close

Muhammad Nizar

Kebijakan Lingkungan

Brand Dunia Pasok Minyak Sawit Ilegal dari Suaka Margasatwa Singkil

San Francisco – Rainforest Action Network (RAN) di tahun 2019 ini melakukan investigasi lapangan untuk mengungkap aktivitas perusakan lahan gambut di dalam kawasan Suaka Margasatwa Rawa Singkil yang digerakkan oleh merek-merek makanan ringan dan bank-bank besar dunia. Perusahaan-perusahaan ini telah mengadopsi kebijakan untuk mengakhiri deforestasi dalam rantai pasok mereka bertahun-tahun yang lalu namun masih terus memasok minyak kelapa sawit yang ditanam secara ilegal dari dalam hutan gambut Suaka Margasatwa Rawa Singkil yang dilindungi, bagian dari hutan hujan dataran rendah penting di Kawasan Ekosistem Leuser Sumatra. Minyak sawit ini kemudian digunakan untuk memproduksi makanan ringan yang dijual di seluruh dunia oleh Unilever, Nestlé, PepsiCo, Mondelēz, General Mills, Kellogg’s, Mars dan Hershey.

“Bukti yang dihasilkan dari investigasi kami sangat jelas,” ujar Gemma Tillack, Direktur Kebijakan RAN. “Terlepas dari kenyataan bahwa merek-merek besar ini secara terbuka telah berjanji untuk mengakhiri deforestasi, mereka masih memasok minyak sawit yang bersumber dari perusahaan yang mendorong ekspansi perkebunan kelapa sawit ke dalam salah satu jantung lanskap konservasi prioritas dengan tingkat perlindungan tertinggi untuk mengatasi krisis iklim dan kepunahan satwa liar—hutan gambut dataran rendah di Kawasan Ekosistem Leuser.”

“Pabrik kelapa sawit dalam investigasi ini sama sekali tidak memiliki sistem monitoring dasar untuk memastikan bahwa minyak sawit yang mereka kelola tidak bersumber dari perusakan hutan hujan, seharusnya perusahaan dengan komitmen tanpa deforestasi tidak lagi membeli dari pabrik ini apabila perusahaan memang memiliki itikad baik untuk menerapkan kebijakan yang telah mereka buat,” Gemma menambahkan.

Kelestarian lanskap Singkil-Bengkung di dalam Kawasan Ekosistem Leuser —termasuk Suaka Margasatwa Rawa Singkil, hutan gambut Kluet dan hutan hujan dataran rendah yang menjadi penghubung— penting untuk dunia karena terdiri dari hamparan lahan gambut langka, dalam, dan merupakan salah satu penyerap karbon alami paling berharga dan efektif untuk bumi. Sebaliknya, ketika dikeringkan dan ditebang untuk perkebunan kelapa sawit seperti yang didokumentasikan dalam laporan ini, lahan gambut ini akan berubah menjadi bom karbon yang melepaskan polusi dalam jumlah yang sangat besar ke atmosfer selama bertahun-tahun.

Menjelang negosiasi Perjanjian COP PBB tahun 2015 di Paris, terjadi kebakaran gambut besar di Indonesia, yang didorong oleh ekspansi perkebunan kelapa sawit, apabila dikonversi jumlah polusi karbon yang dikeluarkan ke atmosfer lebih besar

dari gabungan seluruh emisi karbon ekonomi Amerika Serikat. Diperkirakan bahwa emisi karbon dari kebakaran di kedua lahan gambut ini dapat berkontribusi hingga 7% dari total emisi tahunan Indonesia, merongrong kemampuan Indonesia untuk memenuhi komitmennya terhadap Perjanjian Paris.

Daerah hutan hujan basah dataran rendah ini telah dijuluki ‘ibukota orangutan dunia’, karena merupakan rumah bagi populasi dengan kepadatan tertinggi orangutan Sumatra yang terancam punah. Ini termasuk sub-populasi orangutan yang berbeda, beberapa ribu individu menunjukkan struktur sosial dan perilaku menggunakan alat yang unik dibandingkan sejumlah populasi orangutan lainnya. Wilayah Singkil-Bengkung juga merupakan habitat berkembang biak terbaik yang tersisa untuk spesies terancam punah seperti badak, gajah, dan harimau Sumatra.

“Wilayah Singkil-Bengkung dari Kawasan Ekosistem Leuser akan menyajikan kesempatan langka apabila kita kelola dengan benar,” lanjut Gemma. “Area ini masih memiliki habitat luas dan utuh untuk gajah, badak, orangutan, harimau, dan spesies lainnya yang tak terhitung jumlahnya untuk bertahan hidup, tetapi tanpa tindakan nyata oleh perusahaan makanan kecil dan bank-bank besar, harta karun dan penyerap karbon alami yang tak ternilai ini akan hilang ditebang dan dikeringkan.”

RAN menuntut agar merek-merek yang terungkap berkontribusi dalam penghancuran ini berhenti membeli minyak kelapa sawit yang bersumber dari pabrik nakal yang teridentifikasi dalam penyelidikan, sampai pabrik-pabrik tersebut mampu membuat membuat sistem pemantauan, penelusuran, dan memastikan sistem kepatuhan yang transparan agar dapat diverifikasi untuk memastikan mereka hanya menerima kelapa sawit yang benar-benar bertanggung jawab. Selain itu, RAN juga menyerukan kepada perusahaan untuk menempatkan produsen yang melanggar aturan deforestasi dalam daftar larangan membeli, serta meminta bank-bank yang mendanai untuk memperkuat persyaratan pembiayaan bagi kliennya agar berhenti memasok kelapa sawit ilegal dan memperkuat sistem pemantauan dan kepatuhan hingga pemasok pihak ketiga.[rel]

read more
Sains

Teknologi Satelit untuk Melindungi Hutan, Bisakah?

Belum terlalu lama, Sumatra adalah salah satu tempat paling liar di dunia. Dari provinsi paling utara Aceh hingga gunung berapi Krakatau yang terkenal di selatan, pulau tropis Indonesia dulunya merupakan surga ekologis hutan hujan, gunung, rawa gambut, dan rawa lebat yang melindungi ribuan spesies langka dan endemik – harimau Sumatra, Kukang sunda, gajah sumatera, dan beberapa jenis orangutan. Hari ini, Sumatera sering terpampang di poster sebagai gambaran deforestasi. Orangutan lari dari kebakaran hutan, gajah berjuang bertahan hidup dalam fragmen hutan kecil, dan harimau, sekali secara teratur terlihat, bahkan hampir tidak terlihat, jumlahnya sangat rendah. Luas hutan hujan yang rimbun dulu telah berkurang menjadi tunggul pohon dan jalan masuk penebangan, dan tanaman asli telah digantikan oleh barisan kelapa sawit, akasia, dan kayu putih yang tak berujung.

Kehancuran ini adalah hasil dari booming komoditas. Pertama, pohon-pohon itu sendiri yang menjadi komoditas: ditebang dan diekspor ke negara-negara haus kayu seperti Jepang pada 1970-an dan 80-an. Kemudian, sekitar pergantian abad, muncul industri kelapa sawit dan bubur kertas yang meratakan area besar hutan hujan dan lahan gambut – seringkali melalui pembakaran – untuk menanam perkebunan monokultur di atas tanah yang dikeringkan. Saat ini, bekas keindahan alam Sumatera terbatas pada beberapa taman nasional dan sebagian besar tidak dapat diakses, daerah tanpa jalan seperti ekosistem Leuser.

Tidak ada negara yang memainkan peran lebih besar dalam emisi hutan-ke-pertanian ini selain Indonesia, yang menjadi pemimpin dunia dalam hal deforestasi. Negara Indonesia kehilangan 29.000 mil persegi hutan antara tahun 1990 dan 2010, kira-kira sepertiga dari lahan berhutannya.

Namun, mengatasi deforestasi terbukti sangat menantang. Sejauh ini, kebijakan perusahaan, hukum nasional, dan perjanjian internasional semuanya gagal. Dapatkah teknologi – dan khususnya, teknologi satelit – menjadi kunci untuk lebih memahami masalah deforestasi, dan menciptakan mekanisme yang efektif untuk mengatasinya?

Gelombang baru para pendiri start-ups tampaknya berpikir begitu.

“Informasi dasar dari Bumi yang berubah adalah faktor yang dapat ditindaklanjuti tentang perubahan global,” kata Tara O’Shea, manajer program hutan dan penggunaan lahan di Planet, sebuah perusahaan citra satelit Bumi berbasis di San Francisco. “Inilah yang sedang diubah oleh teknologi kami…. Untuk pertama kalinya Anda dapat melihat setiap hutan di seluruh dunia setiap hari, dan pada resolusi di mana Anda dapat membedakan masing-masing pohon. “

Idenya adalah bahwa satelit dan teknologi penginderaan jarak jauh dari Planet dan perusahaan pesaing lainnya, seperti Descartes Labs, Orbital Insights, dan Satellogic, akan menandai era baru transparansi global. Dengan mengumpulkan gambar beresolusi tinggi dari lahan berhutan hampir setiap hari, pemantauan jarak jauh akan memungkinkan kita untuk mengakses data tidak hanya tentang kebakaran dan kehilangan hutan dalam waktu yang hampir bersamaan, tetapi mungkin pada akhirnya untuk melacak, truk-per-truk, penebangan dan pasokan pertanian rantai. Pembeli akhir akan tahu persis dari mana sumber pulp, minyak kelapa sawit, atau kayu mereka berasal, dan dapat menggunakan informasi itu untuk menginformasikan keputusan pembelian. Dan perusahaan dapat melacak dan melaporkan tujuan keberlanjutan mereka.

Tetapi jika satelit adalah kunci untuk berubah, mengapa deforestasi masih merajalela? Teknologi ada di sini. Satelit pertama Planet naik pada tahun 2016 – sejak itu, perusahaan telah meluncurkan sekitar 350 satelit ke ruang angkasa, 140 di antaranya saat ini sedang beroperasi. Satellogic telah meluncurkan satelit yang lebih canggih – resolusi lebih tinggi, frekuensi lebih tinggi, dan analisis data real time yang lebih cepat – sejak 2014. Pada tahun yang sama, The World Resources Institute (WRI), sebuah think tank yang berbasis di Washington DC, meluncurkan platformnya Global Forest Watch (GFW), yang menggabungkan informasi dari beberapa set data dan satelit untuk memantau deforestasi di seluruh dunia. User diberdayakan dengan lebih banyak informasi daripada sebelumnya tentang bagaimana, di mana, dan mengapa hutan menghilang. Namun GFW sendiri menunjukkan bahwa deforestasi terus meningkat.

Jelas, faktor ekonomi merupakan pendorong utama lenyapnya hutan.

“Hutan menyediakan semua layanan berharga ini, tetapi setiap insentif ekonomi cuma membersihkannya,” kata O’Shea. “Apakah pendorong itu adalah kedelai, kelapa sawit, atau ternak, umumnya ada beberapa penggunaan lahan yang menguntungkan secara ekonomi lainnya.”

Banyak dari klien satelit perusahaan start-ups ini, pada kenyataannya, mereka yang secara langsung bertanggung jawab atas deforestasi. Misalnya, Descartes membantu perusahaan memantau pasokan gas alam global dengan lebih baik dengan memungkinkan penilaian real time produksi dan transportasi. Sementara itu, Orbital Insight menyediakan data bagi perusahaan minyak untuk mengelola kilang lebih baik dan memonitor rantai pasokan minyak bumi. Perusahaan-perusahaan ini mengikuti pasar, memungkinkan data yang lebih efisien untuk ekonomi yang mengeksploitasi lingkungan.

Masalah lain adalah tidak adanya mekanisme penegakan hukum yang kuat di lapangan, dan kurangnya sumber daya – dan kadang-kadang, keinginan – untuk menegakkan hukum dan peraturan anti-deforestasi.

“Hal-hal terbesar yang kami temukan, sementara ada cara kami dapat meningkatkan data, adalah tantangan kelembagaan dari sulitnya mencapai kawasan hutan, tata kelola, dan korupsi, semuanya adalah masalah yang sangat besar, ”Kata Mikaela Weisse, manajer platform Global Forest Watch. “Teknologi tidak cukup berdiri sendiri. Kami membutuhkan perbaikan di sekitar semua faktor lain agar teknologi menjadi efektif. “

Ini menjadi jelas ketika melihat negara-negara seperti Indonesia yang telah mulai membuat kemajuan dalam menghentikan deforestasi. Sementara platform seperti GFW dan alat pemetaan penginderaan jauh telah memainkan peran, perubahan kuncinya bukanlah teknologi, tetapi tata kelola. Sejak peristiwa kebakaran yang mengerikan pada tahun 2015, yang terutama didorong oleh pengeringan lahan gambut dan rawa untuk perkebunan kertas dan kelapa sawit, Presiden Joko Widodo telah mengambil beberapa langkah kuat untuk mengurangi risiko kebakaran. Mereka telah membentuk Badan Restorasi Lahan Gambut, dengan mandat untuk memulihkan 2 juta hektar lahan gambut terdegradasi di seluruh negeri, memperpanjang dan pada akhirnya menjadikan moratorium deforestasi yang pertama kali diberlakukan pada tahun 2011, dan bahkan telah membawa kasus hukum terhadap perusahaan yang bertanggung jawab atas kebakaran di tanah mereka. Menurut GFW, hilangnya hutan primer di Indonesia turun 60 persen pada tahun 2017.

Sisi lain dapat dilihat di negara yang, belum lama ini, dianggap sebagai model global untuk pengelolaan hutan. Antara tahun 2000 dan 2010, Brasil membuat kemajuan besar sehubungan dengan membendung deforestasi di lembah Amazon, didorong oleh kebijakan di bawah Presiden Luiz Inácio Lula da Silva yang memperkuat kemampuan lembaga-lembaga penegak hukum untuk memberantas pembalakan liar dan memberi masyarakat adat kontrol yang lebih besar atas hutan mereka. tanah.

Ini berubah dengan cepat sejak Presiden sayap kanan Jair Bolsonaro mulai menjabat pada Januari. Dalam waktu kurang dari satu tahun, Bolsonaro telah memusnahkan kemampuan lembaga lingkungan untuk menegakkan hukum, dan telah mendorong para petani kedelai dan sapi untuk berekspansi di lembah Amazon dan bahkan merebut tanah dari masyarakat adat. Data satelit menunjukkan peningkatan besar-besaran deforestasi di sana. Pada bulan Juli tahun ini, lebih dari 1.800 kilometer persegi Amazon Brasil ditebangi – laju deforestasi dua kali lebih cepat dari bulan terburuk yang pernah dicatat oleh sistem pemantauan satelit saat ini dan yang, menurut para peneliti, mendorong hutan hujan terbesar di dunia menuju titik kritis yang berbahaya.

Sektor swasta telah berjuang untuk mengatasi tantangan rantai pasokan juga. Produksi hanya empat komoditas – sapi, kedelai, minyak kelapa sawit, dan bubur kertas – bertanggung jawab atas sebagian besar deforestasi global. Menurut Supply Chain, sebuah inisiatif dari kelompok konservasi Forest Trends, sekitar 865 perusahaan memiliki “paparan risiko hutan” karena ketergantungan mereka pada komoditas ini. Sejauh ini, hanya 72 di antaranya – termasuk merek-merek besar seperti Proctor dan Gamble, Nestle, dan WalMart – yang tidak membuat janji deforestasi. Namun, di antara perusahaan-perusahaan itu, hanya 21 yang mengungkapkan kemajuan menuju tujuan mereka, menurut laporan Supply Chain, Forest Trends dan Ceres, dan hanya sedikit yang berada sesuai jalur memenuhi janji mereka. Jika data satelit memungkinkan mereka untuk memonitor rantai pasokan dengan lebih baik, sejauh ini, ia belum memfasilitasi kemajuan nyata dalam mengurangi hilangnya hutan.

Meningkatnya jumlah satelit yang mengelilingi planet kita memungkinkan kita untuk memahami hutan – dan kekuatan yang mengancam mereka – lebih baik dari sebelumnya. Tapi itu mungkin tidak masalah. Semua informasi di dunia tidak akan membuat perbedaan jika negara dan perusahaan tidak memanfaatkannya dengan baik.[]

Sumber: earthisland.org

read more
Sains

Babak Baru Perseteruan Konservasi Orangutan Batangtoru

Penulis: Dyna Rochmyaningsih

Organisasi konservasi berbasis di Swiss PanEco melakukan sikap yang dianggap diluar dari kebiasaan bulan lalu. Selama bertahun-tahun, mereka sangat menentang rencana Indonesia membangun dam Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di Sumatera Utara, sebuah proyek yang katanya menjadi ancaman bagi eksistensial tak kurang dari 800 orangutan Tapanuli yang tersisa (Pongo tapanuliensis), spesies yang baru diakui dan berusaha diselamatkan mati-matian oleh PanEco. Tetapi pada tanggal 23 Agustus, organisasi ini mengumumkan kemitraan untuk mengurangi dampak bendungan dengan perusahaan yang membangunnya dan pemerintah Indonesia.

Ahli biologi Regina Frey, pendiri dan presiden PanEco, mengatakan dia hanya membuat yang terbaik dari situasi yang buruk. “Proyek ini menjadi agenda utama pemerintah … dan akan diimplementasikan dalam hal apa pun. Sangat masuk akal untuk mengubah strategi kami, ”kata Frey kepada majalah Science. Orangutan sekarang memiliki pemerintah dan perusahaan “di pihak mereka,” anggota dewan Carel van Schaik, seorang ahli primata di Universitas Zurich di Swiss, menulis dalam sebuah pernyataan.

Tetapi beberapa ilmuwan dan konservasionis merasa dikhianati. Sebuah kelompok internasional bernama Aliansi Para Peneliti dan Pemikir Lingkungan Hidup (ALERT) menyebut kemitraan baru itu “Sebuah kasus klasik dari greenwashing yang agresif,” dan mengatakan PanEco telah ditekan ke dalam perjanjian oleh perusahaan, PT North Sumatra Hydro Energy (PT NSHE) yang berpusat di Jakarta dan pemerintah Indonesia, dengan ancaman kehilangan izin untuk beroperasi di Indonesia.

“Memalukan bahwa PanEco menyerah pada intimidasi perusahaan bendungan,” tulis Mighty Earth, sebuah kelompok konservasi di Washington, D.C. Tekanan serupa juga membuat PanEco memecat dua peneliti asingnya awal tahun ini, kata anggota ALERT.

Namun baik PanEco dan PT NSHE menyangkal ada pengaruh jahat dalam keputusannya. Pembangunan bendungan 510 megawatt, senilai US$1,6 miliar, bagian dari Inisiatif Sabuk dan Jalan Cina, dimulai pada 2017. Tetapi lokasinya di ekosistem Batang Toru mengancam habitat orangutan Tapanuli, yang ditemukan pada 1997 oleh konservasionis Belanda Erik eijaard. Dalam sebuah makalah 2017, para peneliti menunjukkan bahwa kera ini cukup berbeda secara morfologis dan genetik dari dua spesies orangutan yang dikenal, Sumatra dan Borneo, sehingga disebut spesies baru. Jalan Raya Trans-Sumatera dan Sungai Batang Toru membagi spesies, yang paling langka dari kera besar, menjadi tiga subpopulasi dari 581, 162, dan 24 individu, kata ahli primata Serge Wich dari Liverpool John Moores University di Inggris.

Peneliti Indonesia yang bekerja sama dengan PT NSHE mengatakan bendungan itu tidak terlalu mengancam. Sebuah survei baru-baru ini oleh para ilmuwan di Fakultas Kehutanan IPB Bogor menyimpulkan bahwa dam akan membanjiri kurang dari 0,1% dari habitat kera sepanjang 1051 kilometer persegi – dan “hanya akan membuat gangguan kecil,” kata dosen senior IPB Haryanto Putro .

Sebuah survei 2018 yang dipimpin oleh Yanto Santosa, juga dari IPB menunjukkan bahwa lebih dari 50% sarang orangutan di konsesi PT NSHE telah ditinggalkan dan hanya 17 kera yang berkeliaran di area itu.

“Ini menunjukkan bahwa lokasi pembangunan bendungan bukan habitat utama Orangutan Tapanuli,” tulis Santosa. Perusahaan juga akan membangun jembatan ramah orangutan untuk menghubungkan subpopulasi, kata Agus Djoko Ismanto, penasihat lingkungan senior PT NSHE, dan akan melakukan tindakan lain seperti menanam pohon buah-buahan sebagai makanan orangutan.

“Jadi kami benar-benar membantu konservasi orangutan,” kata Ismanto, yang mengatakan tim IPB sepenuhnya independen: “Saya tidak pernah memengaruhi pekerjaan mereka.”

Tetapi pendiri ALERT William Laurance dari James Cook University di Cairns, Australia, mengatakan genangan hanya satu masalah. Jalan yang dibuka untuk konstruksi dan pemeliharaan adalah ancaman yang sangat berbahaya karena mereka membuka habitat kera bagi pemburu liar, penebang liar, penambang, dan perambah, ”kata Laurance. Jumlah sarang yang ditingglakan tidak ada artinya, Wich menambahkan. Orangutan sering berpindah-pindah, jadi menemukan setengah dari sarang yang ditinggalkan bukanlah hal yang aneh, katanya.

Pengalaman lebih jauh ke utara di ekosistem Leuser Sumatra menunjukkan bahwa koridor jembatan berfungsi baik untuk kera tetapi tidak untuk orangutan, ia menambahkan, “Mereka tidak menyukai hal-hal baru.” Para ilmuwan ALERT mengatakan pembangunan bendungan harus dibatalkan sama sekali. May menyebut kepergian dua ilmuwan PanEco, keduanya mengkritik blak-blakan pembangunan bendungan: Gabriella Fredriksson dan Graham Usher, yang mendirikan stasiun penelitian orangutan PanEco di Batang Toru pada tahun 2006.

Frey mengatakan keputusan itu dibuat “dengan persetujuan bersama” karena keduanya “menemukan terlalu sulit untuk memulai strategi baru dengan keyakinan penuh. “Tetapi Fredriksson, dalam pesan teks ke Majalah Science, menulis,” Kami telah dipecat dan disimpan dalam kegelapan.”

Beberapa ilmuwan mencurigai adanya hubungan antara keberangkatan dua ilmuan PanEco dan kunjungan ke Frey oleh politisi dan mantan aktivis lingkungan Emmy Hafild — yang mendukung bendungan — dan mantan menteri lingkungan Sonny Keraf.

“Pemahaman kami Hafild mengancam mengancam PanEco atas nama PT NSHE bahwa jika mereka tidak memecat Gabriella dan Graham, akan sangat sulit bagi mereka untuk terus beroperasi di Indonesia,” kata Amanda Hurowitz, direktur program kera besar di Mighty Bumi. “Itu seharusnya tidak terjadi dalam demokrasi,” kata Wich. “Ini benar-benar hari yang gelap untuk konservasi Indonesia.”

Hafild membantah versi peristiwa itu. “Saya hanya mengingatkan mereka tentang konsekuensi jika mereka terus menentang bendungan,” katanya. PanEco diizinkan melakukan penelitian dan konservasi di Indonesia, kata Hafild, tetapi tidak melakukan advokasi.

“Jika staf saya melakukan kampanye yang melanggar perjanjian saya dengan pemerintah Indonesia,” tambahnya, “tentu saja saya akan memecat mereka.” Frey mengatakan pertemuan dengan Hafild, yang katanya adalah teman lama, “sangat ramah. ”

Para ilmuwan mengklaim telah ada bentuk tekanan lain juga. Meijaard mencurigai PT NSHE berada di belakang siaran pers yang bertajuk “Listrik untuk Peradaban,” dari Simanboru, sebuah komunitas Pribumi, yang menuduhnya dan yang lainnya menjalankan “kampanye hitam” untuk mempengaruhi debat dengan argumen palsu.

Dia juga percaya bahwa perusahaan itu memicu protes baru-baru ini di Jakarta untuk menuntut deportasi Fredriksson dan Ian Singleton, ilmuwan PanEco lainnya. Ismanto mengatakan klaim itu tidak berdasar

“Mereka menuduh saya melakukan begitu banyak hal buruk,” katanya. “Mereka hanya mengada-ada.” Dia mempertanyakan peran ilmuwan asing dalam perdebatan, namun: “Indonesia telah merdeka selama beberapa dekade dan orangutan adalah bagian dari kekayaan alam kita,” katanya. “Kami tidak membutuhkan bule untuk melindungi mereka.”

Penulis, Dyna Rochmyaningsih adalah jurnalis sains berbasis di Deli Serdang, Indonesia. Tulisan ini dimuat dalam bahasa Inggris di sciencemag.or

read more
Energi

Warga Linge Tolak Tambang di Aceh Tengah

Takengon– Warga Desa Penarun Kecamatan Linge akan melakukan unjuk rasa penolakan Tambang emas Senin (16/9/2019) mendatang di Gedung DPRK Aceh Tengah.

Warga Penarun, Sunar mengatakan mereka menantikan kedatangan mahasiswa untuk ikut serta aksi penolakan tambang di Gedung DPRK Aceh Tengah.

“Kami tak pernah rela jika tanah nenek moyang kami di rusak oleh asing, dalam bentuk apapun,karena akan berdampak besar bagi masyarakat dan lingkungan,” Sebut Sunar saat melakukan pemasangan spanduk bersama Mahasiswa didepan salah satu kios. Spanduk ukuran 5×1,2 meter bertuliskan,” ‎Kami atas nama tokoh Masyarakat Mahasiswa seluruh lapisan Masyarakat Lingge menolak hadir PT. Lingge Mineral Resources di tanah nenek moyang kami.”

Warga lain, Agus Muliara mengatakan dari beberapa titik spanduk yang di pasang mendapat respon positif dari masyarakat sekitar. Banyak masyarakat yang menolak PT. LMR menambang emas di Linge.

“Masyarakat Linge pada dasarnya menolak penambangan emas oleh perusahaan, kalaupun ada yang mendukung dipastikan itu oknum masyarakat yang ingin mengambil keuntungan pribadi dari perusahaan,” Kata Pengurus organisasi Linge Musara Agus.

Spanduk penolakan oleh warga Linge dan pengurus organisasi Linge Musara itu, dipasang di Simpang Gading isak, Simpang Simpil, Kampung Owaq, Lumut dan di Gunung Abong.

Pada tahun 2006, Bupati Aceh Tengah menerbitkan Kontrak Karya kepada PT. LMR, di tahun 2009 PT. LMR disesuaikan ke Izin Usaha Pertambangan (IUP). PT. LMR mendapatkan IUP Eksplorasi pada tahun 2009 dengan luas areal 98.143 ha, melalui Keputusan Bupati Aceh Tengah Nomor 530/2296/IUP-EKSPLORASI/2009 tentang Peningkatan Persetujuan Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi Kepada PT. Linge Mineral Resources, tanggal 28 Desember 2009, masa bupati Nasaruddin. Penerbitan izin tersebut berdasarkan surat permohonan dari PT. LMR nomor LMR/101/20/XII/2009 tanggal 9 Desember 2009.

Berdasarkan pengumuman rencana AMDAL yang diumumkan pada 4 April 2019, luas areal yang diusulkan menjadi 9.684 ha yang berlokasi di Proyek Abong, desa Lumut, Linge, Owaq, dan Penarun, Kecamatan Linge, dengan produksi maksimal 800.000 ton/tahun. PT. LMR akan melakukan kegiatan penambangan dan pengolahan bijih emas dan mineral pengikut (rel).

read more
Ragam

Putusan PTUN Batalkan Izin Tampur-1 Peringatan Keras Bagi Proyek di KEL

Jakarta – Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Banda Aceh pada tanggal 28 Agustus 2019 yang lalu mengabulkan gugatan WALHI Aceh terkait Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) yang diterbitkan Gubernur Aceh untuk pembangunan PLTA Tampur-1 di Kabupaten Gayo Lues Provinsi Aceh. Dalam putusannya majelis hakim menetapkan bahwa Gubernur Aceh telah melampaui kewenangannya dalam menerbitkan izin PLTA tersebut.

“Keputusan ini menjadi peringatan keras bagi rencana pembangunan proyek lain yang didasarkan atas perizinan yang bermasalah dan mengancam kelestarian Kawasan Ekosistem Leuser (KEL)”, ungkap M. Nur, Direktur WALHI Aceh selaku penggugat.

Untuk memenuhi permintaan listrik yang terus meningkat, pemerintah provinsi Aceh telah meluncurkan beberapa proyek pembangkit listrik seperti PLTA Peusangan (kapasitas 84 MW), Unit Pembangkit Listrik Nagan Raya 3 dan 4 (kapasitas 200 MW), PLTG di Krueng Raya (kapasitas 50 MW), dan PLTB Jaboi di Sabang (kapasitas 15 MW).

“Pemerintah Aceh harusnya fokus memaksimalkan produksi energi dari pembangkit listrik yang ada agar bisa menghasilkan sekitar 400 MW surplus kebutuhan, atau mengembangkan alternatif program energi baru di luar kawasan hutan yang tidak berdampak negatif pada ekosistem dan masyarakat lokal”, M. Nur menekankan.

Pembangunan proyek listrik seringkali jadi duri dalam daging yang melahirkan masalah baru. Proyek yang tadinya bertujuan mengatasi defisit pasokan listrik malah melahirkan kelebihan pasokan dan berdampak pada kerusakan ekologis. Selain itu asumsi pertumbuhan konsumsi listrik yang jadi acuan pemerintah dan PT PLN (Persero) sering kali tidak berdasar. Dadang Trisasongko, Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII) mengungkapkan bahwa, “Gugatan Walhi Aceh dan putusan PTUN banda Aceh dalam rencana pembangunan PLTA Tampur ini mengindikasikan adanya problem serius di bidang tata kelola perizinan usaha di daerah dan berimplikasi pada pengabaian terhadap prinsip keberlanjutan daya dukung lingkungan untuk kepentingan bisnis kelistrikan. Jika tidak segera ada pembenahan menyeluruh, perizinan usaha akan menjadi lahan subur bagi berkembangnya praktik korupsi politik di daerah”.

Aktivis, pakar lingkungan dan masyarakat mengecam pembangunan PLTA Tampur ini dinilai akan merusak habitat gajah Sumatera, mengancam kelangsungan hidup dan mata pencarian penduduk yang hidup di hilir sungai Tamiang. Petisi yang dibuat oleh Matsum, warga Aceh Tamiang berjudul “Batalkan Proyek PLTA Tampur yang Mengancam Jutaan Jiwa” di laman Change.org, hingga saat ini sudah mendapatkan 145 ribu dukungan warga.

Sementara itu Farwiza Farhan, Ketua Yayasan HAkA, yang juga menjadi bagian dari tim legal, menyambut keputusan ini sebagai sebuah preseden untuk proyek-proyek lain yang mengancam kelestarian Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). “Sudah seharusnya perusahaan menghentikan aktifitas proyek PLTA ini, banyak proyek yang mengatasnamakan pembangunan namun sering mengesampingkan prinsip pelestarian fungsi lingkungan hidup terhadap kawasan yang seharusnya dipertahankan.”

“Apalagi hutan di KEL memiliki peran vital dalam memberikan jasa ekologis untuk dimanfaatkan dan juga berfungsi sebagai pengatur air sekaligus pelindung dari bencana ekologis bagi masyarakat disekitarnya. Dengan tetap menjaga keutuhan hutan yang masih ada otomatis kita akan mengurangi risiko bencana dan kerugian yang diakibatkannya. Penggunaan kawasan hutan dalam proyek PLTA Tampur-1 ini akan berdampak besar terhadap fungsi ekosistem, seperti terganggunya habitat satwa gajah Sumatera yang akan ditenggelamkan oleh proyek PLTA Tampur”, tukas Wiza.

Risiko dan Dampak Proyek PLTA Tampur-1

  1. Dari evaluasi curah hujan, kemiringan dan jenis tanah di daerah itu yang dilakukan pada bulan November 2017, ditemukan bahwa PLTA Tampur dan infrastruktur pendukungnya, seperti jalan dan jalur transmisi, akan dikembangkan di tanah yang sangat sensitif. Lokasi yang dipilih adalah suboptimal untuk pembangunan dan kemungkinan akan mengalami peningkatan tingkat erosi, banjir, tanah longsor dan rawan gempa. Lokasi PLTA Tampur yang berada di sebelah timur Sesar Besar Sumatera (Great Sumatran Fault) menjadikan lokasi bendungan ini berada di salah satu pusat gempa bumi daratan Sumatera. Bendungan setinggi 193 meter berpotensi jebol dan menelan banyak korban jiwa serta membawa bencana bagi masyarakat di hilir.
  2. Mega proyek PLTA Tampur akan membuka akses ke kawasan hutan primer sehingga
    menimbulkan aktivitas pembukaan hutan dan perburuan, kondisi tersebut akan menurunkan keutuhan fungsi lindung dari Kawasan Strategis Nasional Kawasan Ekosistem Leuser yang berfungsi sebagai habitat Gajah Sumatra yang terancam punah. Daerah itu masih berhutan lebat dan, selama survei, tim menemukan banyak jejak kaki gajah di sepanjang Sungai Lesten dan setidaknya 6 sarang orangutan. Proyek PLTA Tampur termasuk dalam koridor gajah besar terakhir (yaitu, koridor Lesten) dalam Kawasan Ekosistem Leuser, dan kemungkinan akan memecah populasi gajah terakhir di Aceh, mendorongnya semakin mendekati kepunahan.
  3. Proyek ini rencananya akan membanjiri seluruh desa Lesten yang saat ini menampung 74 keluarga. Perusahaan diharuskan menyelesaikan proses relokasi ke semua 74 keluarga sebelum 9 Juni 2018, tetapi sampai saat ini PT. Kamirzu masih belum menemukan daerah yang cocok untuk relokasi desa tanpa resiko mengekspos komunitas Lesten pada konflik dengan gajah. [re]
read more
Kebijakan Lingkungan

PTUN Banda Aceh Kabulkan Gugatan Walhi Terkait IPPKH PLTA Tampur-I

Banda Aceh – Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Banda Aceh mengabulkan Gugatan Penggugat (Walhi) terkait penerbitan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) yang diterbitkan Gubernur Aceh kepada PT. KAMIRZU untuk Pembangunan PLTA Tampur-I Pengadilan Tata Usaha Negara Banda Aceh.

Direktur Walhi Aceh M Nur, mengapresiasi putusan ini, mengingat sangat jarang ada Pengadilan yang memberi putusan yang memenangkan LSM lingkungan seperti ini.

M Nur juga menyampaikan sangat berterima kasih kepada Majelis Hakim yang telah dengan teliti melihat perkara ini dari berbagi aspek.

Muhammad Reza Maulana, SH Ketua Tim Pengacara Walhi menyebutkan intinya dalam pertimbangan Majelis Hakim menyatakan bahwa Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) No. 522.51/DPMPTSP/1499/2017 yang diterbitkan Gubernur Aceh, dihubungkan dengan UUPA (Pasal 156, 165 dan 150) UU Kehutanan dan aturan Pelaksananya (UU 41/1999, PP 24/2010, Permen LHK No. P-50/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2016 dan seterusnya), menyatakan Gubernur hanya berwenang menerbitkan IPPKH untuk luasan paling banyak 5 Hektar dan bersifat Non-Komersial.

Sedangkan fakta hukumnya IPPKH yang diterbitkan Gubernur Aceh kepada PT. KAMIRZU diterbitkan dengan luasan 4.407 Hektar, sehingga Majelis Hakim menyatakan Gubernur Aceh tidak berwenang menerbitkan IPPKH.

Selain itu dalam pertimbangannya Majelis Hakim juga menyampaikan Penerbitan Izin di dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) juga bertentangan dengan Pasal 150 UU Pemerintahan Aceh.

Menurut Reza, ada yang menarik dalam Putusan ini, dimana menurut kami, adanya bentuk penemuan hukum oleh Majelis yaitu Objek Sengketa (IPPKH) ternyata telah diubah atau direvisi dengan IPPKH baru pada tanggal 29 Januari 2019, dan Majelis Hakim menyatakan karena bentuknya revisi maka dianggap satu kesatuan sehingga Majelis Hakim menarik perubahan tersebut ke dalam Persidangan dan disebutkan pembatalan di dalam Putusannya.

Artinya, selain telah dengam objective menilai dan memutuskan Majelis Hakim juga memberikan pelajaran hukum baru bagi seluruh Rakyat Indonesia.[rel]

read more
Ragam

“Hope” Tampil dalam Peringatan Hari Orangutan Sedunia di Aceh

Banda Aceh – Puluhan pemuda meramaikan peringatan Hari Orangutan Sedunia di Taman Sari Banda Aceh, Minggu (25/08/2019). Mereka mengikuti lomba menggambar poster bertemakan “Selamatkan Orangutan”. Turut hadir seniman lukis dari Komunitas Kanot Bu, Idrus bin Harun yang menampilkan atraksi lukisan diorama kehidupan “Hope”, seekor orangutan yang ditembak 74 peluru belum lama ini di Subulussalam, Aceh.

Acara ini dilaksanakan WWF Indonesia bersama Earth Hour Aceh dan Komunitas Kanot Bu dengan didukung oleh Program Shared Resources Join Sollution yang bermitra dengan Forum DAS Krueng Peusangan dan Balai Syura Ureung Inong Aceh. Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam Aceh, Sapto Aji Prabowo membuka Peringatan Hari Orangutan Sedunia.

Kepala BKSDA Aceh dalam sambutannya menyampaikan bahwa orangutan Sumatera saat ini berdasarkan Rencana Aksi Strategis Orangutan jumlahnya tinggal 13 ribu lebih yang terbagi dalam delapan meta populasi. Sebanyak 80 persen orangutan Sumatera ada di Aceh.

“Ini harusnya menjadi sebuah kebanggaan Aceh, tapi tantangan untuk orangutan tetap lestari sangat luar biasa terutama karena degradasi habitat. Aceh mempunyai target membuat Kawasan Ekosistem Esensial untuk menghubungkan delapan metapopulasi spesies yang saat ini terdegradasi,”kata Sapto.

Belum lama ini ada kasus orangutan yang ditembak 74 peluru dan bayinya mati karena malnutrisi bernama Hope. “Kemarin saya menerima petisi tentang penembak Hope yang mencapai 933 ribu tandatangan. Orang memberi perhatian bagaimana kita harusnya menyelamatkan orangutan,”ucap Kepala BKSDA itu.

Manager WWF-Indonesia Northern Sumatera Landscape, Dede Suhendra menyebutkan, kepedulian masyarakat terhadap nasib orangutan masih sangat rendah. Itu terlihat masih banyaknya kasus perburuan, penembakan, dan pengrusakan habitat orangutan salah satunya seperti yang menimpa Hope.

“Kita harus menyadari, orangutan adalah satwa penting yang memastikan keberlangsungan hutan. Jika orangutan hilang, hutan akan hilang karena salah satu penyebar benih utama pohon sudah tak ada,” kata Dede Suhendra.

Yang tak kalah penting, WWF-Indonesia juga memberikan perhatian serius terhadap keberlangsungan habitat dan orangutan Tapanuli yang saat ini terancam oleh berbagai kegiatan pembangunan seperti salah satunya adalah pengerjaan proyek pembangkit listrik oleh salah satu perusahaan swasta nasional. WWF-Indonesia percaya bahwa keanekaragaman hayati dan kelestarian lingkungan adalah dasar dari pembangunan sosial-ekonomi yang sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, saat ini dan di masa depan.

“Jadi, kami menyerukan kepada semua pihak terutama yang mendapat amanah proyek pembangunan pentingnya meninjau kembali rencana konstruksinya dan mengintegrasikan rencana yang kuat untuk mengurangi semua risiko yang berpotensi mengancam keanekaragaman hayati khususnya spesies orangutan dan habitatnya.

Rencana tersebut harus secara transparan diumumkan kepada publik dan dikonsultasikan secara intensif dengan kelompok ahli orangutan yang independen.. WWF-Indonesia mendesak semua pihak untuk melaksanakan himbauan tersebut, dan bersedia untuk pemantauan dan peninjauan oleh pihak independen,” kata Dede.

Untuk menyelamatkan orangutan, masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan. Untuk itu WWF-Indonesia mengajak anak-anak muda turut menyampaikan ide mereka tentang penyelamatan orangutan dan habitatnya. Bersama lukisan diorama kehidupan Hope, karya-karya poster anak muda di Banda Aceh diharapkan bisa dipamerkan di ruang publik lainnya. Selain itu, untuk memberikan edukasi kepada anak-anak, WWF-Indonesiamenggelar permainan yang menampilkan informasi seputar orangutan. Hari Orangutan Sedunia diperingati setiap tahun pada tanggal 19 Agustus.[rel]

read more
Flora Fauna

PT Mopoli Raya Serahkan 1.400 hektar untuk Lahan Konservasi

Sebuah perusahaan perkebunan sawit di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) telah membuat komitmen positif untuk mengalokasikan hutan yang masih utuh dari lahan yang dimilikinya untuk konservasi. Perusahaan sawit ini sebelumnya telah dikeluarkan dari rantai pasok global terkait aktivitasnya yang kontroversial dalam perusakan habitat satwa liar di KEL. Hutan hujan di kawasan ini sangat penting bagi habitat orangutan Sumatra dan rute migrasi untuk kawanan 220 ekor gajah Sumatra, keduanya merupakan spesies yang terancam punah.

PT Mopoli Raya selama bertahun-tahun menjadi fokus tekanan kampanye oleh Rainforest Action Network dan LSM konservasi lainnya yang berupaya mengungkap hubungan antara produsen minyak sawit dengan deforestasi di provinsi Aceh dan Sumatera Utara. Keputusan untuk melindungi hutan dari bank lahan mereka terjadi setelah publik menuntut agar perusahaan dimasukkan ke dalam daftar ‘No Buy‘ oleh sejumlah merek makanan ringan dunia dan perusahaan raksasa pedagang minyak sawit Musim Mas dan Wilmar karena terungkap melalui media global dan LeuserWatch.org terus melakukan aktifitas deforestasi.

Mopoli Raya kemudian berkomitmen melindungi hampir 1.400 hektar hutan dan menerbitkan serangkaian kebijakan minyak sawit yang cukup kuat untuk menunjukkan kepada pembeli minyak sawit mereka sebelumnya, Musim Mas, Wilmar serta merek-merek besar seperti Unilever dan Nestlé akan komitmennya dalam memproduksi minyak sawit yang bertanggung jawab di enam perkebunan dan dua pabriknya. Perusahaan sawit memiliki tanggung jawab untuk mengelola lahan yang diberikan kepada mereka, dengan adanya komitmen maka hutan yang rencananya akan dikonversi menjadi perkebunan sawit akan dikelola untuk tujuan menjadi hutan konservasi yang menyediakan jasa lingkungan untuk masyarakat.

Direktur Kebijakan Hutan untuk Rainforest Action Network (RAN), Gemma Tillack, terkait inisiatif tersebut mengatakan, “Komitmen Mopoli Raya memberikan harapan yang sangat dibutuhkan di tengah krisis deforestasi di Indonesia dan menunjukkan peran penting yang harus dimainkan oleh merek-merek global untuk mendorong perubahan sektor kehutanan Indonesia di lapangan.”

“Kami juga berharap agar perusahaan lain seperti PT Nia Yulided, PT Indo Alam dan PT Tualang Raya, menghentikan buldoser yang mendorong orangutan dan gajah menuju kepunahan serta meminta merek global agar menyediakan investasi yang dibutuhkan untuk mengamankan dan meningkatkan praktik keberlanjutan perusahaan dan petani kelapa sawit kecil di Aceh dan Sumatera Utara,”tegasnya.

“Selama satu dekade terakhir, kampanye internasional telah bergeser dari menyerukan boikot menjadi menuntut perusahaan untuk lebih mendukung peningkatan cara menjalankan bisnis dari para pemasok minyak sawit. Komitmen yang dibuat oleh Mopoli Raya ini menunjukkan bahwa perubahan nyata dapat dicapai dalam melindungi hutan ketika merek dan perusahaan raksasa agribisnis mengambil tindakan terhadap rantai pasoknya dan tidak hanya sekedar mengidentifikasi serta menanggapi pelanggaran kebijakan, namun juga ikut berinvestasi dalam memberikan solusi yang diperlukan untuk menghindari krisis yang berulang.”

Ekosistem Leuser yang subur seluas 2,6 juta hektar secara internasional telah diakui sebagai salah satu kawasan hutan hujan utuh paling penting yang tersisa di Asia Tenggara. Kawasan ini merupakan satu-satunya tempat di bumi dimana badak, gajah, harimau, dan orangutan Sumatra yang terancam punah masih hidup bersama di alam liar. Pentingnya Ekosistem Leuser bagi dunia telah menjadikan kawasan ini sebagai lanskap uji coba untuk implementasi komitmen No-Deforestasi yang dibuat oleh ratusan merek-merek dunia dan perusahaan global selama beberapa tahun terakhir. Dengan semakin kuatnya profil Ekosistem Leuser dan meningkatnya pengawasan dengan menggunakan teknologi satelit dan drone, maka akan sangat memungkinkan bagi KEL untuk menjadi ajang pembuktian bagi solusi win-win yang inovatif seperti ini, dimana pertumbuhan ekonomi serta konservasi hutan dan satwa liar bisa harmonis, bahkan saling melengkapi.[rel]

read more
1 2 3 4 5 86
Page 3 of 86