close
Ragam

Putusan PTUN Batalkan Izin Tampur-1 Peringatan Keras Bagi Proyek di KEL

Diskusi mengenai pembatalan izin PLTA Tampur-I di Jakarta | Foto: Ist

Jakarta – Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Banda Aceh pada tanggal 28 Agustus 2019 yang lalu mengabulkan gugatan WALHI Aceh terkait Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) yang diterbitkan Gubernur Aceh untuk pembangunan PLTA Tampur-1 di Kabupaten Gayo Lues Provinsi Aceh. Dalam putusannya majelis hakim menetapkan bahwa Gubernur Aceh telah melampaui kewenangannya dalam menerbitkan izin PLTA tersebut.

“Keputusan ini menjadi peringatan keras bagi rencana pembangunan proyek lain yang didasarkan atas perizinan yang bermasalah dan mengancam kelestarian Kawasan Ekosistem Leuser (KEL)”, ungkap M. Nur, Direktur WALHI Aceh selaku penggugat.

Untuk memenuhi permintaan listrik yang terus meningkat, pemerintah provinsi Aceh telah meluncurkan beberapa proyek pembangkit listrik seperti PLTA Peusangan (kapasitas 84 MW), Unit Pembangkit Listrik Nagan Raya 3 dan 4 (kapasitas 200 MW), PLTG di Krueng Raya (kapasitas 50 MW), dan PLTB Jaboi di Sabang (kapasitas 15 MW).

“Pemerintah Aceh harusnya fokus memaksimalkan produksi energi dari pembangkit listrik yang ada agar bisa menghasilkan sekitar 400 MW surplus kebutuhan, atau mengembangkan alternatif program energi baru di luar kawasan hutan yang tidak berdampak negatif pada ekosistem dan masyarakat lokal”, M. Nur menekankan.

Pembangunan proyek listrik seringkali jadi duri dalam daging yang melahirkan masalah baru. Proyek yang tadinya bertujuan mengatasi defisit pasokan listrik malah melahirkan kelebihan pasokan dan berdampak pada kerusakan ekologis. Selain itu asumsi pertumbuhan konsumsi listrik yang jadi acuan pemerintah dan PT PLN (Persero) sering kali tidak berdasar. Dadang Trisasongko, Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII) mengungkapkan bahwa, “Gugatan Walhi Aceh dan putusan PTUN banda Aceh dalam rencana pembangunan PLTA Tampur ini mengindikasikan adanya problem serius di bidang tata kelola perizinan usaha di daerah dan berimplikasi pada pengabaian terhadap prinsip keberlanjutan daya dukung lingkungan untuk kepentingan bisnis kelistrikan. Jika tidak segera ada pembenahan menyeluruh, perizinan usaha akan menjadi lahan subur bagi berkembangnya praktik korupsi politik di daerah”.

Aktivis, pakar lingkungan dan masyarakat mengecam pembangunan PLTA Tampur ini dinilai akan merusak habitat gajah Sumatera, mengancam kelangsungan hidup dan mata pencarian penduduk yang hidup di hilir sungai Tamiang. Petisi yang dibuat oleh Matsum, warga Aceh Tamiang berjudul “Batalkan Proyek PLTA Tampur yang Mengancam Jutaan Jiwa” di laman Change.org, hingga saat ini sudah mendapatkan 145 ribu dukungan warga.

Sementara itu Farwiza Farhan, Ketua Yayasan HAkA, yang juga menjadi bagian dari tim legal, menyambut keputusan ini sebagai sebuah preseden untuk proyek-proyek lain yang mengancam kelestarian Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). “Sudah seharusnya perusahaan menghentikan aktifitas proyek PLTA ini, banyak proyek yang mengatasnamakan pembangunan namun sering mengesampingkan prinsip pelestarian fungsi lingkungan hidup terhadap kawasan yang seharusnya dipertahankan.”

“Apalagi hutan di KEL memiliki peran vital dalam memberikan jasa ekologis untuk dimanfaatkan dan juga berfungsi sebagai pengatur air sekaligus pelindung dari bencana ekologis bagi masyarakat disekitarnya. Dengan tetap menjaga keutuhan hutan yang masih ada otomatis kita akan mengurangi risiko bencana dan kerugian yang diakibatkannya. Penggunaan kawasan hutan dalam proyek PLTA Tampur-1 ini akan berdampak besar terhadap fungsi ekosistem, seperti terganggunya habitat satwa gajah Sumatera yang akan ditenggelamkan oleh proyek PLTA Tampur”, tukas Wiza.

Risiko dan Dampak Proyek PLTA Tampur-1

  1. Dari evaluasi curah hujan, kemiringan dan jenis tanah di daerah itu yang dilakukan pada bulan November 2017, ditemukan bahwa PLTA Tampur dan infrastruktur pendukungnya, seperti jalan dan jalur transmisi, akan dikembangkan di tanah yang sangat sensitif. Lokasi yang dipilih adalah suboptimal untuk pembangunan dan kemungkinan akan mengalami peningkatan tingkat erosi, banjir, tanah longsor dan rawan gempa. Lokasi PLTA Tampur yang berada di sebelah timur Sesar Besar Sumatera (Great Sumatran Fault) menjadikan lokasi bendungan ini berada di salah satu pusat gempa bumi daratan Sumatera. Bendungan setinggi 193 meter berpotensi jebol dan menelan banyak korban jiwa serta membawa bencana bagi masyarakat di hilir.
  2. Mega proyek PLTA Tampur akan membuka akses ke kawasan hutan primer sehingga
    menimbulkan aktivitas pembukaan hutan dan perburuan, kondisi tersebut akan menurunkan keutuhan fungsi lindung dari Kawasan Strategis Nasional Kawasan Ekosistem Leuser yang berfungsi sebagai habitat Gajah Sumatra yang terancam punah. Daerah itu masih berhutan lebat dan, selama survei, tim menemukan banyak jejak kaki gajah di sepanjang Sungai Lesten dan setidaknya 6 sarang orangutan. Proyek PLTA Tampur termasuk dalam koridor gajah besar terakhir (yaitu, koridor Lesten) dalam Kawasan Ekosistem Leuser, dan kemungkinan akan memecah populasi gajah terakhir di Aceh, mendorongnya semakin mendekati kepunahan.
  3. Proyek ini rencananya akan membanjiri seluruh desa Lesten yang saat ini menampung 74 keluarga. Perusahaan diharuskan menyelesaikan proses relokasi ke semua 74 keluarga sebelum 9 Juni 2018, tetapi sampai saat ini PT. Kamirzu masih belum menemukan daerah yang cocok untuk relokasi desa tanpa resiko mengekspos komunitas Lesten pada konflik dengan gajah. [re]
Tags : PTUN

Leave a Response