close

31/01/2014

Ragam

Pertanian Organik dari Sudut Magelang

Bagi tim National Geographic Indonesia dan Plant and Play libur akhir pekan di pengujung Maret menjadi istimewa. Tak sekadar menjelajah Magelang dan Yogyakarta, mereka pun semakin meresapi makna kegiatan “Plant and Play” yang telah digelar sejak awal tahun.

Di Desa Mangunsari, Kabupaten Magelang, misalnya. Tim mendapatkan pengetahuan mengenai pertanian organik yang telah dirintis oleh seorang petani di sana. Bila dihitung hingga saat ini, ia telah menjalankan pertanian yang berkelanjutan selama 17 tahun. Ketekunan itu telah menampakkan hasil positif—setidaknya bagi warga desa.

Namanya, Widagdo. Dialah yang mencetuskan kata “Tuton”‑yang digunakan untuk produk beras organik miliknya. Dia bilang, kata itu berasal dari “tutu” yang berarti proses menumbuk padi. Peralatan menumbuknya terdiri dari alu yang terbuat dari kayu yang berfungsi sebagai penumbuk dan lumpang yang terbuat dari batu yang berfungsi sebagai wadah gabah yang akan ditumbuk.

Padi organik milik Widagdo memang butuh masa panen yang lebih lama daripada padi non-organik. Selisihnya, dua puluh hari. Namun, ia tak pusing soal itu. Yang penting adalah hasil akhir: kualitas padi yang sangat baik.

Begitu panen tiba, hingga 1,5 tahun lalu, Widagdo mengaku masih menggunakan jasa mesin penggilingan padi. Dengan mesin, Widagdo biasanya akan mendapati penyusutan kuantitas dari satu kuintal menjadi sekitar 68 kilogram. Hal itu disebabkan selain karena terlepasnya sekam dari bulir padi, juga banyak bulir beras yang ikut hancur tergerus mesin.

Demi memecahkan masalah penyusutan, Widagdo berinisiatif. Kembali ke petani zaman dahulu: menumbuk padi. Cara usang ini telah dilakukan sejak tiga kali masa panen. Dan, terbukti mumpuni. Widagdo pun mendapati selisih sekitar empat kilogram lebih banyak daripada menggunakan mesin. Selain itu, ia tak perlu membayar sewa mesin penggiling seharga Rp300/kilogram gabah.

Widagdo pun memberdayakan masyarakat setempat untuk menumbuk padi. Para penumbuk biasanya diberi upah antara Rp1.500 sampai Rp2.000 per satu kilogram gabah. Tak hanya menumbuk, namun hingga pemilihan bulir-bulir padi yang baik hingga siap kemas. Teknik ini juga yang menginspirasi penamaan produk beras miliknya.

Meski awalnya gagasan beras organik tersebut bertujuan sebagai konsumsi pangan sehat mereka sendiri, namun dalam perjalanannya sering kali dimanfaatkan sebagai sumber pendapatan keluarga. Bahkan, misalnya, hasil penjualan satu kilogram beras organik digunakan untuk membeli tujuh kilogram raskin (beras bagi masyarakat berpenghasilan rendah).

Tidak ada tanda khusus yang membedakan beras organik dan non-organik, kecuali setelah dimasak kondisi nasi akan baik hingga mencapai empat hari. Karena itu, Widagdo menambahkan, bahwa modal utama pertanian organik adalah kejujuran. Sebab, apabila si petani nakal, bisa saja dalam proses bertani itu ia menambahkan urea.

Kini, selain untuk konsumsi pribadi, karena permintaan pasar yang tinggi terhadap beras organik, beras Tuton dipasarkan juga ke beberapa kota melalui Yayasan Kehati dan Lumbung Pangan Dunia (LPD). Beras organiknya dijual dengan harga mulai dari Rp15.000/kg dalam kemasan dua kilogram dan lima kilogram.

Widagdo berharap bahwa kelak akan ada pemodal untuk penggemukan sapi. Niat ini muncul ketika kebutuhan kotoran ternak sebagai elemen komposisi kompos cukup tinggi. Sedangkan untuk pangannya Widagdo akan mengandalkan penanaman rumput di pematang sawah.

Sumber: NGI

read more
Sains

Ini Cara Jernihkan Air Kotor tanpa Zat Kimia

Intensitas hujan di awal tahun ini memicu banjir di beberapa wilayah terutama di Jakarta. Kebutuhan air bersih makin meningkat. Menurut Tutor Mobil Hijau Solidaritas Istri Kabinet Indonesia Bersatu (SIKIB), Findryaningsih Fiona secara fisik air bersih haruslah jernih, tidak berwarna, tawar dan tidak berbau.

“Secara kimiawi kualitas air yang baik adalah bila memiliki keasaman (pH) netral serta tidak mengandung bahan berbahaya dan beracun. Air sebaiknya tidak mengandung bakteri penyebab penyakiy (patogen) dan bakteri nonpatogen,” kata Fidry, Selasa (28/1/2014).

Menurut Fidry ada cara sederhana untuk membuat air menjadi jernih tanpa kimia, “Ada caranya. Mudah kok cukup dengan media penyaring seperti pasir, arang batok dan lain-lainnya,” kata Fidry.

Berikut cara sederhana menjernihkan air :

Media Penyaring
1. Pasir
“Digunakan untuk menyaring padatan. Ukuran pasir yang digunakan biasanya 0,2 – 0,8 mm. Jika sudah keruh, pasir dibersihkan,” kata Fidry.

2. Arang Batok
“Berguna untuk mengurangi warna dan bau. Ukurannya berdiameter 0,1 mm atau berbentuk bubuk. Jika air yang disaring sudah tidak jernih lagi arang batok harus diganti,” ujarnya.

3. Penyaring Lainnya
“Antara lain adalah kerikil, ijuk dan batu. Kapur, tawas dan kaporit disebut sebagai penggumpal koagulan yang membantu menggumpalkan kimia pencemar menjadi endapan,” kata Fidry.

Menjernihkan air kotor tanpa zat kimia, begini caranya :

1. Lumpang Batu
Letakan lumpang batu di dasar sungai dangkal yang kokoh dan tidak beraliran keras. Air sungai akan tersaring karena pori-pori lumpang batu sangat kecil.

Untuk mencegah air sungai yang kotor masuk ke dalam air jernih di dalam lumpang perlu dibuat tutup lumpang. Menjernihkan air sungai dengan mudah buatlah lumpang batu dengan batu cadas yang dibentuk seperti mangkok.

2. Arang Batok
Bak penyaringan dibuat sesuai kebutuhan. Letakan pipa bambu yang kulit luarnya dikupas sehingga terlihat bagian dalamnya di dasar bak.

Masukan arang batok, ait kotit diharapkan tersaring pada pipa bambu dan atang batok sehingga keluarlah air bersih.

Cara ini memerlukan dua drum berukuran sama yang dilengkapi keran air. Tinggi keran air dari dasar drum kurang lebih 5 sampai 10 cm (harus lebih tinggi dari endapan lumpur yang akan timbul).

Drum pertama berfungsi sebagai bak pengendap dan drum kedua sebagai bak penyaring.

Sumber: liputan6

read more
Perubahan Iklim

Tak Punya ‘One Map’, Izin Lahan di Indonesia Tumpang Tindih

Secara karikatif dikatakan Indonesia memiliki sekitar 15 lembaga pemberi izin penggunaan lahan yang menggunakan peta yang berbeda-beda. Alhasil konsesi yang diberikan menjadi tumpang tindih. Hal ini dikatakan oleh mantan penyusun strategi Nasional REDD+, DR. Mubariq Ahmad dalam Lokakarya Meliput Perubahan Iklim, di Banda Aceh, Selasa (28/1/2014).

Mubariq Ahmad memberi contoh apa yang terjadi Kabupaten Morowali, di Propinsi Sulawesi Tengah. Pemerintah Kabupaten Morowali memberikan konsesi tambang nikel yang luasnya melebihi luas kabupatennya. “ Jadi satu peta saja sudah di abuse  oleh mereka,” ujar Mubariq.

Kewajiban penggunaan satu peta (one map) yang sama sebagai acuan dalam pemberian izin pemakaian lahan tidak ada di Indonesia. One map masih dalam pengerjaan, belum selesai dibuat pemerintah dan sistem baru penggunaan lahan pun belum ada. “ Makanya moratorium (izin lahan-red) diperpanjang selama dua tahun,” kata Mubariq.

Selain tanpa one map, tidak ada kewajiban cross check ke lapangan bagi lembaga pemberi izin lahan. Tak pelak lagi akhirnya terjadi tumpang tindih lahan di lapangan. Mubariq secara karikatif mengansumsikan mulai dari tingkat kabupaten hingga pemerintah pusat ada 15 lembaga pemberi izin. “ Kita asumsikan saja mulai dari kabupaten ada lima lembaga berbeda yang mengeluarkan izin untuk tiap sektor, kemudian hal sama di tingkat propinsi dan seterusnya hingga pemerintah pusat,” jelas Mubariq.

Ketika ditanyakan kenapa tidak memakai peta yang dikeluarkan oleh lembaga resmi seperti Badan Informasi Geospasial (dulu Bakorsutanal-red), Mubariq menjawab bahwa konsolidasi informasi pada satu lembaga susah. “ Ada kepentingan ekonomi yang terganggu. Ini the most extreme case. Informasi is power, power is money,” katanya.

Prioritas REDD+

Mubariq juga menyampaikan bahwa Propinsi Aceh bersama Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur mendapat prioritas dalam pelaksanaan REDD+. Yang dimaksud prioritas disini adalah dukungan implementasi REDD+ dari pemerintah pusat melalui dukungan pendanaan secara konkrit.

“ Kaltim paling siap secara teknis, Aceh diharapkan menjadi pelopor dalam REDD+,” kata Mubariq.
Dukungan pendanaan untuk implementasi secara programatik melalui program penataan perizinan dan percepatan pengukuhan kawasan hutan. Kesiapan dan proaktif dari daerah prioritas sangat diharapkan.

Mubariq mengatakan, bekas Kepala BRR Aceh-Nias yang kini menjadi Ketua UKP4, Kuntoro punya perhatian khusus pada Aceh. Aceh sendiri merupakan propinsi “Darling donor”. Peluang ini bisa dimanfaatkan untuk perbaikan tata kelola hutan.

Saat ini telah dibentuk Badan Pelaksana REDD+ yang setingkat menteri, dikepalai oleh Heru Prasetyo. Ia juga merupakan salah seorang staf Kuntoro di BRR Aceh-Nias.

read more