close
Flora Fauna

Bersatu dalam Kearifan Lokal Untuk Melindungi Orangutan Tapanuli

Orangutan Tapanuli makan buah durian | Foto: Antaranews Sumut/Kodir/Istimewa

Deli Serdang – Orangutan Tapanuli jantan, Paya, berusia 40 tahun, telah menghabiskan hampir dua bulan untuk rehabilitasi malnutrisi serta cedera pada wajah dan punggungnya di pusat karantina Orangutan Batu Mbelin di Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara.

Paya adalah satu-satunya orangutan Tapanuli di antara 56 orangutan Sumatra di pusat yang dikelola oleh Yayasan Ekosistem Lestari (YEL), sebuah organisasi nirlaba pelestarian lingkungan. Paya merupakan kasus malnutrisi pertama yang tercatat pada orangutan Tapanuli. Dia akan menghabiskan sisa hidupnya di penangkaran meskipun kondisinya membaik, karena dia dianggap terlalu tua untuk bertahan hidup di alam liar.

Sebuah tim dari Pusat Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) menemukan Paya menderita kekurangan gizi dan beberapa cedera pada September di sebuah perkebunan di luar Ekosistem Batang Toru.

Spesies kera besar, Pongo Tapanuliensies diperkirakan memiliki populasi hanya 800 hewan di alam liar. Mereka hanya ditemukan di Ekosistem Batang Toru, hutan perawan yang meliputi 133.841 hektar di tiga kabupaten Sumatera Utara, Tapanuli Selatan, Tapanuli Utara, dan Tapanuli Tengah.

Orang-orang yang tinggal di sekitar Batang Toru berkomitmen untuk melindungi spesies orangutan yang baru ditemukan ini dengan mengandalkan kearifan lokal.

Koesnadi Wirasaputera, seorang aktivis pemberdayaan masyarakat di Sipirok, Tapanuli Selatan, mengatakan bahwa menggunakan kearifan lokal dalam pendekatan masyarakat terhadap konservasi dan perlindungan lingkungan telah bekerja sejauh ini di daerah tersebut, termasuk habitat alami orangutan Tapanuli.

Dia menambahkan bahwa masyarakat Sipirok telah menerapkan kearifan lokal untuk melindungi orangutan selama beberapa generasi sejak abad ke-18.

Menurut Koesnadi, orang-orang di desa Haonatas, Tanjung Rompa, Bonan Dolok dan Siranap di sekitar Batang Toru percaya bahwa orangutan yang mengganggu akan membahayakan desa mereka.

“Orang-orang di desa-desa ini menganggap orangutan sebagai hewan suci yang dapat membahayakan pemukiman mereka jika diganggu,” katanya kepada The Jakarta Post saat wawancara baru-baru ini.

Koesnadi, yang melatih 30 warga dari sembilan desa sebagai sukarelawan konservasi, juga mencatat bahwa menurut mitos nenek moyang, orangutan dipandang sebagai “bagian dari keluarga yang tinggal bersama” di kawasan hutan yang sama.

Penduduk desa dengan demikian tidak merasakan permusuhan terhadap orangutan, dan hanya akan mengusir hewan itu jika mereka memakan buah dari pohon durian mereka. Bentuk kontak manusia-orangutan ini masih terjadi di dusun Sitandiang, Aek Batang Paya dan Marancar Godang.

Sementara itu, Firman Taufick, direktur komunikasi dan urusan eksternal PT North Sumatra Hydro Energy (NSHE), menyatakan penghargaannya kepada masyarakat setempat dalam menerapkan kearifan adat mereka untuk melindungi orangutan Tapanuli.

Firman mengatakan bahwa NSHE dan pemerintah telah menyediakan berbagai program pelatihan berdasarkan kearifan lokal untuk mengembangkan kelompok relawan konservasi di Tapanuli Selatan. Program telah berjalan selama beberapa bulan, dan dimaksudkan untuk melindungi orangutan dan hewan lainnya di Ekosistem Batang Toru.

“Kami berharap masyarakat lokal akan memiliki pengetahuan dan keterampilan yang cukup untuk berkontribusi dalam memastikan kelangsungan hidup orangutan Tapanuli di Batang Toru,” katanya.

Penasihat senior NSHE untuk lingkungan dan keberlanjutan Agus Djoko Ismanto mengatakan bahwa PLTA Batang Toru telah menerapkan langkah-langkah untuk mengurangi dampak lingkungan yang potensial dari pengembangan proyek.

Agus mengatakan bahwa langkah-langkah ini termasuk penilaian dampak lingkungan dan sosial (ESIA) sebagai referensi untuk menerapkan Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati PLTA, sebuah program perlindungan lingkungan dan konservasi.

Dia menambahkan bahwa Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati dikembangkan dan ditempatkan di bawah pengawasan BKSDA bekerja sama dengan PLTA Batang Toru dan LSM lokal sebelum tanah diperoleh untuk pabrik.

“Kami memantau keberadaan spesies hewan sebelum kami mulai menebang pohon. Sawah dilindungi juga untuk mencegah kerusakan selama pembangunan PLTA Batang Toru, ”kata Agus.

Kepala peneliti Wanda Kuswanda di Pusat Penelitian dan Pengembangan Lingkungan dan Hutan Aek Nauli (BP2LHK) mengatakan bahwa selama 15 tahun penelitiannya tentang Ekosistem Batang Toru, ia menemukan bahwa pengembangan PLTA Batang Toru tidak mengganggu populasi orangutan Tapanuli.

Wanda mengatakan bahwa lokasi PLTA Batang Toru hanya mencakup 122 ha dibandingkan dengan 130.000 ha habitat orangutan di Ekosistem Batang Toru. Selain itu, situs tersebut tidak melanggar batas habitat orangutan.

Sumber: www.thejakartapost.com

Tags : orangutan tapanuli

Leave a Response