close
Ilustrasi | Foto: dw.de

Opini oleh Muhammad Nizar, S.T,M.T

Jagad media dihebohkan oleh pernyataan Plt Gubernur Aceh, Nova Iriansyah, yang menyatakan bahwa sawit di Aceh tidak merusak lingkungan, sebagaimana dilansir oleh AJNN.net tanggal 15 Juli 2019. Pernyataan Nova ini kemudian banyak dimuat kembali di media massa lokal dan langsung saja mendapat kecaman dari sejumlah aktivis lingkungan. Sudah menjadi pendapat umum dikalangan sebagian masyarakat dan pegiat lingkungan bahwa sawit sangat-sangat merusak lingkungan, tak terkecuali di Aceh. Nah ini kok tiba-tiba ada pemimpin propinsi menyatakan sebaliknya. Apa tidak meradang mereka yang selama ini getol mengkampanyekan tolak sawit.

Sebelum menyatakan apakah pendapat Nova tersebut benar atau pendapat aktivis lingkungan yang benar, maka harus ditelusuri kembali data-data yang valid terkait sawit. Bisa saja data-data ini nanti tidak menyenangkan satu pihak karena data juga sangat banyak sekali. Tergantung apa yang hendak ditulis, pasti ada data pendukungnya. Tapi paling tidak mari kita lihat data statistiknya terlebih dahulu.

Nova dalam wawancaranya dengan AJNN menyatakan dari total luas lahan kebun kelapa sawit di Aceh mencapai lebih dari 140 ribu hektare lebih, sebanyak 51 persen kebun kelapa sawit adalah milik rakyat atau petani. Sedangkan sisanya sebanyak 49 persen, merupakan lahan perkebunan milik perusahaan atau pengusaha. Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Joko Supriyono pernah menyebutkan, penggunaan lahan untuk sawit hanya sebesar 17 juta hektare, sedangkan penggunaan lahan di dunia untuk minyak nabati mencapai 278 juta hektare.

Indonesia sejak tahun 1911 (104 tahun silam) sudah mengembangkan perkebunan sawit yakni di Pulu Raja (Asahan, Sumatera Utara), Tanah Itam Ulu (Kab. Batubara, Sumatera Utara) dan Sei Liput (Aceh), daerah-daerah yang sampai sekarang masih tetap banyak terdapat kebun sawit. Perkebunan sawit juga merambah ke daerah Kalimantan dan tempat-tempat lain yang dianggap cocok dengan tanaman ini. Perekonomian daerah-daerah ini sangat bergantung pada sawit, baik perekonomian pemerintah maupun perekonomian masyarakat.

Tanaman sawit itu sendiri bukanlah tanaman yang bersifat merusak lingkungan sekitarnya. Sederhananya pohon sawit tidak merusak tanah dimana dia tumbuh, sawit tidak mengeluarkan zat-zat berbahaya seperti racun yang membahayakan makhluk lain. Sawit tidak membunuh tanaman lain sekitarnya, tidak seperti hewan predator yang memangsa binatang lain. Tidak ada bagian sawit, apakah daunnya, tandannya, batangnya, pelepahnya atau apalah yang berbahaya bagi manusia. Malah kalau mau jujur, semua bagian pohon sawit bisa dimanfaatkan dan bernilai ekonomi. Memang banyak mitos buruk tentang sawit tetapi sejauh ini mitos tetap mitos saja, tidak ada bukti ilmiah yang mendukungnya.

Negara-negara eropa yang membeli minyak dari sawit yaitu crude palm oil (CPO) malah menggunakan minyak ini sebagai campuran bahan bakar. Pencampuran dengan bahan bakar konvensional ini dimaksudkan untuk mengurangi emisi karbon dari penggunaan BBM konvensional. Sebutannya biofuel, merupakan energi terbarukan yang sangat berpotensi mengurangi pemanasan global. Jadi lagi-lagi, sawit itu sendiri tidak lah berbahaya. Artinya eropa sendiri percaya bahwa sawit tanaman ramah lingkungan.

Terus apanya yang โ€œmerusak lingkunganโ€ kalau demikian? Yang merusak lingkungan bukanlah tanaman sawit itu sendiri. Yang merusak lingkungan adalah proses-proses pembukaan perkebunan sawit secara massive. Ini pun sebenarnya berlaku bagi tanaman apa saja yang dikembangkan secara massal. Berikut beberapa hal yang menjadi dampak negatif dari pembukaan kebun sawit, namun tidak terbatas pada yang dituliskan ini saja.

Pembukaan Kebun merusak habitat hutan
Kebun sawit membutuhkan lahan ribuan bahkan jutaan hektar lahan agar perusahaan atau masyarakat mendapat keuntungan yang maksimal. Lahan yang bisa diambil sebesar ini apalagi kalau bukan hutan, yang seolah-olah menjadi hadiah dari Tuhan gratis. Jutaan hektar hutan ini adalah habitat, tempat tinggal bagi berbagai satwa dan tanaman liar. Bahkan sejumlah satwa liar tersebut adalah endemik, artinya cuma bisa hidup di habitat tertentu saja, tidak bisa dibawa pindah tempat tinggal dengan seenaknya. Sebut saja orangutan, harimau, gajah, badak, beruang dan sebagainya merupakan contoh satwa kunci yang terancam kehilangan tempat tinggal. Hutan Leuser yang menjadi rumah mereka selama ribuan tahun terancam lenyap, sekaligus melenyapkan kehidupan damai mereka.

Bahkan sekarang pun Uni Eropa (UE) sudah sadar bahwa walaupun minyak sawit merupakan sumber energi terbarukan tetapi pembukaan kebun sawit merusak hutan. Komisi Eropa pada 13 Maret 2019 meloloskan aturan pelaksanaan (delegated act) dari kebijakan Arahan Energi Terbarukan II (Renewable Energy Directive/RED II). Dalam dokumen itu, Komisi Eropa menyimpulkan perkebunan kelapa sawit telah mengakibatkan deforestasi besar-besaran secara global oleh karena itu, UE berencana menghapus secara bertahap pemakaian biofuel berbasis minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) hingga mencapai 0% pada 2030.

Pembukaan Kebun mengubah fungsi lahan
Hutan yang berfungsi sebagai tempat penampung jutaan kilo liter air (water catchment) lenyap sehingga air tersebut dengan bebas membanjiri tempat tinggal manusia di musim hujan dan air lenyap dengan cepat di musim kemarau. Yang dibicarakan disini bukanlah manusia yang sedikit tapi jutaan manusia bergantung pada air yang disimpan di hutan. Kalau hutan sudah lenyap, maka tunggulah bencana dahsyat yang bakal menghantam.

Selain menampung air, hutan juga merupakan tempat menyimpan karbon (carbon storage) jutaan ton yang berasal dari pembakaran atau aktivitas makhluk hidup. Karbon yang dilepaskan begitu saja ke atsmosifr akan memicu pemanasan global yang menyebabkan perubahan iklim. Hutan yang lenyap berarti karbon yang lepas ke udara, karbon tidak bisa disimpan lagi di akar, daun, batang dan tempat-tempat lain dalam ekosistem. Ini merupakan dampak lingkungan yang sangat mengerikan.

Pembukaan kebun menimbulkan konflik lahan
Sangat sering pembukaan kebun besar-besaran mengambil lahan yang ternyata milik orang lain. Pengambilan lahan ini bisa secara sukarela ataupun secara paksa bahkan dengan kekerasan. Banyak konflik sosial yang muncul antara masyarakat terutama masyarakat adat dengan perusahaan besar terkait kepemilikian lahan. Masalah hak milik bukanla hal sepele, ini menyangkut hak asasi manusia. Ribuan orang menjadi korban konflik, masuk penjara atau nyawa melayang. Pemerintah belum mampu mengatasi masalah lahan secara optimal. Pemerintah cenderung berpihak kepada korporat-korporat dengan alasan mencari pendapatan daerah dan sebagainya.

Jadi jelaslah sekarang bahwa yang dimaksud sawit merusak lingkungan adalah proses-proses pembukaan kebun sawit secara besar-besaran. Kalau sekedar buka kebun sawit 1-2 hektar di lahan milik sendiri tentu tak masalah seperti banyak yang dilakukan masyarakat. Coba anda bayangkan, rumah anda yang sangat nyaman anda tinggali selama bertahun-tahun tiba-tiba digusur dan anda disuruh pindah atau anda bahkan dibunuh.

Tags : hutansawit

3 Comments

  1. ๐ŸŽ Get free iPhone 15: https://ginagino.fr/uploads/go.php ๐ŸŽ hs=abbff8bb1d08b33d8baed6275fa39a6c* says:

    wjxa14

  2. * * * Apple iPhone 15 Free: http://r9ocn.ru/uploads/go.php * * * hs=abbff8bb1d08b33d8baed6275fa39a6c* says:

    j7yy5u

Leave a Response