close

13/10/2013

Hutan

Walhi Gugat Presiden SBY

Rabu siang (9/10/13), Abetnego Tarigan, Direktur Eksekutif Walhi Nasional, bersama pengurus, antara lain, Munhur Satyahaprabu, Zenzi Suhadi, Khalisah Khalid, dan Tumpak W Hutabarat serta Wahyu Wagiman, Ketua Tim Advokasi Pulihkan Indonesia, datang ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Hari itu, Walhi resmi mengajukan gugatan kepada Presiden RI beserta 18 lembaga negara yang dinilai abai atas kebakaran hutan yang terus terjadi di Riau dan Jambi. Sebanyak 15 kuasa hukum tergabung dalam tim advokasi ini.

Abetnego mengatakan, gugatan ini sangat penting agar masyarakat bisa hidup dalam lingkungan sehat.  “Gugatan ini untuk mengingatkan pemerintah yang lalai akan tanggung jawab mereka menjamin keselamatan lingkungan hidup dan hak-hak rakyat atas lingkungan hidup sehat. Itu hak asasi manusia,” katanya di Jakarta, hari itu.

Pemerintah, ujar dia, harus memiliki skema yang jelas dan transparan guna mengatasi masalah kebakaran hutan yang terulang setiap tahun ini. “Pemerintah kalau tidak didesak, biasa akan diam saja. Maka Walhi mengajukan gugatan.”

Bahkan, ada rumor berkembang, Indonesia dan Malaysia, sengaja mendiamkan kasus ini demi momentum penting dalam Forum APEC, untuk memasukkan sawit dalam produk ‘hijau’—meskipun belum sukses.

Menurut dia, penerbitan bebagai izin perkebunan sawit dan hutan tanaman industri tanpa disertai tanggung jawab pemerintah menjaga lingkungan dan hak rakyat. Bahkan, tak ada kontrol pada pemegang hak usaha. Kondisi ini,  menyebabkan lingkungan hidup di negeri ini berbahaya untuk ditinggali.

Manager Kebijakan dan Pembelaan Hukum Walhi Muhnur S, mengatakan,  gugatan ini juga respon atas somasi yang tak ditanggapi Presiden.  Pada akhir Juni 2013, Walhi telah melaporkan 117 perusahaan yang diduga terlibat pembakaran hutan di Riau dan Jambi, kepada Kementerian Lingkungan Hidup. Namun, tampaknya, laporan mereka tak ditanggapi serius.

“Pemerintah telah melawan hukum dengan tidak melaksanakan perintah hukum. Dengan gugatan ini mudah-mudahan bisa mencegah kerusakan hutan agar tak makin parah.”

Tak jauh beda diungkapkan Ketua Tim Advokasi Pulihkan Indonesia Wahyu Wagiman. Menurut dia, gugatan diajukan kepada 19 pihak terdiri dari Presiden, tiga kementerian termasuk Polri , dua gubernur di Sumatera , serta 11 bupati dan dua walikota di Sumatera. Mereka dinilai bertanggung jawab terhadap kebakaran hutan yang terus terjadi.[]

Sumber: mongabay.co.id

read more
Tajuk Lingkungan

Buanglah Sampah Pada Tempatnya…

Coba anda perhatikan baik-baik setiap melewati tong sampah, bak sampah atau tempat sampah apapun disekitar anda. Dari kejauhan anda akan melihat bahwa tempat sampah tersebut seolah-olah sudah penuh, saat sudah dekat ternyata bukan tempat sampahnya yang penuh namun sampah berserakan diluar tempatnya. Bukankah masyarakat yang membuang sampah memang tujuannya ke dalam tong sampah namun mengapa banyak diantara mereka dengan kesadaran penuh malah membuang ke luar tong sehingga mengotori lingkungan sekitar. Kelihatan hal ini sepele.

“Nanti kan tukang sampahnya bisa memungutnya kembali,” kata orang-orang. Persoalan lain adalah kebiasaan membuang tidak pada tempat yang disediakan, hal ini merupakan mentalitas jelek masyarakat yang terbentuk bertahun-tahun.

Kota Banda Aceh dapat menjadi contoh buruk kebiasaan membuang sampah. Ibu kota Provinsi Aceh ini mempunyai penduduk sekitar 217.940 jiwa. Produksi sampah rata-rata per orang adalah 0,2 kg/hari, suatu perkiraan yang moderat.

Anda mungkin mengatakan tidak menghasilkan sampah sebanyak ini setiap hari, tapi ada pihak-pihak seperti industri, rumah makan, pertokoan dan lain sebagainya yang bisa  menghasilkan sampah jauh lebih besar dari angka di atas. Anda tinggal mengalikan saja maka diperoleh sampah setiap harinya yaitu hasilnya 43.588 kg atau 43,588 ton/hari ! Ini baru hitungan yang menunjukkan berat sampah, belum lagi jika kita memperhitungan ruang yang dibutuhkan untuk meletakkan sampah sebanyak itu. Sebuah jumlah yang luar biasa besar. Ini barulah perkiraan sederhana, perlu penelitian yang mendalam berapa sebenarnya sampah yang diproduksi setiap hari, termasuk volumenya.

Sedikit bermain dengan matematika, mari kita menghitung kembali waktu yang dibutuhkan untuk membereskan sampah yang berserakan di luar tong sampah yang disediakn. Paling tidak 5-10 menit waktu petugas tersita untuk melakukan pekerjaan yang sebenarnya tidak perlu mereka lakukan, memasukkan kembali sampah kedalam tempatnya. Banyak waktu terbuang yang sebenarnya dapat digunakan petugas kebersihan untuk mengerjakan hal-hal lain. Perhitungan sederhana ini adalah asumsi penulis, yang sebenarnya sekedar untuk memberikan gambaran yang mendekati kenyataan. Ingat, disini yang dibicarakan adalah jumlah sampah yang sangat banyak, pengumpulan sampah yang dilakukan setiap hari dan banyaknya ruang yang dibutuhkan untuk meletakkan sampah.

Pada negara-negara yang sudah maju pengelolaan sampahnya seperti Malaysia, Singapura ataupun Jepang, masyarakat sudah memberikan kontribusi nyata dalam pengelolaan sampah walaupun hal-hal yang mereka lakukan terlihat sepele. Jepang misalnya, masyarakatnya sudah terlatih untuk mengemas sampah di tingkat rumah masing-masing sesuai dengan jenisnya. Sampah kaca, kertas, plastik, elektronik dan sebagainya dipisahkan. Kemudian pada hari-hari tertentu mereka membuang sampah sesuai jenisnya misal; sampah kaca dibuang hari Selasa, plastik hari Rabu dan seterusnya. Mungkin terdengar menggelikan bagi orang Aceh, tapi hal seperti ini sangat penting di Jepang. Pengaturan sampah yang mulai dilakukan dari rumah memudahkan pemerintah untuk mengelola jutaan ton sampah-sampah dalam proses selanjutnya.

Daur ulang, penggunaan ulang dan pemulihan (recycle, reuse & recovery) merupakan prinsip-prinsip utama pengelolaan sampah. Jika prinsip-prinsip ini dapat dijalankan maka pemerintah akan dengan mudah melakukan kegiatan pengelolaan sampah sesuai dengan jenisnya. Seperti kertas apakah di daur ulang, atau elektronika yang diambil komponen-komponen yang masih berguna untuk digunakan kembali dan sebagainya.

Manajemen pengelolaan sampah di Indonesia umumnya atau Aceh khususnya masih jauh dari apa yang kita sebutkan pada negara maju. Sampah plastik, kertas, beling, puntung rokok, bercampur aduk dibungkus dalam satu wadah. Bahkan banyak sampah tidak ditempatkan dalam bungkusan, cuma menuangkan saja ke bak sampah. Membuang sampah pun pada waktu yang sembarangan, kadang pagi, kadang sore. Walhasil program manajemen sampah yang telah disusun sedemikian canggih tidak akan pernah berhasil. Sebuah cerita lucu tentang pengelolaan sampah pasca tsunami menarik disimak.

Negara Turki menyumbangkan truk sampah, compactor, artinya truk ini sekaligus memadatkan sampah sebelum ditempatkan dalam baknya. Ternyata truk ini tidak dapat bertahan lama alias segera mengalami kerusakan di bagian compactor nya. Mesin menjadi cepat rusak karena terlalu banyak memadatkan sampah yang masih bercampur dengan material keras dan besar. Misalnya ada yang membuang besi, kayu dengan beragam ukuran, barang elektronik, sehingga mesin pemadat sampah tidak sanggup bekerja lagi. Akhirnya truk inipun digunakan secara manual kembali yaitu sekedar menampung sampah pada baknya. Padahal akan sangat banyak sampah yang dapat diangkut jika mesin compactor tetap berfungsi dengan baik.

Manajemen persampahan Aceh masih belum begitu efisien. Bagaimana mau mendaur ulang sampah kalau sampahnya saja bercampur aduk tidak karuan. Perlu waktu ratusan jam untuk memilah-milahnya yang pada akhirnya akan membutuhkan banyak waktu sehingga berimplikasi membutuhkan biaya yang lebih mahal. Belum lagi kalau kita membicarakan tentang teknologi daur ulang sampah yang cocok untuk diterapkan di Aceh. Program manajemen pengelolaan sampah susah-susah gampang. Seorang ahli manajemen limbah pasca sarjana Unsyiah pernah menyatakan tidak setuju benar dengan program kompos sebagai cara utama penanggulangan sampah.

Sangat sedikit sampah yang dihasilkan oleh masyarakat dapat diolah menjadi pupuk atau kompos. Hanya sampah organik seperti sayuran, ikan, sisa nasi ataupun sampah yang berasal dari makhluk hidup yang dapat menjadi kompos. Bagaimana dengan sisanya seperti sampah anorganik, besi, kayu, elektronik, kertas dan lain sebagainya? Ahli ini lebih setuju dengan manajemen sampah yang dimulai dari rumah warga. Pemilahan sampah, pembagian hari membuang sampah dan semacamnya oleh warga merupakan langkah strategis pengelolaan sampah yang berkelanjutan. Sehingga sampah jutaan ton dapat menjadi barang yang berguna kembali sebanyak jutaan ton pula. Ini sebenarnya sangat sesuai dengan teori kekekalan massa yaitu massa tidak dapat dimusnahkan atau diciptakan. Yang dapat dilakukan manusia hanyalah mengubah bentuk massa atau benda.

Pemerintah Aceh kini sedang membangun Tempat Pengolahan Akhir (TPA) sampah yang terletak di Desa Data Makmur kecamatan Blang Bintang Aceh Besar. TPA ini menerapkan sistem Sanitary Landfill, artinya setiap lapisan sampah yang terbentuk setiap hari akan segera ditutup dengan lapisan tanah setiap hari juga. TPA Sanitary Landfill dengan penanganan sesuai konsep tidak akan menimbulkan bau, tidak mengundang banyak lalat dan tidak kotor. TPA ini merupakan TPA regional yang menampung sampah dari daerah kota Banda Aceh dan Aceh Besar. Dengan Luas 200 ha, diharapkan TPA dengan teknologi tercanggih di Indonesia ini, akan mampu bertahan hingga 17 tahun. Sekali lagi, pertanyaan selanjutnya, apakah TPA ini akan efektif jika pengelolaan sampah di tingkat masyarakat masih seperti sekarang?

Secara pribadi saya ragu, karena system Sanitary Landfill mengharuskan sampah yang telah dikondisikan sesuai dengan jenis. Apalagi TPA Blang Bintang juga berencana akan mendaur ulang sampah sehingga dapat bermanfaat kembali dan mempunyai nilai ekonomis.

Slogan buanglah sampah pada tempatnya banyak kita baca dimana-mana. Tapi pertanyaan selanjutnya adalah dimana tempatnya aliasnya tong sampahnya? Setelah ada tong sampah, apalagi yang harus kita lakukan? Jangan sampai sudah ada tong sampah masih juga membuang sampah di luar tempatnya. Kalau membuang sampah pada tempatnya saja kita belum bisa, bagaimana melakukan hal-hal lain yang lebih rumit. Maka dari itu buanglah sampah pada tempatnya, jangan di luarnya. [m.nizar abdurrani]

read more
Ragam

Fotografer Aceh, Fahreza Ahmad, Juarai Lomba Foto Lingkungan ASEAN

Badan ASEAN Centre for Biodiversity ( ACB ) dan GIZ mengumumkan pemenang lomba foto lingkungan ASEAN yang bertemakan ” Zooming in on Biodiversity and Climate Change”, dalam acara pertemuan ke-IV ASEAN Konferensi Heritage Parks,  1 Oktober 2013 lalu di Tagaytay City, Filipina . Hal yang membanggakan, fotografer dari Aceh, Fahreza Ahmad, berhasil meraih juara III dalam lomba ini dengan fotonya yang berjudul “Flood”. Fahreza adalah fotografer yang aktif memotret isu-isu lingkungan di Aceh.

Acara penyerahan penghargaan dipimpin oleh Direktur Eksekutif ACB , Atty . Roberto V. Oliva dan Direktur Proyek Keanekaragaman ACB – GIZ dan Proyek Perubahan Iklim ( BCCP ), Dr Berthold Seibert.

Lomba foto ini dimulai sejak 1 Desember 2012 hingga 31 Juli 2013, dengan tujuan menarik perhatian publik terhadap isu-isu keanekaragaman hayati yang bersinggungan dengan isu perubahan iklim dan perlunya tindakan global dan lokal untuk mengatasi kedua masalah ini .

Panitia dari ACB dan GIZ menerima 798 foto dari peserta Kamboja , Indonesia, Malaysia , Myanmar, Filipina , Singapura, Thailand dan Viet Nam.  Pemenang dibagi dalam beberapa kategori yaitu pemuda, amatir dan kategori profesional. Fahreza memenangkan juara untuk kategori profesional. Ia memotret situasi banjir yang terjadi di Padang Tiji-Pidie, beberapa waktu lalu. Ini merupakan kemenangan keduanya di pentas international setelah sebelumnya sempat meraih juara dalam lomba foto yang diadakan oleh UNESCO Republik Rakyat China.

Ketiga pemenang Hadiah Pertama adalah: Kategori Pemuda – Dimas Dwi Adiansyah (Indonesia) untuk fotonya berjudul “Working together for the future “; Kategori Amatir – Jose Melencio ” Bimbo ” M. Brillo (Filipina) untuk fotonya berjudul ” No Fly Zone “; Kategori profesional – Kyaw Kyaw Winn (Myanmar) untuk fotonya berjudul ” Harapan ” .

“Working Together for the Future” oleh Dimas Dwi Adiansyah (Indonesia)

Para pemenang lainnya : Kategori Pemuda, pemenang kedua – Jan Brendan Singlador ( Filipina ) untuk fotonya berjudul ” Mangrove Planting”, Kategori Amatir, pemenang kedua, – Aldrin Cuadra ( Filipina ) untuk fotonya berjudul ” Hope”; Kategori Amatir, pemenang ketiga – Aditya Nugraha ( Indonesia ) untuk fotonya ” Mudskipper Fight”, Kategori Profesional, pemenang kedua – Nikki Sandino Victoriano (Filipina) dengan fotonya berjudul ” Man-made Forest “dan pemenang ketiga untuk kategori profesional – Fahreza Ahmad (Indonesia) untuk foto berjudul “Flood. ”

Mudskipper Fight oleh Aditya Nugrah (Indonesia)

Sementara itu Wilfredo Leonado memenangkan foto pilihan pembaca dengan potretnya yang berjudul “Surviving Drought, ” yang mengantongi jumlah like tertinggi di Facebook .

Total hadiah sebesar US $ 4000 diterima oleh pemenang di semua kategori. Foto para pemenang akan diterbitkan dalam  ASEAN Biodiversity Magazine dan publikasi internasional lainnya dan ditampilkan dalam pameran yang akan di negara-negara ASEAN .

Surviving Drought oleh Wilfredo Leonado

” Kehilangan keanekaragaman hayati dan perubahan iklim merupakan tantangan yang mengkhawatirkan untuk kawasan ASEAN dan seluruh dunia . Untuk mengatasi masalah ini, kita perlu bantuan semua pihak. Lomba foto ini telah memberi kita kesempatan untuk melibatkan profesional, fotografer amatir dan siswa dalam menghasilkan kesadaran untuk keanekaragaman hayati dan perubahan iklim. Foto mereka akan digunakan sebagai alat pendidikan sehingga orang dapat belajar tentang isu-isu kunci , ” kata Atty . Oliva.

Menurut Dr Berthold Seibert, hubungan antara keanekaragaman hayati dan iklim merupakan salah satu paling sedikit dipahami , namun salah satu hal yang paling penting . ” Minimnya pengetahuan sering diterjemahkan menjadi ketidakpedulian dan kurangnya tindakan.  Selamat kepada semua pemenang, gambar mereka telah menangkap kebutuhan mendesak untuk mengatasi hilangnya keanekaragaman hayati dan perubahan iklim , ” jelasnya .[]

Sumber: aseanbiodiversity.org

read more