close

Muhammad Nizar

Perubahan Iklim

Tingkat Emisi Rujukan Indonesia Bagi Hutan Di Tingkat Provinsi

Jakarta – Forest Reference Emission Level (FREL) atau Tingkat Emisi Rujukan Indonesia untuk REDD+ adalah 0,568 GtCO2e per tahun. Angka ini dijadikan benchmark untuk mengevaluasi kinerja REDD+ pada periode 2013-2020. Pada Maret 2019, Dirjen PPI KLHK mengalokasikan FREL untuk tingkat subnasional (provinsi), yang berlaku hingga akhir tahun 2020. FREL ini hanya untuk deforestasi dan degradasi hutan dan tidak mencakup dekomposisi gambut. Alokasi ini telah memperhitungkan buffer untuk deforestasi sebesar 45,52 persen dan untuk degradasi sebesar 33,42 persen untuk memastikan emisi dari tingkat subnasional tidak lebih tinggi dari emisi yang telah ditetapkan secara nasional.

Berdasarkan alokasi FREL subnasional, lima provinsi mendapatkan alokasi FREL tertinggi untuk deforestasi dan degradasi hutan, yaitu Papua, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Utara.

Pemerintah juga telah menyusun Indeks Risiko Emisi (1990-2012). Sebagian besar provinsi di Sumatera dan Jawa dikategorikan memiliki indeks risiko emisi yang sangat sangat tinggi, sangat tinggi, atau tinggi. Pulau Papua memiliki indeks risiko emisi yang rendah (biru) sementara beberapa wilayah di Kalimantan dikategorikan memiliki indeks risiko yang rendah meskipun Kalimantan adalah lokasi deforestasi tertinggi di beberapa tahun terakhir ini.

Dalam tahun-tahun terakhir, deforestasi tertinggi di Indonesia terjadi di Kalimantan. Pada tahun 2016-2017, deforestasi di Kalimantan mencapai 229.800.000 hektare atau 48 persen dari total deforestasi nasional. Berdasarkan alokasi FREL subnasional, agar bisa mendapatkan insentif REDD+, deforestasi di Kalimantan harus dikurangi menjadi hanya 144.863 hektare hingga tahun 2020.

Untuk bisa mendapatkan insentif REDD+, hingga 2020 deforestasi yang boleh terjadi di Provinsi Papua adalah 52.948,82 hektare (jika hutan primer) atau 70.177,22 hektare (jika hutan sekunder) sementara degradasi hutan yang boleh terjadi adalah 104.100,86 hektare.

Untuk Provinsi Papua dan Papua Barat memiliki tingkat deforestasi yang rendah secara historis namun memiliki tren cenderung meningkat. Untuk bisa mendapatkan insentif REDD+, pulau Papua digabung justru diperbolehkan untuk meningkatkan laju deforestasinya menjadi 75.880 hektare (jika hutan sekunder) atau 57.251 hektare (jika hutan primer) hingga tahun 2020, yang berarti lebih tinggi dibandingkan deforestasi saat ini (2016-2017) yang hanya mencapai 48.600 hektare.

Alokasi FREL subnasional bukanlah rencana untuk melakukan deforestasi, bukan pula untuk menghentikannya, melainkan benchmark untuk mendistribusikan insentif REDD+ dari pemerintah nasional ke pemerintah subnasional. Dengan mengasumsikan bahwa insentif REDD+ adalah sesuatu yang menarik bagi pemerintah provinsi, alokasi FREL subnasional yang lebih rendah dapat memberikan dorongan lebih besar kepada pemerintah daerah untuk melindungi hutan di wilayahnya. Namun, alokasi FREL yang sangat rendah atau lebih rendah juga bisa menjadikan REDD+ tidak menarik pada pemerintah daerah apabila tidak ada insentif di depan (ex-ante) yang diberikan kepada mereka untuk membantu mereka menurunkan tingkat deforestasi dan degradasi hutan di yurisdiksi mereka karena FREL yang lebih rendah berarti energi dan biaya lebih besar yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan janji insentif sebagai pembayaran atas kinerja.

Tanggapan pemerintah daerah terhadap alokasi FREL subnasional ini belum terlalu jelas. Pemerintah pusat harus memperjelas makna angka-angka ini untuk masyarakat dan juga untuk pemerintah daerah, khususnya implikasinya terhadap hutan yang diperbolehkan untuk digunduli atau dirusak. Selain itu, perlu ada tinjauan mengenai rencana pembangunan daerah mana yang harus disesuaikan untuk dapat menurunkan emisi sesuai dengan alokasi FREL subnasional ini. [rel]

read more
Hutan

BRG Kembangkan Model Ekowisata Kawasan Gambut Pantai Timur Sumatera

Sentul – Indonesia merupakan negara ke-empat yang memiliki ekosistem gambut terluas di dunia, dimana pada tahun 2011 luas lahan gambut Indonesia tercatat mencapai 14,9 juta hektar (Ritung et al, 2011). Lahan gambut merupakan ekosistem khas dan penting karena selain berfungsi sebagai pengatur tata air dan iklim mikro juga sebagai pusat keanekaragaman hayati dan habitat berbagai jenis burung air dan burung pemangsa yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai kawasan untuk kegiatan ekowisata.

Dalam Diskusi Kelompok Terpadu (Focus Group Discussion/FGD) yang berlangsung hari ini di Bogor, Rabu (3/07/2019) Badan Restorasi Gambut (BRG) bersama Bogor Nature’s Group berinisiatif untuk menyusun model pembangunan ekowisata berbasis lahan gambut di kawasan pantai timur Sumatera sekaligus menyediakan rancangan manajemen untuk pengembangan program wisata berkelanjutan dan pelestarian burung air di pantai timur Sumatera.

Sebagaimana diungkapkan oleh Kepala BRG Republik Indonesia, Nazir Foead, ”Tujuan pengembangan model ekowisata ini, selain untuk meningkatkan ekonomi lokal, juga untuk menjaga daya dukung dan daya tampung lingkungan, melestarikan sumberdaya alam dan pantai. Karena prinsip dasar ekowisata berkelanjutan, adalah menyelaraskan pertumbuhan ekonomi berbasis ekosistem dengan pelestarian alam dan kearifan budaya lokal.”

Dewasa ini, banyak bisnis wisata dijalankan dengan label ekowisata namun belum tentu memenuhi kaidah ekowisata. Bisnis ekowisata sebenarnya sangat khas, ditopang perencanaan dan manajemen lingkungan yang berkelanjutan serta integrasi antara potensi setempat dan daya dukung lingkungan.

Apalagi untuk lahan gambut dan hutan bakau di kawasan pantai timur Sumatera menjadi habitat hewan air, udang, kepiting yang menjadi daya tarik persinggahan burung-burung migran.

Dengan Tema “Pelestarian Burung Air dan Pengembangan Model Ekowisata Kawasan Gambut Pantai Timur Sumatera, dari FGD ini diharapkan bisa menghasilkan usulan konkrit baik rancangan manajemen dan rancangan teknik pengembangan model ekowisata dan pelestarian burung air di pantai timur Sumatera. Kelak, keberhasilan ekowisata di ekosistem gambut ini, akan menjadi promosi penting untuk menunjukkan keberhasilan program restorasi gambut serta dapat menjadi model ekowisata Indonesia yang berbasis kelestarian ekosistem gambut.[rel]

read more
Sains

Akademisi Serambi Mekkah Ubah Limbah Bonggol Janggung dan Durian jadi Bahan Bakar

Banda Aceh – Bonggol jagung dan kulit durian merupakan limbah organik yang selama ini dibiarkan berserakan di pinggir jalan atau tidak dimanfaatkan sama sekali. Pedagang pinggir jalan seperti yang terdapat di jalan menuju pantai Ulee Lheue banyak menghasilkan sampah bonggol jagung dan kulit durian. Limbah ini sebenarnya mempunya nilai ekonomis kalau diubah menjadi bahan bakar. Selain bernilai ekonomis maka kegiatan membuat energi terbarukan tersebut ikut mengurangi limbah organik yang banyak menghasilkan gas rumah kaca penyebab perubahan iklim.

Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Serambi Mekkah (USM) mengadakan kegiatan pemberdayaan masyarakat dalam memanfaatkan bonggol jagung dan limbah kulit durian menjadi briket di kawasan wisata Ulee Lheue. Kawasan pantai Ule Lhee merupakan salah satu kawasan wisata halal yang mempunyai beragam tempat dan kuliner untuk wisatawan.. Kegiatan yang paling populer di pantai Ule Lhee ini adalah duduk santai ditepian pantai dengan menikmati jagung bakar. Hal ini mengakibatkan tingginya volume bonggol jagung yang merupakan bahan baku yang dapat diolah sebagai biomassa energe terbarukan yaitu briket.

Acara ini dilakukan Senin (1/07/2019) bertempat di gedung serbaguna gampong Ulee Lheue. Tujuan pelaksanan pemberdayaan ini adalah melatih masyarakat membuat limbah bonggol jagung dan kulit durian menjadi briket yang memiliki nilai ekonomis. Acara dibuka oleh Akademisi USM Irhamni, ST., MT yang juga Ketua Tim Peneliti USM Prodi Teknik Lingkungan. Masyarakat cukup antusias mengikuti kegiatan pembuatan energi terbarukan ini karena dapat memberikan manfaat ekonomi dan mengurangi sampah.

Peserta terdiri dari ibu-ibu produktif yang memiliki usaha jagung bakar. Keuchiek Gampong Ulee Lheue Kecamatan Meuraxa Kota Banda Aceh, Dedi Armasyah, SE menyatakan pemberdayaan ini dapat meningkatkan pengetahuan msayrakat dalam mengurangi volume sampah khususnya bonggol jagung. Seusai pelatihan, dilakukan penyerahan plakat dari USM kepada Ketua PKK Gampong Ulee Lheue Kecamatan Meuraxa, Kota Banda Aceh, Sufatmiaty.

Kegiatan ini sendiri didukung oleh Kementerian Ristekdikti yang telah mendanai penelitian pemberdayaan masyarakat (PKM) di bawah LPPM Universitas Serambi Mekkah. [rel]

read more
Ragam

IPPKH PLTA Tampur Tidak Berlaku Lagi

Keputusan Gubernur tidak berlaku lagi karena perusahaan PT Kamirzu tidak melaksanakan kewajiban selama satu tahun sebagaimana disebutkan dalam keputusan Gubernur tentang Pinjam pakai kawasan hutan.

Dalam sidang lanjutan terkait Keputusan Gubernur Aceh Nomor 522.51/DPMPTSP/1499/IPPKH/2017 atas pemberian Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) untuk pembangunan PLTA Tampur-I kapasitas 443 MW di Kabupaten Gayo Lues, Zainal Abidin saksi ahli penggungat dari Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala mengatakan, objek sengketa akan batal demi hukum akibat dari tidak dilaksanakan kewajiban hukum oleh PT Kamirzu, Banda Aceh, Selasa, 2/7/2019.

Di hadapan persidangan, saksi ahli merinci, bahwa dalam jangka waktu paling lama satu tahun setelah terbit izin pinjam pakai kawasan hutan, PT Kamirzu mempunyai beberapa kewajiban yang jika tidak dilakukan akan berdampak pada batalnya IPPKH yang telah diperoleh.

Adapun kewajiban dimaksud meliputi:
a. Menyelelesaikan tata batas areal izin pinjam pakai kawasan hutan disupervisi oleh Balai Pementapan Kawasan Hutan Wilayah XVII Banda Aceh dan tidak dapat diperpanjang;
b. Menyampaikan peta lokasi penanaman dalam rangka rehabilitasi Daerah Aliran Sungai (DAS);
c. Menyampaikan baseline penggunaan kawasan hutan sesuai dengan hasil tata batas;
d. Menyelesaikan relokasi Desa Lesten;
e. Menyampaikan pernyataan dalam bentuk akta notarial bersedia mengganti biaya investasi pengelolaan/pemanfaatan hutan kepada pengelola/pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Sebelumnya, saksi ahli juga menuturkan, pada pasal 8 Permen LHK No P.50/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2016 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan menyebutkan, IPPKH diberikan oleh Menteri berdasarkan permohonan. Namun, pemberian izin IPPKH juga dapat dilimpahkan kepada Gubernur untuk beberapa kegiatan, satu diantaranya yakni pembangunan fasilitas umum yang bersifat non komersial dengan luas paling banyak lima hektar.

Hal serupa juga ditegaskan dalam pasal 2 Peraturan Direktur Jenderal Planologi Kehutanan Nomor P.5/VII-PKH/2014 tentang pelaksana pemberian IPPKH yang dilimpahkan Menteri Kehutanan kepada Gubernur. Pembangunan fasilitas umum yang bersifat non komersial satu diantaranya mencakup pembangunan instalasi pembangkit, transmisi dan distribusi listrik serta teknologi energy terbaharukan.

Lebih jauh, Saksi Ahli mengatakan bahwa sesuai dengan SK Dirjen Planologi Kehutanan Nomor SK.8/VII-PKH/2013 tentang Standar Pelayanan Pemberian IPPKH, mengharuskan adanya rekomendasi dari kepala daerah dimana proyek berjalan. Untuk PLTA Tampur, seharusnya mengantongi empat rekomendasi, yakni Gubernur Aceh, Bupati Gayo Lues, Bupati Aceh Tamiang dan Bupati Aceh Timur. Namun faktanya, rekomendasi dari Bupati Aceh Timur tidak ada.

Sidang gugatan Nomor 7/G/LH/2019/PTUN.BNA ditunda dan akan dilanjutklan kembali pada 9 Juli 2019 dengan agenda mendengar keterangan saksi dari para pihak.[rel]

read more
Green Style

Rere, Orangutan Dilepaskan kembali ke Alam Liar

Orangutan berusia empat setengah tahun Selasa (18/06/2019) telah dilepaskan ke alam liar. Rere dibebaskan dari kandangnya di Stasiun Reintroduksi dan Karantina Orangutan Sumatera (SOCP) Program Reintroduksi dan Karantina di Jantho, Aceh Besar.

Bersama dengan BKSDA Aceh, SOCP melepaskan orangutan ke alam liar dari stasiun rehabilitasi, di mana primata yang telah terluka atau kehilangan habitat aslinya dirawat.

Pelepasan ini merupakan berita langka bagi spesies yang terancam punah, yang habitatnya menyusut secara drastis selama beberapa dekade terakhir sebagian besar karena perusakan hutan untuk penebangan, kertas, minyak kelapa sawit dan pertambangan.

Indonesia merupakan produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia, diikuti oleh Malaysia.

Rere setelah dilepasliarkan di Jantho Aceh | Foto: SOCP

Perkebunan kelapa sawit dibangun di atas tanah yang diambil dari hutan hujan tropis yang hancur, menyebabkan kematian dan perpindahan banyak spesies, di antaranya adalah orangutan yang terancam punah.[]

Sumber: dailymail.co.uk

read more
Flora Fauna

Membangun Suaka Baru bagi Badak Sumatera di Ekosistem Leuser

Jakarta – Pemerintah Indonesia berencana untuk membangun tempat perlindungan ketiga untuk penangkaran badak Sumatera, di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) Aceh.

“Ini adalah prioritas utama dalam rencana tindakan darurat kami untuk menyelamatkan badak Sumatera,” kata Kepala Konservasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Wiratno di Jakarta pekan lalu. “Kami segera mendiskusikan rencana ini dengan pemerintah Aceh untuk mendapatkan dukungan mereka,”pungkasnya.

Menurut Rudi Putra, Direktur Leuser Conservation Forum, yang terlibat dalam rencana tersebut, saat ini mereka sedang mencari lokasi yang cocok dengan rencana tersebut.

“Rencananya adalah menyelesaikan fasilitas-fasilitas tersebut pada tahun 2021,” kata Rudi Saputra dalam email ke Mongabay. Dia menambahkan bahwa sekitar lima ekor badak akan ditangkap dari alam liar di Aceh dan dipindahkan ke tempat perlindungan untuk memulai program.

Indonesia saat ini memiliki dua pusat penangkaran dengan total delapan badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis): satu di Taman Nasional Way Kambas, Sumatera, yang memiliki tujuh badak, dan satu di hutan Kelian, di Kalimantan Indonesia, yang merupakan rumah bagi badak tunggal.

Rencana untuk membuka suaka di KEL dijelaskan dalam sebuah keputusan yang dikeluarkan oleh Wiratno Desember lalu, yang juga membahas proposal meningkatkan kapasitas suaka Way Kambas; bermitra dengan Malaysia, yang memiliki induk badak untuk pembuahan; dan meningkatkan upaya menangkap lebih banyak badak dari Kalimantan dan menempatkannya di suaka Kelian.

Para ahli badak dari seluruh dunia sepakat pada tahun 2017 bahwa penangkaran badak Sumatera, dari Sumatra dan Kalimantan, adalah satu-satunya cara yang tersisa untuk menyelamatkan spesies, diyakini berjumlah antara 30 dan 100 individu. Inisiatif baru ini mengikuti upaya serupa pada 1980-an yang menangkap badak Sumatera untuk pembiakan. Program itu, bagaimanapun, bubar satu dekade kemudian setelah lebih dari setengah hewan mati tanpa ada anak badak yang dilahirkan. Tetapi serangkaian kelahiran badak yang sukses di Amerika Serikat dan Indonesia, dan konsensus yang berkembang bahwa spesies akan punah tanpa intervensi, telah meletakkan dasar bagi upaya penangkaran tawanan terbaru.

Rudi mengatakan pendirian tempat perlindungan baru akan meningkatkan program penangkaran dengan mengurangi risiko terkonsentrasinya hampir semua badak di Way Kambas.

“Menempatkan semua badak yang ditangkap di satu tempat (Way Kambas) bukanlah solusi yang baik untuk keberlanjutan populasi. Jika ada penyebaran penyakit secara tiba-tiba, itu mungkin membunuh semua badak di sana, “katanya. “Mengembangkan tiga lokasi dengan manajemen terpadu akan lebih baik untuk konservasi badak.”

Banyak ahli menyebutkan Leuser sebagai habitat yang paling menjanjikan bagi badak liar Sumatera, mengingat KEL merupakan salah satu habitat terbesar bagi populasi spesies tersebut. Foto-foto perangkap kamera baru-baru ini dari ekosistem yang diambil oleh para konservasionis mengidentifikasi setidaknya 12 individu badak. Namun, daerah pegunungan masih kurang dipahami oleh para konservasionis, dan perburuan di sana dianggap lebih buruk daripada di tempat lain.

“Keamanan untuk suaka ini harus seketat itu di Way Kambas,” kata Wiratno.

Kelompok konservasi badak sepakat memberikan dukungan finansial dan teknis untuk membangun fasilitas tersebut.

“Dukungan kami untuk dan keterlibatan dalam proyek ini adalah karena keyakinan kami bahwa ini harus menjadi prioritas untuk menyelamatkan badak Sumatra dari kepunahan,” kata Wakil Direktur Yayasan Badak Internasional, CeCe Sieffert.

“Tujuannya adalah untuk menumbuhkan populasi badak sehingga hewan dapat dilepaskan kembali ke alam liar untuk menambah populasi liar,” kata Sieffert.

BKSDA telah menyerukan kepada semua pemangku kepentingan untuk mendukung pendirian tempat perlindungan Leuser. “Menyatukan badak dari populasi kecil bersama adalah penting untuk membantu mereka berkembang biak,” kata kepala BKSDA Sapto Aji Prabowo. “Kalau tidak, populasi ini akan punah karena mereka tidak berkembang biak.”

Rudi mengatakan program itu akan membutuhkan banyak dana, sumber daya manusia, dan waktu. “Kita tidak hanya berpacu melawan waktu, kita juga berpacu melawan pemburu liar yang setiap saat dapat membunuh badak,” katanya.

“Kondisi badak sumatera sangat kritis, itu sebabnya langkah radikal harus diambil, seperti menangkap dan menyelamatkan individu yang tersisa,” tambahnya.

Badak Sumatra pernah ditemukan di Asia Tenggara, dari Himalaya di Bhutan dan India, ke Cina selatan dan menyusuri Semenanjung Melayu. Tetapi spesies ini terancam punah akibat serangkaian faktor, dari perburuan liar hingga hilangnya habitat dan jumlah kelahiran yang tidak mencukupi.

Pada tahun 1986, sama spesies tersebut dinyatakan terancam punah dalam Daftar Merah IUCN. Populasi bada diperkirakan antara 425 – 800 individu. Sepuluh tahun kemudian, perkiraan itu turun menjadi 400 dan badak Sumatera dinaikkan statusnya menjadi terancam punah. Pada tahun 2015 dinyatakan punah di alam liar di Malaysia, hanya Indonesia sebagai satu-satunya negara dengan populasi spesies liar yang diketahui.[]

Sumber: mongabay.com

read more
Flora Fauna

Konflik Gajah dan Manusia Terus Terjadi, Bagaimana Jalan Keluarnya?

Banda Aceh – Beberapa hari belakangan ini setelah lebaran, masyarakat sejumlah daerah kembali diganggu dengan kehadiran gajah liar di sekitar mereka. Kehadiran hewan berbadan raksasa ini yang sering juga disebut Po Meurah dalam bahasa Aceh menimbulkan kerusakan pada tanaman dan sejumlah bangunan. Gajah-gajah sepertinya menjadi beringas, menghancurkan apa benda apa saja yang menghalangi lintasan mereka. Pemerintah pun seperti biasa turun tangan berusaha mengatasi gajah liar ini dengan menurunkan gajah jinak untuk menggiring Po Meurah kembali ke habitatnya. Pemerintah lewat BKSDA mencetuskan ide untuk menjadikan daerah yang dihuni gajah menjadi kawasan konservasi.

Pada hari Kamis (13/06/2019) gajah liar masuk ke pemukiman penduduk yang berada di kawasan pedalaman Cot Girek serta merusak sekitar 15 unit rumah dan lahan perkebunan yang sudah ditanami cokelat, pinang, dan pisang. Kejadian penyerangan gajah liar ini sudah berulang kali terjadi dalam beberapa tahun belakangan sehingga masyarakat sangat terpukul.

Petani yang berada di gubuk-gubuk dalam kebun buru-buru melarikan diri saat melihat kedatangan Po Meurah yang berwajah garang. Mereka tak ingin bernasib malang diamuk gajah. Hingga saat ini petani masih merasa was-was belum berani beraktivitas di kebun. Warga pun melaporkan kepada aparat kecamatan yang kemudian meneruskan laporan kepada BKSDA.

Pihak BKSDA telah mengerahkan dua gajah jinak menggiring gajah-gajah liar tersebut. Petugas BKSDA berhasil mendekati gajah liar tersebut bahkan mampu melepaskan alat pelacak yang dipasang pada gajah liar, GPS collar, yang telah habis baterai.

Kepala BKSDA Aceh Sapto Aji Prabowo kepada awak media mengatakan selain di Aceh Utara gajah masuk ke area penduduk terjadi juga di kabupaten Bener Meriah, Pidie, Bireuen, Aceh Timur, Aceh Jaya, Aceh Tenggara dan Aceh Barat hingga Kabupaten Aceh Selasan. Sepanjang 2017 di provinsi Aceh konflik gajah sebanyak 103 kasus dan pada 2018 keseluruhan ada 73 kasus, ujar Sapto.

Petani jika melihat kehadiran gajah di pinggiran perkebunan akan membakar mercon untuk mengusir gajah-gajah tersebut. Namun kali ini sepertinya petani tidak sempat meledakan mercon dikarenakan gajah-gajah tersebut keburu mendatangi kebun. Jika mercon dibakar biasanya gajah akan merasa terganggu dan kembali masuk ke dalam hutan asal mereka.

Selain Aceh Utara, juga dilaporkan di Gampong Baroeh di Aceh Jaya belasan ekor gajah liar mengobrak-abrik lahan persawahan dan perkebunan. Gajah yang diperkirakan berjumlah 15 ekor masuk kampung, merusak lahan sawah serta kebun masyarakat pada Rabu pagi (12/6/2019).
Sejumlah warga di desa tersebut telah melaporkan ke pihak aparat gampong setempat untuk kemudian berkoordinasi melalui unit tanggapan konservasi (CRU) Sampoiniet atas kejadian ini.

Tim Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Aceh Jaya hingga kini memastikan akibat kawanan gajah liar ini belum sampai menimbulkan korban baik jiwa, terdampak maupun masyarakat yang mengungsi.

Cegah Konflik Gajah –Manusia
Aceh Utara yang memiliki populasi gajah yang tinggi akan dijadikan sebagai salah satu Kawasan Ekosistem Esensial (KEE) atau koridor gajah di Aceh. Daerah hutan Cot Girek menjadi habitat gajah Sumatera, dipandang cocok untuk diterapkan sebagai KEE mengingat intensitas konflik gajah-manusia yang tinggi belakangan ini.

“Agar konflik tidak terulang, kawasan Cot Girek akan dikelola menjadi KEE atau koridor gajah. Hal ini Sedang dibahas di tingkat provinsi,” kata Kepala BKSDA Aceh, Sapto Aji Prabowo seperti dikutip detikcom, Kamis (13/6).

Sapto menjelaskan, di Aceh sedikitnya ada lima kantong habitat gajah sumatera selain yang berada di Cot Girek, Aceh Utara.

“KEE sendiri adalah kawasan di luar kawasan konservasi yang mempunyai nilai konservasi penting. Jadi habitat satwa. Dia bisa hutan produksi, hutan lindung, bisa juga APL,” sebut Sapto. Nantinya KEE akan dikelola bersama antara pemda dan pihak lain yang ditunjuk dengan tetap memperhatikan aspek-aspek konservasi tersebut.

Sebelumnya seorang pegiat lingkungan, Fahmi Rizal, juga pernah mengusulkan Kawasan Strategis Nasional (KSN) yang keberadaannya teramat penting dan mempengaruhi secara nasional baik dari aspek pertahanan dan keamanan, pertumbuhan ekonomi, sosial dan budaya, pendayagunaan sumber daya alam dan/atau teknologi tinggi, dan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup. Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) merupakan kawasan yang sangat layak menjadi KSN.

KEL memang pantas ditetapkan sebagai KSN mengingat areal hutan hujan di ujung barat Pulau Sumatera ini memiliki keragaman hayati yang amat tinggi dan unik. Wilayah hutan ini merupakan tempat satu-satunya di dunia yang masih memiliki empat mamalia besar endemik di dalam satu wilayah: Gajah Sumatera, Harimau Sumatera, Orangutan Sumatera dan Badak Sumatera. Wilayah jelajah ke-empat satwa besar ini saling berpotongan sehingga membentuk areal yang sangat luas (sekitar 2.255.557 hektar) yang membentang dari tengah Provinsi Aceh (meliputi 13 kabupaten) hingga ke Provinsi Sumatera Utara (meliputi 4 kabupaten).

Sumber: dbs

read more
Ragam

Lindungi Spesies Laut, Pemerintah Bentuk Jejaring Kawasan Konservasi

Jakarta-Pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah berkomitmen untuk menetapkan dan mengelola kawasan konservasi perairan seluas 20 juta hektar pada tahun 2020. Untuk memperkuat peran dan manfaat ekologi serta sosial-ekonomi dari Kawasan konservasi perairan yang sudah dikembangkan di Indonesia dalam skala yang lebih luas dan efektif, Pemerintah Indonesia berupaya untuk mendorong pengembangan jejaring kawasan konservasi perairan (MPA network) melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. PER.13/MEN/2014 tentang Jejaring Kawasan Konservasi Perairan.

Untuk mewujudkan pada hari Kamis 13 Juni 2019, USAID Indonesia mengadakan Lokakarya Petunjuk Teknis Jejaring Kawasan Konservasi Perairan di Jakarta. Perwakilan Pemerintah termasuk Andi Rusandi, Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut (KKHL), Kementerian Kelautan dan Perikanan dan perwakilan USAID Indonesia termasuk Mathew Burton, the Environment Office Director, serta perwakilan dari mitra konservasi menghadiri acara yang dibuka oleh Direktur KKHL.

Menurut Andi Rusandi, jejaring Kawasan Konservasi Perairan bertujuan untuk lebih mengoptimalkan pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan. Prioritas jejaring KKP adalah melindungi species laut serta menjaga ekosistem laut sebagai bank ikan.

“Hingga bulan Desember 2018 sudah terdapat 177 Kawasan Konservasi Perairan yang diresmikan, 35 KKP yang menjadi prioritas sudah dimasukkan ke Bappenas. Pembentukan jejaring kawasan konservasi perairan sangat penting agar kawasan-kawasan konservasi tersebut dapat bekerjasama, berbagi pengalaman, informasi dan penyelesaian masalah” demikian disampaikan Andi Rusandi.

“USAID Indonesia merasa terhormat telah menjadi mitra KKP dalam mewujudkan komitmen dan upaya nyata semua pemangku kepentingan di Indonesia melalui pengembangan dan pengelolaan jejaring Kawasan Konservasi Perairan dengan cara yang lebih luas, lebih efektif dan efisien,” kata Matthew Burton.

Selain itu, beliau juga mengatakan bahwa kapasitas kelembagaan dan sumber daya manusia adalah kunci keberhasilan implementasi kebijakan dan desain teknis Jejaring KKP.

Baru-baru ini, USAID Indonesia memfasilitasi studi banding (Cross-Learning) ke California, AS, bagi pemangku kebijakan dari KKP dan DKP provinsi di mana mereka dapat berbagi pengalaman dan menerima pembelajaran tentang pengelolaan jejaring kawasan konservasi perairan di California, AS.

Saat ini masalah jejaring Kawasan Konservasi Perairan (KKP) masih menjadi tantangan besar bagi banyak negara, berbeda dengan mengelola KKP secara individual dimana sudah terdapat banyak modul, pedoman, riset dan cara penilaian.

USAID Indonesia mendukung KKP untuk mencapai Tujuan 14 SDGs dan khususnya untuk meningkatkan manfaat ekologis, sosial dan ekonomi dari pengelolaan Kawasan konservasi perairan bagi masyarakat untuk masa depan Indonesia. Bantuan teknis ini merupakan implementasi nyata dari Perjanjian Teknis USAID Indonesia dengan KKP tentang Program Keanekaragaman Hayati Laut dan Perikanan Berkelanjutan USAID, yang ditandatangani pada Juli 2016.

Andi Rusandi mewakili Pemerintah Indonesia menghargai bantuan USAID yang mengalokasikan bantuan untuk meningkatkan kapasitas pengelolaan Kawasan konservasi perairan khususnya di Provinsi Maluku, Maluku Utara dan Papua Barat.

Jejaring KKP itu sendiri menurut IUCN-WCPA, merupakan upaya pengembangan sekumpulan unit-unit kawasan konservasi perairan yang dikelola secara bersama-sama dan sinergis pada berbagai skala luasan dan dengan berbagai tingkat perlindungan dalam rangka memenuhi tujuan pengelolaan yang lebih efektif, komprehensif dan berkelanjutan dibandingkan dengan pengelolaan kawasan konservasi secara sendiri-sendiri.[rel]

read more
1 3 4 5 6 7 86
Page 5 of 86