close
Flora Fauna

Ancaman Kepunahan Gajah Sumatera di Ekosistem Leuser

Seekor gajah Sumatera di Ekosistem Leuser | Foto: Paul Hilton

Tim investigasi lapangan Rainforest Action Network (RAN) telah mendokumentasikan bukti mengkhawatirkan pembukaan hutan baru pada Mei 2019 ini di beberapa lokasi hutan hujan terletak di bagian timur laut Ekosistem Leuser. Hutan yang dihancurkan tersebut terdapat konsentrasi keanekaragaman hayati yang diakui secara internasional. Secara khusus, hutan yang kaya ini adalah salah satu habitat paling berharga yang tersisa untuk gajah Sumatera yang terancam punah. Hutan yang digunduli tersebut merupakn rute migrasi penting yang menghubungkan wilayah hutan utuh yang lebih luas.

Pakar kehidupan satwa liar khawatir bahwa populasi regional gajah mungkin sudah lebih rendah dari yang diperlukan untuk mempertahankan populasi yang layak dalam jangka panjang. Mencegah kepunahan spesies ikonik ini bergantung pada penghentian deforestasi lebih lanjut dalam hutan hujan dataran rendah yang membentang dari Aceh Timur ke kabupaten tetangga di Aceh Utara, Aceh Tamiang dan melintasi perbatasan ke Taman Nasional Gunung Leuser di Sumatera Utara.

Kerusakan hutan yang sedang terjadi terjadi di lahan yang sebelumnya dialokasikan untuk tiga perusahaan perkebunan: PT Nia Yulided, PT Indo Alam dan PT Tualang Raya. Ketiga perusahaan tersebut dimiliki oleh pengusaha Aceh. PT Nia Yulided, perusahaan yang mendapatkan izin terbesar sejak Januari 2019, dimiliki oleh. Dedi Sartika, menantu Tarmizi A Karim, mantan pejabat sementara Gubernur Aceh.

Sementara jumlah pastinya tidak diketahui, International Union for the Conservation of Nature (IUCN) memperkirakan hanya sekitar 700-1000 gajah Sumatera yang tersisa di seluruh Sumatera, sementara sekitar 200 tergantung untuk bertahan hidup di daerah hutan hujan dataran rendah di mana pembukaan hutan baru ini telah didokumentasikan. Hewan-hewan yang tersisa ini semakin terisolasi dan terpisah satu sama lain dan terputus dari rute migrasi mereka yang sudah berabad-abad karena fragmentasi hutan dan serangan tanpa henti dari perkebunan kelapa sawit ke dalam wilayah hutan hujan dataran rendah yang menyusut.

Hilangnya lebih dari 70% habitat gajah Sumatra sejak 1985 telah menyebabkan meningkatnya konflik manusia-satwa liar yang terlalu sering mengakibatkan hewan-hewan agung ini dibunuh karena dianggap sebagai hama atau terperangkap dalam perangkap pemburu liar di sepanjang perkebunan kelapa sawit.

Gajah Sumatera menghadapi ancaman kepunahan yang serius dan sangat nyata dalam kehidupan kita. Hal yang sangat mendesak bahwa merek global yang menggunakan minyak sawit dalam produk mereka membangun sistem pemantauan dan penegakan hukum untuk menghentikan deforestasi oleh pemasok minyak sawit di Ekosistem Leuser dan hanya mengambil minyak kelapa sawit yang benar-benar dapat diverifikasi dan benar-benar bertanggung jawab.

Pembukaan hutan oleh PT Tualang Raya, 16 Mei 2019, Koordinat GPS: N 4 48 17, 50 E 97 29 57, 36 mengancam habitat gajah Sumatera | Foto: Paul Hilton

Pada Mei 2019, ribuan konsumen yang peduli menandatangani petisi yang menyerukan kepada Nestlé, Mars, Mondelēz, dan Hershey untuk menggunakan miliaran keuntungan yang dihasilkan dari permen dan cokelat membangun sistem pemantauan yang transparan dan proaktif untuk mengidentifikasi dan menghentikan deforestasi di Ekosistem Leuser. Nestlé membangun sistem pemantauan berbasis satelit tetapi gagal menggunakan alat barunya untuk menghentikan hilangnya hutan baru oleh para pelaku yang dikenal ini. Mondelēz memilih meminta pemasoknya untuk memetakan dan memantau perkebunan untuk deforestasi, alih-alih membangun sistem pemantauan transparannya sendiri.

Paling mengejutkan adalah, meskipun mengetahui tentang keadaan darurat gajah ini selama lima tahun, tidak ada satu pun perusahaan makanan kecil yang membahas hubungannya dengan perusakan hutan hujan dataran rendah Ekosistem Leuser. Demi gajah Sumatra terakhir, ini perlu diubah.

Intervensi pemerintah juga diperlukan untuk melindungi dan menghubungkan kembali habitat untuk kawanan gajah Sumatra terakhir. Pemerintah Indonesia baru-baru ini mengumumkan komitmennya untuk menetapkan moratorium permanen atas pembukaan hutan primer di seluruh Indonesia. Pengumuman ini merupakan langkah positif yang menunjukkan komitmennya untuk melindungi kawasan hutan yang penting. Semakin banyak harapan bahwa pemerintah provinsi dan pusat dapat bekerja bersama untuk memberikan perlindungan hukum bagi hutan primer yang terancam oleh konversi di dalam Ekosistem Leuser.

Pada bulan September 2018, instruksi Presiden Presiden Joko Widodo diberlakukan untuk menghentikan pembukaan hutan untuk sawit dan penerbitan izin baru, dan melakukan tinjauan terhadap izin sawit yang ada. Bukti terbaru pembukaan lahan menunjukkan perlunya intervensi pemerintah untuk menegakkan moratorium, mencabut izin PT Nia Yulided sebagai sanksi karena melanggar perintah presiden untuk menghentikan pembukaan, dan mendapatkan komitmen dari PT Indo Alam dan PT. Tualang Raya untuk melindungi kawasan hutan di mana konsesi kelapa sawit mereka diketahui tumpang tindih dengan habitat gajah yang kritis.[]

Sumber: www.ran.org

Tags : leuser

Leave a Response