close
Pembangkit Listrik Mikro Hdiro Lhoong, Aceh Besar | Foto: M. Nizar Abdurrani

Banyak pihak beranggapan bahwa energi terbarukan adalah sesuatu yang mudah dilaksanakan, murah dan berkelanjutan. Siapapun, mulai dari masyarakat awam, orang desa, orang terpelajar, orang kota dapat menjalankan energi terbarukan tanpa ada masalah berarti. Ini yang sering disebut-sebut dalam berbagai tulisan di media populer. Apakah memang seperti halnya? Sebuah kasus pemanfaatan energi terbarukan di Aceh, menjadi pelajaran bagi kita semua.

Samarkilang, sebuah daerah pedalaman yang terletak di Kabupaten Bener Meriah, Propinsi Aceh. Ini adalah wilayah pedalaman yang masih kekurangan fasilitas publik seperti jalan dan akses listrik. Daerah ini berada di dalam area yang pegunungan dan dikelilingi oleh hutan yang relatif masih baik. Ada sejumlah sungai berarus deras yang mengalir di daerah ini. Sangat cocok untuk dibuat pembangkit listrik mikrohidro (PLTMH) pikir para pengambil kebijakan. Maka diluncurkanlah proyek pembangunan listrik tenaga air beberapa waktu lalu.

Untuk selanjutnya warga Samarkilang dapat bernafas lega dan menikmati rasa menjadi penduduk Republik Indonesia yang telah merdeka sejak tahun 1945 namun belum mereka nikmati. Kehidupan berjalan normal dan bersemangat. Sampai sekitar 10 bulan lalu. Generator pembangkit listrik di wilayah ini rusak berat. Salah satu suku cadangnya rusak. Untuk mengganti suku cadang tersebut dibutuhkan biaya sekitar 40 jutaan menurut salah satu sumber. Duit tak dapat diraih, mati lampu pun kembali menerjang.

Masyarakat bersama tokoh-tokoh setempat berusaha meminta pemerintah kabupaten membantu pengadaan suku cadang generator tersebut. Berbulan-bulan upaya meminta bantuan ini tidak membuahkan hasil. Mati lampu kembali menjadi bagian hidup mereka kembali. PLTMH mangkrak, tidak bisa berfungsi. Pemerintah tak mampu memperbaikinya. Bah, padahal katanya PLTMH yang termasuk energi terbarukan sangat mudah pengoperasiannya. Ada beberapa hal yang dilupakan.

Menyuplai arus listrik ke banyak rumah penduduk bukanlah pekerjaan main-main. PLTMH harus ada yang mengorganisasikannya, mengelolanya secara efisien. Lihat saja PT PLN yang mengurusi listrik Indonesia selalu kalang kabut. Stakeholder di Samarkilang mungkin pula bahwa mereka harus punya Perencanaan, Organisasi, Aktivitas dan Pengawasan untuk menjalankan PLTMH.

Bagaimana dengan pembiayaan? Yang namanya mesin dimana-dimana tentu butuh biaya perawatan, makin besar kapasitas mesin makin mahal pula peliharanya. Listrik dari energi alternatif belum tentu murah jika tidak dikelola secara efektif. Mungkin warga Samarkilang alpa untuk menyimpang biaya cadangan yang dibutuhkan sewaktu-sewaktu. Kalau mereka bisa mandiri dalam keuangan, tentu tidak perlu bersusah payah menyodorkan proposal permohonan bantuan.

Kemudian teknologi. Energi terbarukan memang dijalankan dengan teknologi yang relatif lebih mudah dibanding teknologi listrik konvensional. Tapi ingat tetap saja ada penggunaan teknologi yang harus dikuasai pengelola PLTMH agar mereka tahu bagaimana cara merawat mesin-mesin penghasil listrik tersebut. Dibanyak kasus, kotoran-kotoran dari air telah merusaka bagian-bagian mesin karena tidak ada penjagaan yang memadai terhadap air masuk.

Jadi kembali kita pertanyakan, apakah pemanfaatan energi terbarukan bisa berkelanjutan? Samarkilang hanya salah satu kasus saja. Kalau mau seacrh di mbah Google, ada banyak kasus-kasus pengembangan energi terbarukan yang macet. Sudah banyak rupiah yang terbuang sia-sia untuk energi terbarukan yang dilaksanakan tidak komprehensif.

Pada dasarnya pengelolaan energi terbarukan sama juga dengan energi-energi lain. Makin besar skalanya, maka semakin komplek persoalan yang timbul. Jadi sudah saatnya memperlakukan energi terbarukan dengan selayaknya.[]

Tags : biodieselenergi terbarukanPLTMH

4 Comments

  1. Secara pribadi saya begitu concern terhadap hal-hal yang berbau Energy, utamanya yang lebih kepada penggunaan massal dan lebih cenderung memberi sumbangsih manfaat kepada masyarakat skala Ekonomi sedang dan kecil, untuk hal itu saya setiap malam pun setiap mandi membayangkan apabila kelak saya mampu menciptakan sebuah peralatan masak (baca tungku masak) dari bahan bakar kayu api akan tetapi mampu menghasilkan panas yang cukup disertai api yang jernih (baca maksudnya : hasil pembakaran bebas polusi) dalam target prioritas mampu mengirit bahan bakar kayu 80.% di banding dengan tungku bahan bakar kayu traditional umumnya, artinya untuk menghasilkan jumlah masakan rumah tangga yang sama hanya dibutuhkan maksimal 20.% bahan baku kayu bakar dibanding dengan tungku tradisional dimaksud.
    Untuk sebuah mimpi tersebut saya telah mengumpulkan beberapa informasi tehnis, beberapa jenis-jenis tungku tradisional maupun tungku pabrikan yang semuanya menggunakan bahan bakar kayu untuk saya jadikan referensi rencana, disamping saya pula sudah melakukan orat-oret design sembari merenung untuk model dan teknis yang mendukung maksud tersebut, akan tetapi saya memiliki beberapa kendala dalam bidang financing researches untuk membuat beberapa percobaan untuk realisasinya.
    Saya sangat yakin, maksud ini kelak memiliki nilai ekonomis cukup baik dan saya ingin mengundang orang2 yang memiliki persepsi yang sama dengan kemampuan finance dapat terbertik hatinya untuk secara bersama-sama mewujudkan mimpi tersebut menjadi sebuah kenyataan dan yakin pula bahwa ada side-effect nilai ekonomi lain yang bisa dimunculkan.
    Bagi para pembaca tulisan saya ini, baik dari kalangan pribadi, swasta maupun pemerintah termasuk pula badan-badan dan instansi2 sosial masyarakat di seluruh Nusantara maupun di seluruh Bumi ini, apabila memiliki pandangan dan arah yang sama saya sangat persilahkan untuk menghubungi saya di HP.081.246.086.098 atau Email : perunggubali@gmail.com atas Nama Paul W Subrani, saya mengucapkan banyak terimakasih atas perhatian dan kepeduliannya, its not just about a Green Globe but its more to senses of humanism as well as an opportunity.

    1. Mengapa tidak mencoba crowfunding pak? salah satu website crowdfunding yang bagus adalah kitabisa.org

      Semoga berhasil cita-citanya

      Salam

  2. My name is Paul W Subrani, living in Jl.Putrayudha, Br.Penatahan, Susut, Bangli – Bali, Indonesia, and my permanent resident is at Jl.Dam Tukad Badung No.7, Main Street Imam Bonjol, Denpasar, Bali, Indonesia. with my contact Cell Phone Number : 62+081246086098 and Email : perunggubali@gmail.com.
    I would like to express that I am so much concern in the Green Living as so much in mind creating a furnace cooking using waste of plastic combined to waste wood being the material consumption in the target as follows ;
    1. The set out should reduce materials of wood to 80.% compared to normal traditional
    cooking stove.
    2. Should result a fine fire burning, resulting sufficient heat for cooking needs.
    3. The burning should not pollute.
    4. Practical in usage.
    The ideas were coming from one of the dream helping poor or average low economic family reduce their cooking cost to be more efficiently and economically in practice.
    In that order, I have gathered some technical information along with a few sample from traditional stoves to modern manufacture from made from metals being my references.
    In meantime I am seeking a financial effort to help further experimental practice to bring out the idea to the source of the dream and I therefore invite people by either personally, organizations and other social organizations who has the same concern to put their effort through and I will be happy to discuss for any possibility that my helps this dream comes through.
    Last but not least, may I express my gratitude appreciation for whom are concern.
    My deep sincerity, Paul.

Leave a Reply to administrator Cancel reply