close

unsyiah

Ragam

Kelompok Dosen Hukum Diskusikan Hukom Adat Laot

Banda Aceh | Darussalam — Kelompok Diskusi Dosen Hukum (KD2H) Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) menyelenggarakan diskusi publik, dengan Tema: “Wilayah Kelola Hukum Adat di Laot”, yang diselenggarakan di Ruang Video Conference Fakultas Hukum Unsyiah dan disiarkan secara langsung ke 33 lokasi video conference seluruh Indonesia. Diskusi dibuka oleh Wakil Dekan Bidang Akademik, Dr. Azhari, S.H., M.CL., MA, pada Selasa (2/10/2018).

Dalam sambutannya, Azhari mengatakan, diskusi seperti ini perlu terus dilaksanakan oleh akademisi terutama untuk menjawab isu-isu aktual. ‘Akademisi harus memberi kontribusi dalam penyelesaian masalah dalam masyarakat,’ katanya.

Acara juga diisi dengan pembacaan puisi oleh penyair yang dikenal sebagai Presiden Rex, Hasbi Burman. Ia membaca dua puisi, yang salah satunya berjudul ‘Wangi Hukum’.

Diskusi yang didukung oleh Kanun Jurnal Ilmu Hukum, Syiah Kuala Law Journal, Jurnal Ilmiah Mahasiswa (JIM) Hukum, UKM Hahoe, Geuthee Institute, Pusat Studi Gender (PSG), dan Acehna Institute menghadirkan Bakti Siahaan, S.H., M.H dan Dr. Sulaiman Tripa, S.H., M.H, dari kalangan akademisi, dan Pawang Baharuddin Z, Ketua Harian Panglima Laot Aceh sebagai Narasumber.

Bakti Siahaan, mengatakan bahwa wilayah kelola dalam terminologi tata kelola wilayah laut sangat menguntungkan para nelayan yang ada wilayah zona masing-masing, dan hal tersebut juga akan meningkatkan nilai ekonomi para nelayan yang selama ini tidak tertata dalam mengelola hasil alam yang ada di wilayah yang menjadi kewenangan masing-masing nelayan. Masalahnya, Panglima Laot tidak masuk dalam kategori masyarakat hukum adat sebagaimana Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 8 Tahun 2018, katanya.

Pawang Baharuddin, dalam diskusi publik tersebut menegaskan, wilayah kelola adat laut sangat penting bagi nelayan di Aceh. ‘Wilayah kelola adat laot berbeda dengan wilayah konservasi secara kewenangannya. Wilayah kelola hukum adat justru akan saling menguatkan dengan kawasan konservasi,’ ungkap Panglima Laot yang sering dipanggil Pawang Baha. Saat ini, katanya, hukum adat laot yang ada di Aceh telah berkembang secara signifikan, hal ini dapat dilihat dari struktural panglima laot yang sudah terbentuk di dalam lembaga adat panglima laot yang ada di Aceh sejak dulu. Dia menilai, Pemerintah salah kaprah bila mengabaikan wilayah kelola hukum adat laot.

‘Alhamdulillah, beberapa waktu yang lalu kami dengar sendiri respons positif Kepala Dinas Kelautan,’ tegasnya.
Menurut Baharuddin, sebenarnya ada beberapa wilayah yang memang telah terbentuk batasan atau zonasi sejak dahulu dan itu telah dipahami olah para panglima laot sendiri. Sehingga kedepan, hanya diperlukan pengembangan untuk memperkuat apa yang telah ada sejak dahulu, kami berharap lahir kekuatan hukum yang dapat memayungi para panglima laot dalam menjalankan peranannya, bukan malah melemahkannya, pinta Pawang Baharuddin.

Selain itu, ia juga mengungkapkan bahwa selama ini mereka telah memberikan banyak beasiswa kepada para anak nelayan untuk menempuh pendidikan dasar samapai perguruan tinggi, dan baiya yang di berikan hingga ratusan juta kepada mereka anak nelayan yang mau dan serius dalam menempuh pendidikan, ini merupakan fasilitas yang cukup luar biasa yang diberikan oleh Lembaga Panglima Laot Aceh.

Kemudian, Dr. Sulaiman Tripa, S.H., M.H., selaku Narasumber menyampaikan, keberadaan ulayat laut sebagai inti dari wilayah tata kelola adat, ditentukan oleh adanya masyarakat adat. ‘Dalam Konstitusi Negara (UUD 1945) ada 4 unsur yang harus dipenuhi masyarakat adat dalam pengelolaan laut. Syarat ini cukup sulit diwujudkan, belum lagi secara teknis masing-masing kementerian punya standar sendiri tentang masyarakat adat,’ katanya.

Menurutnya, keberadaan Panglima Laot dan hukum adat laot harus diperkuat. Sulaiman juga menyampaikan, apa yang dilakukan Pemerintah tidak selalu sinkron dengan apa yang diatur dalam hukum adat laot.

“Memang selama ini konstitusi dasar kita telah mengakui keberadaan masyarakat adat, namun dalam kenyataan pengakuan itu masih bersyarat ketat dan sulit dipenuhi. Di sinilah Pemerintah perlu membuka diri untuk menampung berbagai perkembangan yang terjadi dalam diskursus masyarakat adat,” pungkas Sulaiman saat menyampaikan materinya.

Dari Airud Polda Aceh, AKBP Nawan saat menyampaikan pendapat yang secara khusus diminta moderator menyebutkan bahwa apa yang baik bagi nelayan, akan dijaganya secara maksimal. ‘Yang penting kita jaga nelayan kita agar bisa mencari rezeki dengan tenang,’ kata Nawan.

Adli Abdullah yang diberi kesempatan menyampaikan pandangannya diskusi publik mengatakan, hukum adat laot harus dilihat sebagai hukum yang hidup (living law) dalam masyarakat dan dipatuhi, bukan lawan dari hukum Negara. Menurut Adli, pelestarian lingkungan merupakan kebutuhan publik yang penting, namun tidak boleh mengabaikan masyarakat adat laot, kata Dosen Hukum Adat ini.

Adli juga menaruh harapan, penyusunan Rancangan Qanun Aceh tentang Rencana Zonasi Wilayah dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) tidak boleh mengorbankan wilayah hukum adat laot dan harus menghormati hak kelola ada laot yang telah wujud berabad-abad lamanya, katanya.

Teuku Muttaqin Mansur, Moderator dalam diskusi publik tersebut juga menyampaikan harapannya, agar diskusi ini dapat menjadi terobosan baru kedepan, sebagai cikal bakal pengembangan dari tata kelola hak ulayat laut yang ada di Aceh, yang nantinya akan menumbuhkan tatanan yang baik disetiap zonasi yang sudah disepakati di dalam Qanun Aceh, maka diperlukan sambutan hangat oleh Pemerintah Aceh dan Intansi terkait mengenai sektor tata kelola hukum adat laut Aceh.

Turut hadir dalam diskusi publik tersebut, Prof. Dr. Adwani, S.H., M.Hum selaku koordinator program studi Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Unsyiah, Dr. Yanis Rinaldi koordinator Magister Kenotariatan, Dr. Sri Walny Rahayu, S.H., M.Hum (Dosen), dan Civitas Akademis Fakultas Hukum Unsyiah, dan para Parktisi hukum. Turut hadir juga Muhammad Taufiq Abda, perwakilan IKAWAPI Aceh, Ombudman Aceh, Jaringan Kuala, mahasiswa strata satu dan magister.[rel]

read more
Green Style

FJL Aceh Gelar Pameran Foto Kerusakan Lingkungan di Aceh

BANDA ACEH – Forum Jurnalis Lingkungan (FJL) Aceh berkolaborasi dengan Komunitas Pilem Aneuk Aceh (Kopiah) dan mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) menggelar pameran foto. Ada 26 foto hasil jepretan anggota FJL dipamerkan di koridor Fakultas Pertanian, Senin (24/9/2018).

“Jadi para fotografer mengambil momen yang berkenaan dengan lingkungan. Dampak kerusakan lingkungan Aceh,” kata Sekretaris FJL Aceh, Ratno Sugito.

Kata Ratno, seluruh foto tersebut nantinya juga akan dipamerkan di Sekretariat Forum Jurnalis Lingkungan, Lambhuk, Banda Aceh sampai tanggal 28 September 2018. Tujuannya untuk memberitahukan kepada publik bahwa ada kerusakan hutan yang terjadi di Aceh.

“Pada hari Jumat juga akan digelar diskusi, akan menghadirkan multistakeholder yang berkompeten untuk membahas persoalan lingkungan di Aceh,” jelasnya.

Sementara itu Koordinator FJL Aceh, Afifuddin Aceh secara terpisah menjelaskan, sengaja digelar di kampus untuk mengedukasi mahasiswa agar peduli terhadap lingkungan. Mahasiswa juga berkewajiban untuk melakukan konservasi.

“Untuk melakukan edukasi pentingnya melakukan konservasi lingkungan dan satwa, jadi mahsiswa harus paham bahwa penting menjaga hutan untuk keseimbangan alam,” ungkap Afifuddin Acal.

Ia juga menambahkan bahwa alam ini harus sesuai dengan pergerakan rantai makanan, jika salah satu dari rantai makanan itu terputus maka akan ada dampak negatif dan terjadi ketidakseimbangan ekosistem.

“Kelestarian lingkungan itu penting untuk dijaga. Mata rantai harus dijaga,” ungkapnya. Selain pameran foto, juga ada kuliah umum dan diskusi yang disampaikan langsung oleh Erin Elizabeth McKee, selaku Mission director USAID For Indonesia. Selain itu kuliah umum ini juga diisi oleh Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh, Muhammad Nur. “Sasaran kita mahasiswa, agar mahasiswa melek tentang konservasi lingkungan dan hewan,” tambahnya.

Pameran ini juga merupakan rangkaian kegiatan awal, sebab nantinya pameran ini akan digelar kembali di Sekretariat Forum Jurnalis Lingkungan, warkop Abu Master Kupi, Lambhuk, Ulee Kareng, Banda Aceh dari tanggal 25 hingga 28 September mendatang.[rel]

read more
Sains

Tiga Peneliti Muda Unsyiah Rancang NIRS Portabel

Tiga peneliti Unsyiah, Dr. Zulfahrizal, Dr. Agus Arip Munawar dan Dr. Hesti Meilina merancang sebuah alat Near Infrared Spectroscopy (NIRS) portable yang memiliki tingkat akurasi yang hampir sama dengan alat analisis konvensional. Alat ini bekerja berdasarkan gelombang elektromagnetik inframerah.

Menurut Dr. Zulfahrizal, NIRS dapat digunakan untuk menganalisis sampel secara cepat, mudah dan tidak merusak (non destructive) serta tidak membutuhkan bahan kimia. Umumnya alat ini digunakan untuk menganalisa kualitas suatu produk berbahan organik maupun logam dan dapat dikembangkan serta digunakan baik secara on-line maupun in-line.

Pembacaan hasil deteksi NIRS pada komputer | Foto: Dr. Hesti Meilina
Pembacaan hasil deteksi NIRS pada komputer | Foto: Dr. Hesti Meilina

Beberapa sampel yang sudah diuji coba dengan alat hasil rancangan mereka adalah kualitas kopi bubuk, kualitas biji kopi, penentuan kemurnian kopi, deteksi daerah asal kopi, keaslian madu dan minyak atsiri (nilam, sereh wangi dan pala), penentuan kandungan unsur hara dalam tanah, penentuan borax dan formalin dalam jajanan bakso, penentuan varietas padi, pendeteksi kandungan penentu mutu padi, dan penentuan kualitas biji kakao. Prototype NIRS hasil desain mereka ini diberi label FTIR-IPTEK1516 yang merupakan hasil penelitian dengan bantuan dana dari Hibah IPTEK Ristekdikti Tahun 2015-2016.

Ketiga peneliti memiliki latar belakang bidang ilmu yang sama yaitu Near Infrared Spectroscopy dan Chemometrics meskipun mereka terdaftar sebagai staf pengajar pada fakultas yang berbeda. Dr. Zulfahrizal dan Dr. Agus Arip Munawar adalah staf pengajar pada Jurusan Teknik Pertanian, Fakultas Pertanian Unsyiah dan menyelesaikan studi pada bidang riset ini di Goettingen University, Jerman, di bawah bimbingan Prof. Elke Paweldzik dan Dr. Daniel Moerlein.

Sedangkan Dr. Hesti Meilina, menyelesaikan studi pada bidang riset yang sama di Kobe University, Jepang di bawah bimbingan Prof. Roumiana Tsenkova dan Dr. Shinichiro Kuroki. Para peneliti muda ini sangat bersyukur dapat belajar tentang Near Infrared Spectroscopy ini langsung dengan para ekspert dunia yang tulisan-tulisannya sering mereka baca melalui jurnal-jurnal terkemuka. NIRS merupakan teknologi mutakhir yang saat ini sedang mendunia yang mampu menjawab tantangan teknologi masa depan.

Alat ini dipamerkan pada pameran Innovasi-Expo Unsyiah 2016 ini dan mereka berharap agar NIRS dan Chemometrics dapat dikenal dan diaplikasikan lebih luas di Indonesia.

read more
Sains

Tim Peneliti Mahasiswa Teknik Kimia Unsyiah Ciptakan “Pekanan Mangan”

Limbah cair tahu mempunyai dampak yang sangat merugikan bagi ekosistem lingkungan. Terlebih apabila limbah cair tersebut dibuang langsung ke badan air tanpa melewati pengolahan terlebih dahulu. Masyarakat yang mencari nafkah dari membuat tahu dalam skala kecil umumnya tidak mengetahui dampak yang diakibatkan dari buangan limbah cair tahu tersebut. Limbah cair tahu mengandung gas antara lain nitrogen, oksigen, ammonia, karbondioksida, dan metana yang berasal dari dekomposisi bahan organik yang terdapat dalam limbah cair tahu.

Limbah cair tahu yang merusak lingkungan | Foto: Ist
Limbah cair tahu yang merusak lingkungan | Foto: Ist

Apabila limbah cair tahu ini dialirkan ke badan sungai akan dapat menyebabkan turunnya kualitas perairan sungai dan gangguan terhadap kehidupan makhluk hidup di perairan seperti ikan, tumbuhan dan sebagainya. Fenomena inilah yang mendasari tim Pekan Kreatifitas Mahasiswa (PKM) Jurusan Teknik Kimia Unsyiah yang dimotori oleh Ika Zuwanna (angkatan 2013) dan dibantu oleh Fitriani (angkatan 2013) serta Muhammad Ridho (angkatan 2014), dengan bimbingan dosen Dr. Hesti Meilina, meneliti bagaimana merubah limbah cair tahu menjadi bermanfaat dibanding dibuang begitu saja hingga menjadi ancaman bagi kehidupan biota air dan juga ancaman bagi kehidupan masyarakat yang ada disepanjang aliran sungai.

Tim Peneliti mahasiswa Teknik Kimia Unsyiah | Foto: Ist
Tim Peneliti mahasiswa Teknik Kimia Unsyiah | Foto: Ist

Themes

Ika menjelaskan, bahwa limbah cair tahu merupakan hasil dari proses pencucian, perebusan dan pencetakan tahu. Limbah cair tahu yang belum dibuang ke sungai disebut juga air dadih (whey) yang memiliki kandungan nutrisi kaya akan karbohidrat, protein, dan lemak yang baik bagi kesehatan tubuh manusia. Salah satu penelitian tentang pemanfaatan whey, adalah pemanfaatan hasil olahan keju yang juga menghasilkan air ikutan olahan susu menjadi keju (whey) yang memiliki kandungan yang hampir sama dengan  limbah cair tahu (whey). Peneliti tersebut memanfaatkan whey dari olahan susu menjadi produk yang berfungsi sebagai pengemas makanan ramah lingkungan yang disebut edible film.

Edible film sendiri adalah lapisan tipis yang diaplikasikan sebagai penutup makanan setelah sebelumnya dicetak terlebih dalam bentuk lembaran. Edible film juga merupakan salah satu jenis plastik yang mudah diuraikan oleh mikroorganisme dan dapat memperpanjang umur simpan makanan (memperlama masa kadaluarsa).

Mahasiswa sedang membuat edible film di lab Teknik Kimia Unsyiah | Foto: Ist
Mahasiswa sedang membuat edible film di lab Teknik Kimia Unsyiah | Foto: Ist

Dalam proses pembuatan edible film selain whey yang dijadikan bahan baku, juga dibutuhkan beberapa bahan pendukung lainnya, seperti hidrokoloid sebagai agen pengental dan plasticizier sebagai penambah sifat elastisitas pada edible film. Proses pencampuran bahan dilakukan dengan menggunakan erlenmeyer yang dilengkapi dengan sebuah motor pengaduk dengan temperature 85oC. Setelah proses pencampuran, dilakukan proses pencetakan edible film menggunakan petri dish dan selanjutnya dikeringkan menggunakan oven drying. Karakteristik edible film yang dihasilkan diharapkan dapat memenuhi standar edible film sebagai pengemas makanan.

Untuk mengetahui karakteristik edible film, dilakukan beberapa uji seperti: uji ketebalan, kuat tarik, aplikasi pada makanan, dan uji degradasi. Setelah melalui proses pengujian dan mendapatkan hasil yang diharapkan maka edible film dapat dijadikan sebagai pengemas makanan yang ramah lingkungan dibandingkan dengan pengemas makanan konvensional yang sering kita gunakan sehari-hari yang tidak dapat diuraikan oleh mikroorganisme.

Edible film yang dalam 10 tahun terakhir ini menjadi perhatian serius dari para ahli pangan ternyata dapat memotivasi Tim PKM Jurusan Teknik Kimia Unsyiah untuk berinovasi memanfaatkan whey menjadi pengemas makanan ramah lingkungan (Pekanan Mangan). Inovasi ini didukung penuh oleh Unsyiah yang memfasilitasi Tim PKM dalam proses pengurusan proposal PKM-Penelitian untuk mendapatkan support dana dari Kemenristekdikti. Tim PKM ini berhasil mendapatkan hibah PKM-Penelitian, mengalahkan ribuan proposal yang diajukan ke Kemenristekdikti dari seluruh universitas yang ada di Indonesia. Bentuk dukungan lainnya yang diberikan oleh universitas adalah adanya bimbingan dan masukan dari peraih medali emas PIMNAS (Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional) Tahun 2010 di Bali. (rel)

read more