close

kehutanan

Hutan

Efek Placebo Qanun Kehutanan

Qanun, sebuah aturan baku. Disini ia berbentuk peraturan daerah yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat. Ya, di Aceh ia menjadi marak. Terkadang ia lahir dari klimaks irrasionalitas politik – sebuah fenomena.

Mirip ritual wajib. Dalam perkara kehutanan apakah Qanun Kehutanan benar-benar dibutuhkan? Qanun sebagai kebutuhan yang diciptakan, karena itu ia bukan satu-satunya jalan keluar bagi selamatnya hutan disana.

Pada titik tertentu, Qanun dapat menimbulkan “efek placebo” pada hutan, ia semacam zat atau obat tidak aktif dan tidak berefek sembuh tapi bisa menimbulkan perasaan seolah-olah menyembuhkan dan memberi jalan keluar bagi lestarinya hutan.

Faktanya, sejumlah peraturan yang terkait dengan kehutanan tak bedaya oleh jaringan kekuasaan dan kepentingan, belum lagi hambatan birokrasi yang payah. Faktor ini tidak menjadi bahasan yang konkrit dalam menentukan penyelesaian masalah-masalah kehutanan.

Maka meskipun banyak yang tidak setuju, saya hanya ingin memberanikan diri saja untuk menulis ini. Sebab di Nanggroe, prasyarat berjalannya suatu kebijakan, seperti anggaran dan administrasinya, kemampuan lembaga, informasi, proses sosial, tekanan politik, belum benar-benar dipertimbangkan sebagai bagian dari masalah-masalah pokok dalam implementasi suatu program pembangunan kehutanan.

Sementara biaya transaksi tinggi yang timbul akibat pelaksanaan suatu peraturan masih dianggap sebagai masalah implementasi kebijakan dan bukan kelemahan proses dan substansi kebijakan itu sendiri. Proses dan implementasi kebijakan sering tidak berlangsung secara linear.

Saya khawatir bahwa kekuatan masing-masing aktor dan jaringannya serta perbedaan kepentingan masing-masing aktor telah mempersulit pencapaian kesepakatan bersama. Ditambah lagi oleh pengetahuan yang tidak lengkap yang dimiliki oleh setiap pihak yang bisa memunculkan ketidak-jelasan obyek yang dipermasalahkan.

Begitu juga efektivitas interaksi pihak-pihak untuk sampai pada pokok persoalan yang diperdebatkan, disamping ditentukan oleh pengetahuan yang dimiliki juga ditentukan oleh diskursus masing-masing. Sebab peran diskursus, pengetahuan, kejelasan obyek yang dipermasalahkan, aktor dan jaringannya, menentukan efektivitas perdebatan kebijakan yang dilakukan.

Disini, isi rimba diperkosa ramai-ramai, lalu lahir Qanun.

Afrizal Akmal, 2015.

read more
Sains

Nasib Lingkungan Hidup Pasca Merger KLH-Kemenhut

Pengumuman susunan kabinet, Minggu (26/10/2014), disambut tanya sekaligus kekhawatiran aktivis lingkungan, khususnya terkait penggabungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan. Untuk jangka pendek, kementerian itu diprediksi tak bisa langsung bekerja. Jangka panjangnya, isu lingkungan terpinggirkan.

Penggabungan kementerian jelas membutuhkan penyesuaian restrukturisasi birokrasi, belum lagi sosok menteri Siti Nurbaya yang merupakan orang baru di isu lingkungan dan kehutanan. Kami melihat akan terjadi pelambatan signifikan isu lingkungan dan kehutanan. Padahal, pekerjaan rumah kementerian ini menumpuk,” kata Abetnego Tarigan, Direktur Eksekutif Walhi, di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Contohnya, penanganan kebakaran hutan dan lahan, penyusunan belasan peraturan pemerintah yang diamanatkan UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta pembuatan RUU Perubahan Iklim.

Pada sektor kehutanan, pengukuhan dan penetapan tata batas kawasan hutan, deforestasi di kawasan konservasi, dan pemberian izin pinjam pakai (umumnya bagi pertambangan) masih menyisakan berbagai masalah.

Sebelumnya, pengajar Hukum Lingkungan di Universitas Tarumanagara, Jakarta, Deni Bram, mengatakan, semangat konservasi pada Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dan semangat membuka kesempatan pemanfaatan hutan pada Kementerian Kehutanan (Kemenhut) akan membuat penggabungan itu rumit. Bahkan, ada kecenderungan berisiko.

Kondisi kritis
Menurut Siti Maemunah, penggiat Civil Society Forum dan Badan Pengurus Jaringan Tambang, persoalan lingkungan hidup Indonesia saat ini sesungguhnya dalam kondisi kritis.

“Seharusnya, Kementerian LH diperkuat, bukan digabung dengan sektor kehutanan yang penekanannya lebih ke eksploitasi. Pada kabinet sebelumnya saja belum mampu mengatasinya, apalagi sekarang,” katanya.

Pada dua sektor itu, kata Maemunah, sebenarnya banyak terdapat profesional dengan kapasitas dan reputasi baik. “Menteri baru jauh di luar ekspektasi kami karena tidak memiliki rekam jejak perlindungan lingkungan juga sektor kehutanan. Sangat mengejutkan,” ungkapnya.

Di sisi lain, DPR justru semakin menunjukkan oligarkinya. Secara terpisah, Direktur Eksekutif Lembaga Pengembangan Hukum Lingkungan Henry Subagyo menyatakan, sebenarnya kalangan aktivis lingkungan berharap Presiden Joko Widodo memilih menteri yang bukan dari partai politik atau korporasi. Kini, ia hanya berharap sosok Siti Nurbaya berani mengambil risiko karena banyak agenda penegakan hukum serta penyelesaian masalah lingkungan hidup dan kehutanan yang membutuhkan stamina tinggi.

Terkait kesejahteraan
Sementara itu Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia Elfian Effendi mengatakan, pengalaman Siti Nurbaya sebagai birokrat Kementerian Dalam Negeri yang pernah berkarier di daerah merupakan modal utama memperkuat relasi pusat dan daerah, khususnya untuk membangun sektor kehutanan dan lingkungan hidup.

Siti Nurbaya, kata Elfian, harus mampu menempatkan sektor kehutanan sebagai salah satu motor ekonomi nasional memenuhi janji kampanye Joko Widodo-Jusuf Kalla menciptakan 10 juta lapangan kerja dalam lima tahun dengan pertumbuhan 7 persen per tahun.

Tugas pemerintah adalah memajukan perekonomian sehingga sudah seharusnya sejalan dengan dunia usaha, kata Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia Joko Supriyono.

Siti Maemunah menambahkan, dengan melihat dinamika terakhir, masyarakat sipil mau tak mau harus semakin intens melakukan pengawalan.

Beberapa pekerjaan rumah yang mendesak dibenahi, antara lain, adalah perubahan paradigma pemerintah yang selama ini memberlakukan ruang hidup masyarakat sebagai komoditas semata. Hal itulah yang, menurut Maemunah, menjadi akar terjadinya konflik dengan masyarakat dan perusakan kawasan yang dilindungi.[]

Sumber: NGI/Kompas/ICH/AIK/HAM

read more