close

walhi

Pejuang Lingkungan

Jejak Panjang TM Zulfikar, Aktivis Aceh Sang Pelestari Lingkungan

Penulis: Ari Yanda dan Alfasyimi, Mahasiswa UIN-Arraniry Banda Aceh

Siapa yang tak tahu WALHI (Wahana Lingkungan Hidup), yang didalamnya terdapat banyak sosok yang mau dan amat sudi memikirkan bumi beserta sumber daya alamnya. Para pendiri WALHI merupakan nama-nama terkenal pembela lingkungan seperti Erna Witoelar, Emil Salim dan masih banyak lagi aktivis lainnya. WALHI memiliki anggota hampir diseluruh propinsi di Indonesia termasuk di Aceh yang telah terbentuk sejak Februari 1993. Hari itu penulis berkesempatan berbicara dengan salah satu tokoh muda lingkungan yang keberadaannya tidak bisa dipisahkan dari WALHI.

Seiring perkembangan dan pergantian kepemimpinan WALHI Aceh, muncul satu sosok yang amat peduli pada lingkungan sejak semasa mudanya. Beliau ialah Teuku Muhammad Zulfikar atau teman-teman sering menyingkat nama beliau menjadi TM Zulfikar. Lahir di Langsa (dulu masuk Kabupaten Aceh Timur) 26 April 1973, sejak Sekolah Dasar Zulfikar sudah menyenangi kegiatan organisasi hingga pernah menjadi Mahasiswa Teladan Tingkat Kabupaten Aceh Timur (semacam duta Aceh Timur jika sekarang-red) dan pernah mendirikan Himpunan Pelajar Islam SMA 1 Langsa (HIPISA). TM Zulfikar semasa Sekolah Dasar sudah mahir dalam hal berpidato dan tidak canggung berbicara didepan umum/publik, dimana Ibundanya langsung melatih keterampilan berpidato ini. Sejak SMA beliau memang amat menyukai pembelajaran yang berbau sosial kemasyarakatan, meskipun beliau merupakan pelajar dengan jurusan Fisika (A1).

Setelah menyelesaikan SMA, Zulfikar melanjutkan studi ke Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) di Fakultas Teknik Jurusan Teknik Kimia. Semasa kuliah beliau aktif berorganisasi di banyak organisasi kampus dan eksternal kampus seperti Himpunan Mahasiswa, Senat Mahasiswa, MPM, HMI, IMM dan organisasi eksternal lainnya. Walaupun dengan latar belakang seorang mahasiswa Teknik Kimia yang sering dicitrakan sebagai mahasiswa kutu buku, Zulfikar terlibat aktif serta ikut mendirikan berbagai Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) di Unsyiah yang masih eksis hingga hari ini seperti UKM-Pers dan UKM Seni Putroe Phang Unsyiah. TM Zulfikar menyelesaikan kuliah serta diwisuda pada bulan Agustus 1998.

Aktivis masa Orde Baru

Pada era orde baru di bawah pemerintahan yang otoriter, beliau tetap saja bergerak sebagai aktivis, bersama mahasiswa dan aktivis pergerakan lainnya menyampaikan aspirasinya di garis depan. Beliau juga bagian dari pergerakan 98 atau lebih dikenal aktivis 98 yang ikut menyusun strategi menyalurkan aspirasi masyarakat. Zulfikar juga bergabung menjadi relawan Forum LSM Aceh dan sempat bergabung dengan media Tabloid Kharisma. Pengalaman ini membuatnya semakin menguasai teknik-teknik menulis dan fotografi bahkan pernah menjuarai perlombaan jurnalistik yang diselenggarakan oleh beberapa institusi saat itu.

Setelah 4 bulan mengabdi sebagai relawan Forum LSM-Aceh beliau diangkat menjadi staff di organisasi tersebut. Tahun 1999 hingga 2000 Zulfikar aktif di LSM tersebut hingga terpaksa mengundurkan diri dikarenakan ada gonjang ganjing di internal LSM. Di awal tahun 2000 setelah keluar dari Forum LSM-Aceh, TM Zulfikar mendapat kesempatan dari WALHI Aceh bekerja sebagai staff.

Di tahun 2001 setelah satu tahun mengabdi di WALHI Aceh, Zulfikar diangkat menjadi Kepala Divisi Pengembangan Sumber Daya dan Organisasi (PSDO). Karirnya di WALHI Aceh berjalan mulus, tahun 2002 TM Zulfikar diangkat menjadi Deputi/Wakil Direktur WALHI Aceh. Pada tahun 2003 saat masih menjabat Deputi Direktur WALHI Aceh, Zulfikar “dilamar” oleh Partai Perhimpunan Indonesia Baru (PPIB) yang diketuai oleh ekonom terkenal saat itu Dr. Syahrir dan langsung diangkat menjadi Ketua Umum DPD Partai PIB Provinsi Aceh. TM Zulfikar mengelola Partai PIB Aceh dengan baik dan berhasil “mengantar” beberapa calon legislatif menuju kursi anggota dewan perwakilan rakyat di beberapa Kabupaten di Aceh. Uniknya, laki-laki yang akrab di sapa “Zoel” ini tetap saja menyempatkan diri melanjutkan perjuangan sebagai aktivis lingkungan, dengan ritme yang stabil beliau tak henti-hentinya mengkritisi kebijakan pemerintah yang tidak pro lingkungan, yang artinya merusak alam seperti pembukaan tambang, alih fungsi lahan dan lain-lain.

Pengabdian Pasca Tsunami

Saat 26 Desember 2004 terjadi bencana gempa bumi dan tsunami dahsyat yang tercatat dalam sejarah umat manusia meluluhlantakan Aceh dan sebagian dunia lainnya. Bencana ini membuat Partai PIB Aceh mengalami kevakuman dan stagnan, hal yang sama dialami hampir semua aktivitas di Aceh. TM Zulfikar sempat ditawari pendidikan S2 ke Singapura oleh Dr. Syahrir, namun Ia menolaknya dengan pertimbangan beliau baru saja menikah pada saat itu. Akhirnya Zulfikar meminta izin melaksanakan studi S2 di Aceh tepatnya di Program Magister Konservasi Sumber Daya Lahan (KSDL), Pasca Sarjana Unsyiah dengan tetap berniat mengembangkan ilmu konservasi dalam ruang lingkup yang lebih luas. Ia pun mengerjakan thesis yang menyorot soal isu lingkungan hidup dan kehutanan yaitu mengenai analisis moratorium logging yang saat itu baru saja diberlakukan di Aceh.

Meskipun belum menyelesaikan Program S2 nya, sejak tahun 2005, TM Zulfikar sudah mulai mengajar ilmu-ilmu lingkungan di Prodi Teknik Lingkungan Universitas Serambi Mekkah Banda Aceh yang baru beberapa tahun membuka penerimaan mahasiswa baru yang berhubungan dengan Teknik Lingkungan saat itu. Tahun 2006 Ia bergabung ke Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD-Nias, sebuah badan khusus yang dibentuk pemerintah Indonesia dalam menata kembali pembangunan Aceh yang hancur dihantam tsunami dengan posisi awal sebagai asisten manager Bidang Kesejahteraan Sosial dan tidak lama setelah itu beliau diangkat menjadi manager mulai tahun 2006 hingga berakhirnya masa kerja BRR NAD-Nias pada bulan April 2009, dan dilanjutkan sebagai Koordinator Bidang Agama, Sosial dan Budaya pada BKRA (Badan Keberlanjutan Rekonstruksi Aceh) yang masa kerjanya berakhir hingga Desember 2009.

Sepertinya PPIB tidak menjadi pilihannya lagi, pada tahun 2006 TM Zulfikar mundur dari PPIB karena partai sudah tidak lagi produktif (vacum) dan juga karena disisi lain beliau telah bekerja di BRR NAD-Nias. Bukan hanya dari PPIB ia mundur, Zulfikar juga mundur dari keanggotaan Dewan Daerah WALHI Aceh yang diembannya saat itu, namun meskipun begitu beliau masih berkomitmen selalu siap berkontribusi terhadap kegiatan advokasi lingkungan dalam bentuk apapun.

Bersama WALHI Aceh

Pasca bencana tsunami, masa itu WALHI Aceh mengalami sejumlah gejolak internal hingga tahun 2009. Tak mau melihat WALHI Aceh terus tenggelam dalam konflik internal, Qadarullah melalui dorongan dan harapan teman-teman pada beliau, akhirnya pada Februari 2010, TM Zulfikar dicalonkan sebagai Direktur Eksekutif WALHI Aceh dan terpilih. Perjalanan besar mengadvokasi lingkungan menanti dan sebulan beliau menjabat sebagai Direktur WALHI Aceh, TM Zulfikar berhasil mencetuskan program besar yang bekerja sama dengan berbagai LSM/NGO baik lokal maupun internasional.

TM Zulfikar “tancap gas” melakukan advokasi lingkungan untuk isu-isu penting di Aceh. Mulai Maret 2010 TM Zulfikar sudah mulai berargumen dihadapan publik hingga media lokal, nasional maupun internasional. Aktivitas melakukan kampanye membela lingkungan tersebut mendapat ganjaran, pada tahun 2011 TM Zulfikar bersama beberapa aktivis dari beberapa LSM Nasional lainnya terpilih sebagai salah satu tokoh pejuang anti korupsi bidang lingkungan hidup bersama 7 tokoh nasional lainnya yang berpengaruh versi Majalah Tempo. TM Zulfikar satu-satunya orang di Aceh terpilih sebagai sosok yang memperhatikan lingkungan dengan kredibilitas yang luar biasa di mata publik.

Disela-sela kami menikmati nostalgia sejarah hidupnya, beliau sempat menyisipkan pesan penting. “Menurut saya organisasi itu penting sekali, karena organisasi ini mampu membentuk karakter kita mahasiswa dalam menyusun tata krama hidup secara terstruktur, punya visi dan pergerakan jelas kedepan, melalui organisasi saya bisa bisa berkembang sejauh ini,”ungkap aktivis nasional pada masanya ini.

Semasa menjabat sebagai direktur WALHI Aceh beliau sering bersuara mengkritisi pemerintah. Salah satunya kritikan mengenai terhadap perubahan tata guna lahan gambut yang pada saat itu Propinsi Aceh sedang menggagas program Aceh Green. Beliau rajin mengkritisi kinerja pemerintah dibidang lingkungan dan kehutanan, menjadi narasumber diskusi terkait lingkungan seperti di radio, seminar, talkshow dan diskusi-diskusi tematik lingkungan lainnya.

Tanpa pandang bulu, tanpa mau tahu arus politik saat itu seperti apa, beliau secara gamblang mengkritisi kebijakan pemerintah saat itu yang menandatangani izin pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit oleh PT. Kallista Alam. Alhasil, melalui kritikan dan masukan terhadap pemerintah yang digerakkan secara sistematis, PT. Kalista Alam harus rela melepas lahan tersebut. Apalagi setelah Satgas Unit Kerja Presiden (UKP4) saat itu mengetahui bahwa Gubernur Aceh melepas izin pembukaan lahan perkebunan di kawasan lahan gambut, padahal saat itu sedang diberlakukan Instruksi Presiden (Inpres) terkait penundaan pemberian izin di kawasan hutan primer dan lahan baru.

Akhirnya melalui perjuangan bersama WALHI Aceh kawasan lahan gambut Rawa Tripa Nagan Raya berhasil dijadikan wilayah kawasan lindung gambut dan dikelola seutuhnya oleh pemerintah Aceh. “Lahan gambut sangat baik untuk mereduksi emisi global, mampu sebagai penyimpan sumber air dan melindungi ekosistem disekitarnya,” ungkap TM Zulfikar.

Selesai pengabdiannya sebagai Direktur WALHI Aceh pada akhir tahun 2013, TM Zulfikar bergabung dengan Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) sebagai koordinator Aceh sampai sekarang.

Namun pada masa Gubernur Aceh Zaini Abdullah, sosok TM Zufikar kembali mencuat ke publik melalui kinerja, integritas dan loyalitas terhadap lingkungan hidup. Tahun 2015, bersama tokoh GAM Zakaria Saman (biasa dipanggil Apa Karya) yang merupakan Ketua Tim Asistensi Gubernur Aceh saat itu, TM Zulfikar diminta menjadi salah satu anggota tim asistensi gubernur Aceh untuk memberikan arahan dan pandangan serta nasehat terhadap kerja-kerja Pemerintah Aceh yang sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengan (RPJM) Aceh. Pemerintah memiliki kepercayaan terhadap sosok Teuku Muhammad Zulfikar. Walaupun beliau aktif di pemerintahan yang dipenuhi oleh berbagai intrik dan politik, Zulfikar tetap rajin memberi masukan terhadap upaya pelestarian lingkungan di Aceh.

TM Zulfikar juga dikenal dekat dengan kalangan media bahkan mengantongi kartu sebagai anggota muda PWI. Saat ini pun TM Zulfikar menjadi Ketua Badan Penasehat organisasi jurnalis lingkungan Greenjournalist Aceh, yang diketuai oleh Muhammad Nizar. Greenjournalist yang berdiri sejak tahun 2013 rutin memberitakan isu-isu aktual lingkungan yang terjadi di dalam atau luar negeri. Sampai hari ini pun Zulfikar masih rajin menulis dan menulis di media terkait berbagai isu sosial, pendidikan dan khususnya pada isu lingkungan, sumber daya air dan kebencanaan. TM Zulfikar bercita-cita ingin menuliskan kisah hidupnya agar pengalaman beliau selama puluhan tahun mengadvokasi lingkungan dapat menjadi pelajaran dan diketahui masyarakat luas.

Tahun 2019 menjadi salah satu tahun tersibuk bagi TM Zulfikar dimana ia diberi amanah sejumlah jabatan. Diantaranya menjadi salah seorang penasehat khusus Gubenur Aceh Bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang tugasnya antara lain memberikan nasehat dan masukan terkait bidang lingkungan dan kehutanan kepada Gubernur Aceh baik diminta maupun tidak diminta. Disamping kegiatan sehari-sehari sebagai Dosen pada Fakultas Teknik Universitas Serambi Mekkah, beliau juga menjabat sebagai Koordinator Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) Aceh, Wakil Ketua Forum Pengurangan Risiko Bencana Aceh, Sekretaris Umum Yayasan Beudoh Gampong yang didirikannya bersama Mantan Gubernur Aceh Mustafa Abubakar dan Azwar Abubakar, serta beberapa tokoh Aceh lainnya. Bahkan hingga pada usia 46 tahun ini, TM Zulfikar masih sangat aktif berkecimpung dibanyak organisasi sosial kemasyarakatan di Aceh.

Di akhir pembicaaraan, sambil keluar dari pekarangan rumah, ada satu hal menggugah yang disampaikan kepada penulis. Spontan beliau berkata, “Yang paling penting, mahasiswa yang fokus kuliahnya lebih tinggi daripada yang lebih banyak aktif di berbagai organisasi, bisa jadi belum menjamin bahwa mereka lebih berhasil pasca menjadi sarjana nantinya. Tapi sebuah kesuksesan terbesar adalah dimana pengabdian yang kita lakukan mampu dan dapat membantu masyarakat kita secara luas”, pungkas Penasehat Khusus Gubernur Aceh tersebut.[]

read more
Ragam

Menurut Walhi Visi-Misi Jokowi-JK Soal Lingkungan Lengkap

Kepala Bidang Kajian dan Pengembangan Walhi, Khalisah Khalid berpendapat visi-misi pasangan calon presiden dan calon wakil presiden Jokowi-JK mampu membaca akar masalah soal lingkungan hidup dibandingkan Prabowo-Hatta.

“Kalau menurut kami, visi dan misi Jokowi-JK memang lebih komprehensif dan mampu membaca akar masalah soal lingkungan hidup,” ujar Khalisah Khalid di Kantor Indonesia Corruption Watch (ICW), Jakarta, Senin (26/5).

Menurut dia, visi misi Prabowo-Hatta memang memperhatikan soal isu lingkungan namun tidak dijelaskan secara detail dan masih harus ada penajaman atas hal itu.

“Memang masih harus ada penajaman. Karena menurut kami masih mengawang-ngawang,” tukasnya.

Selain itu, lanjutnya, sangat penting sebenarnya peradilan lingkungan itu dibentuk. Pengelolaan lingkungan itu juga harus menjadi perhatian. Itu yang secara detail dimuat dalam visi misi Jokowi-JK.

“Karena selama ini kita tahu, penjahat lingkungan itu tidak punya kekuatan apa-apa.

Jadi secara kewenangan ini, bukan hanya di level nasional, tapi juga di level daerah kebetulan visi dan misinya Jokowi-JK juga ada soal desentralisasi.

“Nah itu dalam penilaian kami, secara general visi-misi Jokowi-JK lebih komprehensif dan mendekati apa yang kami harapkan. Di Prabowo-Hatta ada menyebutkan soal lingkungan, karena dia dalam dokumennya juga menyebutkan sangat singkat ya,” ujar dia.

Sumber: antaranews

read more
Perubahan Iklim

WALHI Pesimis Badan REDD Mampu Bekerja

“Kami merasa pesimis proyek ini akan berjalan dengan baik,” ujar Deddy Ratih Manager Pengembangan Program Walhi saat menanggapi proyek REDD+ di Indonesia kepada Ekuatorial (24/4/2014). Deddy merasa tugas dan fungsi serta beban kerja REDD+ sangat besar dan permasalahan struktural banyak sekali.

Kontrasnya pesimisme Walhi ini datang dari tegasnya optimisme Ketua Badan REDD+ Heru Prasetyo yang diungkapnya dalam evaluasi kinerja Badan REDD+ di Hotel Shangri-La, Jakarta, hari sebelumnya (23/4). Heru menyatakan bahwa sejauh ini mereka sudah berada di jalur yang benar dan sesuai dengan perencanaan awal, ia tetap optimis untuk terus menjalankan proyek ini.

“Saat ini kami sudah berada di fase kedua yaitu transformasi. Target kami untuk tahun 2016 mendatang ada tiga: satu, Indonesia secara operasional dan secara institusi dapat siap memasuki ke fase ke tiga; dua, Indonesia melaporkan pengurangan emisi dari 3 sektor yaitu deforestasi, dekomposisi lahan gambut, dan pembakaran lahan gambut dan tiga, Indonesia bisa mencapai perkembangan yang signifikan dalam kegiatan mitigasi emisi karbon,” jelas Heru.

Selanjutnya Heru menyebutkan daftar pekerjaan yang tengah digarap Badan REDD+ panjang lebar: menyusun database perizinan kehutanan, pertanian, dan pertambangan; membuat peta tingkat emisi untuk MRV (measurement, reporting and verification); akuisisi satelit beresosusi tinggi; melindungi kepentingan rakyat adat; berkomitmen dalam resolusi yang kuat terhadap konflik; mendukung penegakkan hukum untuk perlindungan hutan dan gambut; pembuatan pengelolaan pembakaran hutan dan lahan gambut untuk upaya mitigasi; pembuatan program desa hijau dan sekolah hijau; melakukan advokasi di semua level mulai dari adat, provinsi, negara dan internasional; melakukan komitmen kerjasama dengan berbagai pihak.

“Saat ini REDD+ sudah secara operasional bekerja di 11 provinsi di Indonesia, yaitu Aceh, Sumbar, Riau, Jambi, Sumsel, Kalbar, Kalteng, Kaltim, Sulteng, Papua dan Papua Barat. Dan di tahun 2015 akan ada 21 provinsi lainnya yang sekarang sedang dalam tahap persiapan,” tambah Heru.

Namun, daftar panjang itu tak juga membuat Walhi optimis Badan REDD+ efektif dalam usaha penurunan emisi Indonesia. Deddy menyebutkan bahwa posisi Badan REDD+ kurang jelas karena tidak ada landasan hukumnya. Ia khawatir jika nantinya Badan REDD+ akan menjadi kambing hitam jika kerjasama Indonesia dengan Norwegia tidak berhasil dilaksanakan. Deddy juga mengatakan, “Seharusnya pemerintah Indonesia sadar, pengurangan emisi karbon merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh semua pihak bukan hanya REDD+.”

Pada evaluasi kinerja REDD+, hadir juga Menteri Iklim dan Lingkungan Hidup Norwegia Tine Sundtoft. Ia mengapresiasi hasil kinerja BP REDD+ hingga saat ini, “Selamat atas pencapaiannya hingga saat ini, Indonesia sudah melakukan langkah yang baik untuk kebijakan pengurangan emisi karbon dan ini hasil yang positif.”

Selanjutnya Tine mengatakan bahwa kedepannya akan banyak sekali tantangan dan tahap ketiga merupakan tahapan yang krusial. “Sebetulnya ini adalah kerjasama yang sederhana. Kalian mengerjakan, kami membayar,” canda Tine. Januar Hakam

Sumber: equator.com

read more
Ragam

Walhi Ajak Masyarakat Tidak Pilih Caleg Perusak Lingkungan

Aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Wilayah Sumatera Selatan melakukan gerakan menolak calon anggota legislatif peserta Pemilu 2014 yang melakukan tindakan berpotensi merusak lingkungan hidup.

“Dalam kegiatan sosialisasi dan kampanye, banyak peserta pemilu secara sengaja atau tidak melakukan tindakan perusakan lingkungan, bahkan ada juga yang diduga dibiayai oleh perusahaan yang aktivitasnya berpotensi merusak dan mencemari lingkungan,” kata Direktur Eksekutif Walhi Sumsel Hadi Jatmiko di Palembang, Selasa (25/4/2014).

Ia menekankan, “Caleg yang tidak bersahabat dengan lingkungan itu jangan dibiarkan lolos menjadi wakil rakyat.”

Menurut dia, gerakan menolak caleg perusak lingkungan sebagaimana ditetapkan dalam “Platform Politik Gerakan Lingkungan Hidup Indonesia” yang diluncurkan oleh aktivis Walhi di Jakarta pada tanggal 11 Maret 2014 itu dilakukan melalui pendidikan politik kepada masyarakat yang selama ini bermitra dan memiliki kepedulian tinggi terhadap upaya pelestarian lingkungan hidup.

Dengan pendidikan politik, aktivis Walhi berupaya membangun sebuah kesadaran kritis di tingkat rakyat untuk menggunakan hak pilihnya dengan baik. Menggunakan hak pilih dengan baik, bukan hanya sekadar datang ke tempat pemungutan suara (TPS) dalam Pemilu Legislatif 9 April 2014, melainkan pemilih memastikan memilih caleg yang bersih dari tindakan perusakan lingkungan hidup.

“Orang-orang yang diharapkan menjadi wakil rakyat dan pemimpin seharusnya memberikan contoh yang baik seperti tidak melakukan tindakan yang bisa mengakibatkan kerusakan lingkungan, serta tidak melakukan tindakan yang menghalalkan segala cara untuk memenangi pertarungan politik dalam pesta demokrasi rakyat lima tahunan itu,” ujar Hadi.

Melalui gerakan menolak caleg perusak lingkungan, Walhi mengajak masyarakat untuk memutus rantai penguasa politik yang sekaligus penguasa ekonomi yang selama ini telah melahirkan berbagai konflik lingkungan hidup dan sumber daya alam (SDA) serta agraria yang berujung pada bencana ekologis.

Jika rantai penguasa politik yang sekaligus penguasa ekonomi tidak diputus, menurut dia, persoalan kemiskinan yang dialami oleh rakyat akibat pengelolaan SDA yang timpang akan terus terjadi. Menentukan pilihan dalam pemilu secara kritis dan tepat, penting dilakukan untuk memastikan agenda penyelamatan lingkungan hidup dan pengelolaan SDA yang berkeadilan baik untuk generasi saat ini maupun yang akan datang, kata Direktur Eksekutif Walhi Sumsel itu.

Sumber: republika.co.id

read more
Tajuk Lingkungan

Jadilah Aktivis Lingkungan Sejati

Sepertinya bukan kebetulan jika gerakan lingkungan hidup menjadi bulan-bulanan banyak pihak saat ini. Karena memang selama ini gerakan ini dianggap menggangu keyamanan ‘business as usual’ penguasa ekonomi dan politik.

Misalkan, publik Inggris pernah disuguhkan dengan berita perdebatan antara aktivis lingkungan dengan pembuat film, “What the Green Movement Goes Wrong”. Selanjutnya di negeri sendiri, gerakan lingkungan khususnya Greenpeace, sering mengalami ‘serangan balik’ dari pihak-pihak yang terganggu dengan kampanye mereka. Bahkan pernah Greenpeace ditantang berdebat oleh seorang akademisi ditambah lagi bantahan dari staf Presiden terkait data yang digunakan dalam publikasinya.

Label Anti Ilmu Pengetahuan
Murray Bookchin (1989) pernah menyatakan bahwa gerakan lingkungan menjadi gerakan yang paling radikal abad ini. Sehingga paska perang dingin, kapitalisme meletakkan gerakan lingkungan dalam list musuh yang perlu diwaspadai. Meski tidak dapat dipungkiri banyak juga muncul model developmentalisme yang didukung oleh korporasi untuk memoderasi gerakan lingkungan.

Berkaitan dengan cara mematahkan gerakan lingkungan juga masih menggunakan metode lama yakni dengan melabelkan gerakan lingkungan sebagai ‘anti-ilmu pengetahun’ ataupun ‘anti-kemajuan’. Dengan jalan mengambil salah satu-dua contoh ‘kesalahan’ yang disebarluaskan untuk membangun opini publik. Maksudnya jelas untuk merobohkan citra gerakan lingkungan yang selama tiga dekade menjadi memberikan kontribusi bagi penyelamatan bumi.

Film dokumenter “What the Green Movement Got Wrong” mengambil sampel hubungan antara pelarangan DDT diseluruh dunia dengan banyaknya korban meninggal akibat malaria. Pelarangan DDT diklaim sebagai dampak dari kampanye aktivis lingkungan, Greenpeace. Namun dalil ini dengan mudah dipatahkan oleh George Monbiot, aktivis lingkungan radikal, karena memang tidak pernah ada pelarangan DDT diseluruh dunia. DDT sendiri tidak pernah masuk dalam Annex B Konvensi Stockholm tentang POP. Jadi hal tersebut hanya cerita fiksi yang disusun oleh para kolaborator korporat (Guardian 04/10/10).

Federasi organisasi lingkungan terbesar, Friends of the Earth (FOE), dalam film tersebut, juga dilabelkan sebagai anti ilmu pengetahuan. Hal ini disebabkan oleh posisi FOE selama selama ini menolak keras pangan dari produk genetically modified organisms (GMO) dengan basis prinsip kehati-hatian (Precautionary Principle).

Dalam prinsip tersebut, ketidakpastian ilmu pengetahuan menganai dampak sebuah program seharusnya tidak menjadi alasan untuk menunda langkah proteksi terhadap lingkungan hidup dan kesehatan manusia (Prinsip 15 dari Deklarasi Rio). Dengan demikian, alam dan kesehatan manusia diberikan porsi yang harus diuntungkan dalam program yang masih diperdebatkan.

Argumen terpenting dari FOE terkait GMO terkait dengan relasi kuasa korporasi dengan rakyat. Jika pangan GMO yang diproduksi oleh korporasi disebarluaskan maka rakyat sedang meletakkan lehernya ditali gantungan kuasa korporasi atas kehidupan. Korporasi kemudian akan berubah menjadi tuhan dalam menentukan siapa yang layak hidup, dengan jalan memberikan suplai pangan, dan siapa yang harus mati atas nama keuntungan.

Dengan demikian perdebatan yang belangsung bukan lagi dalam ranah ilmu pengetahuan ilmiah dan teknis yang diklaim sebagai wilayah yang ‘bebas kepentingan’. Tetapi meluas kedalam perdebatan ekonomi politik yakni relasi kuasa negara-modal-rakyat.

Ditempat berbeda, Indonesia, aktivis Greenpeace pernah ditantang berdebat mengenai hasil penelitian ilmiah tentang ‘kejahatan lingkungan’ satu korporasi. Namun sayangnya tantangan ini tidak pernah terealisasi. Sepertinya, ada ketidakpercayaan diri dari para aktivis Greenpeace untuk berdebat dengan seorang doktor dari IPB. Padahal di dunia nyata, keabsahan temuan seorang doktor tidaklah lebih superior dari intuisi penyelamatan ibu pertiwi dan keadilan lingkungan dari seorang yang tidak berpendidikan sekalipun.

Membuka Kontradiksi Kapitalisme-Alam
James O’Connor (1988) menyatakan bahwa alam berkontradiksi dengan modal, kemudian dikenal kotradiksi kedua dari kapitalisme. Kontradiksi ini melihat bahwa produksi tanpa batas dari kapitalisme membawa kehancuran lingkungan hidup. Sedangkan, kontradiksi pertama sendiri terletak pada hubungan buruh dengan modal. Dengan demikian, keuntungan kaum kapitalis sebenarnya diperoleh selain dari nilai lebih kaum buruh ditambah dari eksternalisasi biaya lingkungan dan sosial.

Selain kontradiksi diatas, terdapat juga perbedaan mendasar dalam pijakan berpikir para korporatis dengan aktivis gerakan lingkungan. Jika korporatis mungkin juga termasuk komprador-nya melihat nilai alam secara intrumental semata. Dimana alam dipandang sebagai alat pemuas kebutuhan dan keinginan manusia yang tanpa batas. Sehingga sumber daya yang terbatas jumlahnya sudah semestinya diberikan nilai ekonomis.

Di sisi lain, gerakan lingkungan memperluas cara pandang instrumental ini dengan menambahkan pendekatan nilai inheren dan intrinsik dari alam. Nilai inheren melihat alam tidak semata-mata sebuah entitas yang harus ditaklukan manusia untuk memenuhi kebutuhannya, tetapi menjadi ruang komtemplasi yang memiliki symbol spritualitas. Sedangkan nilai intrinsik memandang alam memiliki nilai dari dan untuk dirinya sendiri meskipun tanpa keberadaan manusia. Dengan demikian, manusia memiliki kewajiban moral untuk menghormati-nya terlepas dari memiliki fungsi atau tidak dalam kehidupan manusia.

Kemudian, pertanyaannya: akankah kontradiksi dan perbedaan cara pandang ini direkonsiliasi dalam ranah diskusi ilmiah yang bias instrumentalis? Mungkin jawabannya sulit, jika bukan mustahil.

Selanjutnya, sebenarnya tantangan dari akademisi IPB tersebut ditujukan secara terbuka bagi seluruh gerakan lingkungan hidup di Indonesia. Hal positif dari menerima tantangan ini, paling tidak, dapat membuka kontradiksi dan memperjelas siapa kawan dan siapa lawan dari gerakan lingkungan di Indonesia. Karena tentu saja tidak ada orang yang bisa netral di dalam kereta yang sedang bergerak, seperti judul film Howard Zinn.

Penulis, Agung Wardana, saat ini sedang menempuh pendidikan pasca sarjana di Murdoch University

 

 

read more
Ragam

Inilah Calon Kandidat Direktur Walhi Aceh

Pertemuan Daerah Lingkungan Hidup (PDLH) Luar Biasa Walhi Aceh pada hari Sabtu (2/11/2013) sedang berlangsung. Rangkaian PDLH ini akan memilih Direktur Walhi Aceh periode 2013_2017 bersama Dewan Daerah Walhi Aceh.

Tim SC PDLH Walhi, Ahmad mengatakan, ada empat kandidat yang mendaftar, akan tetapi hanya 3 kandidat yang sudah memenuhi persyaratan.

“Kita sudah buka dua kali kesempatan pendaftaran sebagai calon Direktur Walhi Aceh, satu orang belum melengkapi berkas,” tukasnya sebagaimana dilansir acehterkini.com.

Sedangkan ketiga kandidat yang telah melengkapi berkas adalah Yusriadi (Staf Walhi Aceh), Marzuki (Ketua Jaringan KuALA) dan Ratno Sugito (Forum orangutan Aceh).

Dijelaskannya, pendaftaran ditutup pada pukul 00.00 Wib tadi malam, Jumat (1/11).

Suasana pertemuan PDLH-LB Walhi Aceh | Foto: M. Nizar Abdurrani
Suasana pertemuan PDLH-LB Walhi Aceh | Foto: M. Nizar Abdurrani

Sementara itu, untuk Dewan Daerah Walhi Aceh juga akan ada pemilihan pengurus baru. “Saat ini baru dua orang yang mendaftar, sedangkan koutanya lima orang. Kita harapkan ada unsur perempuan yang mendaftar sebagai dewan daerah,” kata Ahmad dari Walhi Nasional.

Pemilihan dewan daerah dan Walhi Aceh akan berlangsung pada hari Sabtu 2 November 2013. Acara berlangsung di Hotel Jeumpa, Lampineung Banda Aceh. Ikut hadir dalam acara itu sejumlah anggota Walhi dari beberapa Kabupaten/Kota.

Diketahui, Direktur Walhi Aceh periode 2009-2013, Teuku Muhammad Zulfikar tugasnya berakhir pada 31 Oktober 2013. PDLH luar biasa ini untuk memilih pengurus eksekutif daerah Walhi Aceh yang baru untuk periode 2013-2017.

read more
Ragam

Penjaringan Bakal Calon Direktur Walhi Aceh Diperpanjang

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh memperpanjang masa pendaftaran bakal calon Direktur WALHI Aceh baru untuk periode empat tahun ke depan. Penjaringan akan diperpanjang hingga tanggal 29 Oktober 2013 dan pemilihan direktur akan dilakukan pada tanggal 1-2 November 2013 dalam acara Pertemuan Daerah Lingkungan Hidup – Luar Biasa (PDLH-LB) bertempat di Hotel Jeumpa Banda Aceh.

Ketua Panitia PDLH-LB, Twk Emir Achyar mengatakan bakal calon direktur ini harus memenuhi kriteria antara lain aktif dalam advokasi lingkungan selama tiga tahun terakhir di Aceh, pendidikan akademik sekurang-kurangnya sarjana (S-1).

Selain itu Direktur WALHI ke depan harus bersedia bekerja penuh waktu dan tidak rangkap jabatan sebagai eksekutif di tempat lain dan mempunyai pengalaman memimpin organisasi minimal selama 3 tahun.

“Ini untuk menjamin direktur WALHI Aceh ke depan nantinya benar-benar mendedikasikan dirinya untuk perjuangan membela lingkungan yang semakin banyak tantangannya,” kata Twk Emir.

Lebih lanjut ia mengatakan pada dasarnya setiap orang berhak mencalon diri asal memenuhi kriteria di atas namun demikian sebagai kekhususan, WALHI Aceh mengharuskan bakal calon melampirkan rekomendasi dari minimal dua lembaga anggota WALHI Aceh.

Saat ini pembangunan di Aceh berlangsung dengan pesat yang semuanya memanfaatkan sumber daya alam yang besar. Pemakaian sumber daya alam ini cenderung merusak lingkungan sekitar dan menghancurkan sumber-sumber pendukung kehidupan masyarakat.

Inilah yang menjadi tantangan bagi direktur WALHI Aceh ke depan, bagaimana bisa mengawasi pemanfaatan sumber daya alam agar lingkungan tetap terjaga.

Selain memilih direktur baru, PDLH-LB juga akan memilih lima orang sebagai anggota Dewan Daerah yang berfungsi mengawasi jalannya organisasi WALHI Aceh. Sebelum hari H, pada tanggal 1 November 2013 akan diselenggarakan seminar tentang lingkungan.

Sudah menjadi tradisi di WALHI Aceh selalu setiap acara pertemuan besar digandeng dengan acara seminar lingkungan untuk menambah wawasan dan berbagi pengalaman [m.nizar abdurrani].

read more
Hutan

Walhi Gugat Presiden SBY

Rabu siang (9/10/13), Abetnego Tarigan, Direktur Eksekutif Walhi Nasional, bersama pengurus, antara lain, Munhur Satyahaprabu, Zenzi Suhadi, Khalisah Khalid, dan Tumpak W Hutabarat serta Wahyu Wagiman, Ketua Tim Advokasi Pulihkan Indonesia, datang ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Hari itu, Walhi resmi mengajukan gugatan kepada Presiden RI beserta 18 lembaga negara yang dinilai abai atas kebakaran hutan yang terus terjadi di Riau dan Jambi. Sebanyak 15 kuasa hukum tergabung dalam tim advokasi ini.

Abetnego mengatakan, gugatan ini sangat penting agar masyarakat bisa hidup dalam lingkungan sehat.  “Gugatan ini untuk mengingatkan pemerintah yang lalai akan tanggung jawab mereka menjamin keselamatan lingkungan hidup dan hak-hak rakyat atas lingkungan hidup sehat. Itu hak asasi manusia,” katanya di Jakarta, hari itu.

Pemerintah, ujar dia, harus memiliki skema yang jelas dan transparan guna mengatasi masalah kebakaran hutan yang terulang setiap tahun ini. “Pemerintah kalau tidak didesak, biasa akan diam saja. Maka Walhi mengajukan gugatan.”

Bahkan, ada rumor berkembang, Indonesia dan Malaysia, sengaja mendiamkan kasus ini demi momentum penting dalam Forum APEC, untuk memasukkan sawit dalam produk ‘hijau’—meskipun belum sukses.

Menurut dia, penerbitan bebagai izin perkebunan sawit dan hutan tanaman industri tanpa disertai tanggung jawab pemerintah menjaga lingkungan dan hak rakyat. Bahkan, tak ada kontrol pada pemegang hak usaha. Kondisi ini,  menyebabkan lingkungan hidup di negeri ini berbahaya untuk ditinggali.

Manager Kebijakan dan Pembelaan Hukum Walhi Muhnur S, mengatakan,  gugatan ini juga respon atas somasi yang tak ditanggapi Presiden.  Pada akhir Juni 2013, Walhi telah melaporkan 117 perusahaan yang diduga terlibat pembakaran hutan di Riau dan Jambi, kepada Kementerian Lingkungan Hidup. Namun, tampaknya, laporan mereka tak ditanggapi serius.

“Pemerintah telah melawan hukum dengan tidak melaksanakan perintah hukum. Dengan gugatan ini mudah-mudahan bisa mencegah kerusakan hutan agar tak makin parah.”

Tak jauh beda diungkapkan Ketua Tim Advokasi Pulihkan Indonesia Wahyu Wagiman. Menurut dia, gugatan diajukan kepada 19 pihak terdiri dari Presiden, tiga kementerian termasuk Polri , dua gubernur di Sumatera , serta 11 bupati dan dua walikota di Sumatera. Mereka dinilai bertanggung jawab terhadap kebakaran hutan yang terus terjadi.[]

Sumber: mongabay.co.id

read more