close

01/03/2014

Ragam

Dalang Ini Raih Gelar Doktor Lingkungan Undip

Pemanasan global dipicu oleh gas rumah kaca (GRK) antara lain  emisi CO2. Oleh karena itu, diharapkan kapasitas daur ulang CO2  dikawasan industri PT KIEC (Kawasan Industri Estate Cilegon) dapat  ditingkatkan dan dioptimalkan.

“Perlu mengoptimalkan penggunaan energi baru dan terbarukan  dan efsiensi energi serta mendaur ulang emisi CO2 menjadi produk CO2 cair  yang dapat dimanfaatkan oleh industri lain sebagai bahan baku industri,” kata  Rochmad Hadiwijoyo saat menyampaikan disertasinya pada  ujian Doktor Ilmu Lingkungan Program Pascasarjana Undip di Semarang, Jawa Tengah, Jumat (28/2/2014).

Menurut Rochmad yang juga Ketua Umum PRSSNI didepan tim penguji yang   dipimpin Prof Anies, bahwa  untuk merealisasikan kawasan industri PT KIEC menjadi kawasan industri yang berwawasan  lingkungan perlu  dukungan nyata  dari  perusahaan dilingkungan PT KIEC.

“Konsep pengelolaan industri  dikawasan PT KIEC perlu diubah dari  manajemen lingkungan tradisional  menjadi ekosentris,” papar  Rochmad  yang juga `nyambi` sebagai  dalang wayang kulit tradisional itu.

Dia menyarankan penggunaan energi fosil di industri perlu dikurangi dan  menggantinya dengan energi baru dan terbarukan (EBT) dan Sistem Cambine  Cycle yang  memanfaatkan panas yang terbuang dari proses  pembakaran. “EBT di Provinsi Banten yang potensial antara lain adalah  geothermal  yang berasal dari wilayah Batu Kuwung,” kata Rochmad.

Ujian terbuka program doktor  Rochmad Hadiwijoyo dengan promotor Rektor  Undip Prof Sudharto itu juga disaksikan oleh dalang Ki Manteb Sudarsono dan Djoko `Edan` Hadiwijoyo, serta sejumlah pengusaha dari  Kawasan industri Krakatau Cilegon.

Sedangkan Ketua Tim penguji Prof  Anies akhirnya menyatakan lulus sangat memuaskan dengan nilai rata  3,68. “Anda merupakan doktor ke-12 untuk bidang lingkungan dari Universitas Diponegoro,” kata Prof Anies.

Sumber: metrotvnews.com

read more
Green Style

Pakar: Indonesia Belum Punya Gedung Ramah Lingkungan

Pesat dan agresifnya pembangunan properti di Indonesia, terutama kota-kota besar, membuat kesadaran tentang konstruksi berkelanjutan (sustainable construction) lebih dibutuhkan.

Pasalnya, dalam sebuah proses dan pengelolaan konstruksi, ada penggerusan sumber daya alam dalam jumlah besar, terutama bahan baku air, dan energi listrik. Hal ini terus berlangsung seiring bertambahnya jumlah proyek baru di semua lini, baik perkantoran, apartemen, hotel, kawasan industri, maupun infrastruktur.

Berdasarkan Outlook for Construction Output by Country in Emerging Markets yang dilansir Global Construction Perspective and Oxford Economics, Indonesia, bersama China dan India mengalami pertumbuhan sektor konstruksi lebih dari 6 persen selama satu dekade, 2010 hingga 2020. Bayangkan, betapa potensi penggerusan sumber daya alam bakal lebih banyak lagi.

Sayangnya, menurut Guru Besar Teknik Arsitektur Universitas Indonesia, Gunawan Tjahjono, pelaku industri konstruksi di Indonesia, termasuk penyedia jasa konstruksi dan pengembang, seringkali abai terhadap kaidah-kaidah dan prinsip konstruksi berkelanjutan.

“Saya tidak melihat proses dan pengelolaan konstruksi di Indonesia dilakukan dengan benar mengacu pada sustainable construction. Semua masih dilakukan dengan serampangan dan seenaknya,” ujar Gunawan usai keterangan pers Perkembangan Kompetisi Holcim Award Putaran ke-4 di Jakarta, Sabtu (1/3/2014).

Lebih lanjut Gunawan memaparkan, ketidakpedulian terhadap pelestarian lingkungan tercermin dari ketiadaan jumlah gedung hijau. Biaya investasi pembangunan yang tinggi sering menjadi kendalanya. Padahal dengan penambahan biaya investasi sebesar 5 persen, penggunaan energi yang dihemat bisa mencapai hingga 50 persen.  Selain itu masih banyak bangunan yang tidak memperhatikan area resapan air, hal ini menyebabkan potensi banjir saat musim hujan tiba.

“Pembangunan hijau atau gedung hijau tidak sekadar bisa memproduksi oksigen. Juga bagaimana proses dan pengelolaan konstruksinya dapat mengubah sikap penghuni dan masyarakat di sekitarnya secara sosial dan gaya hidup untuk memperhatikan lingkungan berkelanjutan. Jadi, saya berkesimpulan, belum ada gedung hijau di Indonesia,” tegas Gunawan.

Padahal, tambah Gunawan, industri konstruksi berperan besar dalam mendukung perkembangan lingkungan dan masyarakat. Tidak hanya berpotensi sebagai tempat beraktivitas, bangunan yang baik akan mampu meningkatkan kualitas hidup penggunanya.

Konstruksi berkelanjutan, seharusnya memperhatikan aspek 5 P yakni Progress, People, Planet, Prosperity, dan Proficiency. Aspek 5 P tersebut menuntut rencana pembangunan yang inovatif dan berkelanjutan, mengakomodasi kebutuhan serta memberdayakan sekitarnya, memperhatikan kelestarian sumber daya alam, mampu memberikan kontribusi bagi kesejahteraan, serta tetap memperhatikan estetika tata ruang publik.

Sumber: kompas.com

read more
Perubahan Iklim

Erupsi Vulkanik Bantu Lambatkan Pemanasan Global

Meskipun letusan gunung api memuntahkan abu vulkanik berton-ton, tapi itu ternyata bisa berdampak untuk menjebak panas karbondioksida naik ke udara. Erupsi dari letusan gunung api telah membantu perlambat pemanasan global selama dua dekade terakhir ini. Oleh karena itu, penelitian terbaru dilakukan pengaturan model iklim dengan memanfaatkan letusan gunung api.

Gunung api dapat menghasilkan gas sulfur dioksida. Gas tersebut kemudian berubah menjadi partikel kecil asam sulfat di atmosfer. Partikel asam tersebut bertindak seperti cermin-cermin kecil yang dapat memantulkan sinar matahari ke angkasa. Sebagai contoh, setelah letusan gunung api yang sangat besar pada 15 Juni 1991, suhu permukaan bumi berubah lebih rendah dari sebelumnya.

Sebuah hasil studi yang baru diterbitkan di Nature Geoscience juga membuktikan bahwa parikel-partikel yang dikeluarkan oleh gunung api di awal abad 21 memberikan efek seperti cermin yang telah membantu mengurangi perubahan iklim.

Dengan adanya partikel itu di atmosfer, telah membantu mengurangi pemanasan global sekitas 15 persen.

Sumber: NGI/intisari-online.com

read more