harus diganti dengan proyek yang benar-benar memiliki manfaat dalam hal pelestarian alam dan pengurangan pemanasan global. Namun, Amerika Serikat tetap harus memastikan hutang yang tidak termasuk dalam debt for nature swap tetap dibayarkan sesuai kesepakatan kedua negara.

Walaupun tingkat deforestasi yang tinggi namun Pemerintah Indonesia masih minim dalam memberikan anggaran bagi konservasi hutan. Dengan hutang Indonesia yang cukup besar maka anggaran pengeluaran pemerintah seringkali lebih difokuskan kepada pengeluaran-pengeluaran lain yang lebih bersifat pembangunan infrastruktrur atau peningkatan ekonomi.

Hutan dipandang sebagai sumber daya utama yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Bantuan luar negeri bertujuan untuk membantu pembangunan ekonomi, karena hutan termasuk di dalamnya maka bantuan luar negeri mulai memasuki ranah hutan. Dapat terlihat bahwa hutan tidak pernah memiliki tempat sendiri dalam tujuan alokasi anggaran. Walaupun hutan telah mendapatkan alokasi tersendiri dalam dana pembangunan tetapi tetap pembangunan hutan ditujukan untuk membantu mendorong pertumbuhan ekonomi.

Amerika Serikat memberikan bantuan luar negerinya kepada Indonesia melalui mekanisme debt swap. Dimana
disini Amerika menukar hutang luar negeri Indonesia untuk kegiatan konservasi alam. Hutang Indonesia yang akan ditukar oleh Amerika Serikat sebesar $30 juta.

Dalam proyek TFCA selain melakukan penghijauan hutan kembali, proyek ini juga melindungi flora dan fauna dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan mengikut sertakan masyarakat sekitar dalam pelaksanaan proyek dimana proyek ini berjalan.

TFCA diterapkan pada tahun 1998 yang merupakan suatu penawaran bagi negara berkembang untuk meringankan hutang mereka kepada Pemerintah Amerika Serikat dengan cara mengeluarkan sejumlah uang dalam mata uang lokal oleh pemerintah itu sendiri sebesar hutang mereka untuk melakukan konservasi ini.

Amerika Serikat yang diwakili oleh badan pemberi bantuannya USAID dan Indonesia oleh lembaga KEHATI membuat dokumen mengenai rencana strategis untuk proyek TFCA mengenai area yang akan diintervensi oleh Amerika Serikat. Selanjutnya kedua belah pihak bersama sama membicarakan bagaimana proyek ini akan berjalan hingga tahun 2018.

Jadi sudah selayaknya para pemegang amanah dana alih hutang ini menjalankan programnya sebaik mungkin. Ingat, duit yang mereka gunakan adalah duit bangsa Indonesia yang dikumpulkan susah payah untuk membayar hutang. Jangan sampai terjadi korupsi atau mismanagement.[]

Sumber: Diolah dari berbagai sumber

read more