close

Muhammad Nizar

Kebijakan Lingkungan

Bahas Konservasi, BKSDA Aceh dan YEL-SOCP bertemu Bupati Aceh Besar

Banda Aceh – Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, bersama Yayasan Ekosistem Lestari – Sumatran Orangutan Conservation Programme (YEL-SOCP) melaksanakan pertemuan/audiensi dengan Bupati Aceh Besar, Ir. Mawardi Ali, di kediaman pribadi Bupati, Gampong Meunasah Baro, Kecamatan Ingin Jaya, Kabupaten Aceh Besar, Jum’at (31/01/2020).

Koordinator YEL Aceh, TM Zulfikar mengatakan bahwa pertemuan tersebut mendiskusikan berbagai kegiatan atau program konservasi yang telah dan akan dilaksanakan oleh BKSDA Aceh dan YEL-SOCP di wilayah kerja Kabupaten Aceh Besar, khususnya Program Konservasi Orangutan Sumatera di kawasan hutan yang berada Kecamatan Jantho, Aceh Besar.

Bupati Aceh Besar, Ir. Mawardi Ali, pada kesempatan tersebut didampingi oleh Kepala Dinas Pariwisata, Pemuda dan Olahraga, Ridwan Jamil, beserta unsur staf lainnya. Sedangkan dari pihak BKSDA Aceh, dihadiri oleh Kepala Balai, Agus Arianto, S.Hut, didampingi Kepala Tata Usaha, Erwan, beserta beberapa unsur staf lainnya. Sedangkan dari unsur lembaga YEL-SOCP dihadiri oleh Direktur Konservasi YEL, M. Yakob Ishadamy, Koordinator YEL Aceh, TM Zulfikar, beserta beberapa staf YEL-SOCP lainnya.

Dalam audiensi tersebut Kepala BKSDA Aceh, Agus Arianto menyampaikan kepada Bupati berbagai aktivitas konservasi sumber daya alam yang dilakukan di wilayah Kabupaten Aceh Besar, salah satunya pusat Reintroduksi Orangutan di Cagar Alam (CA) Janthoi dan Taman Wisata Alam (TWA) Jantho yang dikelola bersama antara BKSDA Aceh dengan YEL-SOCP.

Kepala BKSDA Aceh, selain memperkenalkan anggota Tim yang hadir, juga menjelaskan berbagai program Konservasi Sumber Daya Alam serta rencana pengelolaan kawasan konservasi CA dan TWA serta kebutuhan dukungan pemerintah Kabupaten Aceh Besar untuk tahun 2020 dan beberapa agenda konservasi untuk tahun berikutnya. Termasuk update rencana penataan blok dan rencana kegiatan lainnya di kawasan hutan Jantho.

Sementara itu Direktur Konservasi YEL, M. Yakob Ishadamy menjelaskan terkait eksisting program dan rencana keberlanjutan yang perlu dukungan dari Pemkab Aceh Besar. Tim YEL-SOCP lainnya, drh. Citra, menambahkan kondisi dan berbagai capaian selama ini, termasuk pelibatan komunitas setempat dalam program.

Koordinator YEL Aceh, TM Zulfikar mengatakan bahwa pada diskusi dengan Bupati, pihak YEL-SOCP juga telah memaparkan secara detail berbagai penjelasan terkait jumlah, kondisi Dan perkembangan Orangutan yang telah direlease. Selain itu Bupati Aceh Besar juga memberikan arahan sekaligus harapan untuk memperkuat koordinasi program bersama kedepan dan memastikan perlindungan satwa dan habitatnya, serta mengembangkan semua potensi untuk penguatan ekonomi masyarakat, terutama yang berada di sekitar kawasan.

Bupati Aceh Besar, Mawardi Ali juga mengarahkan agar Tim Balai KSDA Aceh dan YEL-SOCP untuk dapat melakukan koordinasi teknis dengan unit kerja pemkab, khususnya Kadis Pariwisata, Pemuda dan Olahraga.

Dalam pertemuan tersebut juga disepakati bersama untuk mengagendakan visitasi lapangan Bupati Aceh Besar ke lokasi stasiun reintroduksi orangutan, dan akan dijadwalkan sesegera mungkin. Bupati Aceh Besar, Mawardi Ali juga sangat mendukung rencana Pembangunan Koridor penghubung CA/TWA dengan Taman Hutan Raya (Tahura), sekaligus program konservasi yang memberikan kesempatan ekonomi bagi masyarakat Aceh Besar secara lebih luas. (rel)

read more
Kebijakan Lingkungan

Luas Hutan Aceh Terus Menyusut, Bencana Meningkat

Banda Aceh – Pada tahun 2019, isu lingkungan hidup dan kehutanan di Aceh, khususnya Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), menjadi isu yang dibahas publik. Kondisi hutan di Aceh menjadi perhatian publik karena pentingnya pelestarian lingkungan untuk kehidupan manusia. Yayasan Hutan, Alam, dan Lingkungan Aceh (HAkA) menyebutkan bahwa laju kehilangan tutupan di Kawasan Ekosistem Leuser wilayah Aceh menurun pada tahun 2019 dibandingkan tahun 2018. Hal tersebut disampaikan pada konferensi pers Yayasan HAkA dan Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) di Banda Aceh 30 Januari 2020.

Konferensi pers yang dipimpin oleh Agung Dwinurcahya, GIS Manager Yayasan HAkA, TM Zulfikar dan Yakob Ishadamy mewakili YEL, mempresentasikan data hasil monitoring dari citra satelit meliputi seluruh provinsi Aceh dan kondisi gambut di Aceh, khususnya di Rawa Tripa – sebuah kawasan yang dulu dikenal sebagai Ibukota Orangutan di Dunia karena kepadatan populasinya. Citra satelit yang digunakan adalah Landsat, Sentinel, Planet dan bantuan peringatan dini kehilangan tutupan pohon GLAD alerts dari Global Forest Watch (GFW).

Agung menyebutkan bahwa laju hilangnya tutupan hutan di provinsi Aceh periode 2019 adalah sebesar 15.140 hektar. Tahun 2019 ini tren kerusakan hutan Aceh relatif stabil dibandingkan tahun sebelumnya yaitu sebesar 15.071 hektar. Angka itu kurang lebih seluas 2,5 x lipat luas kota Banda Aceh, seluas 14 ribu kali lapangan bola, dan diperkirakan 41 hektar hutan hilang di Aceh per harinya pada tahun 2019. Pada tahun 2019, di antara kabupaten-kabupaten yang angka laju tutupan hutannya tertinggi adalah Aceh Tengah (2.416 ha), Aceh Utara (1.815 ha) dan Aceh Timur (1.547 Ha).

Secara umum, sekitar 60% hilangnya tutupan hutan yang terjadi di Kawasan Hutan (berdasarkan SK/MenLHK No. 103/Men-LHK-II/2015 maupun SK/MenLHK No. 580/Men-LHK II/2018), dan 40% lainnya terjadi di Areal Penggunaan Lain (APL).

KEL Aceh yang menjadi fokus area kerja HAkA juga tak luput dari analisis yang dilakukan. KEL Aceh mengalami penurunan angka laju tutupan hutan pada tahun 2019 dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Perhitungan tim HAkA menghasilkan angka tutupan hutan di dalam KEL Aceh sebesar 5.395 ha, menurun 290 ha dibandingkan dengan tahun sebelumnya. “Dalam 5 tahun terakhir Yayasan HAkA memantau tutupan hutan KEL via citra satelit, tahun 2019 adalah tahun terendah untuk laju deforestasi KEL,” sebut Agung. Penurunan angka kerusakan hutan juga terjadi di Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) wilayah Aceh.

Tim HAkA juga menyebutkan bahwa titik api di Aceh 2019 mengalami penurunan. Data titik api ini diunduh langsung dari website FIRMS (Fire Information for Resource Management System), NASA. Terpantau 1.957 titik api dari sensor VIIRS di tahun 2019 ini, dimana di 2018 ada 3.128 titik api. Menurun lebih dari seribu titik api dibandingkan tahun sebelumnya. Sedangkan jika analisis menggunakan sensor MODIS terpantau 255 titik api dibandingkan 482 di tahun sebelumnya. Ini membuktikan bahwa Aceh telah cukup berhasil mengendalikan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di 2019.

Kawasan Gambut di Aceh juga adalah concern penting dalam perlindungan lingkungan di Aceh. YEL, diwakili oleh TM Zulfikar dan Yakob Ishadamy, sebagai salah satu LSM yang aktif advokasi isu gambut, mempaparkan kondisi gambut terkini di Aceh dan inisiatif pemerintah dalam penyusunan Rencana Pengelolaan dan Perlindungan Ekosistem Gambut (RPPEG), yang akan menjadi pedoman instansi pemerintah di Aceh untuk masa depan ekosistem gambut. “Kawasan gambut sering luput dalam diskusi perlindungan lingkungan di Aceh, padahal lahan gambut mempunyai peran penting untuk menyerap karbon dan mempunyai nilai keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Inisiatif pemerintah untuk penyusunan RPPEG adalah langkah awal untuk masa depan gambut yang lebih baik di Aceh, dan YEL berkomitmen untuk mendukung pemerintah Aceh agar tercapainya tata kelola rawa gambut berkelanjutan di Aceh,” jelas Yakob.

Dampak dari berukurangnya tutupan hutan adalah salah satu faktor dari meningkatnya angka terjadinya bencana alam berupa banjir, longsor dan kekeringan di Provinsi Aceh. Tim GIS HAkA juga memantau dan memetakan bencana-bencana tersebut melalui kliping media online. Kejadian bencana banjir, longsor dan kekeringan pada tahun 2019 meningkat pesat. Angka bencana banjir dan longsor meningkat 87 kasus, menjadi 121 kasus dan kasus kekeringan meningkat 4 kasus menjadi 16 kasus pada tahun 2019. Banjir dan longsor terjadi di 22 Kabupaten dan kekeringan terjadi di 8 kabupaten. Kecamatan yang sering terjadi banjir dan longsor adalah Woyla Timur dan Badar. Sedangkan Darul Imarah dan Lhoknga adalah kecamatan yang paling sering mengalami kekeringan.

Walaupun angka kehilangan tutupan hutan relatif stabil namun dampak bencana alam yang dialami relatif meningkat pada tahun 2019 dibandingkan tahun 2018, HAkA dan YEL mengapresiasi upaya dan inisiatif instansi pemerintah di Aceh dalam upaya pelestarian dan pengelolaan kehutanan dan lingkungan hidup. Dua lembaga tersebut akan terus mendorong pelestarian Kawasan Ekosistem Leuser dan lahan gambut di Aceh karena pelestariannya akan memberi manfaat kepada masyarakat Aceh, melindungi sumber air dan berperan untuk mitigasi bencana. “Stabilnya angka kehilangan tutupan hutan di Aceh menjadi preseden yang baik. Namun, luas tutupan hutan Aceh terus berkurang, dan ini pertama sekali dalam sejarah dimana luas tutupan hutan Aceh menjadi di bawah 3 (tiga) juta hektar. Upaya perlindungan dan pengelolaan kawasan hutan di Aceh harus ditingkatkan agar hutan Aceh tetap bisa menjadi sumber kehidupan untuk masyarakat Aceh,” tutup Badrul Irfan, sekretaris Yayasan HAkA. [rel]

read more
Flora Fauna

Upaya Ilmuwan Selamatkan Orangutan Terancam Punah di Indonesia

Jika Anda diminta untuk membuat daftar keahlian diperlukan bekerja di bidang konservasi orangutan, Anda mungkin tidak berpikir untuk menulis penembak jitu. Tapi penembak itu merupakan urutan teratas daftar persyaratan pekerjaan untuk kelompok unik pelestari alam yang bekerja di hutan Kalimantan.

“Jika Anda mencoba untuk menenangkan hewan yang tingginya sekitar 30 meter di atas pohon, Anda harus sangat akurat,” Karmele Llana Sanchez, Direktur Program Indonesia untuk International Animal Rescue (IAR) yang berbasis di Kalimantan. Lebih lanjut mengatakan,”Ada risiko hewan itu jatuh dan akhirnya terluka atau terbunuh.”

Tak perlu dikatakan lagi bahwa menenteramkan kera cerdas dan depresi, yang beratnya mencapai 150 kilogram, adalah operasi yang sulit. Melakukannya ketika posisi kera jauh di atas Anda dan harus mendarat di jaring lebih sulit lagi. Kerja tim adalah kuncinya. Untuk Sanchez dan rekan-rekannya yang beranggotakan 250 orang yang berbasis di Kalimantan Indonesia, keputusan untuk campur tangan, menenangkan, merehabilitasi, dan mentranslokasi orangutan bukanlah keputusan yang diterima dengan enteng.

Tetapi di hutan Kalimantan yang semakin terfragmentasi, pekerjaan ini menjadi lebih diperlukan. Orangutan, yang dapat bergerak dari pohon ke pohon dengan kecepatan tinggi, mendapati diri mereka berpegangan pada pohon-pohon yang terisolasi dan terisolasi, merupakan lambang nasib yang menimpa rumah alami mereka. Ketika perusakan hutan terus berlanjut, ketiga subspesies dari satu-satunya kera besar dunia di luar Afrika mengalami kesulitan menemukan habitat murni yang cocok dan berukuran cukup. Itu berarti mereka melakukan kontak rutin — dan seringkali bertentangan — dengan manusia.

Karenanya, organisasi-organisasi termasuk IAR sering kali perlu intervensi menyelamatkan hewan yang terluka, merawat mereka sebelum melepaskan mereka kembali di lingkungan yang aman atau merawat mereka dalam jangka panjang jika mereka tidak bisa lagi bertahan hidup di alam liar. Dan dalam beberapa hal upaya ini merupakan garis pertahanan terakhir untuk “manusia hutan” (seperti orangutan diterjemahkan dari Bahasa Melayu) jika penggundulan hutan tidak melambat.

Dalam 50 tahun terakhir, Indonesia telah kehilangan sekitar 185 juta hektar hutan. Bagi orangutan yang membutuhkan hutan utuh untuk bertahan hidup, dampaknya mengejutkan. Jumlah orangutan Borneo di alam diyakini telah berkurang sebanyak 100.000 antara tahun 1999 dan 2015 saja. Itu berarti hampir separuh populasi telah menghilang dalam waktu kurang dari dua dekade, meninggalkan kera-kera di International Union for Conservation of Nature’s Red List sebagai hewan terancam punah.

Orangutan Sumatra yang langka dan sangat terancam punah bisa dibilang lebih sedikit, hanya 14.000 diyakini tetap di alam liar. Subspesies ketiga, orangutan Tapanuli, dideskripsikan secara resmi dua tahun lalu dan populasi kurang dari 800 mungkin ada di Sumatera bagian utara.

“Kecepatan deforestasi adalah masalah utama,” kata Sanchez. “Pembalakan liar atau pengembangan kebun skala kecil, pembukaan lahan berlangsung selama bertahun-tahun. Orangutan tidak bisa beradaptasi ketika itu terjadi begitu cepat. “

Sebagian besar Kalimantan telah terbakar tahun ini, mencerminkan krisis di seluruh dunia. Kebakaran adalah kejadian tahunan di Indonesia, petani dan perusahaan besar sama-sama membakarnya untuk menebangi hutan. Tapi Sanchez mengatakan bahwa tahun ini sangat liar, sebagian didorong oleh musim kemarau yang lebih panjang terkait dengan El Nino. Kebakaran lahan gambut juga lebih sulit untuk dipadamkan, meningkatkan tekanan pada rumah hutan orangutan dan satwa liar lainnya.

Meskipun jumlah yang tersisa tampaknya besar, kekhawatiran untuk kelangsungan hidup orangutan berasal dari fakta bahwa mereka hanya berkembang biak rata-rata setiap delapan tahun sekali. Ibu dan anak-anak mereka membentuk salah satu ikatan terdekat yang diyakini ada di alam.

“Mereka adalah hewan yang sangat keren,” kata Sanchez. “Sama seperti manusia … Tapi jauh lebih baik.”

Nasib ketiga spesies orangutan adalah salah satu yang secara definitif telah menangkap imajinasi publik internasional dan membantu membalikkan arus terhadap perkebunan monokultur dan deforestasi di belakangnya. Minyak kelapa sawit telah mencapai persepsi publik nadir ditempati oleh rokok, minyak, dan plastik sekali pakai. Perusahaan sekarang berusaha untuk mengurangi penggunaannya, dan LSM asing yang menawarkan dukungan dan keahlian berlimpah.

“Sepuluh atau lima belas tahun yang lalu, perusahaan-perusahaan besar kelapa sawit benar-benar tidak peduli bagaimana mereka berperilaku dan tidak menghargai pekerjaan kita,” kenang Sanchez. “Mereka hanya akan menebangi hutan.

“Saya pikir banyak hal telah berubah di tanah sebagian karena tekanan dari Barat dan semua kampanye dan semua kebisingan dan media. Saat ini saya menemukan bahwa mereka ingin mendengarkan kami, jadi kami mencoba dan melatih pekerja di perkebunan ini tentang risiko dan cara meredakan konflik dengan orangutan. ”

“Sayangnya, masih ada beberapa orang yang melihat orangutan sebagai hama,” kata Hadisiswoyo. “Tapi saya pikir sekarang ada lebih banyak kesadaran dan bahwa orangutan dipandang sebagai kepentingan nasional.”

Dia percaya ada kemauan politik untuk melindungi hewan-hewan dan mengendalikan deforestasi. Tetapi tantangan utamanya adalah menyebarluaskannya ke manajemen yang efisien dan meminta sumber daya di tingkat lokal. Kedua konservasionis mengatakan tim mereka jarang bertemu orang-orang yang bermaksud melukai kera, tetapi contoh-contoh hewan yang secara eksplisit dan jelas-jelas dirugikan masih berlimpah.

Kasus kekerasan terhadap orangutan yang paling terkenal baru-baru ini adalah seekor Orangutan betina diselamatkan dari kematian dekat awal tahun ini. Kera ini dinamai “Hope” oleh dokter hewan yang menemukannya, telah ditembak berulang kali oleh penduduk desa di Aceh, Sumatra menggunakan senapan angin. Hope mengalami buta, mengalami laserasi yang dalam pada tubuhnya, patah tulang, dan 24 peluru bersarang di tubuhnya.

Hope sekarang sedang dirawat di pusat rehabilitasi, di mana dia akan tinggal dalam jangka waktu. Bayinya yang berusia berbulan-bulan telah diambil darinya.

Meskipun jarang daripada biasanya, risiko bayi orangutan diambil untuk perdagangan hewan peliharaan atau diperdagangkan masih ada. Betina cenderung tetap di bagian hutan tempat mereka dilahirkan, tidak seperti jantan yang bisa menjelajah jauh melalui kanopi. Karena alasan itu, para konservasionis sering menjumpai lebih banyak pejantan daripada betina. Namun, juga mengapa pejantan lebih rentan terhadap perambahan manusia.

Kelompok Sanchez hanya melakukan operasi jika hewan itu terluka parah atau jika upaya untuk mempertahankannya di alam liar tidak berhasil. Seorang dokter hewan terlatih selalu hadir bersama dengan personel yang cukup membawa peralatan dan membantu mengangkut hewan yang dibius. Jika ada konflik lokal, petugas outreach dari unit konflik manusia akan membantu menyelesikan masalah.

Mengingat orangutan menghabiskan begitu banyak waktu di pohon, mereka sering perlu dibujuk hingga serendah mungkin untuk dibius. Di Borneo, IAR kadang-kadang akan langsung melepaskan kembali seekor hewan, daripada membawanya ke pusatnya, asalkan otorisasi yang tepat telah diberikan.

Pemantauan orangutan dapat dilakukan secara efektif karena ada “hotspot konflik” yang sering di dekat taman nasional di Sumatra dan Kalimantan di mana pertemuan sering terjadi. Penjangkauan lokal berarti mudah bagi petani atau penduduk desa yang peduli untuk mendekati salah satu organisasi.

“Jujur saja, proses penyelamatan yang sebenarnya tidak terlalu menantang bagi kami,” kata Hadisiswoyo. “Yang menantang adalah kita harus menghadiri situasi di mana orangutan telah terluka atau dianiaya. Dengan semua pekerjaan konservasi dan pendidikan yang kita lakukan, bagaimana mungkin mereka tertembak. Kami terkadang bertanya pada diri sendiri, apakah kami mengecewakan orangutan? ”

LSM yang beroperasi di Indonesia harus selalu memetakan arah antara membuat perbedaan di lapangan dan hidup dengan realitas politik. Berasal dari negara Basque di Spanyol, Sanchez seperti banyak konservasionis internasional, telah jatuh cinta dengan Indonesia dan margasatwa sejak tiba pada tahun 2003. Tetapi dia dengan mudah mengakui bahwa pekerjaan dapat menjadi sumber frustrasi.

“Sangat menyedihkan melihat kami melakukan ini, tetapi di sisi lain, kami menyelamatkan hewan dari situasi yang mengerikan dan membuat mereka bahagia lagi,” katanya.

Hadisiswoyo melangkah lebih jauh, “Ini bukan pekerjaan yang baik. Tidak mengasyikkan, Anda melihat masalah ini setiap hari dan situasi orangutan yang putus asa. Terkadang saya merasa putus asa dan tidak berdaya dan mempertanyakan apakah saya benar-benar dapat membantu mereka … Tapi Anda tahu saya suka orangutan; Saya suka hutan dan saya ingin membuat perbedaan. ” []

Sumber: earther.gizmodo.com

read more
Kebijakan Lingkungan

Pelestarian Sumber Daya Air Tidak Boleh Sektoral

Banda Aceh – Direktorat Jenderal Sumber Daya Air, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, melalui Balai Wilayah Sungai (BWS) Sumatera I, Senin (16/12/2019), menyelenggarakan kegiatan Penguatan Kapasitas Kelembagaan Gerakan Nasional Kemitraan Penyelamatan Air (GNKPA), bertempat di Hotel Oasis, Banda Aceh.

Kegiatan yang mengangkat tema peningkatan peran serta kemitraan penyelamatan air dalam mendukung pembangunan negeri untuk Indonesia maju tersebut dibuka oleh Sekretaris Daerah Aceh, yang diwakili oleh staf ahli Gubernur Aceh Bidang Keistimewaan, Hubungan Kerjasama dan Sumber Daya Manusia, Darmansyah, S.Pd, MM.

TM Zulfikar, Anggota Dewan Sumber Daya Air Aceh sekaligus moderator pada kegiatan tersebut mengatakan bahwa dalam pertemuan dan diskusi yang berkembang dapat disampaikan bahwa upaya pelestarian sumber daya air tidak dapat dikerjakan secara sektoral. Sebagaimana ekosistem alam yang merupakan kesatuan utuh menyeluruh dan saling mempengaruhi dalam membentuk keseimbangan, diperlukan pendekatan holistik dan kerjasama antara seluruh pihak dalam mengelola dan melestarikan sumber daya air.

Gerakan Nasional Kemitraan Penyelamatan Air (GN-KPA) yang pertama kali dicanangkan di Istana Negara pada tahun 2005, setidaknya melibatkan delapan Kementerian. Kedelapan kementerian tersebut adalah Kementerian PUPR, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Pertanian, Kementerian BUMN, Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi.

Revitalisasi GN-KPA bertujuan untuk mengembalikan keseimbangan siklus hidrologi pada Daerah Aliran Sungai (DAS) untuk mencapai keandalan sumber-sumber air baik dari segi kualitas, kuantitas maupun kontinuitas.

Undang-undang No. 17 tahun 2019 tentang Sumber Daya Air (SDA) menyebutkan bahwa SDA dikelola secara menyeluruh, terpadu dan berwawasan lingkungan, dengan tujuan mewujudkan kemanfaatan SDA yang berkelanjutan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.
Oleh karena itu dalam upaya merencanakan pembangunan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, salah satu hal penting adalah bagaimana mengelola daerah aliran sungai (DAS) menjadi baik. Untuk penguatan kapasitas kelembagaan pengelola sumber daya air juga diharapkan bisa lebih ditingkatkan.

TM Zulfikar menjelaskan bahwa kegiatan tersebut menghadirkan tiga orang pemateri yaitu Dr. Royadi, SH, MM, dari Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah (Bangda) Kementerian Dalam Negeri RI, yang mengangkat tema tentang kebijakan pemerintah sebagai kemitraan penyelamatan air dalam mendukung pembangunan nasional. Lalu Ir. Andy Supriyatna, dari Direktorat Bina OP, Direktorat Jenderal Sumber Daya Air, Kementerian PUPR yang menyampaikan materi tentang peran komunitas dalam GNKPA, dan Ir. Sumudi Kartono, Sp1, Sekretaris Sekretariat GNKPA Kementerian PUPR yang menyampaikan materi terkait evaluasi kegiatan GNKPA tahun 2015-2019 dan rencana program GNKPA tahun 2020-2024.

Pertemuan yang dihadiri oleh berbagai kalangan mulai dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Aceh, Akademisi, LSM, Mahasiswa dan perwakilan Komunitas Peduli Sungai tersebut mengharapkan agar ke depan kegiatan GNKPA harus lebih ditingkatkan lagi, terutama di Aceh. Berbagai langkah dan kegiatan yang tetap dilanjutkan antara lain kegiatan sosialisasi GNKPA di seluruhnyah wilayah Kabupaten/Kota di Aceh. Lalu diharapkan dapat menyusun, mengimplementasikan, mengendalikan dan memonitor tindak nyata dari program GNKPA, serta mampu melaksanakan berbagai program yang dapat memastikan upaya penyelamatan sumber daya air baik di wilayah hulu hingga ke hilir. Dengan demikian berbagai permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan SDA di Aceh lambat laun dapat ditangani. []

read more
Green Style

Masyarakat Aceh Perlu Dukung Program Katana

Banda Aceh – Masyarakat Aceh secara luas perlu mendukung program keluarga tangguh bencana (Katana) yang telah diluncurkan oleh Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Letjen (TNI) Doni Monardo di Pasie Jantang, Kecamatan Lhoong, Kabupaten Aceh Besar.

Sebagaimana diketahui bahwa dalam rangka membangun mitigasi kebencanaan kepada seluruh keluarga di Indonesia, BNPB telah meluncurkan Program Nasional Keluarga Tangguh Bencana di Pasie Jantang, Aceh Besar, yang dirangkai pada kegiatan jambore atau kemah bersama sejak tanggal 6 hingga 8 Desember 2019.

Demikian disampaikan oleh TM Zulfikar, Penasehat Khusus Gubernur Aceh Bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang juga Wakil Ketua Forum Pengurangan Risiko Bencana (Forum PRB) Aceh, (Minggu 8/12/2019).

Penerapan Program Keluarga Tangguh Bencana (Katana) sangat penting, terutama di Aceh yang merupakan salah satu daerah rawan bencana di Indonesia, guna meningkatkan pemahaman dan kesiapsiagaan masyarakat menghadapi bencana. Hampir semua potensi bencana ada di Aceh, oleh karena itu semua pihak harusnya telah memiliki kesadaran terkait upaya pengurangan risiko bencana (PRB) terutama dimulai dari tingkat keluarga.

Katana ini merupakan sebuah unit terkecil dari sebuah upaya dalam penanggulangan bencana dan pengurangan risikonya. Dalam konteks bencana, keluarga menjadi fokus inti dan diharapkan dalam upaya peningkatan ketangguhan bencana dan ketahanan terhadap bencana, konsepsi katana menjadi penting dan dapat dikembangkan serta diterapkan sebagai proses yang terus menerus.

Berbagai akar persoalan dilapangan yang sering ditemukan adalah kapasitas terkait pemahaman dan kesiapsiagaan menghadapi bencana yang masih perlu ditingkatkan. Jika masalah-masalah tersebut teratasi, korban menjadi kecil. Sehingga kunci Katana adalah adanya kemitraan antarlintas sektor, karena program ini bukan milik BNPB tetapi program bersama, baik di pemerintahan maupun pemangku kepentingan lainnya.

Dalam berbagai pertemuan yang dilakukan bersama BNPB, telah dijelaskan bahwa ada tiga tahapan dalam Katana, yaitu sadar risiko bencana, mengetahui dan sadar akan risiko bencana di lingkungannya, pengetahuan agar masyarakat mengetahui dan memperkuat struktur bangunan paham manajemen bencana, edukasi bencana dan terakhir berdaya atau mampu menyelamatkan diri sendiri keluarga dan tetangga. Jadi keluarga memiliki peran penting dalam pengurangan risiko bencana karena keluarga adalah struktur masyarakat terkecil pertama yang memberikan sosialisasi kepada setiap anggotanya. Sebuah keluarga dapat memberikan sosialisasi pendidikan bencana sejak dini terutama kepada anak-anak dan remaja.

Oleh karena itu program Katana yang telah diluncurkan oleh BNPB merupakan salah satu solusi dalam mengedukasi masyarakat khususnya keluarga terkait ancaman-ancaman bencana yang setiap saat bisa saja terjadi. Untuk itu dukungan semua pihak menjadi sesuatu yang mutlak dibutuhkan. (*)

read more
Flora Fauna

Bersatu dalam Kearifan Lokal Untuk Melindungi Orangutan Tapanuli

Deli Serdang – Orangutan Tapanuli jantan, Paya, berusia 40 tahun, telah menghabiskan hampir dua bulan untuk rehabilitasi malnutrisi serta cedera pada wajah dan punggungnya di pusat karantina Orangutan Batu Mbelin di Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara.

Paya adalah satu-satunya orangutan Tapanuli di antara 56 orangutan Sumatra di pusat yang dikelola oleh Yayasan Ekosistem Lestari (YEL), sebuah organisasi nirlaba pelestarian lingkungan. Paya merupakan kasus malnutrisi pertama yang tercatat pada orangutan Tapanuli. Dia akan menghabiskan sisa hidupnya di penangkaran meskipun kondisinya membaik, karena dia dianggap terlalu tua untuk bertahan hidup di alam liar.

Sebuah tim dari Pusat Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) menemukan Paya menderita kekurangan gizi dan beberapa cedera pada September di sebuah perkebunan di luar Ekosistem Batang Toru.

Spesies kera besar, Pongo Tapanuliensies diperkirakan memiliki populasi hanya 800 hewan di alam liar. Mereka hanya ditemukan di Ekosistem Batang Toru, hutan perawan yang meliputi 133.841 hektar di tiga kabupaten Sumatera Utara, Tapanuli Selatan, Tapanuli Utara, dan Tapanuli Tengah.

Orang-orang yang tinggal di sekitar Batang Toru berkomitmen untuk melindungi spesies orangutan yang baru ditemukan ini dengan mengandalkan kearifan lokal.

Koesnadi Wirasaputera, seorang aktivis pemberdayaan masyarakat di Sipirok, Tapanuli Selatan, mengatakan bahwa menggunakan kearifan lokal dalam pendekatan masyarakat terhadap konservasi dan perlindungan lingkungan telah bekerja sejauh ini di daerah tersebut, termasuk habitat alami orangutan Tapanuli.

Dia menambahkan bahwa masyarakat Sipirok telah menerapkan kearifan lokal untuk melindungi orangutan selama beberapa generasi sejak abad ke-18.

Menurut Koesnadi, orang-orang di desa Haonatas, Tanjung Rompa, Bonan Dolok dan Siranap di sekitar Batang Toru percaya bahwa orangutan yang mengganggu akan membahayakan desa mereka.

“Orang-orang di desa-desa ini menganggap orangutan sebagai hewan suci yang dapat membahayakan pemukiman mereka jika diganggu,” katanya kepada The Jakarta Post saat wawancara baru-baru ini.

Koesnadi, yang melatih 30 warga dari sembilan desa sebagai sukarelawan konservasi, juga mencatat bahwa menurut mitos nenek moyang, orangutan dipandang sebagai “bagian dari keluarga yang tinggal bersama” di kawasan hutan yang sama.

Penduduk desa dengan demikian tidak merasakan permusuhan terhadap orangutan, dan hanya akan mengusir hewan itu jika mereka memakan buah dari pohon durian mereka. Bentuk kontak manusia-orangutan ini masih terjadi di dusun Sitandiang, Aek Batang Paya dan Marancar Godang.

Sementara itu, Firman Taufick, direktur komunikasi dan urusan eksternal PT North Sumatra Hydro Energy (NSHE), menyatakan penghargaannya kepada masyarakat setempat dalam menerapkan kearifan adat mereka untuk melindungi orangutan Tapanuli.

Firman mengatakan bahwa NSHE dan pemerintah telah menyediakan berbagai program pelatihan berdasarkan kearifan lokal untuk mengembangkan kelompok relawan konservasi di Tapanuli Selatan. Program telah berjalan selama beberapa bulan, dan dimaksudkan untuk melindungi orangutan dan hewan lainnya di Ekosistem Batang Toru.

“Kami berharap masyarakat lokal akan memiliki pengetahuan dan keterampilan yang cukup untuk berkontribusi dalam memastikan kelangsungan hidup orangutan Tapanuli di Batang Toru,” katanya.

Penasihat senior NSHE untuk lingkungan dan keberlanjutan Agus Djoko Ismanto mengatakan bahwa PLTA Batang Toru telah menerapkan langkah-langkah untuk mengurangi dampak lingkungan yang potensial dari pengembangan proyek.

Agus mengatakan bahwa langkah-langkah ini termasuk penilaian dampak lingkungan dan sosial (ESIA) sebagai referensi untuk menerapkan Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati PLTA, sebuah program perlindungan lingkungan dan konservasi.

Dia menambahkan bahwa Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati dikembangkan dan ditempatkan di bawah pengawasan BKSDA bekerja sama dengan PLTA Batang Toru dan LSM lokal sebelum tanah diperoleh untuk pabrik.

“Kami memantau keberadaan spesies hewan sebelum kami mulai menebang pohon. Sawah dilindungi juga untuk mencegah kerusakan selama pembangunan PLTA Batang Toru, ”kata Agus.

Kepala peneliti Wanda Kuswanda di Pusat Penelitian dan Pengembangan Lingkungan dan Hutan Aek Nauli (BP2LHK) mengatakan bahwa selama 15 tahun penelitiannya tentang Ekosistem Batang Toru, ia menemukan bahwa pengembangan PLTA Batang Toru tidak mengganggu populasi orangutan Tapanuli.

Wanda mengatakan bahwa lokasi PLTA Batang Toru hanya mencakup 122 ha dibandingkan dengan 130.000 ha habitat orangutan di Ekosistem Batang Toru. Selain itu, situs tersebut tidak melanggar batas habitat orangutan.

Sumber: www.thejakartapost.com

read more
Green Style

Tujuh Rekomendasi Perspektif Masyarakat Adat untuk Konservasi Keanekaragaman Hayati

Ketika berbicara tentang konservasi, manusia berpikir bahwa sains adalah satu-satunya panduan untuk kebijakan yang baik. Tetapi keanekaragaman hayati terkait dengan budaya, hasil sebuah studi baru tentang konservasi penyerbuk yang baru-baru ini diterbitkan di Nature Sustainability. Jadi manusia harus merangkul keanekaragaman sistem pengetahuan, mengakui ilmu akademis dan praktik budaya tradisional.

“Pengetahuan masyarakat adat dan komunitas lokal benar-benar didasarkan pada bukti yang dikumpulkan selama berabad-abad,” kata Rosemary Hill, penulis utama studi ini dan seorang ilmuwan peneliti utama CSIRO, lembaga penelitian sains nasional Australia.

Makalah – yang dibangun di atas Platform Kebijakan-Ilmu Antar Pemerintah tentang Layanan Keanekaragaman Hayati dan Ekosistem (IPBES) – mengeksplorasi bagaimana masyarakat adat dan lokal di seluruh dunia mendekati konservasi penyerbuk seperti lebah, burung, dan kelelawar. Peneliti akademik meninjau tulisan akademis dan komunitas tentang pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan penyerbuk, sementara masyarakat adat dan lokal yang berpartisipasi mengadakan dialog di komunitas mereka untuk memutuskan bagian mana dari praktik budaya mereka untuk dibagikan.

Hasilnya adalah daftar tujuh rekomendasi kebijakan untuk melindungi penyerbuk dan menghormati praktik-praktik masyarakat yang berakar dalam yang dapat diterapkan, tidak hanya untuk konservasi penyerbuk, tetapi untuk masalah konservasi secara lebih luas:

  1. Butuh persetujuan berdasarkan informasi dari masyarakat adat dan komunitas lokal untuk inisiatif konservasi dan pembangunan. Sebagai contoh, para peneliti menunjuk pada Undang-Undang Hak Asasi Hutan India, yang mereka katakan telah memastikan akses hutan bagi pemburu madu asli, sehingga membantu mempertahankan pengetahuan masyarakat adat tentang konservasi lebah.
  2. Mendukung praktik pengelolaan lahan adat. Mengizinkan masyarakat adat untuk mengelola tanah sesuai dengan praktik mereka sendiri dapat memperkuat praktik tradisional yang membantu konservasi.
  3. Dukung daerah yang dilestarikan oleh masyarakat adat dan komunitas. Ekosistem ini secara sukarela dilestarikan oleh masyarakat adat dan komunitas lokal dengan fokus pada praktik dan kebiasaan tradisional.
  4. Menyatukan berbagai bentuk pengetahuan. Upaya-upaya untuk memantau populasi penyerbuk, misalnya, harus mempertimbangkan metrik lokal asli serta cara sains melacak tren, karena orang-orang berhubungan dengan lingkungan mereka dengan cara yang berbeda.
  5. Promosikan daftar situs warisan. Organisasi internasional seperti Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) mendokumentasikan warisan budaya dan alam di seluruh dunia, dan kesadaran bahwa daftar warisan budaya membawa ke landmark, area, dan praktik budaya dapat membantu konservasi. Daftar Warisan Budaya Takbenda UNESCO, misalnya, mendaftar pengetahuan tradisional orang Totonac, sebuah kelompok masyarakat adat di Meksiko. Agroforestri Totonac melindungi habitat penyerbuk dan peternakan lebah yang tidak menyengat.
  6. Memelihara perlebahan yang ramah lingkungan. Dengan dukungan dari pemerintah, praktik perlebahan lebah tradisional dapat mempertahankan mata pencaharian masyarakat.
  7. Jaga Kedaulatan pangan. Kedaulatan pangan mendorong kembali pertanian industri demi pertanian lokal dan pendekatan agroekologi. Para peneliti mengatakan ini membantu menjaga lanskap bervariasi dan membatasi penggunaan agrokimia.

Pasang Dolma Sherpa, direktur eksekutif Pusat Penelitian dan Pengembangan Masyarakat Adat (CIPRED), memuji tujuh proposal tersebut. Namun, dia juga berpendapat bahwa kebijakan saja tidak cukup. Dia mengatakan sangat penting bahwa masyarakat adat terus menumbuhkan kebanggaan dalam praktik tradisional mereka, khususnya di kalangan generasi muda, dan mengarahkan skeptisisme terhadap pertanian industri yang melibatkan pupuk kimia, benih hibrida, dan teknologi baru.

Baik Sherpa dan makalah tersebut menunjukkan pentingnya bahasa asli dalam mempertahankan pengetahuan dan strategi konservasi tradisional. Pemerintah telah menekan bahasa asli di Nepal, Amerika Serikat dan di tempat lain di seluruh dunia.

“Sebagai penduduk asli, seruan saya adalah [bahwa] sangat, sangat penting untuk mendidik diri kita sendiri tentang nilai-nilai yang telah kita sumbangkan” untuk konservasi, kata Sherpa, “dan juga untuk mendidik para pembuat kebijakan … tentang apa yang telah kami terapkan pada tanah.”

Sumber: ensia.com

read more
Hutan

Mengapa Kampanye Rawa Tripa Berhasil? (3)

Bagian terakhir dari tulisan “Dapatkah Kampanye Menyelamatkan Hutan? Refleksi Kritis Kampanye Rawa Tripa, Aceh, Indonesia”

Tim pencari fakta bentukan Gubernur Aceh mengunjungi kantor operasional PT. Kallista Alam dan bertemu manajer operasi perusahaan, menyatakan dalam laporan mereka bahwa kebakaran hutan tidak disengaja dan perusahaan melakukan segala daya untuk merespons dengan memadamkan api. Tapi tim ini tanpa benar-benar mengunjungi daerah yang disengketakan atau berusaha untuk memverifikasi lebih lanjut klaim ini. Ketika ditanya tentang kepatuhan hukum dan operasional perusahaan, para birokrat dari Dishutbun Provinsi Aceh mengklaim perusahaan “selalu komunikatif dan patuh, dan kadang-kadang Juragan (pendukung PT Kallista Alam-red) sendirilah yang akan berkomunikasi dengan kami”.

Lebih lanjut, selama kunjungan perusahaan, salah satu birokrat di BP2T mengatakan kepada Farwiza bahwa ia akan menyarankan gubernur untuk tidak mencabut izin, dengan mengatakan: “(Dia) tidak boleh ceroboh dalam mencabut izin perusahaan, dia bisa menghadapi gugatan administratif yang akan menjadi awal mengerikan untuk masa jabatannya. Dia harus melakukan penyelidikan sendiri melalui tim birokratnya sendiri, dan tidak mendengarkan ‘perintah’ dari Dr. Kuntoro, Kepala UKP4 di Jakarta ”.

Mengetahui sepenuhnya bahwa posisi birokrat lokal melemah, koalisi dengan cepat mengambil kesempatan untuk menyerang balik. Sejumlah laporan “palsu” dari tim pencari fakta gubernur dibocorkan ke publik oleh anggota koalisi advokasi. Pada gilirannya, koalisi memanfaatkan laporan palsu ini untuk menggalang dukungan publik termasuk masyarakat lokal di Tripa. Puluhan demonstrasi, diskusi publik, dan seminar diadakan, beberapa melibatkan anggota Partai Aceh yang simpatik dengan perjuangan Rawa Tripa.

Anggota Partai Aceh ini membantu mengadakan pertemuan antara koalisi dan gubernur Aceh yang baru terpilih yang dihadiri oleh perwakilan koalisi bersama dengan beberapa anggota komunitas lokal Tripa, gubernur dan kepala BP2T. Pertemuan sempat memanas, Kepala BP2T mengatakan kepada gubernur bahwa “tidak ada masyarakat yang tinggal di konsesi PT. Kallista Alam ”. Sekali lagi, koalisi dengan cepat memanfaatkan ini, dan membantu anggota masyarakat lokal yang marah melaporkan Kepala BP2T kepada polisi menuduhnya menyebarkan informasi palsu, yang akhirnya menyebabkan pemecatannya oleh gubernur.

Peran aktif UKP4 dan satuan tugas REDD + semakin meningkatkan skala menuju koalisi konservasi Tripa. Pengumuman kemenangan hukum atas gugatan kasus administrasi yang dilakukan oleh WALHI terhadap izin PT. Kalista Alam, bertepatan dengan kunjungan yang dijadwalkan oleh delegasi tingkat tinggi dari Satuan Tugas REDD + dan UKP4 ke Tripa. Setibanya mereka di distrik Nagan Raya, para delegasi disambut oleh Bupati Nagan Raya (yang menyetujui izin lokasi untuk PT. Kallista Alam), Juragan, dan lainnya. Meskipun putusan pengadilan membatalkan PT. Izin Kallista Alam sudah menjadi pengetahuan umum saat itu, namun belum dilaksanakan. Selama kunjungan, wakil kepala UKP4 tentang reformasi hukum dan penegakan hukum menegaskan kembali posisi mereka dan mendorong para pembuat keputusan lokal untuk melindungi dan memulihkan rawa gambut Tripa dan untuk mengimplementasikan keputusan pengadilan dengan mencabut izin PT. Kallista Alam.

Juragan, mendengarkan pernyataan dari pejabat tinggi dari pemerintah pusat, dengan cepat mengatur kembali posisinya di PT. Kallista Alam. Meskipun perannya di masa lalu sebagai kepala “pelobi dan advokat” PT Kallista Alam, dia sekarang menyadari perlunya menjauhkan diri dari perusahaan, mengklaim bahwa untuk waktu yang lama dia telah menasihati Bupati dan Gubernur untuk tidak menyetujui izin untuk PT. Kallista Alam karena konflik pada klaim tanah antara perusahaan dan masyarakat setempat. Juragan setuju bahwa lebih baik jika izin perusahaan dicabut.

Dia bahkan melangkah lebih jauh dengan mengklaim bahwa perusahaan itu tidak memenuhi kewajiban kepatuhan pajaknya dan bahwa kehadirannya di daerah itu selama beberapa dekade tidak membawa perkembangan positif ke kabupaten Nagan Raya. Perlahan, saat sorotan semakin terang, PT. Kallista Alam mulai kehilangan pelanggan dan sekutunya di pemerintah kabupaten dan provinsi. Pergeseran koalisi ini disebut “meninggalkan kapal yang tenggelam” mungkin akan menjadi ungkapan yang tepat di sini.

Ketiga, keberhasilan koalisi juga dapat dikaitkan dengan adaptasi strategi hukum baru dan kombinasi tekanan politik dengan pengawasan ekstensif untuk peradilan. Mengetahui sepenuhnya bahwa sebagian besar keberhasilan kampanye bergantung pada keberhasilan di ruang sidang, Koalisi Tripa sangat menyadari bahwa selain kampanye publik langsung yang terorganisir, mereka juga perlu memastikan bahwa kasus-kasus hukum perdata dan pidana yang akan datang memiliki kesempatan terbaik untuk pengadilan yang adil. Oleh karena itu, bersamaan dengan pekerjaan kampanye dan lobi yang terjadi di Aceh, gugus tugas REDD + dan UKP4 bekerja sama dengan Mahkamah Agung untuk memastikan bahwa para hakim dan pengacara yang akan menangani kasus kebakaran hutan, didorong oleh Kementerian Lingkungan Hidup menerima pelatihan yang sesuai dan sertifikasi penanganan kasus lingkungan.

Hakim yang menangani kasus PT. Kallista Alam relatif tidak dikenal oleh masyarakat sipil, karena tidak ada informasi yang dapat diakses publik tentang para hakim dan rekam jejak mereka. Koalisi merasa bahwa, risiko suap dan intimidasi terhadap para hakim sangat tinggi. Karena alasan ini selama berbulan-bulan, kasus-kasus pengadilan yang sedang berlangsung terus mendapat perhatian konstan dari para aktivis koalisi dan media sebagai alat akuntabilitas publik. Hampir setiap persidangan menghasilkan banyak artikel di surat kabar regional dan nasional setempat dan dari waktu ke waktu pejabat dari Komisi Yudisial juga menghadiri persidangan.

Ada perasaan pengawasan selama seluruh proses dan pengacara untuk kasus ini dapat merasakan hal ini, memperingatkan para hakim “jika Anda ingin korupsi dan menerima suap, jangan lakukan dalam kasus ini, terlalu banyak orang yang menonton”. Keberhasilan gugatan hukum kampanye advokasi juga dapat dilihat sebagai keberhasilan koalisi untuk mempelajari pelajaran baru dalam subsistem kebijakan. Dalam hal ini, ia dapat memanfaatkan mekanisme baru di bawah REDD +, yang dalam hal ini menggunakan peraturan PIPPIB untuk memperkuat upaya hukum mereka. Diluncurkan pada Mei 2011 sebagai bagian dari inisiatif reformasi luas untuk mencapai read kesiapan REDD +, PIPPIB menetapkan moratorium izin baru di hutan primer dan lahan gambut.

Inisiatif moratorium dimaksudkan untuk memberikan ‘ruang bernapas’ dan waktu, ketika pemerintah mulai mengumpulkan dan merampingkan informasi spasial yang kompleks dan tumpang tindih di seluruh negeri, dengan kata lain, merapikan data penggunaan lahan di seluruh Indonesia. Menyadari kekuatannya, koalisi memusatkan upaya hukum mereka di sekitar peraturan tingkat nasional ini, yang sebagai kasus menyarankan untuk menghasilkan hasil yang menguntungkan.[]

Tulisan ini bagian terakhir dari tiga tulisan. Artikel ini disarikan dari paper ilmiah yang berjudul ” Can campaigns save forests? Critical reflections from the Tripa campaign, Aceh, Indonesia,” ditulis oleh Farwiza Farhan, mahasiswa asal Aceh yang sedang studi S3 di Department of Anthropology and Development Studies, Radboud University Nijmegen, Belanda. Farwiza juga aktif di LSM Hutan, Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA). Farwiza menulis bersama Paul Hoebink dari Centre for International Development Issues Nijmegen, Radboud University, Belanda.

read more
1 2 3 86
Page 1 of 86