close

03/02/2014

Ragam

Pasir Keruk Ancam Great Barrier Reef

Keputusan Australia di minggu ini terakhir Januari 2014, untuk membuang pasir keruk dan lumpur di perairan Great Barrier Reef telah meningkatkan kewaspadaan, bahwa harta ekologis ini akan segera terdepak dari daftar World Heritage Site (Situs Warisan Dunia).

Tahun lalu Komite Warisan Dunia dari UNESCO memperingatkan bahwa tanpa perbaikan pengelolaan segera, Great Barrier Reef bisa masuk di Daftar Warisan Dunia yang Terancam pada Juni 2014 – bisa memalukan dan memukul perekonomian Australia karena merupakan tujuan wisata penting.

Minggu ini WWF-Australia dan Australian Marine Conservation Society mengeluarkan laporan kinerja dan gerak laju pemerintah yang mengizinkan pengerukan dan menilai, bahwa pemerintah telah gagal memenuhi hal yang disarankan Komite Situs Warisan Dunia itu.

“Kita akan mengalami kemunduran soal terumbu karang. Benar-benar menyedihkan,” kata Direktur Kampanye Terumbu Karang WWF Australia, Richard Leck. “Pemerintah Australia dan Queensland banyak bicara tapi sangat sedikit bertindak,” kata Leck. “Kenyataan di lapangan, proyek-proyek industri utama yang merusak seperti ini sudah lama terjadi, membuang puing atau hasil kerukan di perairan terumbu karang, dan terus disetujui.” Dia mencatat bahwa pengerukan dapat mendorong endapan yang dapat menggelontor dan mengubur karang.

Para pemerhati lingkungan juga menyalahkan pemerintah karena gagal mengatasi pencemaran dan mengalihkan kewenangan soal kebijakan lingkungan dari pemerintah federal ke pemerintah negara bagian Queensland. Para ahli lingkungan menyatakan, bahwa itu melemahkan undang-undang negara untuk melindungi terumbu karang.

Perlindungan Pelabuhan
Badan pengelola Great Barrier Reef Marine Park mengatakan, lembaga Federal dan Menteri Lingkungan Hidup Greg Hunt menyetujui rencana pengerukan dasar laut untuk memperluas pelabuhan batubara di Abbot Point.

Para pejabat juga berwenang melimpahkan hingga 3 juta meter kubik kerukan bahan ke perairan terumbu karang. Namun, pembuangan itu harus memenuhi puluhan syarat ketat terkait lingkungan seperti pengujian endapan tercemar, pemantauan mutu air, dan mengimbangi dampak terhadap nelayan komersial.

Persetujuan tersebut juga merupakan bagian dari rencana badan pengelola Taman Nasional Laut untuk membatasi pembangunan pelabuhan sepanjang pantai Great Barrier Reef untuk pengadaan fasilitas, kata kepala badan pengelola taman nasional laut, Russell Reichelt.

“Sebagai pelabuhan laut yang telah beroperasi selama hampir 30 tahun, Abbot Point lebih baik dibanding pelabuhan lain di sepanjang pantai Great Barrier Reef. Perluasan ini sebagai penambah modal, dan pengerukannya merupakan upaya pemeliharaan, yang jumlahnya sangat minim secara berarti dibandingkan di wilayah lain,” kata Reichelt.

Great Barrier Reef adalah kumpulan lebih dari 2.800 bagian karang yang terpisah, membentang sekitar 2.000 kilometer dari  timur laut lepas pantai Queensland yang menjadi rumah bagi keanekaragaman kehidupan laut yang mencengangkan. Tapi ahli lingkungan dan pengamat PBB mengatakan daerah tersebut telah menghadapi tantangan berat dalam beberapa tahun terakhir.

Laporan Australian Institute of Marine Science 2012 yang didanai pemerintah dan terbit dalam jurnal PNAS menyimpulkan, bahwa terumbu karang ini telah kehilangan setengah dari tutupan karang selama 27 tahun terakhir. Periode itu kira-kira sama dengan masuknya Great Barrier Reef dalam daftar sebagai Situs Warisan Dunia .

Ancaman lokal termasuk limpasan pencemaran dan meledaknya bulu seribu (crown of thorn) yang mencekik spesies lain. WWF mengatakan masalah ini . ditambah dengan tekanan terus menerus dari pengerukan dan alur pelayaran yang meningkat.

“Komite Situs Warisan Dunia akan memandang suram keputusan ini,” kata Leck . Dia menyarankan bahwa Komite Situs Warisan Dunia dapat memutuskan memasukkan Great Barrier Reef dalam daftar “Warisan Dunia yang Terancam” pada pertemuan Juni 2014 di Doha, Qatar.

Sumber: NGI

read more
Hutan

Memahami Pentingnya Arti Pohon

Kita tahu pohon adalah kekayaan keanekaragaman hayati dan kita tahu pohon menyediakan jasa ekosistem yang penting, seperti mengatur aliran air dan mempengaruhi pola cuaca. Salah satu jasa ekosistem yang sering didiskusikan saat ini adalah peran hutan dalam membantu mengatur jumlah gas rumah kaca, karbon dioksida di atmosfir. Sebuah analisa baru yang dimuat dalam sebuah jurnal ilmiah Nature, menjelaskan bahwa sebuah pohon dewasa yang besar memiliki peranan penting dalam mempengaruhi pola cuaca.

Hutan menyimpan sejumlah besar karbon yang juga berkontribusi pada perubahan iklim. Hutan menyimpan hampir 300 miliar ton karbon (biomass) – kira-kira 30 kali jumlah emisi tahunan yang dihasilkan oleh pembakaran bahan bakar fosil[1]. Tapi ketika hutan dihancurkan, karbon ini dilepaskan ke atmosfir.

Dulu diduga hanya hutan yang masih muda saja yang menyerap karbon dari atmosfir di saat hutan ini berkembang, dan hutan yang sudah tua (atau disebut juga hutan primer) hanya menyimpan karbon ini. Namun, beberapa penelitian baru-baru ini telah menunjukan bahwa hutan tua yang masih asli juga menyerap karbon dari atmosfir[2]. Penelitian baru ini juga dapat menjelaskan bagian hutan yang sudah tua terus menyerap karbon dari atmosfir.

Para peneliti telah menemukan bahwa penyerapan karbon dari pohon (yang diukur dengan tingkat pertumbuhan) terus meningkat dengan ukuran mereka karena luas daun keseluruhan meningkat saat mereka bertumbuh. Hal ini memungkinkan pohon besar menyerap lebih banyak karbon dari atmosfir. Dengan demikian, pohon-pohon yang paling tua di hutan mengambil karbon paling banyak dari atmosfir. Pohon-pohon yang paling tua dapat ditemukan di hutan-hutan kuno dan tua. Yang terpenting, pohon-pohon tua juga lebih berharga bagi keanekaragaman hayati dibandingkan pohon-pohon muda karena mereka membantu lebih banyak spesies. Contohnya, rongga pohon dan dahan menjadi habitat bagi burung untuk bersarang.

Para penulis memperingatkan bahwa dinamika hutan sangat kompleks, pohon-pohon besar memiliki tingkat mortalitas yang tinggi dibandingkan pohon-pohon muda dan jumlah pohon di area tertentu bisa jadi lebih tinggi di hutan muda. Faktor-faktor ini dapat mengimbangi peningkatan pertumbuhan pohon dewasa di hutan. Dengan demikian jelaslah bahwa pohon besar yang dewasa adalah komponen yang sangat penting di hutan tua, dalam hal keanekaragaman hayati dan penyerapan serta penyimpanan karbon.

Tebang pilih di hutan, biasanya menargetkan pohon-pohon besar dan banyak deforestasi terjadi di hutan-hutan alam yang sudah sangat tua, yang banyak terdapat pohon-pohon besar yang menyimpan dan menyerap banyak karbon.

Penelitian baru ini menekankan kerugian ganda dari penebangan pohon khususnya pohon-pohon dewasa: pembuangan karbon ke atmosfir yang berkontribusi pada perubahan iklim, dan juga menghancurkan tempat penampungan yang dapat mengambil hasil emisi karbon dari atmosfir yang disebabkan oleh manusia. Itulah mengapa Greenpeace berkampanye untuk nol deforestasi.[]

1. Biomass hutan global diperkirakan mengandung 289 Gt C (UN FAO Global Forest Resource Assessment, 2010), sementara emisi fosil diperkirakan pada  9.5 Gt/th untuk 2011 (IPCC Working Group 1, 2013).

2. Stephens et al. 2007. Science 316: 1732-1735; Luyssaert et al. 2008. Nature 455: 213-215; Lewis 2009. Nature 457: 1003-1007.

Sumber: greenpeace.or.id

read more
Kebijakan Lingkungan

Pembukaan Lahan di Rawa Tripa Masih Terjadi

Landscape Protection Specialist Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) dalam presentasinya menyatakan bahwa di lahan gambut Rawa Tripa sampai hari ini masih ada pembukaan. Hal ini tampak dari gambar citra satelit dimana titik hutan gambut yang dibuka bisa dilihat dengan jelas. Selain itu, hasil survey YEL pada 59 titik di Rawa Tripa menunjukan kedalam gambut yang bervariasi.

Landscape Protection Specialist YEL, Graham Usher, dihadapan Tim Koalisi Penyelamatan Rawa Tripa (TKPRT), Senin (3/2/2014) melakukan presentasi kondisi Rawa Tripa terkini. Dalam presentasi yang dilaksanakan di kantor Yayasan Leuser International, Graham mengatakan berdasarkan peta satelit yang diperolehnya pada Januari 2014 tampak ada perluasan atau pembukaan lahan di kawasan 1605 hektar hutan gambut Rawa Tripa milik PT Kallista Alam (KA) dan PT SPS.Lahan ini sendiri telah dicabut izin usaha budidaya perkebunan-nya oleh Gubernur Aceh, Dr. Zaini Abdullah sehingga seharusnya tidak boleh dijamah siapapun.

Ada dugaan masyarakat membuka lahan tersebut namun dibekingi oleh pemodal karena melibatkan alat-alat berat untuk membuka kanal untuk mengeringkan gambut.

Selain itu juga ada pembukaan jalan oleh Pemkab Aceh Barat Daya yang membelah hutan gambut menuju pelabuhan yang akan dibangun dalam waktu dekat.

” Kami memakai peta dasar yang dulu dipakai Wetland sebagai perbandingan. Survey gambut di 59 titik Rawa Tripa mendapatkan hasil bahwa gambut di lahan PT KA merupakan gambut dalam, antara 4 sampai 7 meter,” ujar Graham. Sampel gambut masih berada di Bogor untuk dianalisa jenis gambutnya dan juga sedang dibor lebih banyak titik lagi di lahan gambut agar diperoleh hasil yang lebih akurat tentang kedalaman gambut dan luasnya.

Gambut terdalam yang pernah diukur mencapai 8,5 meter dimana daerah gambut ini akan dilintasi oleh jalan tembus ke pelabuhan baru di kabupaten Aceh Barat Daya. ” Ini butuh investasi yang besar untuk penimbunan dan jalan kemungkinan akan amblas,” kata Graham.

Selain survey yang dilakukan YEL, Tim dari Universitas Syiah Kuala juga melakukan survey yang sejenis di daerah yang sama. Namun bagi Graham dan sebagian besar anggota TKPRT, Survey dari Unsyiah ini masih menimbulkan tanda tanya besar.

“Survey Unsyiah menyatakan jenis tanah aluvial di lahan gambut yang bisa ditanam, padahal lahan ini malah memiliki kedalaman gambut hingga 7 meter,” ungkap Graham.

Senada dengan Graham, anggota TKPRT, T. Muhammad Zulfikar juga meminta diadakan konsolidasi hasil survey antara YEL dengan Tim Unsyiah mengingat hakikat dari dua survey ini sama, yaitu meneliti kondisi gambut di Rawa Tripa.

” Kita minta dilakukan telaah hasil survey atau penelitian antara tim peneliti dari YEL dengan tim peneliti Unsyiah dan akan melakukan kolaborasi hasil temuan para pihak untuk menjadi hasil bersama,” ujar T. Muhammad Zulfikar.

Blokir Kanal

YEL juga saat ini sedang mengusulkan pemblokiran kanal di kawasan seluas 1.605 hektar di Rawa Tripa dimana daerah ini telah mendapat penetapan dari PN Meulaboh sebagai sitaan negara. ” Kami mengusulkan kepada program TFCA (sebuah program yang didanai USAID-red) untuk memblokir kanal dalam beberapa bulan ke depan. Ada 4 kanal utama yang akan diblokir,” jelas Graham.

Menurutnya Bupati Nagan Raya bersedia mengeluarkan surat dukungan pemblokiran lahan dengan terlebih dahulu YEL dan TFCA mempresentasikan rencananya dihadapan bupati.

Hutan gambut Rawa Tripa saat ini sudah terbelah-belah dalam konsesi milik perusahaan perkebunan kelapa sawit. Sebenarnya pemanfaatan lahan gambut yang bertekstur lembut dan mudah amblas dalam jangka panjang akan merugikan pengelola sendiri.

Saat ini tidak jelas berapa luas daerah berhutan yang masih bersisa di Rawa Tripa karena dari total luasnya 61.803 hektar, hampir seluruhnya telah menjadi konsesi kebun sawit. Sebagian besar sudah dibuka, sebagian masih hutan namun terfragmentasi, sebagian ada yang sudah dibuka namun ditinggalkan karena tidak cocok untuk ditanami sawit.

Jika melihat keadaan hutan gambut yang terus menerus mengalami kehancuran, sulit rasanya bisa menjalankan komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi GRK sebesar 26 persen dari tingkat business as usual (BAU, kondisi tanpa adanya rencana aksi) pada tahun 2020 atau sampai dengan 41persen dengan bantuan internasional, sebagaimana yang diumumkan Presiden Yudhoyono pada tahun 2009.

“Ada yang tidak nyambung antara impian, aturan konservasi dan kenyataan di lapangan. Upaya penurunan emisi bisa nonsens. Kebakaran hutan terbesar terjadi di hutan gambut,” ucap Graham.

TKPRT berharap restorasi lahan gambut Rawa Tripa dapat dimulai dari penutupan kanal di lahan 1605 hektar yang telah dicabut izinnya oleh Pemerintah Aceh. Penutupan kanal bertujuan agar air dari gambut tidak mengalir keluar kawasan sehingga menyebabkan lahan kering. Penutupan juga dilakukan agar terjadi penghutanan kembali kawasan yang telah dibuka secara alami.

read more