close

tsunami

Kebijakan LingkunganRagam

Pakar Diskusikan Respons Pemerintah Aceh Terkait Pengurangan Resiko Bencana

Banda Aceh  – Forum Pengurangan Risiko Bencana (F-PRB) Aceh menggelar diskusi publik bertema Mengenali Potensi Bencana, Mengurangi Risikonya, di Aula Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Gampong (DPMG) Aceh di Banda Aceh, Senin 25 Desember 2017 lalu.

Ketua Panitia Pelaksana, Ir TM Zulfikar MP yang juga Wakil Ketua F-PRB Aceh mengatakan, diskusi tersebut menghadirkan HM Nasir Jamil SAg MSi (anggota Komisi Hukum DPR RI Fraksi PKS) sebagai keynote speaker. Ikut mendampingi Nasir Jamil pakar bencana dari Aceh, Dr Taqwaddin SH SE MSi (Ketua Dewan Pakar F-PRB Aceh/Kepala Ombudsman RI Perwakilan Aceh) dan Mukhsin Syafi’i ST MT (BPBA).

Menurut Zulfikar, diskusi publik yang dimoderatori oleh Yarmen Dinamika (Redpel Harian Serambi Indonesia yang juga Wakil Ketua Forum PRB Aceh) juga menghadirkan narasumber Kepala DPMG Aceh, Prof Dr Ir Amhar Abubakar MSc yang akan mengupas soal bisa tidaknya pengalokasian dana desa untuk program yang terkait pengurangan risiko dan penanggulangan bencana.

Peserta aktif diskusi publik tersebut, lanjut Zulfikar adalah keuchik/aparat gampong dan perwakilan tokoh perempuan dari desa-desa yang rawan bencana di wilayah Kota Banda Aceh dan Aceh Besar. Peserta diskusi diharapkan akan menceritakan berbagai pengalaman mereka ketika masa darurat pascabencana serta upaya apa saja yang dilakukan pemerintah selama ini sebagai bentuk edukasi pengurangan risiko bencana. “Diskusi ini menjadi penting jika dikaitkan dengan target Pemerintah Aceh di bawah kepemimpinan Irwandi-Nova untuk menjadikan Aceh teuga dan tangguh menghadapi bencana,” kata Zulfikar.

Berbagai informasi yang berkembang di forum diskusi akan ditanggapi langsung oleh Nasir Jamil bersama pakar-pakar kebencanaan termasuk Kepala DPMG Aceh yang secara khusus akan memberikan penjelasan kepada para keuchik mengenai pengelolaan dana gampong termasuk untuk program pengurangan risiko bencana seperti untuk penguatan komunitas masyarakat dan desa siaga bencana, simulasi penanggulangan bencana, dan berbagai program lainnya yang disesuaikan dengan tujuan membentuk masyarakat Aceh teuga dan tangguh bencana.(rel)

read more
Ragam

Bersiap Hadapi Gelombang Raksasa

26 Desember 2004. Pagi itu, Bahar, Kepala Desa Lamtengoh Kabupaten Aceh Besar, sedang menyibukkan diri di tengah sawah saat tiba-tiba tanah yang ia pijak, berguncang. Guncangan yang akibatnya tak pernah bisa dibayangkan oleh seorang pun saat itu.

Ketika kembali ke rumah, tiba-tiba anaknya berteriak, bahwa air laut yang garis pantainya terletak hanya sekitar 200 meter dari kampung mereka, naik. Bahar berseru sekuat tenaga kepada semua orang di desanya, memperingatkan mereka untuk lari ke gunung 500 meter di belakang permukiman.

“Saya bawa anak saya yang paling kecil,” kenang Bahar. Namun, balita yang baru berusia sebelas bulan itu terlepas dari tangannya saat diterjang air yang ia gambarkan seperti golakan blender. Setelah bebas dari impitan kayu dan berhasil naik ke gunung, ia bertemu dengan anak perempuannya, Dian Bahari, yang saat itu mengenyam pendidikan SMK.

Anak itu terduduk di atas batu dengan rambut yang sudah kusut. Saat melihat ayahnya ia berkata dengan lirih, “Ayah, apakah saya sedang bermimpi?” Sang ayah pun menjawab, “tidak nak, kamu tidak sedang bermimpi.”

Berbulan-bulan setelah kejadian itu, Kuntoro Mangkusubroto, yang akhirnya dilantik sebagai Kepala Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD-Nias, juga tak pernah bermimpi bakal menghadapi kekacauan yang ada di Aceh, untuk mengembalikannya nyaris seperti semula.

“Ini adalah persoalan manajemen yang paling kompleks yang pernah saya alami, dan menurut saya tidak ada yang mengalahkan hal ini,” ia berkata. Di lokasi yang tertimpa bencana dan dalam keadaan kacau-balau, timnya harus melakukan koordinasi dengan beragam organisasi, baik dari dalam maupun luar negeri, termasuk memberikan pengertian kepada GAM maupun TNI terkait keberadaan mereka, juga harus berhubungan dengan pihak Jakarta, “dengan birokrasinya yang ruwet,” kenangnya.

Uluran tangan datang untuk membangkitkan kembali kehidupan yang telah diporakporandakan hantaman gelombang raksasa. Bantuan peralatan untuk mendeteksi kedatangan tsunami secara dini serta sistem peringatannya, dikerahkan antara lain oleh Jerman, Amerika Serikat, serta Malaysia.

Alat deteksi dini gelombang dalam bentuk buoy yang juga merupakan karya BPPT, disebar di pesisir pantai Indonesia yang memiliki potensi ancaman tsunami. Menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dari 25 unit buoy tsunami di perairan Indonesia, saat ini hanya tiga unit yang beroperasi, akibat kerusakan teknis.

Di markas BNPB di Jalan Ir. H. Juanda, Jakarta, saya berbincang dengan Sutopo Purwo Nugroho, Kepala pusat Data Informasi dan Humas. Di ruangan di samping saya, terlihat selembar peta Sinabung yang mencuat dari alat pencetak dengan lebar kira-kira serentangan lengan orang dewasa. Di dinding, terdapat layar besar berisi informasi terkait bencana Sinabung yang dipantau selama 24 jam.

“Sirene tsunami di Indonesia masih terbatas, belum sampai 100 buah, termasuk di Aceh enam buah,” paparnya. Padahal, menurutnya Indonesia dengan rentang pesisir yang luas, butuh ribuan sirene untuk memperingati masyarakat akan bahaya tsunami. Ia pun menjelaskan, bahwa BNPB dan BPBD atau Badan Penanggulangan Bencana Daerah, membantu BMKG dalam membangun sirene berbasis komunitas.

“Contohnya di Sumatra Barat, Pacitan, Cilacap, dan Bantul,” lanjutnya. Sutopo memaparkan, saat peringatan dini tsunami dari BMKG diterima oleh masyarakat, petugas harus menekan tombol sirene untuk memperingatkan warga akan bahaya yang akan datang. “Setelah itu mereka harus mengungsi, dan tugas BNPB dan BPBD-lah untuk memberikan pelayanan dibantu lembaga lainnya,” lanjutnya.

Saat fotografer Yunaidi menyambangi beberapa fasilitas di Banda Aceh pada awal November silam, ia menyaksikan jalur evakuasi yang sempit dan kurang memadai untuk menampung massa yang harus melarikan diri menuju Bukit Seulawah di bagian barat kota, yang tidak mungkin ditempuh dalam waktu sekitar 20 menit, dengan berlari.

Sistem penanganan peringatan dini bencana terutama tsunami yang dikerjakan bersama oleh BPPT, BMKG, serta BNPB ini membuat kening Kuntoro berkerut. Bertahun-tahun bergelut dengan masyarakat korban bencana, ia meragukan jika penanganan peringatan bencana besar, masih saja harus terbagi di beberapa instansi. “Harus satu tangan, satu perintah,” tegasnya. Ia berkaca pada pengalaman gempa 2012 yang sistem peringatannya tak lebih baik dari bencana sebelumnya. Evakuasi menimbulkan kemacetan, bahkan sirene di Uleelheue tidak menyala saat tombolnya ditekan oleh masyarakat, karena aliran listrik mati.

Pengalaman dilanda bencana memang membuat masyarakat Aceh lebih waspada. Lima tahun masa pasca-tsunami diperingati dengan melibatkan ribuan penduduk di wilayah Meuraksa, dalam simulasi yang dilakukan banyak pihak, termasuk Palang Merah Indonesia. “Oktober lalu, simulasi mengenang 10 tahun tsunami juga diselenggarakan di Blang Oi, Meuraksa, dengan melibatkan anak sekolah,” ungkap Fauzi Husaini, Kepala Sub Bidang Penanggulangan PMI Provinsi Aceh.

Didukung oleh Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah, PMI membangun program Kesiapsiagaan Bencana Berbasis Masyarakat yang dilaksanakan sejak 2006. Menurut Fauzi, hingga tahun ini, ada 350 desa dari sekitar 6.600 desa di Aceh yang memiliki rencana kontingensi. Di dalam program ini terdapat tim Sibat atau Siaga Bencana Berbasis Masyarakat, yang melakukan pelatihan dalam menghadapi petaka, selama lima hari. “Kami menyiapkan SDM untuk hal ini, namun kelemahan ada di anggaran,” ujar Fauzi. Saat dana dari PMI tak lagi mengalir, masyarakat tak pernah lagi mengadakan simulasi.

Sutopo menunjukkan perhitungan indeks kesiapsiagaan per kabupaten/kota 2012 yang antara lain meliputi indeks pengetahuan dan bencana, rencana tanggap darurat, serta peringatan dini bencana. Hasilnya, tingkat kesiapsiagaan masih rendah.

“Pengetahuan masyarakat tentang bencana sudah meningkat, namun belum jadi perilaku dan budaya,” ungkap Sutopo. Padahal, pada 2012, Susilo Bambang Yudhoyono menerima penghargaan Global Champion for Risk Disaster Reduction dari badan PBB, UNISDR. Menurut Sutopo, masih banyak tantangan yang dihadapi oleh bangsa ini seperti SDM yang terbatas, luasnya wilayah Indonesia, serta kebutuhan dana yang belum tercukupi.

Saat fotografer Yunaidi menyambangi beberapa fasilitas di Banda Aceh pada awal November silam, ia menyaksikan jalur evakuasi yang sempit dan kurang memadai untuk menampung massa yang harus melarikan diri menuju Bukit Seulawah di bagian barat kota, yang tidak mungkin ditempuh dalam waktu sekitar 20 menit, dengan berlari. Selain itu, dua buah bangunan yang didirikan sebagai tempat evakuasi tsunami berlantai empat yang ia datangi pun kurang terawat.

Dalam sepuluh tahun ini, apakah masyarakat yang tinggal di seluruh wilayah Indonesia, khususnya Aceh, siap menghadapi bencana? “Kalau bencana sebesar tsunami Aceh, siapa pun tidak bakalan siap,” tegas Kuntoro. Kini, hasil kerja timnya hingga 2009 tertuang dalam bentuk BRR Institute, sebagai bentuk kewajiban berbagi ilmu kepada dunia yang telah membantu Indonesia dalam pemulihan Aceh dan Nias. Institusi ini kerap berbagi ilmu dengan negara-negara lain yang ditimpa bencana.

Di Lamtengoh, Bahar yang kehilangan istri dan seluruh anaknya yang berjumlah lima orang, telah terbiasa dengan simulasi sirene peringatan dini tsunami yang beroperasi dengan baik di daerahnya. Gampong atau kampungnya kini sudah berdiri kembali persis di tempatnya semula. “Sekarang kami sudah menjalani hidup baru, bekerja seperti biasa, dan sudah melupakan semuanya,” tegasnya. Ia yakin betul, bahwa tsunami tak akan lagi menerpanya. “Saya katakan, bisul tidak akan tumbuh di tempat yang sama,” pungkas Bahar.

Penulis, Titania Febrianti dan Yunaidi, staf redaksi NGI, berkisah mengenai aplikasi Kalender Tanam yang membantu para petani, di edisi November 2014.

read more
Kebijakan Lingkungan

Melihat Kualitas Bangunan di Aceh Pasca 10 Tahun Tsunami

Lebih kurang satu bulan lagi, masyarakat Aceh akan memperingati peristiwa 10 tahun bencana dahsyat dalam sejarah manusia yaitu gempa bumi dan tsunami, tanggal 26 Desember. Bencana dahsyat ini merenggut sekitar 200 ribu jiwa manusia dan meluluhlantakan berbagai bangunan di Aceh dan Nias. Banyak hikmah yang bisa dipetik dari bencana ini sehingga bisa dijadikan pelajaran untuk masa depan. Salah satu pelajaran penting adalah bagaimana mendirikan bangunan yang tahan gempa sehingga andal dalam meredam resiko kehilangan harta benda.

Saya adalah seorang penduduk Banda Aceh, pernah mengalami dahsyatnya bencana tersebut dan kini tinggal di rumah bantuan. Rumah bantuan itu kecil tapi cukup nyaman untuk ditinggali bersama keluarga. Saat berjalan-jalan di kota, saya sulit membayangkan bahwa Banda Aceh dulu merupakan kawasan terparah kerusakannya akibat bencana tsunami karena jarang ditemukan sisa-sisanya. Hanya di beberapa tempat pemerintah dan masyarakat mendirikan monumen untuk mengenang bencana ie Beuna (bahasa Aceh untuk tsunami) pernah terjadi di Aceh.

Bangunan-bangunan kini tegak kokoh dan nampak indah dipandang mata. Sebagian besar wilayah dalam Banda Aceh kini sudah ditata lebih rapi, teratur dan dilengkapi dengan berbagai petunjuk jalan. Namun dalam benak masih menggelayut pertanyaan besar, apakah jika bencana serupa terulang, akankah kota ini mampu bertahan dari ayunan gempa dan terjangan tsunami. Sudah cukup kuatkah bangunan-bangunan di Banda Aceh atau Aceh secara umum?

Saat bencana gempa dan tsunami lalu, banyak infrastruktur yang hancur seperti jembatan, pelabuhan, gedung serta bangunan perumahan. Bangunan-bangunan yang roboh saat terjadi gempa didominasi oleh bangunan modern atau semi modern yang menggunakan beton. Hal ini bisa disebabkan oleh berbagai hal. Seorang peneliti ITB Bandung yang sempat turun ke lokasi gempa, Biemo W. Soemardi, menyimpulkan bahwa secara umum penyebab kegagalan bangunan menahan gempa bersumber pada kesalahan atau kecerobohan dalam perancangan, material konstruksi, pelaksanaan konstruksi ataupun kesalahan dalam pemanfaatan bangunan.

Ezri Hayat, putra Aceh, yang sedang menempuh pendidikan doktoral bidang Disaster Resilience Centre, university of Salford, ketika ditanya apakah kondisi bangunan di Aceh pasca 10 tahun tsunami sudah memenuhi syarat, sulit menjawab.

“Wah.. sulit dijawab bang. Yang pertama karena kaidah rumah tahan gempa itu sulit buat dilihat sepintas lalu. Yang kedua sulit juga untuk me-generalisir nya,” ucapnya. Yang jelas permasalahan utama di pekerjaan bangunan adalah kualitas pengerjaan, sambungnya.

Seorang ahli teknik sipil dan juga berkecimpung dalam pembangunan perumahan, Ir. Faisal Ali, mengatakan di Aceh bangunan sebelum dan sesudah tsunami tidak banyak mengalami perubahan dalam hal konstruksi dan material. Faisal yang merupakan alumni Universitas Syiah Kuala menyebutkan bangunan di Aceh sebelum tsunami pun sudah dibangun tahan gempa.

“Lihat saja kemarin waktu gempa 2004, tidak banyak rumah yang roboh kan. Kebanyakan rumah sudah tahan gempa saat itu,” ujarnya.

Memang apa dikatakannya ada benarnya. Bangunan yang banyak runtuh saat gempa berkekuatan 9 SR mengguncang Aceh adalah pertokoan, termasuk pusat perbelanjaan terbesar di Banda Aceh saat itu. Bangunan kemudian baru hancur lebur karena disapu gelombang tsunami yang datang kemudian.

Ezri Hayat mengomentari pemahaman masyarakat tentang besaran gempa yang biasa diukur dengan Skala Richter atau SR. Menurutnya ini kurang tepat karena SR mengukur kekuatan gempa di pusatnya. “Sering dalam diskusi dengan masyarakat awam timbul percakapan yang kira kira ‘bangunan ini tahan buat sekian skala richter’, atau ‘di pusat nya gempa tadi sekitar 7 SR, tapi disini mungkin cuma 5 atau 6 SR,” ujarnya.

Yang lebih tepat adalah pengukuran memakai skala yang menunjukkan goncangan di suatu lokasi tertentu namanya Modified Mercalli Intensity atau MMI. “ Jadi suatu gempa mempunyai satu nilai SR yang tetap, tapi nilai MMI nya berbeda beda tergantung lokasi. Pasti SR di pusat sama namun MMI berbeda tergantung lokasinya,” jelas Ezri.

“Tsunami yang banyak membuat hancur bangunan karena gelombangnya turut membawa puing-puing reruntuhan. Puing-puing ini kemudian menghantam lagi bangunan yang lama kelamaan energinya makin besar karena makin banyak puing dibawanya,” ujar Faisal Ali.

Kualitas bangunan perumahan yang dibangunnya sejak sebelum dan sesudah tsunami tidak banyak berubah selain perubahan yang mengikuti trend. “ Kami masih menggunakan material yang sama kualitasnya, tidak ada material yang khusus. Paling modelnya yang disesuaikan dengan trend,” ucapnya.

Filosofi bangunan tahan gempa yaitu bila terjadi gempa ringan, bangunan tidak boleh mengalami kerusakan baik pada komponen non-struktural. Misalnya dinding retak, genting dan langit-langit jatuh, kaca pecah dan sebagainya. Begitu juga komponen strukturalnya tidak boleh rusak seperti kolom dan balok retak, pondasi amblas, dan lainnya.

Namun bila terjadi gempa sedang, bangunan bisa saja mengalami kerusakan pada komponen non-strukturalnya akan tetapi komponen struktural tidak boleh rusak. Sedangkan filosofi terakhir bila gempa besar, bangunan boleh mengalami kerusakan baik pada komponen non-struktural maupun komponen strukturalnya, akan tetapi jiwa penghuni bangunan tetap selamat. Artinya sebelum bangunan runtuh masih cukup waktu bagi penghuni bangunan untuk keluar dan mengungsi ke tempat aman.

Kualitas material merupakan unsur terpenting dalam konstruksi. Jika kualitas material yang digunakan jelek, maka hasilnya tidak bisa menjamin bangunan tahan gempa. Kualitas material ini dipengaruhi oleh berbagai hal pada berbagai tahapan. Kualitas material ditentukan sejak pengadaan, pengangkutan, penyimpanan sampai pengolahannya. Jangan sampai material yang sudah bagus kemudian tercampur dengan material buruk. Ini seperti mencampur pertamax dengan minyak tanah, bisa hancur jadinya.

Waktu telah membuktikan ucapan Faisal tersebut. Pasca gempa 2004, gempa-gempa susulan tak terhitung banyaknya terjadi di Aceh. Bahkan ada dua gempa kembar, karena terjadi dalam selang waktu berdekatan dengan kekuatan yang nyaris sama. Gempa terjadi hari Rabu 11 April 2012 sore, dimana gempa pertama terjadi pada pukul 15.38 WIB dengan kekuatan 8,5 skala Richter. Adapun gempa kedua terjadi pada pukul 17.43 WIB dengan kekuatan 8,1 skala Richter. Penulis yang saat itu berada di Banda Aceh, tidak menjumpai kerusakan yang signifikan akibat dua gempa tersebut. Ini paling tidak menandakan apa yang disampaikan Faisal ada benarnya.

Pasca gempa 2004 memang ada sebagian warga menjadi lebih “cerewet” alias mengajukan berbagai kriteria memilih rumah dan bangunan. Mereka terutama memprioritaskan lokasi bangunan tidak berada di wilayah bekas dampak tsunami. Namun hal ini tidak sepenuhnya dipegang erat masyarakat. Menurut Faisal, para calon pembeli rumah tetap berpegangan sesuai dengan kepentingannya masing-masing.

“Lokasi, kualitas bangunan dan harga menjadi pertimbangan utama menempati rumah. Ada yang pilih lokasi jauh dari bekas daerah tsunami, ada yang ingin dekat tempat kerja, dekat sama tempat saudara dan sebagainya,” katanya. Sedangkan bagi yang ingin investasi maka pertimbangannya lain pula. Investor memilih lokasi yang paling cepat naik harganya dan menguntungkan.

Pasca bencana tsunami, bantuan mengalir ke Aceh bagaikan air bah. Rumah, jembatan, gedung dan berbagai infrastruktur dibangun baik oleh pemerintah maupun pihak yang populer di sebut NGO (Non Govermental Organization). Lantas apakah dengan uang yang melimpah tersebut kualitas bangunan menjadi lebih baik?

Seorang warga Banda Aceh yang kini menempati rumah bantuan yang dekat pantai, Zakia Najdi, mengatakan bawah rumah yang mereka tempati kualitas betonnya lumayan baik. “ Ga ada retak-retak dindingnya kayak bantuan lain. Padahal sudah beberapa kali gempa umurnya hampir sepuluh tahun juga,” ucapnya. Zakia tidak merasa khawatir ketika ia berada dalam rumah jika gempa melanda Aceh karena yakin dengan kualitasnya. Ia menerima bantuan dari sebuah NGO asing yang sangat teliti mengawasi pembangunan rumah bantuan. Zakia menyampaikan jika ada rumah yang tidak sesuai spesifikasi maka akan dibongkar kembali oleh pengawas bangunan NGO tersebut. Namun sayangnya tidak semua rumah bantuan seperti itu.

Zakia melihat ada juga rumah bantuan milik tetangga disekitar rumahnya di daerah Peukan Bada Aceh Besar, yang berasal dari lembaga lain mempunyai kualitas buruk. Dindingnya retak, kayunya melengkung bahkan ada yang atapnya copot dihempas angin kencang. Namun Zakia juga mengakui bahwa rumahnya juga masih jauh dari sempurna. Bagian rumahnya yang terbuat dari kayu kini banyak yang rusak.

“ Kayunya bisa dibilang kayu nomor 3, udah dimakan rayap, kusen jendela pun melengkung,” tambahnya. Rumah yang ditempatinya berukuran 36 meter persegi, tidak memiliki ruang dapur dan kamar mandinya di luar.

Penataan kampung tempat tinggalnya pun sudah lumayan bagus dibanding sebelum tsunami. Kini banyak rambu-rambu petunjuk arah evakuasi jika terjadi bencana. “ Kalau dulu, pas ada kejadian kita tidak tahu lari kemana. Sekarang sudah ada penunjuk arah jadi bisa cepat larinya,” ucapnya.

Pemerintah pasca kejadian gempa dan tsunami tahun 2004 lalu menetapkan banyak persyaratan dalam mendirikan bangunan. Mulai dari persyaratan lokasi hingga material bangunan yang tercantum dalam cetak biru pembangunan (blue print) Aceh-Nias. Salah satu syarat yang menonjol adalah larangan mendirikan rumah dalam jarak 200 meter dari bibir pantai. Hal ini untuk mencegah rumah tersebut dari hantaman gelombang laut yang pada waktu-waktu tertentu sangat ganas menghantam daratan.

Sayangnya masih banyak masyarakat tak mematuhinya. Mereka mendirikan bangunan dalam radius larangan tersebut malah disebagian daerah, pemerintah setempat juga ikut-ikutan mendirikan bangunan dalam kawasan berbahaya. Ini menjadi PR pemerintah untuk terus mengawasi pembangunan pasca tsunami agar korban yang ditimbulkan akibat bencana bisa diminimalkan.[]

read more
Ragam

TDMRC-Unsyiah Survey Gempa Dangkal di Aceh Tengah

Kejadian Gempa Bumi Aceh Tengah – Bener Meriah tanggal 02 Juli 2013 telah memberikan pelajaran bagi kita akan bahaya gempa bumi di darat. Sumber gempa bumi yang dangkal dan dekat dengan perumahan penduduk mengakibatkan getaran yang dirasakan laut lebih besar dan memiliki efek merusak yang kuat.

Hal ini dikatakan oleh Koordinator Survey, Ibnu Rusydy, M.Sc, yang juga merupakan Peneliti Muda TDMRC-Unsyiah, kepada Green Journalist, Minggu (15/6/2014). Menurutnya, apabila dilihat dari skala gempanya, gempa bumi Aceh Tengah – Bener Meriah 2013 tersebut tergolong gempa bumi skala kecil, namun karena sumber gempanya yang dangkal, ditambahkan lagi banyak perumahan dan bangunan berada di tanah yang lunak sehingga menimbulkan efek amplifikasi atau efek penguatan gelombang gempa bumi.

Tim sedang melakukan pengujian | Foto: Ist
Tim sedang melakukan pengujian | Foto: Ist

Efek tanah lunak yang bisa menimbulkan efek amplifikasi ini harus dipetakan dan dipelajari lebih lanjut.  Tim Tsunami and Disaster Mitigation Research Center (TDMRC) – Universitas Syiah Kuala bersama Tim Bappeda Provinsi Aceh melakukan survey Seismik MASW (Multichannel Analysis of Surface Waves) di Kab. Aceh Tengah dan Bener Meriah dari tanggal 11 – 15 Juni 2014.

Survey ini bertujuan untuk mengetahui kecepatan gelombang geser (Shear Wave) tanah sampai kedalaman 30 meter di beberapa cekungan terpilih di Aceh Tengah dan Bener Meriah. Berdasarkan nilai kecepatan gelombang geser kedalaman 30 meter atau lebih dikenal Vs30, nantinya akan dicarikan faktor amplifikasi.

” Faktor amplifikasi Vs30 ini akan bermanfaat untuk membuat Peta kawasan rawan gempa bumi Kabupaten Aceh Tengah dan Bener meriah yang akan sangat bermanfaat dalam perencanaan pembangunan infrastruktur bangunan tahan gempa bumi di kedua kabupaten tersebut,” jelas Ibnu Rusydi.

Kegiatan merupakan kerjasama antara TDMCR-Unsyiah dengan Bappeda Prov. Aceh menggunakan peralatan Seismik dari Jurusan Teknik Geofisika Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala.[]

read more
Ragam

Fakta-fakta Dasar Tsunami yang Perlu Anda Tahu

Pada 26 Desember 2004 terjadi gempa Sumatera yang menyebabkan tsunami dan merenggut banyak jiwa. Dampaknya tidak hanya terbatas dalam wilayah Indonesia, melainkan juga meluas hingga wilayah pesisir pantai negara-negara tetangga, seperti Malaysia, Thailand, bahkan mencapai India, Sri Lanka, dan Afrika Timur.

Tsunami dahsyat yang menimpa sembilan tahun lampau itu meninggalkan duka mendalam—bahkan trauma masih membayang sampai sekarang—  tapi bukan hanya itu. Bencana tsunami Aceh meninggalkan pula pengalaman darimana kita seharusnya belajar apa yang perlu dilakukan ketika tsunami. Paling tidak, bagaimana menyelamatkan diri dan bagaimana bertindak tepat untuk mengatasinya.

Sebab pengetahuan kearifan tsunami tidak dapat dimengerti hanya dari fakta ilmiahnya saja. Berikut merupakan ringkasan beberapa pengetahuan dasar tsunami dan pokok-pokok mendasar yang perlu diperhatikan terkait kesiapsiagaan tsunami.

  •     Kecepatan tsunami yang sangat cepat, sehingga kadang tidak punya cukup waktu untuk menghindarinya.
  •     Tsunami akan datang secara berulang.
  •     Gelombang tsunami pertama tidak selalu merupakan yang tertinggi.
  •     Tsunami tidak selalu terjadi dimulai dengan adanya gelombang tarik.
  •     Setelah terjadi gempa besar perlu berhati-hati terhadap tsunami. Sebaliknya, meski guncangan kecil pun, ada kemungkinan terjadi tsunami.
  •     Tsunami yang telah naik ke daratan akan menyeret dan menyapu semua yang ada sambil membawa berbagai serpihan bangunan dan mobil.
  •     Sulit untuk menyelamatkan diri meskipun kaadang tsunami hanya setinggi 50 sentimeter, yang menyebabkan adalah karena kaki akan tertarik keras oleh arus tsunami.
  •     Tsunami akan menyisiri sungai masuk hingga ke pedalaman. Tsunami yang masuk ke dalam teluk akan memiliki pergerakan gelombang yang kompleks.
  •     Jika masuk ke pesisir pantai yang dangkal, kecepatan tsunami akan semakin melambat. Namun ketinggiannya semakin tinggi.
  •     Tsunami mungkin saja akan terjadi, meskipun lokasi gempa terjadi di tempat yang sangat jauh.
  •     Perlu membiasakan diri untuk senantiasa memikirkan ke mana harus mengungsi saat terjadi tsunami.
  •     Untuk menyelamatkan diri, berjalan atau berlari lebih baik, karena menggunakan kendaraan akan timbul kemacetan dan sulit bergerak. Namun, kadang menggunakan kendaraan juga diperlukan.
  •     Kita perlu waspada dengan bunyi sirene peringatan tsunami, akan tetapi tidak perlu menunggu perintah pengungsian untuk mengungsi. Orang-orang perlu memutuskan sendiri—dengan cepat—untuk mengungsi dari tsunami.

Sumber: NGI/LIPI/JICA/JST)

read more
Ragam

Pulau Baru di Jepang Terus Meluas

Pulau vulkanik kecil ini berada di sekitar 970 kilometer selatan Tokyo, dekat lepas pantai sebuah pulau kecil tak berpenghuni yang disebut Nishino Shima. Terletak di perairan Jepang, pulau yang baru timbul ini adalah salah satu dari sekitar 30 Kepulauan Bonin, atau rantai Ogasawara.

Niijima pertama kali terlihat pada 20 November lalu. Pada hari berikutnya, penjaga pantai Jepang merilis video pembentukan pulau itu yang menunjukkan asap mengepul, uap, debu, dan batuan meledak dari kawah yang meletus di laut.

Pada saat itu, para ilmuwan Jepang tidak yakin berapa lama pulau itu akan berlangsung, karena laut sering menelan kembali pulau vulkanik dalam waktu singkat.

Menurut Badan Meteorologi Jepang, Niijima telah berkembang menjadi 56.000 meter persegi (13,8 hektare), sekitar tiga kali ukuran awalnya. Tingginya meningkat sekitar 65 sampai 82 kaki (20-25 meter) di atas permukaan laut.

Ilmuwan Jepang memprediksi, pulau tersebut telah tumbuh cukup besar untuk bertahan hidup selama setidaknya beberapa tahun jika tidak permanen.

Dalam citra satelit NASA yang diambil 8 December lalu, Niijima bisa terlihat jelas di samping pulau yang lebih besar, Nishino Shima. Air di sekitar Niijima itu tampak berubah warna oleh mineral vulkanik, gas, dan sedimen dasar laut yang diaduk oleh aktivitas geologi.

Kini, aktivitas gunung berapi telah lama mengubah tampak planet ini, terutama di sepanjang Ring of Fire, sebuah pinggiran pantai yang mengelilingi sebagian besar Samudera Pasifik termasuk Jepang.

Sumber: NGI

read more
Ragam

Nelayan Aceh Berhenti Melaut Peringati Tsunami

Ratusan perahu nelayan disandarkan sepanjang Muara Kreung Aceh. Mereka tidak melaut, jelang peringatan sembilan tahun bencana tsunami, 26 Desember 2013. Bencana maha dahsyat yang memporak-porandakan Aceh itu, menjadi kenangan pahit bagi para nelayan.

Tepat tanggal 26 Desember adalah hari pantang melaut bagi nelayan di Aceh. Mereka lebih memilih memperbaiki alat tangkap dan mempersiapkan kebutuhan melaut esok harinya. Bahkan, beberapa nelayan ada yang tidak melaut sejak Rabu pagi, 25 Desember 2013.

Pantang melaut setiap tanggal 26 Desember sudah berlaku setahun setelah bencana tsunami 2004 silam. Keputusan itu merupakan hasil musyawarah Panglima Laot Lhok Kreung Aceh bersama seluruh Panglima Laot di seluruh kabupaten dan kota di Aceh.

Selama tidak melaut, para nelayan diminta ikut berdoa dan berzikir untuk mengenang anggota keluarga dan masyarakat Aceh yang menjadi korban keganasan gempa dan tsunami di Aceh.

Menurut Panglima Laot Kreung Aceh, Tabrani, bagi mereka yang masih kedapatan melaut, akan diberi sanksi larangan melaut selama seminggu dan tidak diperkenankan masuk ke kawasan untuk menjual hasil tangkapannya.

Sementara itu, meski tidak melaut selama sehari penuh, sejumlah nelayan merasa tidak keberatan dengan larangan tersebut. Selain untuk mendoakan para korban, larangan itu juga dinilai menjadi ajang mengingatkan anak dan cucu bahwa bencana maha dahsyat tsunami pernah melanda Aceh.

Selain 26 Desember, larangan melaut bagi nelayan Aceh juga berlaku pada hari-hari besar Islam dan hari Jumat seperti saat Khanduri Laot dan hari kemerdekaan Republik Indonesia.

Gempa tektonik 9,3 SR yang mengakibatkan tsunami terjadi pada Minggu 26 Desember 2004. Bencana itu menewaskan sekitar 230.000 orang. Dari jumlah itu 30 persen di antaranya merupakan keluarga nelayan yang bermukim di wilayah pesisir. []

Sumber : vivanews.com

read more
Sains

Peneliti Amerika Temukan Jejak Tsunami Aceh Ribuan Tahun

Ini merupakan penemuan yang mencengangkan. Ilmuan dan peneliti Amerika Serikat menemukan sebuah gua yang merekam jejak tsunami di Provinsi Aceh. Walhasil, para peneliti berkesimpulan, pernah terjadi tsunami ribuan tahun lalu di Tanah Rencong ini.

Sejarah akan mengingat hari saat Bumi berguncang hebat. Pada 26 Desember 2004, gempa bumi bawah laut berkekuatan 9,1 skala Richter mengguncang Samudera Hindia di lepas pantai Sumatera Utara, Indonesia. Lindu memicu tsunami 30 meter. Lebih dari 230.000 orang tewas dan jutaan lainnya kehilangan tempat tinggal.

Namun, tak ada catatan sejarah yang merekam gempa dahsyat serupa pada masa lalu. Dan baru-baru ini diketahui, justru alamlah yang menyimpan riwayat.

Ilmuwan menemukan sebuah gua di pesisir barat laut Sumatera, di Aceh, yang secara mengagumkan merekam kejadian tsunami dahsyat yang pernah terjadi di Samudera Hindia. Sejak ribuan tahun lalu.

Gua kapur yang berada dekat Banda Aceh ternyata menyimpan deposit pasir yang dielak paksa oleh gelombang raksasa — yang dipicu gempa selama ribuan tahun. Para ahli menggunakan situs itu untuk membantu menentukan frekuensi bencana — seperti peristiwa 26 Desember 2004.

Caranya, dengan melakukan pengukuran usia sedimen tsunami yang berada di dalam gua. Yang pola lapisannya mudah dilihat, di antara lapisan kotoran kelelawar.

“Pasir tsunami terlihat jelas karena dipisahkan lapisan kotoran kelelawar. Tak ada hal yang membingungkan saat penentuan lapisan,” kata ahli Dr Jessica Pilarczyk dalam pertemuan terbesar ahli geologi dunia, American Geophysical Union (AGU) Fall Meeting di San Francisco, seperti Liputan6.com kutip dari BBC, Kamis (12/12/2013).

Dr Jessica Pilarczyk adalah bagian dari tim riset yang dipimpin Prof Charles Rubin dari Earth Observatory of Singapore — sebuah institut di Nanyang Technological University Singapura.

“Sebuah kerja lapangan yang menarik. Aku tidak berbohong kepada Anda. Kelelawar menjadi sangat agresif ketika manusia mengganggu habitat mereka. Tapi dari sudut pandang geologi, gua ini memiliki stratigrafi (lapisan) yang paling menakjubkan,” tambah dia.

Kedekatan Sumatera dengan perbatasan lempeng tektonik Indo-Australia dan Sunda. Gempa dahsyat sering terjadi di sana, dan itu berarti wilayah pesisirnya berisiko diterjang gelombang.

Dengan mengetahui seberapa sering itu terjadi sangat penting untuk perencanaan dan kebijakan di wilayah terdampak.

Gua di Aceh ini berada sekitar 100 meter dari zona cipratan pasang tertinggi saat ini. Liang masuknya sedikit meninggi, itu yang mencegah air laut masuk — kecuali tsunami dan badai yang parah.

Dr Pilarczyk dan para koleganya menggali parit di dalamnya, untuk menguak sejarah tsunami yang tercatat di dalamnya.

Para ilmuwan tahu mereka sedang melihat endapan tsunami di dalam parit itu. Apalagi, mereka dapat menemukan serpihan sedimen organisme dasar laut seperti foraminifera mikroskopis .

7-8 Tsunami
Investigasi masih berlangsung, namun tim yakin, gua itu menyimpan deposit dari 7-10 tsunami. Dari sisi geometri gua, diduga tsunami-tsunami itu dipicu oleh gempa dengan kekuatan 8 skala Richter atau lebih.

Sementara, menentukan usia deposit dilakukan dengan analisis radiokarbon serpihan organisme yang ada di sana — seperti moluska dan serpihan arang. Bahkan sisa-sisa serangga dimakan oleh kelelawar juga diteliti.

Saat ini, gua dipenuhi pasir dan kotoran kelelawar. “Deposit tsunami 2004 benar-benar membanjiri gua itu,” kata Prof Charles Rubin.

Namun, gua tersebut menyimpan lapisan deposit dari 7.500 sampai 3.000 tahun lalu.

“Gua pesisir ini adalah ‘gudang’ yang unik. Yang memberi petunjuk tentang yang terjadi beberapa ribu tahun lalu, yang memungkinkan kita untuk mengetahui kapan terjadinya setiap tsunami yang terjadi selama waktu itu,” timpal Dr Pilarczyk.

Tim investigasi lainnya di sepanjang pantai Aceh baru bisa mendapat petunjuk tsunami yang terjadi dari masa 3.000 tahun lalu hingga saat ini.

Jadi apa pentingnya studi ini? Pengetahuan yang didapat dalam riset teranyar adalah tsunami-tsunami terbesar tidak terjadi dalam jeda waktu tertentu. Bisa jadi ada jeda panjang, namun ada juga peristiwa besar yang terpisah hanya beberapa dekade.

Sementara, peneliti yang lain, Prof Kerry Sieh mengatakan, ini adalah kisah tentang peringatan alam.

“Tsunami 2004 mengagetkan semua orang. Mengapa? Karena tak ada yang melihat ke belakang, mencari tahu seberapa sering peristiwa itu terjadi,” kata dia.

“Bahkan, karena orang-orang tak punya catatan sejarah bencana seperti itu terjadi, mereka pikir itu tidak mungkin. Tidak ada yang siap, tak seorang pun bahkan pernah membayangkannya,” kata Prof Kerry Sieh.

Jadi, tambah dia, alasan tim ilmuwan melihat sejarah adalah untuk mempelajari bagaimana Bumi bekerja. Untuk mencari pertanda. Sebab, sejarah bisa jadi berulang.

Sumber: liputan6.com

read more
1 2
Page 1 of 2