close

11/10/2013

Ragam

Mongabay Sediakan 150 Juta untuk Liputan Perikanan

Mungkin anda sedang merencanakan liputan tentang kondisi tata kelola perikanan di Indonesia dan terkendala dengan dukungan dana. Mungkin anda perlu mencoba mengikuti program fellowship (beasiswa liputan) yang diselenggarakan oleh salah satu situs berita lingkungan terbesar di dunia yaitu Mongabay.com. Tak tanggung-tanggung, Mongabay melalui program Special Reporting Initiative (SRI) menyediakan dana hingga Rp. 150 juta untuk peserta terpilih plus disediakan dana perjalanan sebesar Rp.50 juta.

Sebagaimana yang dikutip dari artikel di mongabay.com, deadline program ini pada 15 November 2013. Para peserta diwajibkan melakukan pra-pendaftaran melalui situs ini. Kemudian peserta diminta untuk membuat proposal tentang bagaimana liputan akan dilaksanakan. Selain itu butuh dua rekomendasi dari pihak terkait dan melampirkan tiga contoh artikel yang pernah ditulis.

Komite seleksi akan mengevaluasi proposal berdasarkan kualitas aplikasi (ejaan, tata bahasa, organisasi , dll ), kreativitas dan orisinalitas ide lapangan, pemberi referensi, potensi media yang akan menerbitkan tulisan anda  dan kualitas pekerjaan anda sebelumnya.

Jika anda terpilih, anda memiliki waktu selama tiga bulan untuk perjalanan dan penelitian serta tiga bulan lagi untuk menulis laporan. Enaknya lagi, peraih fellowship dapat bekerja dari mana saja di dunia .

Mongabay rutin setiap 1-2 bulan bulan sekali akan memberikan beasiswa peliputan untuk tema dan wilayah yang berbeda-beda. Tema kali ini adalah Tata Kelola Perikanan Perikanan di Indonesia. Sebagaimana diketahui, banyak kerugian yang disebabkan eksploitasi ikan yang berlebihan. Hal ini mempeengaruhi ekonomi masyarakat terutama nelayan kecil.

Khususnya di Indonesia, pemerintahan yang lemah dan dikuasai segelintir elit diyakini menjadi faktor penting dalam aktivitas penangkapan ikan berlebihan. Ini bisa disebabkan pengelolaan perikanan yang kurang dipahami dengan baik .

Liputan dalam program ini harus mampu menjawab pertanyaan bagaimana keadaan saat perikanan di Indonesia dan potensi untuk perbaikan manajemen dan kebijakan dalam waktu dekat ?[]

Sumber: mongabay.com

read more
Perubahan Iklim

FFI Selenggarakan Working Group Bahas Isu Perubahan Iklim

Fauna Flora International (FFI) Aceh Program kembali mengadakan pertemuan Working Group (WG) yang ke-II untuk membahas isu-isu penting perubahan iklim. Pertemuan yang merupakan program didanai dari Uni Eropa ini merupakan pertemuan lanjutan setelah pertemuan pertama yang disertai kick off pada tanggal 4-5 Juni 2013 lalu. Pertemuan WG kali ini menghasilkan sejumlah rumusan konkrit yang sudah dapat ditindak lanjuti.

Pertemuan WG ke-II berlangsung 9-10 Oktober 2013 di Paviliun Seulawah dengan menghadirkan anggota WG 1 hingga WG 5 yang terdiri dari LSM, pemerintah, masyarakat adat (mukim), akademisi, penegak hukum (polisi dan jaksa) dan dari media. Adapun tema yang dibahas dalam WG antara lain WG 1 membahas  Tata Kelola, WG 2 membahas Penegakan Hukum, WG 3 membahas Teknis, WG 4 membahas Kemasyarakatan dan WG 5 membahas aspek Private Sektor.

Semua WG membahas isu dalam kaitannya merespon perubahan iklim di Aceh. Namun sayangnya dalam acara ini pihak private sector banyak yang tidak hadir sehingga isu-isu yang dikumpulkan dari sektor ini kurang memadai. Sementara itu WG yang lain umumnya dapat menggali berbagai isu dan rencana tindak lanjut dalam mencari solusinya.

Program Manager FFI Aceh Program, Safrizaldi mengatakan tujuan kegiatan ini adalah mengidentifikasi isu prioritas, menyusun kerangka aksi untuk mitigasi perubahan iklim berdasarkan isu-isu prioritas dan membuat perencanaan reguler tiap-tiap WG.

Dalam pertemuan WG juga berkembang banyak hal tentang WG itu sendiri. Ada beberapa WG meminta tambahan keanggotaan agar isu-isu yang diusung bisa menjadi lebih tajam dan jernih. WG 2 yang membahas penegakan hukum meminta agar anggota ditambah lagi unsur ahli hukum dari akademisi dan hakim.

Program FFI ini menitikberatkan kegiatannya pada WG dan Multi Stakeholder Forum (MSF). Hasil-hasil pembahasan WG nantinya akan dibawa ke MSF yang berada di propinsi serta kabupaten atau kota dan beranggotakan unsur-unsur yang dianggap dapat mewakili stakeholder perubahan iklim.

FFI dalam menjalankan program ini bekerja sama dengan lembaga Strategy Resources Initiative, yang diketuai oleh Yakob Ishadami (mantan kepala Program Aceh Green) dan lembaga Suar Galang Keadilan, yang diketuai oleh Pengasihan Gaut (mantan Project Manager IOM – Police Project di Aceh).[m.nizar abdurrani]

read more
Green Style

Kota Bisa Jadi Pusat Pelestarian Lingkungan

Urbanisasi akan terus berlangsung dalam beberapa dekade mendatang. Pada 2050, sebanyak 70 persen populasi urban dunia akan berpindah dan tinggal di perkotaan. Penduduk kota semakin padat, memicu masalah lingkungan dan kemanusiaan.

Sebelum masalah lingkungan bertambah parah, kota berpeluang beralih menjadi kota yang hijau dan lestari. Sehingga kota bisa menjadi pusat aksi menanggulangi krisis iklim, mengurangi kelangkaan air dan meningkatkan keamanan pangan. Kesimpulan ini terungkap dalam laporan terbaru berjudul “Cities and Biodiversity Outlook (CBO)” yang dirilis Jum’at (4/10/2013).

Laporan yang disusun oleh Stockholm Resilience Centre (SRC) bersama dengan Secretariat of the Convention on Biological Diversity (CBD), UN-Habitat dan ICLEI – Local Governments for Sustainability ini menjadi laporan pertama yang menganalisis hubungan antara urbanisasi dan menurunnya kualitas keanekaragaman hayati di perkotaan.

Menurut CBO, sebanyak 60 persen rencana perluasan dan pembangunan wilayah perkotaan pada 2030, saat ini masih belum dilaksanakan. Kondisi ini membuka peluang bagi kota mempromosikan pembangunan yang berkelanjutan. Pembangunan rendah karbon yang mengurangi jejak ekologis dan menghemat sumber daya alam, memperbaiki keanekaragaman hayati sekaligus kualitas hidup masyarakat.

Saat ini aktivitas produksi dan konsumsi masih terpusat di perkotaan. Kedua aktivitas ini telah menyumbang 80 persen emisi gas rumah kaca dunia penyebab perubahan iklim dan pemanasan global. Masalah ini bisa diatasi dengan sejumlah aksi. Diantaranya dengan menjaga dan meningkatkan ruang terbuka hijau, koridor hijau, menghijaukan atap gedung serta lahan bekas industri atau lahan komersial melalui misalnya kegiatan berkebun di perkotaan. Sehingga kota tidak lagi menjadi sumber polusi dan emisi karbon namun beralih menjadi pusat penyerapan karbon.

Salah satu program yang berhasil adalah program di distrik Yokohama, Jepang. Pada 2007, Yokohama memproduksi 20 juta ton emisi CO2. Dilandasi kesadaran atas pentingnya keanekaragaman hayati, pemerintah menciptakan sistem perpajakan baru yang hasilnya digunakan untuk mempertahankan dan menambah ruang terbuka hijau. Pemerintah juga menggunakan pajak untuk menghijaukan atap dan dinding gedung di perkotaan. Aksi ini sukses. Yokohama kini berani menargetkan pengurangan emisi per kapita setidaknya hingga 60 persen pada 2050.

Negara-negara Asia yang saat ini dihuni oleh 60 persen populasi dunia, memiliki tantangan dan skala urbanisasi yang berbeda-beda. Di Singapura, misalnya, yang merupakan negara kota, 100 persen  penduduknya tinggal di perkotaan. Di Malaysia, jumlah penduduk yang tinggal di perkotaan mencapai 72 persen. Di Jepang angkanya mencapai 67 persen, sementara di Indonesia 54 persen. Negara Asia dengan tingkat urbanisasi terendah adalah Bangladesh (28 persen) disusul oleh Vietnam (29 persen), India (30 persen), Laos (33 persen) dan Thailand (34 persen).

Walau skala urbanisasinya berbeda, wilayah Asia memiliki tiga karakteristik serupa. Pertama: negara-negara Asia tengah mengalami transisi demografis dan ekonomi yang memicu perpindahan penduduk ke perkotaan. Yang kedua: separuh dari perluasan wilayah perkotaan dunia akan terjadi di Asia dalam 20 tahun mendatang – terutama di China dan India. Yang ketiga: masuknya modal dan investasi dalam jumlah besar akan mengubah ekonomi lokal yang dulunya berbasis pertanian, menjadi ekonomi berbasis industri dan manufaktur.

Semua karakteristik tersebut mengubah secara fundamental lanskap dan lingkungan Asia. Sehingga upaya beralih ke sistem pembangunan yang berkelanjutan dan ekonomi yang ramah alam bisa tidak bisa lagi ditawar untuk menciptakan kota yang sehat, hijau, makmur dan lestari.[]

Sumber: hijauku.com

read more
Energi

Murid SD di Bogor Diajak Bikin Biodiesel dari Minyak Jelantah

Sejumlah siswa SD Negeri Bantarjati 9 Kota Bogor, Jawa Barat, kembali membuat inovasi dengan mencoba mengolah minyak jelantah menjadi bahan bakar biodiesel. “Kami telah mencoba mengolah sendiri minyak jelantah menjadi biodiesel, walau hasilnya masih dalam skala kecil,” kata Ely Rachmawati, salah satu guru SD Negeri Bantarjati 9 di
Kota Bogor.

Ely menyebutkan pengolahan minyak jelantah menjadi biodiesel baru dimulai oleh pihak sekolah. Sebelumnya, SD Negeri Bantarjati 9 menjadi salah satu sekolah yang memasok minyak jelantah yang disalurkan ke Perusahaan Daerah Jasa Transportasi (PDJT) Kota Bogor untuk diolah menjadi biodiesel bahan bakar bus Trans Pakuan.

Menurut Ely, pengolahan minyak jelantah sebagai biodiesel tidak terlalu sulit. Cukup menyiapkan methanol, soda api dan minyak jelantah untuk menjadikan biodiesel. “Kami sudah mempraktikkan dengan tiga liter minyak jelantah yang dicampur dengan methanol, soda api kemudian diendapkan hingga 12 sampai 14 jam,” jelasnya.

Untuk mengolahnya, lanjut Ely, campuran minyak jelantah dan ethanol tersebut membentuk lapisan bening yang akan dicampurkan dengan dua liter air lalu disuling untuk diambil biodieselnya. “Biodiesel warnanya bening kekuning-kuningan, hasilnya dapat dicobakan untuk bahan bakar kendaraan, dan alat-alat industri lainnya,” kata Ely.

Ely mengatakan biodiesel yang diproduksi para siswa tersebut hanya berskala kecil yang bisa dipasok untuk rumah tangga. Untuk memenuhi kebutuhan minyak jelantah, pihak sekolah mengumpulkan setiap harinya minyak bekas goreng tersebut dari para  siswa. Hampir setiap hari siswa SD Negeri Bantarjati 9 dianjurkan membawa minyak jelantah ke sekolah. Bila dihitung dalam waktu seminggu rata-rata sekolah bisa mengumpulkan enam hingga tujuh liter minyak jelantah.

Menurut Kepala Sekolah SD Negeri Bantarjati 9 Yayah Komariah, program pengumpulan minyak jelantah oleh siswa itu sesuai dengan program Pemerintah Kota Bogor dalam mengumpulkan minyak goreng bekas di kalangan masyarakat.[]

Sumber : Antara

read more