close

peneliti

Flora Fauna

Peneliti: Masih Ada Tiga Triliun Pohon di Dunia

Sekelompok tim peneliti, yang dipimpin oleh Thomas Crowther, seorang peneliti kawakan dan rekan paska doktoral di Yale School of Forestry and Environmental Studies,  telah menyelesaikan sebuah upaya penting berupa ‘menghitung semua pohon di bumi’. Hasil penelitian yang dipublikasikan di Jurnal Nature hari Rabu kemarin (02/09/2015) mengemukakan bahwa ada sekitar 422 pohon untuk setiap orang di bumi atau setara dengan 3 triliun pohon secara keseluruhan. Angka tersebut sangat berbeda dari perkiraan terakhir yakni sekitar 400 miliar pohon di seluruh dunia.

Di satu sisi laporan penelitian ini merupakan berita bagus bahwa masih sangat banyak pohon yang membantu manusia mendapatkan lingkungan yang baik, namun di sisi lain laporan ini juga menunjukkan kemampuan pohon dalam menangkap emisi karbon secara global menjadi semakin kecil, jika dibandingkan dengan angka terdahulu (3 triliun berbanding 400 milyar). Kemungkinan angka ‘3 triliun’ tersebut akan muncul dalam setiap pemodelan adaptasi iklim dan dikutip dalam berbagai rencana konservasi hutan dan lahan pada tahun-tahun mendatang.

Pohon adalah sekutu penting manusia dalam upaya untuk mengendalikan emisi karbon karena pohon menangkap banyak karbon dioksida dari atmosfer dan mengubahnya menjadi biomassa kayu berupa ranting, cabang dan batang melalui proses yang dikenal sebagai penyerapan karbon.

Crowther menyatakan, seperti dikutip dari IBTimes, bahwa kita justru harus lebih serius memperhatikan angka terbaru tersebut jika ditinjau dari sudut pandang konservasi. Meskipun jumlah pohon diketahui lebih banyak dari yang semula diperkirakan, akan tetapi itu menunjukkan ‘keharusan’ untuk menata ulang formulasi penyerapan karbon guna memastikan berapa sebenarnya jumlah karbon yang dapat diserap oleh setiap pohon. “Kita harus mulai dengan mengidentifikasi bentuk, jumlah dan ukuran pohon sebelum kita dapat menentukan seberapa banyak karbon yang tersimpan dalam ekosistem dan mampu memahami cadangan karbon dan daur ulang dalam skenario saat ini dan masa depan,” katanya.

Dalam laporan penelitian itu tidak ada penjelasan tentang ketebalan atau kepadatan kayu dari sebuah pohon untuk mendukung upaya penghitungan ulang mengenai seberapa banyak sebatang pohon atau hamparan hutan mampu menyerap karbon yang dilepaskan ke udara.

“Perbedaan angka yang demikian besar tentu mengejutkan,” kata Van Kane, dosen kehutanan di University of Washington, “Hasil perhitungan tersebut tidak mencerminkan segalanya yang ada di ekosistem, ada banyak pohon kecil yang akan terseleksi oleh alam, kita hanya mendapatkan gambaran tentang distribusi biomassa dalam ekosistem di dunia dan mendapatkan pemahaman baru terkait dengan itu.”

Penelitian tersebut, menurut Crowther, juga menggarisbawahi adanya dampak yang dramatis dari keberadaan manusia terhadap hutan. Hasil studi ini menggambarkan bahwa untuk semua jenis hutan, kepadatan pohon yang lebih rendah selalu berada di sekitar kegiatan pembangunan oleh manusia. Secara khusus, para peneliti mendapatkan angka baru untuk perkiraan hilangnya hutan setiap tahun yakni lebih dari 15 miliar pohon. Mereka mengatakan jumlah pohon di dunia telah turun sebanyak 46 persen sejak awal peradaban manusia.

Crowther menguraikan bahwa menghitung jumlah pohon di bumi bukanlah tugas yang mudah. Bagaimanapun, dibutuhkan tekad yang kuat untuk melakukannya terutama saat menghadapi skeptisisme, dorongan untuk segera mendapatkan data yang lengkap dan, bahkan, untuk memikirkan strategi yang bernas untuk mengakses data yang disembunyikan oleh Pemerintah Rusia dan Cina. Peneliti ini menjadi terobsesi untuk menghitung pohon yang ada di bumi ketika ia menyadari kekeliruan yang terjadi pada angka estimasi jumlah pohon di dunia. Perkiraan sebelumnya adalah ‘hanya’ sekitar 400 miliar pohon di dunia. Tapi ketika sekelompok ahli ekologi dan rimbawan melakukan survei di Amazon pada 2013, mereka menemukan ada 390 miliar pohon di wilayah itu saja.

Sumber: www.ibtimes.com

read more
Ragam

Dalang Ini Raih Gelar Doktor Lingkungan Undip

Pemanasan global dipicu oleh gas rumah kaca (GRK) antara lain  emisi CO2. Oleh karena itu, diharapkan kapasitas daur ulang CO2  dikawasan industri PT KIEC (Kawasan Industri Estate Cilegon) dapat  ditingkatkan dan dioptimalkan.

“Perlu mengoptimalkan penggunaan energi baru dan terbarukan  dan efsiensi energi serta mendaur ulang emisi CO2 menjadi produk CO2 cair  yang dapat dimanfaatkan oleh industri lain sebagai bahan baku industri,” kata  Rochmad Hadiwijoyo saat menyampaikan disertasinya pada  ujian Doktor Ilmu Lingkungan Program Pascasarjana Undip di Semarang, Jawa Tengah, Jumat (28/2/2014).

Menurut Rochmad yang juga Ketua Umum PRSSNI didepan tim penguji yang   dipimpin Prof Anies, bahwa  untuk merealisasikan kawasan industri PT KIEC menjadi kawasan industri yang berwawasan  lingkungan perlu  dukungan nyata  dari  perusahaan dilingkungan PT KIEC.

“Konsep pengelolaan industri  dikawasan PT KIEC perlu diubah dari  manajemen lingkungan tradisional  menjadi ekosentris,” papar  Rochmad  yang juga `nyambi` sebagai  dalang wayang kulit tradisional itu.

Dia menyarankan penggunaan energi fosil di industri perlu dikurangi dan  menggantinya dengan energi baru dan terbarukan (EBT) dan Sistem Cambine  Cycle yang  memanfaatkan panas yang terbuang dari proses  pembakaran. “EBT di Provinsi Banten yang potensial antara lain adalah  geothermal  yang berasal dari wilayah Batu Kuwung,” kata Rochmad.

Ujian terbuka program doktor  Rochmad Hadiwijoyo dengan promotor Rektor  Undip Prof Sudharto itu juga disaksikan oleh dalang Ki Manteb Sudarsono dan Djoko `Edan` Hadiwijoyo, serta sejumlah pengusaha dari  Kawasan industri Krakatau Cilegon.

Sedangkan Ketua Tim penguji Prof  Anies akhirnya menyatakan lulus sangat memuaskan dengan nilai rata  3,68. “Anda merupakan doktor ke-12 untuk bidang lingkungan dari Universitas Diponegoro,” kata Prof Anies.

Sumber: metrotvnews.com

read more
Sains

Peneliti Harus Mengkomunikasikan Hasil Risetnya

Para peneliti yang bekerja untuk lembaga penelitian universitas mungkin menganggap bahwa karena organisasi mereka mempekerjakan Staf komunikasi profesional, tidak perlu bagi mereka untuk mengkomunikasikan hasil penelitiannya. Namun, komunikasi penelitian terlalu penting untuk hanya diserahkan staf komunikasi sendiri.

Apakah ini berarti bahwa kita harus menutup departemen komunikasi dan membiarkan peneliti berbicara ? Tentu saja tidak. Apa yang dibutuhkan adalah peneliti dan komunikator profesional bekerja sama sebagai satu tim untuk memaksimalkan dampak dari penelitian.

Berbicara dengan Otoritas
Para ilmuwan harus memiliki suara sendiri yang didengar di luar dinding institusi akademik – sehingga komunikasi menjadi bagian dari pekerjaan mereka. Dan siapa yang bisa berkomunikasi lebih baik tentang penelitian selain ilmuwan itu sendiri ? Mereka menghabiskan waktu bertahun-tahun meraih gelar PhD, selanjutnya bertahun-tahun bekerja dalam disiplin ilmu yang mereka pilih dan sering pada topik yang sangat spesifik. Ini membuat mereka benar-benar ahli dalam bidangnya, yang diterjemahkan menjadi kredibilitas di mata publik dan memungkinkan mereka untuk berbicara dengan otoritas di keahlian mereka.

Orang mungkin tidak percaya politisi lagi, tetapi secara keseluruhan publik masih mempercayai ilmuwan. Para ilmuwan dipandang sebagai berpengetahuan dan tanpa agenda tersembunyi. Hal ini masuk akal bagi para ilmuwan untuk berkontribusi mengeluarkan pendapat ahli untuk ke tengah-tengah publik.

Di sisi lain banyak lembaga penelitian mempekerjakan staf profesional untuk mengkomunikasikan temuan-temuan penelitian kepada pihak luar seperti media, masyarakat sipil, pebisnis dan pengambil keputusan. Jadi, inilah mengapa para ilmuwan perlu untuk membuat usaha komunikasi sendiri.

Kenyataannya adalah peneliti mungkin tidak memiliki waktu untuk berkomunikasi karena pekerjaan sehari-hari mereka yang sibuk yang mungkin termasuk pekerjaan di lapangan atau menulis artikel untuk jurnal atau mengajar. Dan meskipun mereka mungkin memiliki sesuatu yang menarik untuk dikatakan, tanpa mengetahui bagaimana mengemas dan menyajikan pesan mereka, atau kepada siapa disampaikan, mereka mungkin gagal untuk mencapai dampak yang diharapkan.

Ini tentang kerja sama tim
Untuk komunikasi penelitian yang efektif, para ilmuwan dan komunikator harus bekerja sama. Komunikator yang dilengkapi dengan keterampilan teknis dan alat untuk berkomunikasi secara efektif tetapi mereka tidak memiliki pengetahuan ahli mengenai subjek materi. Mereka tidak memiliki kredibilitas yang diperoleh para ilmuwan – jurnalis
tidak ingin mewawancarai staf humas universitas melainkan mendengar langsung dari para ilmuwan yang melakukan penelitian.

Tapi komunikator profesional memiliki peran penting juga. Mereka dapat membantu para peneliti mengidentifikasi apakah mereka memiliki cerita untuk disampaikan, menasihati mereka tentang bagaimana cara menyampaikan (dalam bentuk apa dan sebagainya) dan bagaimana melakukan yang pesan ke audiens yang dimaksudkan.

Misalnya , mereka dapat menyarankan ketika peneliti melakukan press release untuk mempromosikan hasil penelitian, ketika menulis sebuah policy brief dan kapan harus menggunakan twitter. Setiap format memiliki aturan sendiri (urgent atau kurang sensitif terhadap waktu, formal atau informal ) dan digunakan untuk menjangkau audiens yang berbeda.

Akhirnya, komunikator dapat membantu peneliti keluar dari kesulitan. Para ilmuwan mungkin tidak menyadari berpotensi menimbulkan kontroversi atau dampak politik dari penelitian mereka misalnya.

Komunikator juga dapat membantu para peneliti mengembangkan suara mereka sendiri dan terlibat langsung dengan para pemangku kepentingan. Seorang peneliti tidak akan menulis siaran pers tetapi dapat men-tweet atau menulis di blog jika dipandang penting.

Menutup Kesenjangan Komunikasi
Bulan Oktober lalu , saya melakukan perjalanan ke Morogoro , Tanzania untuk bertemu 15 peneliti dari empat negara Afrika yang bekerja pada penelitian tentang Integrasi Kesehatan Manusia dan Hewan sebagai bagian proyek penelitian Southern African Centre for Infectious Disease Surveillance.

Bersama dengan manajer komunikasi lembaga tersebut, aku melaksanakan sebuah lokakarya komunikasi bagi para peneliti. Selama dua hari penuh kami menguji isu-isu seperti pemahaman audiens dengan menggunakan bahasa Inggris, menulis di web, menggunakan media sosial dan bekerja sama dengan pembuat kebijakan.

Pada awalnya, tidak semua orang yakin. ” Mengapa saya harus disibukan dengan ini? “, Atau ” jurnal akademik tidak
ingin aku menulis dalam bahasa Inggris”, atau” Saya tidak mungkin mengurangi penelitian 40 – halaman menjadi sebuah tweet 140 – karakter “, itulah contoh beberapa reaksi.

Pada akhir lokakarya, masih ada rekan-rekan yang mungkin masih agak skeptis. Dua hari menulis tweet, tidak
mengubah mereka menjadi komunikator yang terampil . Tapi mereka mulai menghargai nilai komunikasi penelitian sedikit lebih, mereka memperoleh kepercayaan diri untuk berbicara tentang penelitian mereka dalam istilah yang sederhana dan mereka sepakat untuk bekerja lebih erat dengan staf komunikasi di lembaga mereka. Yang terakhir bagi saya adalah indikator terbaik dari workshop yang sukses.

Jadi pesan saya untuk para peneliti adalah,” jangan hanya duduk di sana dengan berpikir bahwa semuanya sudah dilakukan orang komunikasi. Bicaralah dengan staf humas anda lebih awal agar mereka tahu apa yang sedang Anda kerjakan. Dengarkan saran dan gunakan keahlian mereka. Jangan takut untuk berbicara tentang pekerjaan Anda kepada media.

Katakanlah “ya” untuk wawancara media, menulislah di blog, gunakan akun Twitter. Anda dapat melakukannya dan itu sepadan dengan usaha anda.[]

Anna Kuznicka-Marry adalah manajer komunikasi di London International Development Centre, sebuah konsorsium penelitian interdisipliner yang dibentuk dari lima Universitas di London, Inggris. Anna dapat dihubungi di anna.marry@lidc.bloomsbury.ac.uk dan di Twitter @ LIDC_UK.

Sumber: www.scidev.net

read more