close

YEL

Flora FaunaKebijakan Lingkungan

“M. Salah”, Diselamatkan di Rawa Tripa, Dilepasliarkan di Jantho

Satu individu orangutan Sumatera (Pongo abelii) berjenis kelamin Jantan berhasil diselamatkan oleh tim dari Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Aceh – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Indonesia dalam program Sumatran Orangutan Conservation Programme (SOCP). Orangutan tersebut terisolir sebuah fragmen hutan kecil dan sempit yang dikelilingi oleh kelapa sawit di Kawasan Rawa Gambut Tripa, yang merupakan sebagian dari Kawasan Ekosistem Leuser, Aceh, Indonesia.

Tim YEL-SOCP yang terdiri dari dokter hewan drh. Pandu Wibisono dan Manajer Operasional SOCP Asril Abdullah, S.Si serta petugas Balai KSDA Aceh berhasil menyelamatkan orangutan dari lokasi tepatnya di Desa Blang Mee (Kecamatan Kuala Batee, Kabupaten Aceh Barat Daya, dan kemudian dibawa ke Pusat Reintroduksi Orangutan SOCP, di kawasan Cagar Alam Jantho, Aceh Besar, dan telah dilepasliarkan kembali ke hutan alam Kamis pagi  (31/08/2018).

Orangutan jantan dewasa ini diberi nama “M. (Mawas) Salah” oleh tim penyelamat di lokasi, karena sambil melaksanakan tugasnya, tim membahas piala dunia sepakbola dan pemain terkenal tim Liverpool di Inggris, Mohamed Salah.

Dari hasil pemerikasaan kesehatan awal, Orangutan “M Salah” diperkirakan berumur antara 30-35 tahun, dan berat badannya sekitar 65 kilogram. Informasi oleh drh. Pandu juga mengatakan bahwa kondisi fisiknya cukup sehat, apalagi untuk orangutan yang sudah cukup lama hidup di habitat yang sumber makanan alaminya sangat terbatas.

Drh. Pandu Wibisono, menjelaskan, “Hasil cek kesehatan awal, orangutan “M Salah” ini terlihat sehat, hanya saja dia terlihat sedikit stress. Hal tersebut dapat disebabkan karena dia telah terisolasi di daerah seperti ini”.

Manajer Operasional SOCP, Asril, S.Si menyampaikan, “Jika kita tidak melakukan penyelamatan, besar kemungkinan orangutan akan mati disana akibat kelaparan ataupun dibunuh oleh masyarakat. Orangutan Jantan ini dikabarkan sudah mengganggu lahan pertanian masyarakat, termasuk memakan bibit kelapa sawit muda dalam upayanya untuk bertahan hidup.”

Sebenarnya bibit sawit bukan diet alami atau yang sehat untuk orangutan, akan tetapi jika tidak ada sumber makanan lain orangutan ini terpaksa turun dan mencobanya”.

Direktur SOCP, Dr. Ian Singleton dari PanEco Foundation yang juga ikut dalam kegiatan penyelamatan menjelaskan, “Sebenarnya kami merasa sedih jika harus menangkap orangutan liar dan bebas dari habitat aslinya. Tetapi dalam kasus seperti ini dimana habitat aslinya sudah dimusnahkan, tidak ada pilihan lain selain menyelamatkan ke tempat yang lebih aman di Jantho.”

Orangutan “M Salah” ini akan memiliki kesempatan bertahan hidup dan tetap berkontribusi terhadap generasi orangutan Sumatera, sekaligus untuk pelestarian spesiesnya. Kemungkinan besar dia akan dibunuh jika tidak diselamatkan, maka tidak punya pilihan selain mencoba membantu mentranslokasinya. Dengan begitu, setelah ditranslokasi ke hutan yang lebih aman, “M Salah” akan bergabung dengan lebih dari 100 individu orangutan lain yang telah dilepasliaarkan, sebagai upaya untuk membangun populasi baru spesies sangat terancam punah ini di alam liar”.

Sementara itu, Kepala Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam (KSDA) Aceh, Sapto Aji Prabowo, M. Si mengatakan, “Dengan jumlah orangutan Sumatera yang tersisa diperkirakan hanya sekitar 13.000-an, orangutan Sumatera terdaftar oleh IUCN (Badan Konservasi Alam Dunia) sebagai jenis satwa yang ‘Sangat Terancam Punah’. Selain itu, Orangutan juga dilindungi secara tegas dibawah hukum Indonesia, dengan potensi denda sebesar Rp 100,000,000 dan hukuman kurungan selama 5 (lima) tahun jika membunuh, menangkap, memelihara atau menjualnya”.

“Kami telah dan akan terus melakukan penegakan hukum terhadap kasus-kasus pembunuhan, penangkapan, dan pemeliharaan orangutan secara illegal, dengan tujuan bahwa kasus-kasus ini akan menjadi efek jera kepada siapa saja yang akan menangkap atau membunuh orangutan, dan juga kepada orang yang membeli atau menerima orangutan dari orangutan lain secara illegal”, tegasnya.

Lokasi penyelamatan orangutan “M Salah” berada di Kawasan Rawa Gambut Tripa, di Kawasan Ekosistem Leuser, yang menjadi fokus masyarakat dunia tahun 2012 ketika terdapat banyak titik api dan kebakaran berskala besar di perkebunan kelapa sawit, yang memusnahkan ribuan hektar hutan rawa gambut dan keanekaragaman hayatinya, dan melepaskan sejumlah besar karbon dioksida ke atmosfir. Kejadian ini mengakibatkan beberapa kasus hukum berupa tuntutan yang dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan terhadap pengusaha-pengusaha perkebunan kelapa sawit.

Beberapa tuntutan tersebut berhasil memberikan denda dalam jumlah besar dan hukuman penjara terhadap pengusaha dan pihak-pihak yang terbukti melanggar hukum.

“Kami telah dan akan terus melakukan penegakan hukum terhadap kasus-kasus pembunuhan, penangkapan, dan pemeliharaan orangutan secara illegal, dengan tujuan bahwa kasus-kasus ini akan menjadi efek jera kepada siapa saja yang akan menangkap atau membunuh orangutan, dan juga kepada orang yang membeli atau menerima orangutan dari orangutan lain secara illegal,”tegasnya.

Sejak tahun 2001, SOCP telah menerima lebih dari 370 orangutan di pusat karantina dan rehabilitasi orangutan yang berada di Kecamatan Sibolangit, Deli Serdang, Sumatera Utara. Lebih dari 280 diantaranya telah dilepasliarkan di kedua pusat reintroduksi yang dikelola YEL-SOCP di Provinsi Jambi dan di Jantho, Aceh. Sebanyak 105 orangutan lainnya telah dilepaskan ke hutan Jantho, Provinsi Aceh sejak 2011.[rel]

 

 

read more
Flora Fauna

Orangutan Kembali Dievakuasi dari Kebun Masyarakat Abdya

Seekor Orangutan jantan kembali dievakuasi dari kebun masyarakat yang terletak di Desa Blang Mee, Kecamatan Kuala Batee, Aceh Barat Daya. Tim yang beranggotakan personil dari BKSDA Aceh, YEL dan SOCP menyelamatkan orangutan yang berada dalam kondisi malnutrisi. Evakuasi dilakukan pada hari Kamis (30/8/2018).

Orangutan jantan ini diperkirakan berumur sekitar 30 tahun dengan berat badan antara 70-80 kilogram. Jika orangutan ini tidak segera diselamatkan maka keberadaannya terancama oleh pemilik kebun. Orangutan tersebut sudah merambah isi kebun seperti sawit, pisang dan tanaman-tanaman lain yang ada didalam kebun. Masyarakat segera melaporkan keberadaan orangutan tersebut agar hewan yang dilindungi ini dapat diselamatkan.

Staf lapangan YEL, Indrianto, kepada Greenjournalist, Jumat (31/8/2018) mengatakan Orangutan tersebut bisa jadi dulunya merupakan bagian dari orangutan yang habitatnya berada di hutan gambut Rawa Tripa. Namun akibat adanya pembuatan sungat buatan, yang kini dikenal dengan sebutan Krueng Ikueh, maka habitatnya menjadi terpisah. Orangutan ini pun tidak dapat kembali lagi ke habitat asalnya karena sudah terpisah oleh sungai buatan tersebut.

“Sedangkan hutan di sekitar desa Blang Mee nyaris sudah tidak ada lagi, jadi orangutan kesulitan untuk bertahan hidup disitu,”ujar Indrianto. Indrianto sendiri adalah staf YEL yang sehari-hari juga bertugas memantau keberadaan orangutan di kawasan hutan gambut Rawa Tripa.

Orangutan jantan yang diselamatkan tersebut hari Jumat (31/8/2018) sudah dilepasliarkan kembali di Cagar Alam Jantho, Aceh Besar. Dia tidak perlu menjalani perawatan serius karena kondisinya masih tergolong baik dan bisa dilepaskan ke alam liar secepatnya.

Dalam bulan Agustus ini sudah 2 ekor orangutan yang dievakuasi dari Kuala Batee. Tim memperkirakan masih ada sejumlah orangutan yang terjebak dikawasan tersebut dan perlu untuk dievakuasi segera, sebelum menjadi sasaran kejahatan dari masyarakat yang tidak bertanggung jawab.

 

 

read more
Flora Fauna

YEL-SOCP & BKSDA Aceh Selamatkan Orangutan Terisolir di Kebun Sawit Abdya

Meulaboh – Seekor orangutan yang terisolasi di perkebunan sawit di Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya), Provinsi Aceh berhasil dievakuasi oleh Yayasan Ekosistem Lestari Sumatera Orangutan Conservation Program (YEL-SOCP). Orangutan itu terisolasi setelah kehilangan tempat tinggalnya yang telah dikonversi menjadi lahan kebun sawit.

Koordinator YEL-SOCP Barat Selatan Aceh, Indrianto dalam siaran pers mengatakan Orangutan tersebut berasal dari kawasan hutan sekitar tempatnya terisolasi. “Dia kehilangan tempat tinggal setelah kawasan itu berubah fungsi menjadi kebun sawit warga, sehingga terpaksa menjelajahi wilayah sekitar kebun demi bertahan hidup,” ucapnya di Meulaboh, Jumat (3/8/2018).

Petugas mengangkat orangutan yang dievakuasi dari tengah kebun sawit Abdya | Foto: Syifa Yulinnas – ANTARA

Sejumlah staf YEL bergerak bersama tim Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, mengevakuasi orangutan yang diperkirakan berumur 15 tahun itu. Orangutan itu terjebak di kawasan kebun sawit warga Desa Geulangan Gajah, Kecamatan Kuala Batee, Abdya.

Menurut data YEL, selama periode 2010 hingga 2018, YEL berhasil menyelamatkan dan mengevakuasi sebanyak 27 orangutan dari beberapa daerah di Aceh dalam kondisi hidup untuk kemudian dilepasliarkan.

“Tiap orangutan yang kita selamatkan maka akan dievakuasi ke kawasan reintroduksi Orangutan Sumatera Cagar Alam Janto. Kemudian direhabilitasi dan diperiksa kesehatannya kemudian bila sudah melewati proses itu segera dikembalikan ke habitatnya,” ujar Indrianto.

Dokter hewan YEL-SOCP, Yenny Saraswati yang menjelaskan, kondisi fisik tubuh orangutan yang dievakuasi tersebut kurus kering mungkin dikarenakan kondisi alam tempat tinggalnya sudah tidak begitu baik.

Yenny yakin dan percaya bahwa masih ada populasi orangutan di kawasan habitat yang sama ditemukan itu. Pihaknya akan berusaha terus melakukan pencarian orangutan agar ketemu, sehingga dapat dievakuasi semua ke cagar alam Janto.

“Saat ini kita masih sedang dalam perjalanan menuju Cagar Alam Janto untuk mengembalikan orangutan berkelamin betina ini agar dapat hidup kembali bersama di habitatnya di sana,” demikian drh Yenny Saraswati.[rel]

 

read more
Green StyleKebijakan Lingkungan

Empat LSM Lingkungan Presentasikan Program Hutan & Satwa Aceh

Banda Aceh – Program Tropical Forest Conservation Action for Sumatera (TFCA Sumatera) menyelenggarakan kegiatan pemaparan proyek perlindungan hutan Aceh, Kamis (19/7/2018) bertempat di Kyriad Hotel Banda Aceh. Kegiatan menghadirkan empat LSM lingkungan yang mendapat bantuan pendanaan dari TFCA Sumatera untuk mempresentasikan kegiatan mereka dalam melindungi hutan Aceh. TFCA sendiri adalah sebuah program kerjasama antara pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat dimana dananya diambil dari pengalihan hutang Indonesia (debt Swap) kepada Amerika. Uang yang berasal dari pembayaran hutang ditampung dalam rekening trust fund kemudian disalurkan untuk pembiayaan perlindungan hutan. Program berjalan selama delapan tahun (2009-2020) dengan total dana USD 42,6 juta.

Keempat LSM tersebut adalah Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) yang mempresentasikan program mereka di hutan gambut Rawa Tripa, Yayasan Leuser Internasional (YLI) yang menjelaskan program mereka di Suaka Margasatwa Rawa Singkil, Forum Konservasi Leuser (FKL) yang mempresentasikan kegiatan mereka di Kawasan Ekosistem Leuser dan Conservation Response Unit (CRU) Aceh yang memaparkan program perlindungan gajah di Kawasan Ekosistem Leuser. Setiap lembaga memaparkan apa yang telah mereka laksanakan dalam proyek TFCA, capaian-capaian, tantangan dan rencana program ke depan.

Wakil dari YEL, T. Muhammad Zulfikar dalam pemaparannya menyampaikan pentingnya kawasan gambut Rawa Tripa yang terletak di Nagan Raya dan sebagian Aceh Barat Daya. Hutan ini, yang menjadi habitat Orangutan Sumatera mengalami kerusakan parah akibat dibuka untuk perkebunan kelapa sawit. Karena itu YEL mengadvokasi kawasan gambut ini menjadi kawasan lindung.

“Gambut harus diselamatkan karena sudah banyak yang mengalami perubahan tata guna lahan,”ujarnya. Isu Rawa Tripa sempat menjadi perhatian public pasca gugatan sejumlah LSM terhadap PT Kallista Alam yang dituduh membakar lahan dan membuka kebun illegal. Gugatan ini dimenangkan LSM lingkungan hingga MA, namun sayangnya eksekusi putusan MA tertunda akibat gugatan balik yang dilancarkan oleh PT Kallista Alam. Seluas 1.605 hektar bekas lahan milik perusahaan ini dikembali kepada fungsi semula namun sayangnya akibat pengelolaan yang tidak jelas kini sebagian lahannya jadi ajang perebutan.

Menurut Zulfikar isu gambut sangat penting untuk dibicarakan dan dicarikan solusinya. Apalagi pemerintah Aceh dimasa Gubernur Zaini Abdullah mengeluarkan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) dari Qanun Tata Ruang Aceh. Kementerian LHK sudah memberikan rekomendasi agar KEL dimasukan kembali ke dalam Qanun RTRW Aceh.
Sekitar 13.000 hektar gambut di Rawa Tripa diperjuangkan menjadi kawasan lindung gambut. Sementara masih ada 3000-an hektar lahan gambut di Aceh Jaya yang belum tersentuh program advokasi. “Takutnya jika gambut Aceh Jaya tidak diadvokasi, gambut ini akan hilang sedikit-sedikit akibat perubahan lahan,”kata Zulfikar.

Zulfikar juga menegaskan pentingnya dibentuk badan yang khusus mengurusi masalah lahan gambut di Aceh. Jika di tingkat nasional ada Badan Restorasi Gambut, maka di Aceh perlu bentuk lembaga yang sejenis.

Selain program kehutanan, YEL juga memberikan bantuan kepada masyarakat sekitar hutan Rawa Tripa. Bantuan berupa keterampilan membuat pupuk, pemberian bantuan bibit tanaman dan ikan. Ini dilakukan agar kesejahteraan masyarakat sekitar dapat meningkat.

Sementara itu mewakili dari YLI, Nijar Tarigan menampilkan kegiatan yang mereka lakukan di suaka marga satwa Rawa Singkil. Ia menyebutkan Suaka Margasatwa Rawa Singkil seluas 102.500 ha yang berada di dalam KEL merupakan salah satu hutan rawa gambut yang masih tersisa di dunia yang perlu dipertahankan. Kawasan hutan ini rawan mengalami kerusakan dan membutuhkan perlindungan secara berkelanjutan, juga menjadi habitat banyak mamalia, tumbuhan, burung, spesies ikan dan banyak jenis reptil yang langka dan terancam, serta penting untuk memelihara berbagai jasa-jasa lingkungan.

Tampil mewakili CRU Aceh adalah Wahdi Azmi. Lembaga ini mendapat bantuan dana dari program TFCA spesies untuk khusus menangani gajah. Diantara program CRU Aceh yang menonjol adalah memasang Collar GPS pada gajah untuk mengetahui pergerakan gajah dan membangun barrier gajah dengan memadukan antara artificial barrier (barrier buatan manusia) dengan natural barrier (barrier alami) agar gajah liar tidak masuk pemukiman penduduk yang sering menimbulkan konflik.

Wahdi menyebutkan bahwa habitat gajah di Aceh masih mencukupi karena hutan Aceh masih relative luas. Hal ini berbeda dengan hutan di Sumatera lainnya yang luasnya semakin menyusut. Aceh mempunyai kesempatan yang bagus untuk menjaga kehidupan gajah yang tersebar hampir di seluruh daerah Aceh. Hanya saja gajah Aceh tidak mendiami daerah konservasi sendiri atau suaka marga satwa tapi tinggal dalam hutan-hutan yang pengelolaannya dibawah pemerintah Aceh. CRU Aceh akan memperjuangkan berdirinya suaka margasatwa (sanctuary) yang menjadi tempat berlindung hewan-hewan liar. CRU Aceh sendiri terpisah secara struktural dengan CRU-CRU lain yang berada di bawah BKSDA.

Topografi hutan Aceh yang ekstrim, tebing-tebing hutan yang curam menjadi natural barrier yang bagus bagi gajah. Barrier buatan sendiri tidak akan efektif bila tidak dikelola dengan benar. Perpaduan kedua barrier ini menjadikannya sebagai barrier yang efektif dan efisien. Saat ini terdapat 70-80 ekor gajah kawasan hutan Ulu Masen.

FKL lebih banyak mempresentasikan program patroli mereka dimana mereka sangat sering menemukan jerat hewan liar dan perambahan liar di kawasan KEL. Patroli rutin mereka laksanakan untuk mencegah perburuan hewan liar. Tak kurang dari ribuan jerat berbagai ukuran untuk berbagai macam hewan liat telah berhasil mereka sita. Selama berpatroli mereka ditemani oleh petugas dari BKSDA yang memang secara UU memiliki kewenangan khusus beroperasi dalam kawasan lindung.

Dana Hibah TFCA untuk Aceh
Selama lima siklus dan off cycle program TFCA, banyak lembaga lingkungan yang melaksanakan konservasi di Aceh dengan bantuan dana TFCA. Berikut daftar lembaga yang mendapat pendanaan untuk bekerja di propinsi Aceh:
1. Yayasan Leuser International
Nama Proyek: Pengamanan Kawasan Strategis Aceh Selatan – Singkil bagi Konservasi yang Berbasis Masyarakat Secara Berkelanjutan di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam
Bentang Alam: Taman Nasional Batang Gadis, Ekosistem Leuser dan Taman Nasional Gunung Leuser,
Durasi Hibah: Maret 2011-Januari 2017
Bantuan dana : Rp. 11.181.842.059

2. Yayasan Ekosistem Lestari
Nama proyek : Penyelamatan Ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa-Babahrot Melalui Upaya Penetapan Kawasan Lindung di Luar Kawasan Hutan dan Restorasi dengan Pendekatan Multi Pihak
Bentang Alam: Ekosistem Leuser dan Taman Nasional Gunung Leuser,
Durasi Hibah: Mei 2012-April 2017
Bantuan dana: Rp. 6.548.795.000

3. Konsorsium Jantho Lestari
Nama proyek : Kegiatan Konservasi Hutan Tropis di Cagar Alam Jantho Kabupaten Aceh Besar, Pidie dan sekitarnya untuk Perbaikan Fungsi Kawasan Konservasi, Keanekaragaman Hayati dan Peningkatan Taraf Hidup Masyarakat Sekitar Hutan
Anggota Konsorsium: 1. Yayasan Pemerhati Alam Dunia Hijau Indonesia (PADHI) 2. WWF-Indonesia
Bentang Alam: Hutan Seulawah – Ulu Masen,
Durasi Hibah: Juni 2014 – Mei 2017
Bantuan dana: Rp. 4.620.828.000

4. Konsorsium Suar Galang Keadilan
Nama proyek: Penguatan Kapasitas Penegak Hukum Dalam Penanganan Kasus Kejahatan Terhadap Satwa Liar yang Dilindungi di Aceh
Bentang Alam: Hutan Seulawah – Ulu Masen,
Durasi Hibah: Oktober 2016 – April 2017
Bantuan dana: Rp. 1.000.000.000

5. Konsorsium HAKA
Nama proyek: Konservasi Badak Sumatera Di Kawasan Ekosistem Leuser Melalui Peningkatan Peran Pemerintah Daerah dan Masyarakat Lokal
Anggota Konsorsium: 1. Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HaKA) 2. Forum Konservasi Leuser (FKL) 3. Forum Masyarakat Leuser Aceh Tenggara (FORMALAT)
Bentang Alam: Ekosistem Leuser dan Taman Nasional Gunung Leuser,
Durasi Hibah: November 2015-Oktober 2016
Bantuan dana: Rp. 1.000.000.000

(Sumber: tfcasumatera.org)

 

 

read more
HutanKebijakan Lingkungan

Berebut Lahan 200 Ha eks PT Kalista Alam di Rawa Tripa

Banda Aceh – Lahan yang dulunya milik PT Kalista Alam, kini menjadi ajang rebutan oleh sejumlah masyarakat. Mereka mengatasnamakan koperasi maupun secara individu. Hal ini menyebabkan tujuan mengembalikan kondisi hutan gambut Rawa Tripa ke keadaan semula menjadi terhambat.

Lahan perkebunan sekitar 200 hektar yang dulunya milik PT Kalista Alam kini dikuasai oleh sejumlah pihak. Awalnya pasca pencabutan Izin Usaha Perkebunan Budidaya (IUPB) lahan dengan totoal luas 1.605 hektare yang diputuskan oleh pengadilan, lahan yang sudah terlanjut ditanami ini menjadi incaran banyak pihak. Organisasi lingkungan yang menggugat pencabutan izin tersebut tahun 2013 berhasil memenangkan gugatannya. Izin yang dikeluarkan oleh Gubernur masa itu Irwandi Yusuf dicabut oleh PTUN. Aktivis lingkungan berharap hutan gambut Rawa Tripa yang sudah mengalami kerusakan bisa dikembalikan seperti semula. Namun apa hendak dikata, kondisi bekas perkebunan ini masih tetap saja rusak.

Staf Dinas Perkebunan Nagan Raya, Akmaizar, SP, kepada Greenjournalist, Rabu (4/7/2018) mengatakan bahwa seluas 200 hektar lahan pasca pencabutan izin dikelola oleh koperasi yang bernama Kopermas Sinpa. Koperasi ini mengadakan perjanjian dengan Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) Propinsi Aceh yang saat itu Kepala Dinasnya adalah Husaini Syamaun. Koperasi ini mengatasnamakan masyarakat dhuafa, miskin dan anak yatim, mengelola lahan dengan sistem bagi hasil sesuai persentasi. Koperasi mendapat bagi hasil kemudian Pemkab Nagan Raya dan Pemerintah Provinsi juga mendapatkan keuntungan. Perjanjian kerjasama diteken tahun 2016.

Namun sayangnya setelah perjanjian kerjasama berjalan, ternyata koperasi tidak mampu mengelola lahan ini dengan baik sehingga akhirnya Dishutbun mencabut perjanjian kerja sama ini tahun 2017. Sementara itu, melihat koperasi mengelola kebun sawit di Rawa Tripa, masyarakat pun ikut-ikutan menanam sawit di bekas lahan hutan gambut tersebut. “Alasan mereka, kalau koperasi bisa nanam, kenapa kami tidak,”ujar Akmaizar.

Akmaizar bersama tim baik dari kabupaten Nagan Raya, Propinsi Aceh dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, telah melakukan peninjauan ke lapangan beberapa hari lalu. Kunjungan ini berdasarkan laporan dari PT Kalista Alam bahwa banyak yang menggarap lahan di bekas lahan mereka tersebut sehingga merugikan mereka.

“Yang mengejutkan hari ini baru diketahui bahwa 200 Ha areal yang terlanjur tertanami telah diserahkan pengelolaan nya oleh pemerintah Aceh melalui Dinas Kehutanan kepada salah satu Koperasi di Nagan Raya. Anehnya lagi ada sebagian oknum masyarakat yang menjadikan itu sebagai dasar legalitas untuk menggarap areal lainnnya dalam kawasan areal 1.605 Ha,”kata Akmaizar. Hal ini sangat disayangkan karena menambah kerusakan hutan Rawa Tripa. Pemerintah Aceh secara resmi menetapkan kawasan Rawa Tripa menjadi kawasan lindung gambut seluas 1455 Ha di areal eks PT Kalista Alam di kawasan Suak Bahung Kecamatan Darul Makmur, Kab.Nagan Raya tahun 2015 lalu. Kawasan yang diresmikan ini adalah bagian dari seluas 11.359 Ha kawasan gambut lindung yang sudah dimasukkan dalam Qanun RTRW Aceh.

Dihubungi terpisah, Staf Yayasan Ekosistem Lestari (YEL), Indrianto mengatakan saat ini sudah ada pihak lain yang mengincar lahan bekas PT Kalista Alam tersebut. Pihak yang mengincar berbentuk koperasi yang mengatasnamakan kelompok masyarakat tertentu.

“Info yang saya dapat, koperasi ini hampir meneken kerjasama dengan Dishutbun Propinsi Aceh. Namun pak Kadis Husaini Syamaun keburu diganti sehingga perjanjian belum diteken hingga saat ini,”kata Indrianto. Pemerintah Aceh sepertinya sangat berniat untuk menyerahkan lahan 200 hektar ini dikelola pihak ketiga. Maklum saja, sawit dalam kebun tersebut sudah menghasilkan duit sehingga menarik minat banyak orang. Indrianto mengatakan pohon sawit  dalam kebun tersebut mencapai tinggi 2 meter dan telah berbuah.

Masyarakat mendirikan pondok di bekas lahan Kalista Alam | Foto: Indrianto

Pihak YEL sendiri sudah berusaha merehabilitasi lahan Rawa Tripa tersebut salah satunya dengan penutupan kanal-kanal (block canals). Hal ini dilakukan agar air yang terdapat dalam tanah gambut tidak mengalir keluar melalui kanal-kanal yang bisa menyebabkan kekeringan serta berujung kepada kebakaran hutan.

“Dalam lahan 200 hektar itu ada juga kanal-kanal yang kami tutup. Tapi di beberapa tempat dirusak kembali oleh oknum,”kata Indrianto. Pemerintah sendiri sejauh ini masih mengumpulkan data-data terkait dengan penguasaan lahan Rawa Tripa.

Rawa Tripa, yang sering dijuluki Ibukota Orangutan, terus menerus mengalami ancaman kerusakan. Masih saja banyak pihak yang memandang Rawa Tripa hanya sebagai tempat menanam sawit semata. Mereka lupa akan fungsi ekologi dari hutan gambut ini.[]

 

read more
HutanKebijakan Lingkungan

Greenpeace: Raksasa Minyak Sawit Terlibat Deforestasi Hutan Indonesia

Singapura – Perusahaan-perusahaan raksasa minyak kelapa sawit di dunia masih terkait erat dengan deforestasi di Indonesia meskipun lima tahun lalu berjanji menghentikan penebangan hutan yang luas di hutan, demikian laporan Greenpeace, Senin (25/6/2018).

Wilmar International yang terdaftar di Singapura memiliki hubungan dekat dengan Gama, sebuah perusahaan perkebunan kelapa sawit besar Indonesia yang dikatakan oleh kelompok lingkungan telah menghancurkan area hutan hujan seukuran dua kali kota Paris.

Gama didirikan oleh pendiri Wilmar dan saudaranya pada tahun 2011 dan konsesi lahannya dimiliki dan dikelola oleh kerabat pasangan itu, menurut Greenpeace.

Greenpeace mengklaim hasil pemetaan dan analisis satelit menunjukkan bahwa Gama telah menghancurkan 21.500 hektar (53.000 hektar) hutan hujan atau lahan gambut sejak Wilmar berkomitmen menghentikan penebangan di Indonesia.

“Selama bertahun-tahun, Wilmar dan Gama telah bekerja sama, dengan Gama melakukan pekerjaan kotor sehingga tangan Wilmar tetap bersih,” kata kepala kampanye global hutan Indonesia Greenpeace Asia Tenggara, Kiki Taufik.

“Wilmar harus segera memutus semua pemasok minyak sawit yang tidak dapat membuktikan bahwa mereka tidak merusak hutan hujan.”

Wilmar menolak untuk berkomentar atas laporan Greepeace ini. Greenpeace mengatakan bahwa Wilmar menyangkal memiliki pengaruh terhadap Gama.

Minyak sawit adalah bahan utama dalam banyak barang sehari-hari, mulai dari biskuit hingga sampo dan make-up.

Peningkatan permintaan minyak sawit untuk komoditas telah menyebabkan ledakan industri di Indonesia, yang merupakan produsen minyak sawit terbesar di dunia. Kelompok-kelompok hijau telah lama menuduh perusahaan-perusahaan kelapa sawit merusak lingkungan hidup.

Banyak perusahaan telah membuat janji “no deforestasi” setelah berada di bawah tekanan, tetapi para aktivis mengatakan bahwa komitmen semacam itu sulit untuk dipantau dan seringkali dilanggar oleh perusahaan.

Perusakan hutan hujan, pembukaan lahan gambut – penumpukan vegetasi yang membusuk – untuk membuat jalan bagi perkebunan kelapa sawit menyebabkan kerusakan lingkungan yang sangat besar. Sejumlah besar karbon dilepaskan ketika gambut dikeringkan atau dibakar, memperburuk perubahan iklim, menurut ahli lingkungan.

Kebakaran gambut juga sulit untuk dipadamkan dan faktor kunci dalam wabah kabut asap beracun yang meracuni Asia Tenggara hampir setiap tahun.[]

Sumber: www.thejakartapost.com 

 

 

read more
Hutan

Rawa Tripa, Riwayatmu dari Dulu hingga Kini

Di masa kolonial, pejuang Aceh menjadikan Tripa sebagai tempat persembunyian. Hutan yang rapat menghentikan serdadu Belanda. Itu sepenggal kisah lokal tentang Tripa yang agung dan misterius. Dari masa ke masa, keagungan Tripa sirna. Rawa ini hanya menjadi tempat merajalelanya keserakahan perkebunan sawit. Lini masa berikut menunjukkan benturan kepentingan di Tripa sudah terjadi sejak era 1990-an.

1920-an
Pembukaan kebun sawit NV Socfin (sekarang PT Sofindo) di Nagan Raya.
1934
Pemimpin adat Aceh mendeklarasikan penyelamatan hutan Leuser, yang mencakup Tripa. Deklarasi Tapaktuan ini ditandatangani gubernur Hindia Belanda.
1940-an
Hampir seluruh Tripa ditutupi hutan perawan.
1980-an
PT Cemerlang Abadi membuka kebun sawit di Alue Mirah. Areal konsesi itu terbengkalai hingga 1990-an.
1983
Tata Guna Hutan Kesepakatan 1983: sebagian besar masih berstatus hutan negara bebas atau hutan produksi.
1990-an
– Hutan Tripa masih relatif utuh. Pembangunan jalan Meulaboh-Tapaktuan yang dibangun pada 1980 pun tak membuka kawasan rawa.
– Ada lima perusahaan: Gelora Sawita Makmur, Kalista Alam, Patriot Guna Sakti Abadi, Cemerlang Abadi dan Agra Para Citra. Hal ini bertentangan dengan SK Presiden No. 32/1990: hutan gambut sedalam lebih dari 3 m harus dilindungi dan tak boleh dikonversi jadi lahan budidaya.

– Padu-serasi kawasan hutan pada 1995 dan SK Gubernur Aceh No. 19/1999: wilayah Tripa ‘bukan kawasan hutan’, tapi masih ada ‘kawasan lindung di luar hutan’. Artinya, pada masa ini masih ada kesempatan untuk menyelamatkan areal Tripa.
1998
Tripa masuk dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), dengan tata kelola konservasi khusus Pemimpin adat Aceh mendeklarasikan sesuai Keppres No. 33 Tahun 1998.
1999
Konflik bersenjata mengerem pembukaan lahan. Proses suksesi alami berlangsung.
2000
Menteri Kehutanan menerbitkan SK No. 170/2000 yang menyatakan seluruh kawasan Tripa merupakan areal penggunaan lain (APL).
2001
Terbit SK Menhut No. 190/2001 yang menetapkan batas-batas Kawasan ekosistem Leuser di wilayah Aceh.
2001 – 2005
Selama konflik Aceh, kebun sawit tak aktif dan terjadi regenerasi alami. Setelah tsunami dan masa damai, pembukaan lahan dimulai lagi oleh Astra Agro Lestari dan Kalista Alam.

2006
UUPA No. 11/2006 menyatakan mandat pemerintahan Aceh untuk mengatur Kawasan Ekosistem Leuser (KEL): perlindungan, rehabilitasi dan pemanfaatan secara lestari. UUPA menjadi dasar dibentuknya Badan Pengelola KEL, lembaga provinsi untuk melaksanakan mandat itu.
2007
– Gubernur Aceh Irwandi Yusuf menerbitkan instruksi moratorium penebangan hutan di seluruh Aceh.
– Hasil kajian: tersisa 31.410 ha atau 51% dari ekosistem Tripa. Sekitar 17.820 ha berada dalam konsesi perkebunan, dan sisanya 12.573 ha untuk penggunaan lain oleh masyarakat. Hingga akhir 2009, sekitar 8.000 ha telah dibuka kembali.
– Peneliti menguji kedalaman gambut di atas 3 m di sebagian besar lokasi, termasuk areal konsesi HGU. Di lokasi tertentu melebihi 5 m.
2008
Peneliti menyebut hutan Tripa tersisa 15.595 ha (24%) yang berada di kebun sawit. Sekitar 1.000 ha dibuka dengan pembakaran.
2009
– Kajian lain menyebut perubahan lahan selama 19 tahun (1990-2009) sangat cepat. Hutan Tripa pada 1990 seluas 67.000 ha atau 65% dari total area, namun sampai 2009 hanya tersisa 19.000 ha atau tinggal 18%. Selama itu pula, luas kebun sawit perusahaan dan rakyat meningkat drastis: dari 941 ha menjadi 38.568 ha.
2010
– Warga 21 gampong Kemukiman Tripa dan Seumayam melayangkan petisi kepada Gubernur Aceh Irwandi Yusuf dan bupati Nagan Raya.
2011
– TKPRT merilis petisi kepada pemerintah Aceh dan DPR Aceh untuk menyelamatkan Tripa.
– Sebagai bagian kesepakatan REDD+ Indonesia-Norwegia, pemerintah merilis moratorium penerbitan izin baru di hutan primer dan lahan gambut (PIPIB). Tripa masuk dalam daerah terlarang bagi penerbitan izin baru.
– Izin lokasi Kalista berakhir pada 5 Februari 2011, tapi gubernur Aceh memberikan izin budidaya pada Agustus 2011. Hali ini membuat aktivis lingkungan menggugat gubernur Aceh.
– Walhi Aceh menggugat izin gubernur itu ke PTUN Aceh.
– Tiba-tiba areal Kalista dikeluarkan dari peta moratorium saat revisi PIPIB.
2012
– Petisi Rawa Tripa menuntut Presiden Yudhoyono menegakkan hukum. Dalam semalam, petisi meraih 10.000 lebih tanda tangan. PTUN Aceh menolak gugatan Walhi, lalu  banding ke PTTUN Medan. PTTUN Medan mengabulkan banding Walhi:  gubernur mesti mencabut izin Kalista. Sesuai keputusan PTTUN, gubernur Aceh mencabut izin Kalista. Tak terima, Kalista mengajukan kasasi dan menggugat gubernur. Keadaan kian buruk: tanpa izin, Kalista terus membuka dan membakar lahan.
2013
Kalista menang, PTUN Aceh memerintahkan gubernur mencabut surat pencabutan izin perkebunan. Mahkamah Agung menolak kasasi Kalista dalam gugatan pencabutan izin oleh gubernur. Dengan demikian, pencabutan izin
Kalista oleh gubernur sah dan berkekuatan hukum tetap.  Bekas lahan Kalista ditetapkan sebagai kawasan lindung gambut melalui Qanun RTRW Aceh. Sayangnya, qanun ini menghilangkan nomenklatur KEL di Aceh. Warga Aceh menggugat qanun di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

2014
– Kalista dinyatakan bersalah di pengadilan Meulaboh karena membakar lahan. Denda Rp 336 miliar. Ini kasus perdata pembakaran lahan pertama yang diajukan KLHK. Kalista banding.
– Pengadilan Tinggi Aceh menolak banding Kalista. Perusahaan ini mengajukan kasasi ke MA.
2016
Mahkamah Agung menolak kasasi Kalista. Putusan ini menguatkan putusan Pengadilan Tinggi Aceh. Vonis pertama dan terbesar sepanjang sejarah kasus pembakaran lahan dan hutan.

2017
PT Kallista Alam menggugat balik pemerintah yaitu Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Pemerintah Indonesia, Cq, Kementerian Agraria/Tata Ruang/Kepala BPN, Cq, Badan Pertanahan Nasional Kantor Wilayah Provinsi Aceh, Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Aceh, serta Ketua Koperasi Bina Usaha Kita.

Dalam gugatannya, PT. Kallista Alam menyebutkan, koordinat gugatan perdata yang dicantumkan KLHK dan juga dalam putusan hukum pengadilan tidak sesuai dengan kenyataan lapangan, atau error in objekto. Selain itu, perusahaan ini juga menggugat adanya pihak ketiga atau Koperasi Bina Usaha Kita di lahan 1.605 hektare yang telah dicabut izinnya oleh Gubernur Aceh.

2018
PN Meulaboh membatalkan putusan dari MA terhadap eksekusi denda PT Kallista Alam yang telah berkekuatan hukum tetap. Hal ini menimbulkan kontroversial dan sejumlah organisasi masyarakat mengecamnya. Gerakan Rakyat Aceh Menggugat (GeRAM) melakukan demonstrasi untuk memprotes Pengadilan Negeri (PN) Meulaboh di depan Mahkamah Agung Republik Indonesia. Majelis Hakim PN Meulaboh menyatakan bahwa putusan yang menghukum PT Kallista Alam (PT KA) sebesar Rp. 366 milyar sebagai title non-eksekutorial atau tidak bisa dieksekusi. Seperti diketahui sebelumnya, PT KA dinyatakan bersalah karena terbukti membakar 1.000 hektar lahan gambut di Tripa, Nagan Raya, Aceh.[]

Sumber: Agus Prijono, 2016, Rawa Tarung, Pertaruhan Di Rawa Gambut Tripa, Yayasan KEHATI, Jakarta dan data diolah.

 

 

read more
Flora FaunaHutan

Ian Singleton: Amazon Paru-paru Bumi, Leuser Adalah Jantungnya

Taman Nasional Gunung Leuser yang berada di Provinsi Aceh dan sebagian masuk ke dalam Sumatera Utara merupakan salah satu tempat paling purba di bumi dan telah ditetapkan sebagai situs warisan dunia Unesco.

Dr. Ian Singleton dalam sebuah artikel di United States News and World Report seperti dilansir dari The Independent, pernah menyebutkan Leuser sebagai tempat paling purba di bumi.

“Jika hutan hujan Amazon adalah paru-paru bumi maka Leuser adalah jantungnya,” tulis Singleton.

Kawasan hutan dengan luas lebih dari 6.5 juta hektar tersebut merupakan ekosistem terakhir di muka bumi yang menjadi rumah bagi tiga hewan dilindungi yakni harimau, badak dan orangutan. Leuser dikaruniai kekayaan sumber daya flora dan fauna yang beraneka ragam. Terdapat sekitar 105 spesies mamalia, 382 burung serta 95 reptil dan amfibi. Kawasan Leuser juga dikenal sebagai penghasil tembakau dan kopi kelas dunia.

Di dalam Leuser terdapat beberapa jenis hutan seperti Cagar Alam Kappi, Cagar Alam Kluet, Sikundur Langkat Wildlife Reserve, Ketambe Research Station, Singkil Barat, Dolok Sembilin dan lainnya.

Namun, meski dilindungi oleh hukum di Indonesia, Leuser tidak kemudian lepas dari ancaman deforestrasi hutan. Masalah klise seperti aktivitas industri, operasi pertambangan, penebangan tanaman hingga pembukaan lahan mulai mengancam ekosistem serta kekayaan hayati di dalamnya.

Masyarakat dunia tidak lantas diam. Melalui gerakan “Love The Leuser Ecosystem” yang melibatkan aktor Leonardo Di Caprio serta Adrien Brody, para aktivis lingkungan membawa isu pelestarian Leuser sebagai perhatian internasional.
Sumber :  http://ayobandung.com

read more
1 2 3 4 5
Page 3 of 5