close
Baliho mencari wakil rakyat yang dipasang di Banda Aceh | Foto: Ist

Hari-hari belakangan ini warga Indonesia disibukan dengan tahapan-tahapan pesta demokrasi nasional yang bernama Pemilihan umum. Setiap hari tempat-tempat tertentu dihadiri oleh massa dengan warna-warni khas partai favoritnya, untuk mendengarkan kampanye. Tak terkirakan berapa banyak sampah yang timbul, tanaman yang rusak terinjak massa, energi yang terpakai untuk transportasi dan sebagai-sebagainya. Namun kali ini bukan soal sampah yang hendak dibicarakan melainkan soal komitmen caleg dalam memperjuangkan aspirasi masyarakat, salah satunya aspirasi untuk mendapatkan lingkungan yang baik.

Seminggu terakhir sekelompok aktivis masyarakat sosial tak mau ketinggalan untuk menceburkan diri dalam hiruk pikut Pemilu. Ini hal yang baik karena kita masyarakat sipil adalah pemangku kepentingan Pemilu. Para aktivis ini membuat pernyataan yang terpampang dalam baliho-baliho raksasa di sejumlah sudut kota Banda Aceh. Pernyataan dalam baliho tersebut antara lain berbunyi, “Kami mencari wakil rakyat yang berkomitmen terhadap lingkungan hidup, demokrasi, hak asasi manusia transparani dan pro rakyat miskin. Tidak mengorbankan kepentingan generasi mendatang demi kepentingan sesaat mengatasnamakan pembangunan”.

Baliho deklarasi ini disampaikan oleh sejumlah aktivis yang mewakili organisasinya masing-masing, ada puluhan organisasi yang dicantumkan pada baliho. Pada dasarnya ini merupakan aksi yang simpatik dan mengingatkan para caleg agar tidak melenceng dari deklarasi yang dinyatakan tersebut.

Namun deklarasi hanyalah deklarasi. Ini sebuah kegiatan simbolis yang tidak mengikat siapapun dan tidak bisa memberikan sangsi bagi pelanggarnya. Mengapa demikian? Ada banyak hal sebagai alasannya, pertama bisa saja sebagai deklarasi pernyataan yang dicantumkan bersifat sangat umum. Rasa-rasanya tidak ada pihak yang menolak isi deklarasi ini. Kedua, yang menyepakati deklarasi ini siapa? Apakah caleg atau cuma sekelompok aktivis saja? Dalam banyak contoh yang serupa, pagi deklarasi, sorenya sudah dilanggar oleh pihak terkait. Yang teken deklarasi petinggi-petinggi, yang melanggar bisa jadi orang-orang yang tidak tahu adanya deklarasi.

Deklarasi mungkin cukup baik sebagai tanda sikap kita terhadap suatu even. Tapi, seperti kata pepatah Inggris, enough is not enough, yang berarti “cukup saja belum berarti cukup”. Agak membingungkan memang kalimat ini. Artinya paling tidak ada usaha yang keras untuk memastikan deklarasi ini dipatuhi oleh penekennya. Sehingga ke depan tidak menjadi barang pajangan saja. Jangan sampai sudah sepakat tidak merusak lingkungan, eh ternyata setelah pemilu masih banyak saja hutan yang ditebang. Ayo ini salah siapa? []

Tags : lingkunganpemilu

Leave a Response