close

TNGL

Flora Fauna

Petugas TNGL Tangkap Penjual Kulit Harimau Sumatera

Medan – Petugas Taman Nasioonal Gunung Leuser menangkap satu orang yang diduga pemilik kulit Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) pada Senin (1/7/2019) malam.

Dari pelaku, tim Balai Besar dan SPTN Wilayah V Bahorok mengamankan sebanyak 2 (dua) lembar kulit satwa yang dilindungi ini. Pelaku berinisial P, selama ini menjual potongan kulit dengan kisaran harga Rp 100.000,- hingga Rp.200.000,-. Diduga kulit tersebut berasal dari harimau sumatera yang dijerat di dalam kawasan TNGL.

Saat diamankan di jalan raya Marike, tepatnya di Simpang Sogong, pelaku hendak menjual kulit harimau tersebut kepada pembeli.

“Rencananya kulit harimau tersebut akan dijual seharga 57 juta rupiah kepada pembeli yang tidak lain adalah petugas kita yang menyamar,”kata Kepala SPTN V Bahorok, Palber Turnip.

Setelah pelaku menunjukkan barang bukti kulit harimau, petugas segera menangkap pelaku. Pelaku sempat melakukan perlawanan hingga akhirnya petugas berhasil meringkus pelaku dan mengamankan barang bukti untuk diserahkan kepada penyidik.

Kepala Balai Besar TNGL mengapresiasi langkah dan aksi petugas. “Untuk proses penyelidikan lebih lanjut, pelaku dan barang bukti diamankan di kantor Balai Gakkum wilayah Sumatera,”ungkap Jefry Susyafrianto.

Pelaku dijerat Pasal 21 junto Pasal 40 UU RI Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dengan ancaman paling lama lima tahun penjara dan denda Rp100 juta.[]

Sumber: gunungleuser.or.id

read more
Flora Fauna

Petugas TNGL Evakuasi dan Rehabilitasi Burung Julang Emas

Deli Serdang – Petugas Taman Nasional Gunung Leuser menyerahkan satu individu burung Julang Emas yang diamankan dari masyarakat, pada Rabu (22/5/2019). Penyerahan dilakukan di TWA Sibolangit dan diterima oleh BBKSDASU untuk kemudian diserahkan ke Pusat Penyelamatan Satwa (PPS).

Sebelumnya, informasi keberadaan burung cantik ini bermula saat petugas Resor Bekancan menindaklanjuti laporan tim patroli SMART PATROL terkait adanya pemeliharaan satwa dilindungi undang-undang berupa Burung Julang Emas atau Hornbill yang ada di Dusun Sumbaikan 2, Desa Suka Makmur, Kec. Kutalimbaru Kab. Deli Serdang.

Sesuai arahan Kepala Seksi PTN Wil.V Bohorok, petugas melakukan pulbaket untuk melacak keberadaan satwa tersebut sesuai informasi yang diterima. Dibantu dengan volunteer dari SUMECO, petugas resor Bekancan meluncur ke Desa Sumbaikan 2.

Dari pulbaket diketahui adanya masyarakat yang memelihara satwa tersebut. Upaya dengan pendekatan preventif dan penyadaran pun dilakukan petugas. Setelah melalui pembicaraan dan komunikasi yang baik, akhirnya pemelihara bersedia untuk menyerahkan burung Julang Emas.

Dokter hewan kemudian melakukan pemeriksaan. Hasilnya, satwa tersebut mengalami stres, ditandai dengan mengeluarkan suara “jeritan” sepanjang hari. ” Butuh waktu sekitar 5 hingga 6 bulan untuk siap dilepasliarkan,”ujar sang dokter.[]

Sumber: http://gunungleuser.or.id

read more
Hutan

Tanaman Ganja Pun Merambah TN Gunung Leuser

Petugas gabungan TNGL, POLRI dan TNI melakukan pemusnahan ladang ganja di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), Resort Bakongan, SPTN Wilayah II Kluet Utara, BPTN Wilayah I Tapaktuan, Kabupaten Aceh Selatan pada Selasa, (7/8/2018).

Lahan ganja illegal itu bermula didapat melalui data analisa citra satelit yang dilakukan petugas TN. Gunung Leuser. Mengetahui hal tersebut Kepala BPTN Wilayah I Tapaktuan, Buana Darmansyah, S.Hut. T, menugaskan anggotanya untuk melakukan pengecekan langsung ke tempat kejadian perkara (TKP) bersama dengan tim terpadu lainnya.

Tim Patroli terpadu ini terdiri dari petugas TN. Gunung Leuser, Polres Aceh Selatan dan Kodim 0107 Aceh Selatan. Kegiatan berlangsung selama 4 hari sejak Minggu, 05 Agustus 2018. Perjalanan menuju lokasi dari desa terdekat Gampoeng Seunebok Keuranji, Kecamatan Kota Bahagia, Aceh Selatan membutuhkan waktu 2 hari.

Hasilnya, tim patroli menemukan kebun ganja seluas 2 hektar namun pemilik ladang tidak dijumpai di lapangan. Sekitar 2000 batang tanaman ganja berusia ± 3-4 bulanan dimusnahkan petugas. Pemusnahan terhadap tanaman illegal tersebut dilakukan dengan cara mencabut dan membakar, sementara sebagian barang bukti lainnya dibawa ke Polres Aceh Selatan.

“Terimakasih kami kepada kerja keras seluruh tim juga dukungan dan kerjasama Kapolres Aceh Selatan, AKBP. Dedy Sadsono, ST dan Dandim 0107 Aceh Selatan, Letkol Kav. Hary Mulyanto dalam menumpaskan tanaman ilegal di kawasan TNGL”, ujar Buana.[]

Sumber: gunungleuser.or.id  

 

 

read more
HutanKebijakan Lingkungan

Pemerintah Aceh dan Amerika Bahas Perlindungan TNGL

Banda Aceh – Konsul Amerika Serikat untuk Wilayah Sumatera, Juha P Salin didampingi Pejabat Khusus bidang Politik dan Ekonomi, Rachma Jaurinata, membahas isu lingkungan dan kawasan hutan Leuser yang selama ini menjadi perhatian dunia, Selasa (10/4/2018). Dalam pembahasan yang berlangsung di rumah dinas Wakil Gubernur Aceh ini, Juha menanyakan terkait isu pembangunan yang dilakukan di Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) yang telah menarik perhatian para aktivis lingkungan, LSM bahkan dari Unesco tersebut.

“Kita ingin mendengarkan langsung dari Pemerintah Aceh terkait isu pembangunan di kawasan Gunung Leuser,” kata Juha.

Pada kesempatan tersebut, Nova menegaskan Pemerintah Aceh sangat komit terhadap perlindungan kawasan hutan. Hal itu juga merupakan bagian dari program Aceh Green yang diusung Pemerintah Aceh.

“Tidak benar ada pembangunan di Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), yang ada peningkatan jalan yang sudah ada yang digunakan oleh masyarakat,” kata Nova.

Nova menyampaikan rencana pembangunan proyek geothermal di sekitar TNGL yang pernah direncanakan oleh Pemerintah Aceh sebelumnya juga sudah dibatalkan.

“Sudah menjadi kewajiban kita untuk menjaga Kawasan TNGL, karena itu bukan hanya milik kita, tapi juga milik dunia,” ujar Nova.

Pada kesempatan tersebut, Nova juga menyampaikan bahwa Pemerintah Aceh akan menjalin kerjasama pengelolaan hutan dengan Negara Bagian Amerika, Oregon.

“Kita akan deklarasi “sister forest” antara Aceh dan Oregon, tentunya nanti kita akan sama-sama belajar terkait manajemen dan perlindungan hutan,” ujar Nova. Dalam sebuah seminar lingkungan, Nova juga pernah menyatakan ingin masyarakat dunia terlibat mendanai perlindungan hutan di Aceh. Hal ini agar masyarakat di sekitar hutan tidak mencari nafkah dari merusak hutan.[rel]

read more
HutanKebijakan Lingkungan

UNESCO Sebut TNGL Dalam Bahaya

BANDA ACEH – Reactive Monitoring Mission (RMM) International Union for Conservation of Nature and Natural Resource (IUCN) Unesco, Peter Howard menyebutkan Tropical Reinforest Heritage Sumatera (TRHS) merupakan 1 dari 240 warisan dunia yang ditetapkan oleh Unesco.

Sejak ditetapkan sebagai TRHS, kawasan ini terus mengalami kemunduran, sehingga Unesco menetapkannya dalam bahaya. Hal ini berimbas pada keharusan pemerintah RI melakukan kegiatan yang berkaitan dengan perbaikan kerusakan tersebut.

“Lima tahun lalu RMM juga sudah datang untuk mengidentifikasi masalah dan mencari pemecahan terhadap masalah tersebut. Sekarang setelah 5 tahun berjalan kita akan melihat, bagaimana proses perbaikan dari rekomendasi tersebut dilakukan,” kata Peter Howard dalam pertemuan dengan Wakil Gubernur Aceh, Nova Iriansyah, Jumat (6/4/2018).

Peter menjelaskan, pihaknya akan melihat apakah target-target yang telah ditetapkan 5 tahun lalu masih realistis untuk dicapai atau harus diubah. Tim siap membantu jika target tersebut belum tercapai.

“Kita siap meminta bantuan komunitas internasional untuk datang dan turut membantu,” ucap Peter.

Untuk memastikan perkembangan TNGL dan khususnya KEL,  Asisten Deputi Warisan Budaya Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Pamuji Lestari menjelaskan, tim akan beraktivitas di beberapa taman nasional di Sumatera selama 12 hari. Ini dilakukan agar warisan dunia yang ada di Indonesia dapat dijadikan sebagai potensi.

“Benar ada dana yang dikeluarkan untuk pemeliharaan, tetapi taman nasional harus pula didorong menjadi potensi ekonomi bagi masyarakat sekitar, terutama menggerakkan sektor pariwisata,” tukasnya.

Untuk diketahui, berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 190/KPTS-II/2000, luas KEL mencapai 2.255.577 hektar, yang terbagi atas lokasi TNGL seluas 26,72 persen, Kawasan Taman Buru seluas 1,29 persen, Suaka Marga Satwa seluas 4,54 persen, Hutan Lindung 41,75 persen, Hutan Produksi 11,24 persen, dan Areal Penggunaan Lain (APL) seluas 14,46 persen.

KEL merupakan kawasan hutan tropis yang memiliki peran besar sebagai penyimpan cadangan air, pengendali iklim mikro, dan penyerap karbon. Sedikitnya terdapat 105 spesies mamalia, 382 spesies burung, dan 95 spesies reptil dan amfibi hidup di kawasan itu.

“KEL merupakan tempat terakhir di Asia Tenggara yang memiliki ukuran dan kualitas untuk mempertahankan populasi spesies langka. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh menegaskan, pengelolaan KEL merupakan tanggungjawab Pemerintah Aceh. Namun, otoritas Aceh hanya sebatas pada kawasan hutan lindung dan hutan produksi,” kata Wakil Gubernur Aceh, Nova Iriansyah.

Sedangkan TNGL, pengelolaannya berada di bawah koordinasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser. TNGL harus bersih dari segala aktivitas yang mengganggu kegiatan konservasi.

“Jika ada isu mengatakan akan ada pembangunan jalan dan pembangkit listrik di wilayah TNGL, itu sama sekali tidak benar. Melalui program Aceh Green, Pemerintahan Aceh periode 2017-2022 kembali menjadikan pelestarian KEL sebagai salah satu prioritas, sebagai bagian dari pembangunan Aceh berwawasan lingkungan dan sensitif bencana,” tegas Nova.

Sebagaimana diketahui, dalam rangka mencegah terjadinya deforestasi dan degradasi hutan, Pemerintah Aceh telah menetapkan beberapa kebijakan strategis, di antaranya merekrut tenaga kontrak untuk pengamanan hutan (Pamhut) sebanyak 2.000 orang, yang bertugas untuk menjaga kelestarian KEL.

“Saat ini jumlah Pamhut yang direkrut Pemerintah Aceh pada tahun 2007/2008 hanya tersisa sebanyak 1.800 orang. Sebagian yang lain telah mengundurkan diri setelah mendapat pekerjaan lain,” ungkap Nova.

Tidak hanya merekrut Pamhut, melalui Instruksi Gubernur Nomor 5 tahun 2007 tentang Moratorium Logging, Pemerintah Aceh melarang semua aktivitas penebangan di kawasan hutan negara, disusul keluarnya kebijakan moratorium izin tambang dan mineral di tahun 2015, dan moratorium perkebunan kelapa sawit pada tahun 2016.

Selain itu, ada pula Qanun Nomor 19 tahun 2013 tentang RTRW Aceh 2013-2033, yang semakin menegaskan pentingnya pencegahan dan perlindungan hutan di wilayah ini.

Kebijakan ini diperkuat pula dengan hadirnya Qanun Aceh Nomor 7 tahun 2016 tentang Kehutanan Aceh.

Ada pula Peraturan Gubernur Aceh Nomor 20 tahun 2016 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Aceh, serta Peraturan Gubernur Aceh Nomor 10 tahun 2017 tentang Penanganan Konflik Terunial dalam Kawasan Hutan.

Sedangkan dalam hal perlindungan satwa, telah ada Keputusan Gubernur Aceh tentang Pembentukan Satuan Tugas Penanggulangan Konflik Manusia dan Satwa. Saat ini, Keputusan Gubernur tersebut sedang dalam proses peningkatan menjadi qanun.

“Dengan berbagai kebijakan yang telah dilakukan Pemerintah Aceh itu, bukan berarti semuanya dapat menjamin kalau perlindungan dan pengawasan KEL berjalan dengan sempurna. Dengan wilayah yang begitu luas, Pemerintah Aceh tentu tidak mampu melakukan pengawasaan secara menyeluruh. Tidak heran jika aksi-aksi illegal logging masih terjadi di kawasan itu,” kata Wagub.

Pada tahun 2011, Unesco menempatkan TNGL dalam status World Heritage in Dangered. Status ini merupakan peringatan untuk memberi perhatian lebih pada upaya pelestarian dan pengawasan di KEL dan TNGL.

“Semoga proses monitoring dan evaluasi yang akan berlangsung sukses. Harapan saya, melalui pertemuan ini kita dapat membahas langkah-langkah pelestarian ekosistem TNGL yang lebih komprehensif, sehingga peran KEL sebagai paru-paru dunia tetap berjalan dengan baik,” tutupnya.[acl]

read more
Hutan

Hutan Aceh Hancur 1 Persen per Tahun

Kerusakan hutan atau deforestasi akibat buruknya tata kelola kehutanan dan aktivitas ilegal di Aceh selama 9 tahun terakhir mencapai 290 ribu hektare lebih. Ini artinya laju deforestasi di Aceh mencapai 32 ribu hektare per tahun atau sebesar 1 % per tahun. Hal tersebut disampaikan oleh Agung dari bagian GIS Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA) dalam acara buka puasa bersama dan media briefing di Banda Aceh 27 Juni 2016.

Yayasan HAkA mencatat luas hutan Aceh pada tahun 2006 seluas 3,34 juta hektare, namun kini tersisa seluas 3,050 juta hektare.

Data dari dokumen Governor Climate and Forest (GCF) task force pada periode 2006 hingga 2009 saja, Aceh kehilangan 160 ribu hektare lebih. Di mana luas hutan Aceh pada 2006 mencapai 3,34, berkurang menjadi 3,18 juta hektare pada 2009. Pada periode itu laju kerusakan hutan di Aceh mencapai 32 ribu hektare.

Data dari Forest Watch Indonesia, pada periode 2009-2013, deforestasi di Aceh mencapai 127 ribu hektare lebih dengan laju kerusakan hutan mencapai 31,8 ribu per tahun. Luas hutan Aceh pada 2009 mencapai 3,154 juta hektare berkurang menjadi 3,027 juta hektare.

Sedangkan kerusakan hutan periode 2014 dan 2015 sekitar 21.056 hektare. Di mana luas hutan Aceh pada 2014 mencapai 3,071 juta hektare dan berkurang menjadi 3,050 juta hektare pada tahun 2015. Hitungan ini menunjukkan bahwa sebesar 54% dari dari daratan Aceh masih berupa tutupan hutan alam.

Kerusakan hutan pada periode tersebut yang terluas berada di Kabupatan Aceh Timur mencapai 4.431 hektare, Kabupaten Aceh Selatan mencapai 3.061 hektare, Kabupaten Aceh Utara 1.771 hektare, Kota Subulussalam 1.475 hektare, dan Kabupaten Gayo Lues mencapai 1.401 hektare.

Begitu juga dengan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), juga mengalami penyusutan akibat konsesi hutan menjadi perkebunan dan praktik merusak lainnya. Yayasan HAkA menemukan sekitar 200 ribu hektar luas tutupan hutan alam di dalam Areal Penggunaan Lain (APL). Dari luas tersebut, ada 69 ribu hektare hutan alam berada di Kawasan Ekosistem Leuser. Luas tutupan hutan alam di KEL per Mei 2016 mencapai 1,8 juta hektare atau sekitar 79 persen dari total area KEL.

Pada kesempatan tersebut juga dibahas tentang beberapa catatan tentang Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) dan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) yang disampaikan oleh pembicara Mawardi Ismail S.H. M.Hum sebagai akademisi, Mawardi menyampaikan bahwa KEL dinyatakan sebagai Kawasan Strategis Nasional (KSN) dalam PP 26 tahun 2008 namun sayangnya Qanun Aceh No. 19 Tahun 2013 tidak memuat KEL sebagai KSN. Saat ini yang juga perlu diperhatikan bersama adalah RTRW Kabupaten/Kota di sekitar KEL dan Rencana Tata Ruang KSN KEL.

Lebih lanjut Mawardi menyampaikan TNGL adalah bagian dari KEL. KEL seharusnya tidak menjadi hal yang menakutkan karena di KEL itu sendiri terdiri dari berbagai fungsi kawasan hutan dan Area Penggunaan Lain (APL). Pada saat terjadi bencana, orang menyalahkan hutan dan lingkungan yang sudah dirusak. Namun di saat yang lain, orang yang sama menyebutkan pembangunan tidak dapat dilaksanakan karena terhalang dengan kawasan lindung.

read more