close
Ilustrasi | Foto: int

Semalam saya membaca kembali buku-buku tua; sejarah, kebudayaan,  catatan-catatan tentang revolusi, pemberontakan dan pengkhianatan. Paragraf yang paling sadis adalah ketika adegan seorang politikus membunuh cinta dalam jiwanya agar perasaan ingin berkuasa tetap dominan. Perasaan cinta dan kasih sayang yang ia
tikam berkali-kali, sampai mampus.

Agama, nilai-nilai, cinta dan kasih sayang dianggap sampah yang memperbudak akal. Hidup adalah kekuasaan atas segala sesuatunya. Maka kerakusan dan kebengisan adalah perkara yang wajar. Nilai-nilai harus disingkirkan dan diganti dengan kesombongan rasionalitas. Rezim efektif menemukan ladangnya.

Inilah tragedi paradoksal dahsyat yang menghipnotis kita dengan mimpi-mimpi pepesan kosong; demokrasi, imajinasi, cyber, dan kesintingan kolegtif. Maka orang selalu ingin merampas apa yang bukan miliknya.

Pengeksploitasian.
Di atas permukaan, rezim yang mendapat kekuasaan dari legitimasi pemilu yang menurut mereka cukup demokratis itu bergaya seolah-olah ikut prihatin dengan keterpurukan mayoritas rakyat. Tetapi sesungguhnya mereka adalah komprador dari gurita kapitalisme; faktanya, sebagian tokoh komprador swasta dan komprador negara dari rezim masa lalu kini masih memegang kunci dalam sistem politik dan ekonomi Indonesia.

Ketergantungan negara ini kepada badan-badan pembangunan internasional di bawah PBB, dan modal asing lainnya justru semakin meningkat.

Dan bagi hutan serta sumber daya alam bernilai tinggi lainnya di sana, juga belum sepenuhnya dikembalikan kepada pribumi. Mereka di lembaga-lembaga terhormat negara pada rezim yang baru, segera bermetamorfosis menjadi komprador-komprador baru, terlibat dalam pemberian bermacam kemudahan bagi mesin-mesin kapital dan neoliberalisme lewat kebijakan tata ruang; menikmati pembagian royalti tinggi dan fasilitas mereka yang begitu mewah, di atas penderitaan rakyat.

Di sini, manuver dan pengaburan substansi kebenaran menjadi bagian skenario besar. Mereka sungguh-sungguh membangun kartel secara sistemik pada semua relung kehidupan, bermanifestasi di sentra-senta kekuasaan negara.

Bertahun-tahun rakyat terasing dari sumber daya alamnya yang mewah. Begitulah, rakyat yang sudah lebih dulu diracuni memang mudah terseret ke dalam mobilisasi politik para komprador; hubungan yang tak berguna.

Sumber: hutan-tersisa-blogspot.com

Tags : lingkunganpenjaga hutan

Leave a Response