close

Muhammad Nizar

Hutan

Mengapa Lebih Banyak Kebakaran Hutan di Indonesia Tahun Ini?

Direktur Jendral perubahan iklim KLHK, Ruandha Agung Sugardiman, mengatakan lebih banyak titik api terdeteksi baru-baru ini di seluruh negeri karena El Nino yang lemah yang diperkirakan telah terjadi sejak Juni.

El Niño adalah pola iklim yang terkait dengan pemanasan air di daerah tengah dan timur Samudera Pasifik khatulistiwa. Fenomena cuaca seperti itu diketahui memicu perpanjangan musim kemarau di Indonesia, yang dapat meningkatkan risiko kebakaran hutan.

“Meskipun fenomena lemah, itu telah memicu berhari-hari tanpa hujan. Beberapa daerah belum terjadi hujan selama lebih dari 100 hari, ”kata Ruandha.

BMKG meramalkan bahwa musim hujan tidak akan mulai sampai Oktober. Musim kering yang berkepanjangan, tambahnya, adalah hasil dari “anomali negatif dari suhu permukaan laut negara itu.” Wakil kepala meteorologi BMKG Mulyono R. Prabowo mengatakan musim kemarau telah menyebabkan tanaman menjadi lebih mudah terbakar daripada sebelumnya.

Ruandha menambahkan bahwa fenomena serupa juga berkontribusi pada peningkatan kebakaran hutan dan lahan pada tahun 2018. “Rata-rata suhu harian pada tahun 2018 lebih panas daripada tahun 2017 karena El Niño yang lemah.”

Sementara ilmuwan Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) dan profesor di Institut Pertanian Bogor (IPB), Herry Purnomo, mengatakan kurangnya langkah mitigasi pemerintah dalam mencegah kebakaran hutan mungkin telah berkontribusi dalam peningkatan kebakaran.

“Pemerintah telah melakukan beberapa upaya untuk mencegah kebakaran hutan. Namun, mereka belum dapat berbuat cukup untuk mencegah krisis lain karena kurangnya sumber daya untuk melaksanakannya,”kata Herry sebagaimana dilansir oleh The Jakarta Post, Rabu (4/08/2019).

Ruandha menepis kekhawatiran tersebut, dengan mengatakan pemerintah telah mengintensifkan langkah-langkah untuk mengurangi kebakaran hutan dan lahan dalam beberapa tahun terakhir, terutama pada 2018 ketika Indonesia mengadakan Asian Games 2018.

“Dalam dua bulan terakhir, kementerian telah mengintensifkan patroli bersama dengan polisi dan personil militer di daerah-daerah yang dianggap rawan kebakaran hutan. Kami juga meningkatkan langkah-langkah untuk memadamkan api, ”katanya.

Bagaimana kebakaran hutan dan lahan tahun ini mempengaruhi Indonesia dan negara-negara lain?
Pihak berwenang mencatat bahwa kabut asap telah mempengaruhi beberapa kota besar di Indonesia, terutama di daerah rawan kebakaran hutan. Warga di Pekanbaru, Riau, terpaksa melakukan salat Idul Adha ditengah kabut tebal asap pada 11 Agustus lalu.

Pemerintah daerah Pontianak, Kalimantan Barat mempertimbangkan rencana untuk menghentikan sementara kegiatan sekolah jika kabut asap dari kebakaran hutan dan lahan di provinsi tersebut menjadi lebih tebal dan tidak terkendali.

Kabut asap telah mempengaruhi negara-negara tetangga. Surat kabar yang berbasis di Malaysia The Star melaporkan pada 2 Agustus bahwa kabut asap yang diklaim berasal dari kebakaran hutan di Riau telah mempengaruhi beberapa kota di Malaysia, termasuk Selangor, Kuala Lumpur dan Putrajaya. Sebelum kunjungannya ke negara itu, Presiden Joko Widodo mengatakan dia malu karena masalah kabut asap telah menjadi berita utama.

Juru bicara Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Agus Wibowo mengatakan kabut asap telah mencapai negara bagian Sarawak, Malaysia. Dia menambahkan bahwa krisis kabut asap tahun 2015, yang berdampak buruk pada Malaysia dan Singapura, kemungkinan akan terulang kembali jika Indonesia gagal mengatasi kebakaran hutan.

Apa yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi kebakaran hutan?
BNPB telah mengerahkan 9.000 personel gabungan dari militer dan polisi ke enam wilayah yang rentan terhadap kebakaran hutan, seperti Riau, Jambi, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah. Mereka ditugaskan untuk mencegah praktik tebang dan bakar, yang dianggap sebagai alasan dibalik maraknya kebakaran hutan.

Badan tersebut juga telah mengerahkan 34 helikopter pembom air untuk membantu memadamkan api dari udara sambil menunggu musim hujan datang.

KLHK juga telah mengerahkan lebih dari 14.000 personel dari brigade pemadam Manggala Agni serta sukarelawan untuk memantau dan memadamkan api. KLHK juga menyiapkan beberapa sistem peringatan dini, seperti kamera keamanan dan pemantauan satelit, untuk mendeteksi lebih banyak titik panas sebelum kebakaran menyebar ke wilayah yang lebih luas.

Sumber: thejakartapost.com

read more
Flora Fauna

Ahli Orangutan Sumatra Kampanye Lingkungan di Australia

Ahli konservasi Orangutan Sumatera, Panut Hadisiswoyo akan berbicara di Mullumbimby Minggu (18/8/2019) dari jam 5 sore sampai jam 8 malam. Panitia mengatakan Pendiri dan direktur Orangutan Information Centre (OIC) tersebut akan menyampaikan pengalamannya selama melakukan kegiatan penyelamatan Orangutan. Panut didampingi staf komunikasi OIC Nayla Azmi dalam sesi interaktif khusus di Byron Community College, Mullumbimby, Australia.

Kunjungan ini didukung oleh lembaga Rainforest 4 Foundation yang berbasis di Mullum, dimana pendirinya, Kelvin Davies memiliki hubungan dekat dengan OIC.

Davies mengatakan dirinya bertemu Panut tahun 2008 dan semenjak itu mereka mulai membangun hubungan antara orang-orang Sumatera Utara dan Byron Shire. “(Hubungan) Ini membuahkan hasil yang fantastis seperti penanaman 1,7 juta pohon di Sumatra untuk memulihkan habitat satwa liar,”ujar Davies.

“Panut dan Nayla akan menjelaskan bagaimana organisasi mereka mendapatkan kembali dan memulihkan hutan hujan, dan akan berbagi pengalaman mereka menyelamatkan orangutan, mengatasi kejahatan terhadap satwa liar, dan bekerja dengan masyarakat lokal untuk mengubah lingkungan dan ekonomi mereka. Yang paling penting dari semuanya, mereka akan melibatkan dan memberdayakan warga Australia dengan pengetahuan dan sarana untuk menjadi pembela hutan hujan dalam hak mereka sendiri,”kata Davies.

Pada malam harinya, Panut dan Nayla akan berbagi cerita tentang pusat-pusat permakultur yang mereka bina di seluruh Sumatera bagian utara.

OIC atau Pusat Informasi Orangutan, adala organisasi nirlaba Indonesia, membuat perbedaan besar di Sumatera utara melalui upaya konservasi dan pengembangan masyarakat di dan sekitar Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), salah satu ekosistem yang paling kaya keanekaragaman hayati nya.
Dalam empat tahun terakhir OIC telah menyelamatkan dan memindahkan lebih dari 160 orangutan, memulihkan 2.000 hektar hutan hujan, membawa 37 kasus kejahatan terhadap satwa liar ke pihak berwenang, memberikan 1.130 sesi pelatihan kepada masyarakat, dan memberikan beasiswa Orangutan Peduli kepada lebih dari 120 mahasiswa.

KEL juga dikenal sebagai” Tempat Terakhir di Bumi “, karena merupakan satu-satunya tempat yang tersisa di mana orangutan, gajah, harimau, badak, dan beruang madu Sumatera hidup di habitat yang sama.[]

Sumber: echo.net.au

read more
Kebijakan Lingkungan

Pemerintah Aceh Teken Kerjasama Perdagangan Sawit dengan IDH

Banda Aceh – Pemerintah Aceh menandatangani kerjasama perdagangan kelapa sawit dengan Yayasan Inisiatif Dagang Hijau (IDH) Indonesia. Pelaksana Gubernur Aceh Nova Iriansyah, berharap kerjasama ini bisa menjadi pemantik awal untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat Aceh, sehingga petani kelapa sawit akan mengalami peningkatan kapasitas produksi khususnya Crude Palm Oil (CPO).

Penandatangan MoU antara Pemerintah Aceh dengan IDH Indonesia di Banda Aceh, Kamis, (8/8/2019) diharapkan memicu petani kelapa sawit mengalami peningkatan kapasitas produksi pertanian khususnya CPO. Hal ini dilakukan untuk mewujudkan Aceh Green Growth.

“IDH konsen terhadap produk sawit ramah lingkungan dan juga penjualan produk sawit Aceh terus berkembang berkelanjutan, tidak sekedar saat kita ke Eropa saja,” kata Nova Iriansyah terkait jalinan kerjasama dengan IDH.

Nova mengatakan, setelah kerjasama itu, nantinya pihak IDH akan memfasilitasi Pemerintah Aceh bertemu pembeli serta meyakinkan pembeli terhadap kualitas dan kapasitas sawit di Aceh.

“Ada kebutuhan pembeli sawit di Eropa, dengan persyaratan untuk memastikan seluruh produk CPO yang kita hasilkan harus berkelanjutan dan konsen terhadap lingkungan,” kata Nova

Ke depan, lanjut Nova, IDH akan terus mengawasi penjualan dan perkembangan CPO Aceh melalui GAPKI dan pengusaha kelapa sawit. Mereka akan memantau agar setiap perusahaan sawit tetap memegang komitmen untuk mempertahankan kelestarian lingkungan.

Sementara itu, Konselor Senior untuk Iklim dan Hutan Kedutaan Besar Kerajaan Norwegia, Oyvid Dahl, mengatakan kerja sama itu terjalin karena target dan indikator yang jelas serta memiliki konsep bisnis yang berkelanjutan. Kerjasama yang akan dilakukan berkaitan dengan program dan komitmen Presiden RI tentang moratorium hutan, akses pasar, sehingga kerjasama ini akan terus berkaitan dan terus berkelanjutan.

“Pembiayaan dan investasi hijau yang akan masuk ke Aceh apapun itu, harus dibangung dengan standar dengan pengelolaan dan kelestarian yang berkelanjutan,” kata Oyvid.

Adapun pemangku kepentingan yang turut melakukan penandatangan tersebut di antaranya, Konselor Senior untuk Iklim dan Hutan Kedutaan Besar Kerajaan Norwegia, Bupati Aceh tamiang, Bupati Aceh Timur, Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Aceh, dan LSM yang bergerak di bidang lingkungan. [rel]

read more
Tajuk Lingkungan

Benarkah Sawit Merusak Lingkungan?

Opini oleh Muhammad Nizar, S.T,M.T

Jagad media dihebohkan oleh pernyataan Plt Gubernur Aceh, Nova Iriansyah, yang menyatakan bahwa sawit di Aceh tidak merusak lingkungan, sebagaimana dilansir oleh AJNN.net tanggal 15 Juli 2019. Pernyataan Nova ini kemudian banyak dimuat kembali di media massa lokal dan langsung saja mendapat kecaman dari sejumlah aktivis lingkungan. Sudah menjadi pendapat umum dikalangan sebagian masyarakat dan pegiat lingkungan bahwa sawit sangat-sangat merusak lingkungan, tak terkecuali di Aceh. Nah ini kok tiba-tiba ada pemimpin propinsi menyatakan sebaliknya. Apa tidak meradang mereka yang selama ini getol mengkampanyekan tolak sawit.

Sebelum menyatakan apakah pendapat Nova tersebut benar atau pendapat aktivis lingkungan yang benar, maka harus ditelusuri kembali data-data yang valid terkait sawit. Bisa saja data-data ini nanti tidak menyenangkan satu pihak karena data juga sangat banyak sekali. Tergantung apa yang hendak ditulis, pasti ada data pendukungnya. Tapi paling tidak mari kita lihat data statistiknya terlebih dahulu.

Nova dalam wawancaranya dengan AJNN menyatakan dari total luas lahan kebun kelapa sawit di Aceh mencapai lebih dari 140 ribu hektare lebih, sebanyak 51 persen kebun kelapa sawit adalah milik rakyat atau petani. Sedangkan sisanya sebanyak 49 persen, merupakan lahan perkebunan milik perusahaan atau pengusaha. Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Joko Supriyono pernah menyebutkan, penggunaan lahan untuk sawit hanya sebesar 17 juta hektare, sedangkan penggunaan lahan di dunia untuk minyak nabati mencapai 278 juta hektare.

Indonesia sejak tahun 1911 (104 tahun silam) sudah mengembangkan perkebunan sawit yakni di Pulu Raja (Asahan, Sumatera Utara), Tanah Itam Ulu (Kab. Batubara, Sumatera Utara) dan Sei Liput (Aceh), daerah-daerah yang sampai sekarang masih tetap banyak terdapat kebun sawit. Perkebunan sawit juga merambah ke daerah Kalimantan dan tempat-tempat lain yang dianggap cocok dengan tanaman ini. Perekonomian daerah-daerah ini sangat bergantung pada sawit, baik perekonomian pemerintah maupun perekonomian masyarakat.

Tanaman sawit itu sendiri bukanlah tanaman yang bersifat merusak lingkungan sekitarnya. Sederhananya pohon sawit tidak merusak tanah dimana dia tumbuh, sawit tidak mengeluarkan zat-zat berbahaya seperti racun yang membahayakan makhluk lain. Sawit tidak membunuh tanaman lain sekitarnya, tidak seperti hewan predator yang memangsa binatang lain. Tidak ada bagian sawit, apakah daunnya, tandannya, batangnya, pelepahnya atau apalah yang berbahaya bagi manusia. Malah kalau mau jujur, semua bagian pohon sawit bisa dimanfaatkan dan bernilai ekonomi. Memang banyak mitos buruk tentang sawit tetapi sejauh ini mitos tetap mitos saja, tidak ada bukti ilmiah yang mendukungnya.

Negara-negara eropa yang membeli minyak dari sawit yaitu crude palm oil (CPO) malah menggunakan minyak ini sebagai campuran bahan bakar. Pencampuran dengan bahan bakar konvensional ini dimaksudkan untuk mengurangi emisi karbon dari penggunaan BBM konvensional. Sebutannya biofuel, merupakan energi terbarukan yang sangat berpotensi mengurangi pemanasan global. Jadi lagi-lagi, sawit itu sendiri tidak lah berbahaya. Artinya eropa sendiri percaya bahwa sawit tanaman ramah lingkungan.

Terus apanya yang “merusak lingkungan” kalau demikian? Yang merusak lingkungan bukanlah tanaman sawit itu sendiri. Yang merusak lingkungan adalah proses-proses pembukaan perkebunan sawit secara massive. Ini pun sebenarnya berlaku bagi tanaman apa saja yang dikembangkan secara massal. Berikut beberapa hal yang menjadi dampak negatif dari pembukaan kebun sawit, namun tidak terbatas pada yang dituliskan ini saja.

Pembukaan Kebun merusak habitat hutan
Kebun sawit membutuhkan lahan ribuan bahkan jutaan hektar lahan agar perusahaan atau masyarakat mendapat keuntungan yang maksimal. Lahan yang bisa diambil sebesar ini apalagi kalau bukan hutan, yang seolah-olah menjadi hadiah dari Tuhan gratis. Jutaan hektar hutan ini adalah habitat, tempat tinggal bagi berbagai satwa dan tanaman liar. Bahkan sejumlah satwa liar tersebut adalah endemik, artinya cuma bisa hidup di habitat tertentu saja, tidak bisa dibawa pindah tempat tinggal dengan seenaknya. Sebut saja orangutan, harimau, gajah, badak, beruang dan sebagainya merupakan contoh satwa kunci yang terancam kehilangan tempat tinggal. Hutan Leuser yang menjadi rumah mereka selama ribuan tahun terancam lenyap, sekaligus melenyapkan kehidupan damai mereka.

Bahkan sekarang pun Uni Eropa (UE) sudah sadar bahwa walaupun minyak sawit merupakan sumber energi terbarukan tetapi pembukaan kebun sawit merusak hutan. Komisi Eropa pada 13 Maret 2019 meloloskan aturan pelaksanaan (delegated act) dari kebijakan Arahan Energi Terbarukan II (Renewable Energy Directive/RED II). Dalam dokumen itu, Komisi Eropa menyimpulkan perkebunan kelapa sawit telah mengakibatkan deforestasi besar-besaran secara global oleh karena itu, UE berencana menghapus secara bertahap pemakaian biofuel berbasis minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) hingga mencapai 0% pada 2030.

Pembukaan Kebun mengubah fungsi lahan
Hutan yang berfungsi sebagai tempat penampung jutaan kilo liter air (water catchment) lenyap sehingga air tersebut dengan bebas membanjiri tempat tinggal manusia di musim hujan dan air lenyap dengan cepat di musim kemarau. Yang dibicarakan disini bukanlah manusia yang sedikit tapi jutaan manusia bergantung pada air yang disimpan di hutan. Kalau hutan sudah lenyap, maka tunggulah bencana dahsyat yang bakal menghantam.

Selain menampung air, hutan juga merupakan tempat menyimpan karbon (carbon storage) jutaan ton yang berasal dari pembakaran atau aktivitas makhluk hidup. Karbon yang dilepaskan begitu saja ke atsmosifr akan memicu pemanasan global yang menyebabkan perubahan iklim. Hutan yang lenyap berarti karbon yang lepas ke udara, karbon tidak bisa disimpan lagi di akar, daun, batang dan tempat-tempat lain dalam ekosistem. Ini merupakan dampak lingkungan yang sangat mengerikan.

Pembukaan kebun menimbulkan konflik lahan
Sangat sering pembukaan kebun besar-besaran mengambil lahan yang ternyata milik orang lain. Pengambilan lahan ini bisa secara sukarela ataupun secara paksa bahkan dengan kekerasan. Banyak konflik sosial yang muncul antara masyarakat terutama masyarakat adat dengan perusahaan besar terkait kepemilikian lahan. Masalah hak milik bukanla hal sepele, ini menyangkut hak asasi manusia. Ribuan orang menjadi korban konflik, masuk penjara atau nyawa melayang. Pemerintah belum mampu mengatasi masalah lahan secara optimal. Pemerintah cenderung berpihak kepada korporat-korporat dengan alasan mencari pendapatan daerah dan sebagainya.

Jadi jelaslah sekarang bahwa yang dimaksud sawit merusak lingkungan adalah proses-proses pembukaan kebun sawit secara besar-besaran. Kalau sekedar buka kebun sawit 1-2 hektar di lahan milik sendiri tentu tak masalah seperti banyak yang dilakukan masyarakat. Coba anda bayangkan, rumah anda yang sangat nyaman anda tinggali selama bertahun-tahun tiba-tiba digusur dan anda disuruh pindah atau anda bahkan dibunuh.

read more
Green Style

Rimbawan Alumni STIK Tgk Chik Pante Kulu Pulang Kampus

Banda Aceh – Rimbawan Pulang Kampus menjadi agenda tiga tahunan dari perkumpulan Rimbawan Alumni Sekolah Tinggi Ilmu Kehutanan Tengku Chik Pante Kulu Banda Aceh. Tahun ini agenda Pulang Kampus kembali dilaksanakan di kampus STIK Banda Aceh, Minggu (28/07/2019).

Musyawarah Besar Rimbawan Alumni Sekolah Tinggi Ilmu Kehutanan yang merupakan salah satu agenda penting dalam kegiatan Rimbawan Pulang Kampus (RPK) telah memilih dan menetapkan Subhan, S.Hut, M.Si., Teuku Masrizar, S.Hut., M.Si., Norma Susanti RM, S.Hut., Dr. Dahlan, S.Hut., M.Si., Husneta Ramli, S.Hut., M.Si sebagai Presidium RASTIK periode 2019-2022. Berdasarkan hasil rapat internal presidium juga telah disepakati untuk menunjuk Subhan, S.Hut., M.Si sebagai koordinator Presidium RASTIK.

“Selamat bekerja saya ucapkan kepada Presidium dan MPA RASTIK hasil MUBES 2019, dukungan dari para alumni tentunya akan sangat membantu kemajuan dan pengembangan Sekolah Tinggi Ilmu Kehutanan kedepan,” ujar Drs. Fahrurrazi Zamzami, MBA Ketua Yayasan Tengku Chik Pante Kulu saat pengukuhan Presidium dan MPA RASTIK (28/07/2019) di kampus Sekolah Tinggi Ilmu Kehutanan Banda Aceh.

Dalam sambutannya paska pengukuhan, presidium RASTIK menyatakan bahwa RASTIK harus kembali aktif dan eksis agar bisa membantu STIK dan terlibat aktif dalam pengelolaan hutan Aceh. Sementara terkait perbaikan dan peningkatan status akreditasi kampus yang saat ini masih C harus dapat kita tingkatkan segera, minimal B.

Dengan akreditasi B harapannya STIK akan kembali menjadi tempat kuliah favorit bagi tamatan SMU sederajat yang memiliki ketertarikan dibidang ilmu kehutanan. Alumni yang dihasilkan nantinya haruslah dipastikan memiliki kompetensi khusus sesuai kebutuhan sumber daya manusia untuk pengelolaan hutan saat ini, sehingga alumni STIK memiliki kemampuan bersaing dengan alumni kehutanan lainnya di Indonesia, ujar Subhan, S.Hut., M.Si koordinator Presidum RASTIK yang saat ini juga menjabat sebagai Kepala Balai GAKKUM wilayah Kalimantan.

Selain melakukan pengukuhan Presidum RASTIK, ketua yayasan Tgk. Chik Pante Kulu juga melakukan pengukuhan Majelis Permusyawaratan Alumni (MPA) RASTIK Aceh. Adapun yang terpilih dan di tetapkan sebagai MPA RASTIK adalah Ir. Samsul Kamal, Ir. Zainal Bakri, Ir. Zukrin Abidin, Ir. Heri Laksana, Djumhur, S.Hut., Indrianto, S.Hut., Juli Ermiansyah Putra, S.Hut., Cut Nouva Miranda, S.Hut., Jumadil Akhir, S.Hut., M.Si, Dino Budi Satria, S.Hut., T. Armia. S.Hut,. MT., Dr. Ir. Cut Maila Hanum, M.P., Kasfuddin M Nur, S.Hut., Hermansyah, S.Hut serta Nuraini, S.Hut.

“Harus ada perubahan kedepan yang dilakukan presidium RASTIK, termasuk membenahi internal RASTIK, supaya para alumni dapat memberikan kontribusinya bagi kemajuan kampus,” ujar Ir. Samsul Kamal, Alumni angkatan pertama STIK yang terpilih sebagai Ketua Majelis Permusyawaratan Alumni (MPA) Rimbawan Alumni Sekolah Tinggi Ilmu Kehutanan (RASTIK) berdasarkan hasil musyawarah anggota MPA RASTIK.[rel]

read more
Flora Fauna

Ancaman Kepunahan Gajah Sumatera di Ekosistem Leuser

Tim investigasi lapangan Rainforest Action Network (RAN) telah mendokumentasikan bukti mengkhawatirkan pembukaan hutan baru pada Mei 2019 ini di beberapa lokasi hutan hujan terletak di bagian timur laut Ekosistem Leuser. Hutan yang dihancurkan tersebut terdapat konsentrasi keanekaragaman hayati yang diakui secara internasional. Secara khusus, hutan yang kaya ini adalah salah satu habitat paling berharga yang tersisa untuk gajah Sumatera yang terancam punah. Hutan yang digunduli tersebut merupakn rute migrasi penting yang menghubungkan wilayah hutan utuh yang lebih luas.

Pakar kehidupan satwa liar khawatir bahwa populasi regional gajah mungkin sudah lebih rendah dari yang diperlukan untuk mempertahankan populasi yang layak dalam jangka panjang. Mencegah kepunahan spesies ikonik ini bergantung pada penghentian deforestasi lebih lanjut dalam hutan hujan dataran rendah yang membentang dari Aceh Timur ke kabupaten tetangga di Aceh Utara, Aceh Tamiang dan melintasi perbatasan ke Taman Nasional Gunung Leuser di Sumatera Utara.

Kerusakan hutan yang sedang terjadi terjadi di lahan yang sebelumnya dialokasikan untuk tiga perusahaan perkebunan: PT Nia Yulided, PT Indo Alam dan PT Tualang Raya. Ketiga perusahaan tersebut dimiliki oleh pengusaha Aceh. PT Nia Yulided, perusahaan yang mendapatkan izin terbesar sejak Januari 2019, dimiliki oleh. Dedi Sartika, menantu Tarmizi A Karim, mantan pejabat sementara Gubernur Aceh.

Sementara jumlah pastinya tidak diketahui, International Union for the Conservation of Nature (IUCN) memperkirakan hanya sekitar 700-1000 gajah Sumatera yang tersisa di seluruh Sumatera, sementara sekitar 200 tergantung untuk bertahan hidup di daerah hutan hujan dataran rendah di mana pembukaan hutan baru ini telah didokumentasikan. Hewan-hewan yang tersisa ini semakin terisolasi dan terpisah satu sama lain dan terputus dari rute migrasi mereka yang sudah berabad-abad karena fragmentasi hutan dan serangan tanpa henti dari perkebunan kelapa sawit ke dalam wilayah hutan hujan dataran rendah yang menyusut.

Hilangnya lebih dari 70% habitat gajah Sumatra sejak 1985 telah menyebabkan meningkatnya konflik manusia-satwa liar yang terlalu sering mengakibatkan hewan-hewan agung ini dibunuh karena dianggap sebagai hama atau terperangkap dalam perangkap pemburu liar di sepanjang perkebunan kelapa sawit.

Gajah Sumatera menghadapi ancaman kepunahan yang serius dan sangat nyata dalam kehidupan kita. Hal yang sangat mendesak bahwa merek global yang menggunakan minyak sawit dalam produk mereka membangun sistem pemantauan dan penegakan hukum untuk menghentikan deforestasi oleh pemasok minyak sawit di Ekosistem Leuser dan hanya mengambil minyak kelapa sawit yang benar-benar dapat diverifikasi dan benar-benar bertanggung jawab.

Pembukaan hutan oleh PT Tualang Raya, 16 Mei 2019, Koordinat GPS: N 4 48 17, 50 E 97 29 57, 36 mengancam habitat gajah Sumatera | Foto: Paul Hilton

Pada Mei 2019, ribuan konsumen yang peduli menandatangani petisi yang menyerukan kepada Nestlé, Mars, Mondelēz, dan Hershey untuk menggunakan miliaran keuntungan yang dihasilkan dari permen dan cokelat membangun sistem pemantauan yang transparan dan proaktif untuk mengidentifikasi dan menghentikan deforestasi di Ekosistem Leuser. Nestlé membangun sistem pemantauan berbasis satelit tetapi gagal menggunakan alat barunya untuk menghentikan hilangnya hutan baru oleh para pelaku yang dikenal ini. Mondelēz memilih meminta pemasoknya untuk memetakan dan memantau perkebunan untuk deforestasi, alih-alih membangun sistem pemantauan transparannya sendiri.

Paling mengejutkan adalah, meskipun mengetahui tentang keadaan darurat gajah ini selama lima tahun, tidak ada satu pun perusahaan makanan kecil yang membahas hubungannya dengan perusakan hutan hujan dataran rendah Ekosistem Leuser. Demi gajah Sumatra terakhir, ini perlu diubah.

Intervensi pemerintah juga diperlukan untuk melindungi dan menghubungkan kembali habitat untuk kawanan gajah Sumatra terakhir. Pemerintah Indonesia baru-baru ini mengumumkan komitmennya untuk menetapkan moratorium permanen atas pembukaan hutan primer di seluruh Indonesia. Pengumuman ini merupakan langkah positif yang menunjukkan komitmennya untuk melindungi kawasan hutan yang penting. Semakin banyak harapan bahwa pemerintah provinsi dan pusat dapat bekerja bersama untuk memberikan perlindungan hukum bagi hutan primer yang terancam oleh konversi di dalam Ekosistem Leuser.

Pada bulan September 2018, instruksi Presiden Presiden Joko Widodo diberlakukan untuk menghentikan pembukaan hutan untuk sawit dan penerbitan izin baru, dan melakukan tinjauan terhadap izin sawit yang ada. Bukti terbaru pembukaan lahan menunjukkan perlunya intervensi pemerintah untuk menegakkan moratorium, mencabut izin PT Nia Yulided sebagai sanksi karena melanggar perintah presiden untuk menghentikan pembukaan, dan mendapatkan komitmen dari PT Indo Alam dan PT. Tualang Raya untuk melindungi kawasan hutan di mana konsesi kelapa sawit mereka diketahui tumpang tindih dengan habitat gajah yang kritis.[]

Sumber: www.ran.org

read more
Hutan

LSM Ingatkan Janji Jokowi untuk Selamatkan Hutan Tersisa

Jakarta – Presiden Joko Widodo dalam Visi Indonesia telah melupakan 20% janjinya untuk mencapai lingkungan hidup yang berkelanjutan dalam memimpin Indonesia periode 2019-2024. Hal tersebut sebagaimana yang tertuang dalam visi keempat Pasangan Jokowi-Maruf Amin saat kampanye pemilihan Presiden 2019 yang belum lama usai.

Visi mencapai Lingkungan Hidup yang Berkelanjutan, akan dicapai Jokowi melalui tiga misi yaitu program pengembangan kebijakan tata ruang terintegrasi, mitigasi perubahan iklim, serta penegakan hukum dan rehabilitasi lingkungan hidup. Adapun isu pengelolaan hutan dan gambut mendapat perhatian paling besar, tercermin dalam 13 kebijakan pengelolaan hutan dan lahan. Oleh karena itu, sudah selayaknya Jokowi menegaskan kembali visi dan misi terkait lingkungan hidup dalam Visi Indonesia untuk mendorong pertumbuhan ekonomi hijau.

Demikian disampaikan oleh Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, M. Teguh Surya dalam Diskusi Media “Moratorium Permanen Hutan dan Visi Indonesia, Akan Kemana?” yang dilaksanakan di Creative Hub #TemenanLagi Yayasan Madani Berkelanjutan.

“Harapan masyarakat sangat besar atas kepemimpinan kedua Jokowi, khususnya di sektor lingkungan hidup, mengingat janji beliau saat Pilpres dan terdapat beberapa kebijakan pro-lingkungan telah diterbitkan meskipun beberapa diantaranya akan segera berakhir masa berlakunya,” jelas Teguh.

Tak ingin kecolongan, Yayasan Madani Berkelanjutan, Walhi Eksekutif, Kemitraan-Partnership, Sawit Watch, dan Pantau Gambut kembali mengingatkan agar Presiden Joko Widodo meneguhkan komitmennya dan berani untuk menyelamatkan hutan tersisa, serta meneruskan pemulihan gambut setelah berakhirnya masa kerja BRG pada 2020.

Komitmen tersebut dapat diwujudkan dengan mengintegrasikan kebijakan moratorium pembukaan hutan primer dan gambut yang akan segera dipermanenkan dengan penguatan implementasi restorasi gambut 2020. Selain itu, Presiden Joko Widodo juga perlu meningkatkan kekuatan hukum perlindungan permanen hutan alam dan gambut dari instruksi presiden menjadi peraturan presiden.

“Peningkatan status kebijakan dari instruksi presiden menjadi peraturan presiden diperlukan untuk memastikan pembenahan dan penyempurnaan tata kelola hutan alam primer dan lahan gambut. Peraturan Presiden (Perpres) diharapkan akan menjadi solusi. Apalagi saat ini belum ada aturan mengenai sistem monitoring dan evaluasi dari Inpres Moratorium,” ujar Abimanyu Sasongko Aji, Project Manager Kemitraan-Partnership.

Dalam catatan Pantau Gambut, terjadi pengurangan wilayah moratorium sekitar 2,8 juta hektare pada periode 2011-2019 dan hutan seluas 2.739 hektare telah dilepaskan untuk dijadikan perkebunan sawit.

“Moratorium hutan primer dan gambut yang sudah ada sebelumnya tidak memandatkan tinjauan perizinan yang sudah ada. Adapun terbitnya PIPPIB tidak berkaitan dengan upaya pemulihan ekosistem gambut. Sementara, lahan gambut sebagian besar sudah terlanjur rusak,” kata Inda Fatinaware, Direktur Eksekutif Sawit Watch. “Seharusnya pemulihan ekosistem gambut yang bersifat wajib bagi perusahaan terus diawasi dan dipastikan berjalan”, tambahnya.

“Persoalannya, peraturan yang dikeluarkan oleh KLHK masih saling menegasikan. Dalam PermenLHK Nomor 16/2017 tentang Pedoman Teknis Pemulihan Fungsi Ekosistem Gambut bertentangan dengan PermenLHK Nomor 10/2019 tentang Penentuan, Penetapan, dan Pengelolaan Puncak Kubah Gambut Berbasis Kesatuan Hidrologis Gambut yang memperbolehkan pengelolaan puncak kubah gambut. Selain itu, Kepdirjen-PPKL-Nomor-SK.40-2018 tentang penetapan status kerusakan ekosistem gambut yang di dalamnya mengatur soal pemulihan oleh perusahaan, dan juga dokumen seperti HGU hanya diketahui oleh KLHK dan Perusahaan. Jadi tidak ada transparansi,” tambah Inda.

“Perlindungan permanen hutan alam dan gambut diharapkan dapat memperkuat komitmen pemerintah dalam menata kembali pengelolaan hutan dan gambut. Apalagi, saat ini KLHK telah mengeluarkan kebijakan yang kontradiktif dengan PermenLHK Nomor 10/2019 tentang Penentuan, Penetapan, dan Pengelolaan Puncak Kubah Gambut Berbasis Kesatuan Hidrologis Gambut,” tegas Iola Abas, Koordinator Nasional Pantau Gambut.

Zenzi Suhadi, Kepala Departemen Advokasi Eksekutif Nasional WALHI, menerangkan bahwa pengaturan moratorium harus mempertimbangkan dan memperkuat wilayah Kelola Rakyat, yang selama ini telah hidup turun temurun selaras dengan alam di kawasan hutan, termasuk pengaturan perhutanan sosial pada ekosistem Gambut. Pengaturan moratorium harusnya menutup kemungkinan masuknya penguasaan korporasi dalam bentuk apapun. Masih dikecualikan PAJALE (Padi, Jagung, Kedelai) bisa menjadi pintu masuk pelepasan kawasan hutan, jika tidak diatur dengan ketat.

Masyarakat sipil turut mendukung upaya pemerintah untuk memberi perlindungan hukum secara permanen terhadap kawasan hutan dan gambut dengan membuat petisi. Adalah Piter Masakoda, Ketua himpunan pemuda Suku Moskona di Papua Barat bersama-sama Yayasan Madani Berkelanjutan meluncurkan petisi tersebut pada tanggal 1 Juli 2019 pada laman Change.org dan per 16 Juli 2019 telah meraih 37.000 pendukung. Dan dukungan ini masih terus bertambah. Bagi Suku Moskona, hutan laksana mama sekaligus sumber penghidupan. “Hutan tiada, maka kehidupan pun hilang”, terang M. Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan.

Kebijakan perlindungan permanen hutan alam dan gambut perlu dukungan serius agar dapat memberikan kepastian perlindungan hutan alam Indonesia yang luasnya mencapai 89,4 juta hektare. Lebih jauh, upaya pengaturan “moratorium permanen” seharusnya juga mengatur upaya pemulihan lingkungan, khususnya di kawasan hutan dan ekosistem gambut. Empat hal strategis yang perlu dipertimbangkan Jokowi dalam satu tahun pertama adalah menerbitkan Perpres penghentian izin baru di hutan alam dan gambut, melanjutkan restorasi gambut pasca 2020, memperkuat komitmen iklim, dan memimpin implementasi moratorium perkebunan sawit [rel].

read more
Perubahan Iklim

Paradoks Indonesia: Yang Menolak Perubahan Iklim dan Yang Melindungi Hutan

Pada usia 24 tahun, Zainul Wahyudin terlihat seperti generasi milenial lainnya. Terus membungkuk di atas layar ponselnya, menonton berbagai serial TV dan khawatir tentang masa depan planet ini. Namun, meskipun Indonesia, adalah kunci dalam perang global melawan perubahan iklim, kepedulian terhadap lingkungan seperti yang Wahyudin rasakan sangat jarang di Asia. “Ada kurangnya pemahaman di sini tentang apa arti perubahan iklim dan bagaimana pengaruhnya terhadap kita,” kata Wahyudin.

Pilpres bulan April 2019 adalah contoh bagus bagaimana masalah lingkungan hilang dari debat public. “Di Indonesia, kami tidak terlalu memperhatikan masalah lingkungan seperti halnya terhadap agama atau intoleransi,” kata Agus Dwi, seorang aktivis lingkungan.

“Sulit bagi kami untuk berkampanye selama periode ini,” lanjut Dwi. “Politik identitas sangat terkait dengan identitas agama. Perubahan iklim adalah hal terakhir yang melintas dalam benak mereka, ”tambah Ratri Kusumohartono, seorang aktivis hutan Greenpeace.

Untuk mencari isu-isu lingkungan dalam agenda pemilihan umum, sebuah koalisi LSM meluncurkan inisiatif Golongan Hutan, disingkat menjadi #Golhut, yang pada gilirannya, menciptakan sebuah platform di mana para pemilih dapat mengirimkan pertanyaan konservasi kepada kandidat presiden. Menurut Greenpeace (salah satu dari sembilan organisasi yang terlibat dalam inisiatif) meskipun ada lebih dari 6.000 pertanyaan yang diterima, hanya satu partai minoritas yang memberikan jawaban. Baik Presiden Joko Widodo, maupun kandidat oposisi, Prabowo Subianto, tidak mengomentari masalah lingkungan hidup di Indonesia.

Indonesia memiliki persentase penyangkal tertinggi dari 23 negara yang dianalisis dalam survei (Arab Saudi berada di urutan kedua diikuti oleh Amerika Serikat, Meksiko dan Australia, di antara yang lainnya).

“Lebih sulit meyakinkan orang di negara berkembang, karena pendidikan dan masalah ekonomi mereka,” kata Kusumohartono. “Tetapi juga, kami (organisasi lingkungan) belum dapat menerjemahkan masalah lingkungan sehingga dapat dipahami oleh orang-orang,” kata aktivis itu.

Namun demikian, beberapa perjuangan lingkungan terbesar di dunia sedang berlangsung di kepulauan lebih dari 17.000 pulau ini. Indonesia memiliki hutan terbesar kedelapan di dunia; hari ini hutan mencakup hampir 50 persen. Tetapi, menurut data Bank Dunia, pada tahun 1990 mencakup 66 persen dari luas permukaan negara, penyusutan cepat hutan tropis yang disebabkan oleh pertumbuhan industri minyak sawit dan kertas dalam beberapa dekade terakhir terus terjadi.

Indonesia juga merupakan penyerap alami karbon dioksida berkat 13 juta hektar gambutnya, sejenis tanah yang dibuat dari akumulasi bahan organik yang menyimpan jutaan ton gas rumah kaca. Namun, penggundulan hutan menyebabkan karbon dioksida dilepaskan, seringkali dalam kebakaran hebat seperti yang meliputi sebagian besar Asia Tenggara pada tahun 2015. Selanjutnya, Indonesia adalah negara terpadat keempat di dunia, dan menempati urutan kedua untuk sampah plastik paling banyak dibuang ke laut.

Tetapi dampak perubahan iklim akan dirasakan tidak hanya di hutan dan di pesisir tetapi juga di seluruh Indonesia. Menurut Bank Pembangunan Asia, perubahan iklim akan berarti kerugian ekonomi di Indonesia antara 2,5 dan 7 persen dari PDB pada tahun 2100, dampak ekonomi yang akan menimpa penduduk termiskin. Pemerintah juga telah mengumumkan akan memindahkan ibukota, Jakarta, karena naiknya permukaan laut, sementara penduduk kota baru saja mengecam pemerintah karena udara tidak sehat yang harus mereka hirup.

Isu Lingkungan di Indonesia – yang baik dan yang buruk
Dari Aceh, provinsi paling konservatif di Indonesia, Wahyudin menghabiskan waktu bertahun-tahun menyaksikan pembangunan perkebunan kelapa sawit yang memakan hutan yang dulu mengelilingi rumahnya di ekosistem Leuser. “Sekarang cuacanya menjadi tidak dapat diprediksi. Kadang hangat dan kadang-kadang ada hujan di bulan Desember [selama musim kemarau], ”katanya. Wahyudin memutuskan dia ingin melakukan lebih banyak daripada menghabiskan waktu untuk mengeluh secara online sehingga dia bergabung dengan ranger yang berpatroli di hutan untuk melindungi hutan dari pembalakan liar dan pemburu liar.

Ketika dia melakukannya, Jokowi baru saja terpilih kembali menjadi presiden negara, berkat citranya yang dekat dengan rakyat. Banyak orang Indonesia berharap bahwa kehidupan mereka akan mulai berubah menjadi lebih baik. Di tengah kontroversi peningkatan deforestasi dan kebakaran hutan, Jokowi menempatkan isu lingkungan di atas meja, yang mengarah pada “beberapa kebijakan positif”, menurut Kusumohartono, dari Greenpeace, seperti perlindungan zona gambut dan moratorium konsesi untuk perkebunan kelapa sawit baru yang masih berlaku sampai sekarang.

Dengan demikian, menurut World Resources Institute, Indonesia adalah salah satu dari sedikit negara tropis yang mengurangi laju deforestasinya pada tahun 2017, hingga 60 persen dari tahun sebelumnya. Namun, hanya sebagian dari pengurangan itu yang dapat dikaitkan dengan kebijakan pemerintah; faktor-faktor lain, seperti kondisi cuaca yang lebih baik, yang menghentikan kebakaran, atau jatuhnya harga minyak sawit, juga merupakan faktor penentu.

Salah satu proyek yang paling mengkhawatirkan bagi gerakan lingkungan adalah bendungan di Batang Toru, Sumatra, yang akan membahayakan kelangsungan hidup orangutan Tapanuli, yang tersisa sekitar 800 individu. “Proyek ini adalah bagian dari strategi nasional Jokowi dan mendapat dukungan dari pemerintah pusat dan daerah,” kata Dwi. Salah satu menteri Jokowi juga menyarankan agar Indonesia dapat menarik diri dari Perjanjian Perubahan Iklim Paris, seperti yang dilakukan Amerika Serikat dan Brasil.

Sementara itu, masa depan Indonesia terletak di tangan pemuda negara. “Kita harus mengubah pola pikir yang mengatakan bahwa pembangunan ekonomi berarti kita harus mengorbankan lingkungan,” kata Kusumohartono. Dengan pemikiran ini, Wahyudin menggabungkan patroli dengan pembicaraan di sekolah-sekolah. “Awalnya, anak-anak tidak mengerti apa arti konservasi, tetapi sekarang mereka telah belajar,” katanya.[]

Sumber: www.equaltimes.org

read more
1 2 3 4 5 6 86
Page 4 of 86