close

01/12/2013

Flora Fauna

Taman Nasional Kutai Dapat Keluarga Baru Orangutan

Kabar gembira datang dari Taman Nasional Kutai (TNK) yang terletak di Kabupaten Kutai Timur, provinsi Kalimantan Timur. Jumlah orangutan kalimantan penghuni taman nasional ini bertambah lagi setelah Putri orangutan betina berumur sekitar 30 tahun kembali melahirkan anak.

“Putri adalah orangutan betina yang berdomisili di kawasan penelitian Bendili – Mentoko dan telah melahirkan bayinya sekitar 3 minggu yang lalu” kata Purwo Kuncoro, Field Research Manager, Orangutan Kutai Project. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh Purwo dan tim nya selama 3 tahun terakhir Putri telah memiliki 2 anak. Pur, anak Putri terdahulu diperkirakan telah berumur lebih dari lima tahun.

Menurut Purwo jarak kelahiran 5 hingga 6 tahun adalah jarak kelahiran normal bagi orangutan Kalimantan. Sedikit berbeda dengan kerabatnya yang berada di Sumatra, orangutan Sumatra memiliki jarak kelahiran yang sedikit lebih lama yaitu 6 hingga 7 tahun.

Kalimantan adalah satu dari dua pulau di Asia yang menjadi habitat orangutan. Di pulai ini terdapat 3 subspesies orangutan, yaitu : Pongo Pygmaeus Pygmaeus yang mendiami wilayah Kalimantan Barat, Pongo Pygmaeus Wurmbii yang mendiami wilayah Kalimantan Tengah dan Pongo Pygmaeus Morio yang mendiami wilayah Kalimantan Timur.

“Pongo Pygmaeus Morio adalah subspesies orangutan kalimantan yang mampu beradaptasi dengan kondisi alam yang ekstrim” ungkap Purwo. Yang dimaksud dengan kondisi alam yang ekstrim menurut Purwo adalah kondisi hutan Kalimantan Timur yang memiliki iklim yang lebih kering karena jarang turun hujan. Kualitas tanahnya yang miskin mengakibatkan minimnya produktifitas hutan di wilayah ini.

“Hutan Kalimantan Timur tidak banyak menyediakan variasi jenis pakan sehingga orangutan di wilayah ini menjadikan kulit kayu sebagai variasi pakannya. Kebiasaan memakan kulit kayu ini menjadikan orangutan disini memiliki rahang yang lebih kuat jika dibandingkan dengan kerabatnya di Kalteng dan Kalbar” jelas Purwo. Kondisi alam yang berbeda dengan wilayah lain di Kalimantan ini menurutnya sangat berpengaruh terhadap kemampuan adaptasi dan evolusi orangutan Kalimantan Timur.

Pada tahun 2010 Balai TNK, Universitas Mulawarman dan Orangutan Conservation Services Program (OCSP) melakukan survey populasi orangutan di TNK. Hasil survey ini memperkirakan setidaknya terdapat 2.000 orangutan yang hidup dalam kawasan dengan luas 198.629 hektar ini. Perambahan, perburuan satwa dan penyelesaian konflik lahan antar masyarakat dan pemerintah yang lamban mengakibatkan kondisi taman nasional ini semakin memprihatinkan. Kondisi ini juga mengakibatkan ancaman bagi keberlangsungan hidup orangutan dan satwa lain yang berada dalam kawasan yang statusnya dilindungi ini meningkat tajam.[]

Sumber: mongabay.co.id

read more
Galeri

Foto: Bayi Orangutan Taman Nasional Kutai

Kalimantan adalah satu dari dua pulau di Asia yang menjadi habitat orangutan. Di pulau ini terdapat 3 subspesies orangutan, yaitu : Pongo Pygmaeus Pygmaeus yang mendiami wilayah Kalimantan Barat, Pongo Pygmaeus Wurmbii yang mendiami wilayah Kalimantan Tengah dan Pongo Pygmaeus Morio yang mendiami wilayah Kalimantan Timur.

Sumber: mongabay.co.id

read more
Flora Fauna

Puluhan Gajah Liar Digiring Kembali ke Habitatnya

Seekor gajah keng atau pimpinan gajah dan 27 ekor gajah lain akhirnya bisa digiring dari kawasan Pegunungan Pante Peusangan, Kecamatan Juli dan Blang Paya di Kecamatan Peudada, Kabupaten Bireuen, Aceh. Penggiringan satwa liar ini memakan waktu hampir sepuluh bulan berkat kerja keras duet tim Dinas Kehutanan dan Perkebunan Bireuen dan Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh.

Penggiringan berakhir manis setelah puluhan gajah tersebut kembali ke habitat mereka. Kecemasan warga sudah cukup lama dilayangkan ke dinas terkait, tetapi terkendala waktu dan biaya mendatangkan gajah terlatih untuk mempercepat penggiringan. Warga tak henti-hentinya melaporkan setiap kejadian pengerusakan oleh gajah, tetapi tak kunjung ada respons.

Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Bireuen Irwan SP mengatakan, ulah manusia merambah hutan habitat gajah menjadi pemicu utama mengamuknya gajah liar. Ia mengatakan, sejak zaman dulu kawasan Pegunungan Pante Peusangan Km. 35 dan Blang Paya merupakan jalur lalu lintas gajah liar. Hal itu diakui oleh warga tempatan yang turun-temurun lahir dan menetap di sana.

“Puluhan tahun warga mengaku belum pernah mendengar cerita berpaspasan dengan gajah saat hendak ke kebun, apalagi sampai jatuh korban,” kata Irwan, Sabtu (30/11/2013).

Namun, belakangan ini peristiwa demi peristiwa terjadi akibat amukan gajah sehingga menelan korban nyawa maupun harta. Kepala Desa Blang Paya M Yasin mengatakan, sudah puluhan kali penduduk di sana dikagetkan dengan ulah kawanan gajah yang menggasak kebun dan rumah warga.

Seorang warga bahkan meninggal dunia ketika secara tidak sengaja berpapasan dengan gajar liar itu pada Januari 2013. Warga bernama M Syarif (60), warga Bener Meriah, itu tewas diinjak gajah ketika ia pulang dari kebunnya di Leubok Pisang. Korban yang pulang bersama seorang temannya itu tidak bisa melarikan diri karena tepergok gajah yang sedang marah besar.

“Setelah kejadian itu, warga tidak berani lagi ke kebun hingga kebun dibiarkan terlantar dan warga kebingungan menyiasati perekonomian mereka selama ini,” kata Yasin.

Warga bertambah khawatir jika sewaktu-waktu didatangi gajah yang tersesat dari kawanannya. Hal itu sempat terjadi di sejumlah rumah warga yang bagian dapurnya diobrak-abrik hewan berbelalai tersebut.

“Kejadiannya siang hari sehingga warga cepat menghalau bersama-sama. Bagaimana kalau malam hari di mana warga tertidur pulas?” ujar Yasin.

Berbalut cemas dan resah, akhirnya warga dan perangkat di dua desa itu mengadukannya ke dinas terkait. Setelah dilakukan beberapa kali survei, akhirnya diperoleh kesepakatan tim untuk turun menghalau kawanan gajah liar tersebut.

Selama sembilan hari sejak pertengahan November kemarin, tim Dinas Kehutanan dan Perkebunan Bireuen dan BKSDA Aceh yang diketuai Andi Aswinsyah menghadapi tantangan berat menggiring kawanan gajah itu ke habitatnya di Pegunungan Cot Rampagoe dan Gunong Goh. Medan berat sebelumnya dilalui tim menuju Pegunungan Blang Paya dan Pante Peusangan.

Bukan perkara mudah menemukan kawanan gajah itu. Tim harus menunggangi empat ekor gajah terlatih dari BKSDA, naik-turun gunung dengan kiri-kanan jurang, serta menyeberangi beberapa anak sungai. Sewaktu-waktu mereka bisa bertemu dengan puluhan gajah liar yang mengamuk. Ulah manusia merambah hutan lindung diyakini menjadi alasan besar menyatukan kekuatan dan kebersamaan warga setempat untuk mengakhiri amukan gajah liar itu. Yasin mengatakan, upaya mencegah amukan gajah liar harus dipikirkan bersama, bukan hanya melaporkan ke dinas terkait. “Penduduk diharapkan menaati untuk tidak melakukan perambahan hutan yang dapat mengganggu habitat gajah,” kata Yasin.

Ia mencoba memberikan solusi dengan menanam pisang monyet di kawasan hutan habitat gajah. Dengan begitu, kebutuhan makanan untuk satwa tersebut dapat terpenuhi.  []

Sumber: theglobejournal/kompas

 

read more
Ragam

Aktivis Greenpeace ‘Arktik 30’ Dibebaskan dengan Jaminan

Murmansk adalah kota besar di bagian barat laut Rusia terletak 12 kilometer dari Laut Barents di pantai utara Semenanjung Kola, tak jauh dari perbatasan dengan Norwegia dan Finlandia –  di kota inilah 28 aktivis Greenpeace dan 2 orang jurnalis lepas menghabiskan hari-hari mereka. Bukan untuk berlibur, bukan untuk bekerja, mereka mendekam selama lebih dari 60 hari di balik terali besi menjelang musim dingin yang membekukan.

Setelah melewati hari-hari panjang yang diisi dengan persidangan dan penantian, hari Kamis 28 November Colin Russel dari Tasmania Australia anggota terakhir Arktik 30 (A30) akhirnya menghirup udara kebebasan dan bergabung bersama 29 orang lainnya yang sudah lebih dulu mendapatkan pembebasan bersyarat.

71 hari yang panjang. 71 hari penuh perjuangan. 71 hari menunggu keadilan. 71 hari yang membuktikan untuk jangan pernah menyepelekan arti kekuatan pergerakan bersama.  Lebih dari dua juta orang telah menyatakan dukungan mereka dengan mengirimkan surat kepada pemerintah Rusia melalui Kedutaan Russia di seluruh dunia untuk membebaskan A30. Dari pemenang nobel perdamaian termasuk Uskup Desmond Tutu hingga artis dunia Madonna turut menyatakan simpati mereka dan mendesak Presiden Vladimir Putin agar mengupayakan pembebasan mereka.

Dalam pernyataannya kemarin, Ben Ayliffe Juru Kampanye Greenpeace Internasional untuk Arktik menyampaikan, “Babak baru dimulai hari ini. 28 aktivis dan dua jurnalis lepas akhirnya sudah dibebaskan dari penjara dan berkumpul lagi dengan keluarga dan kerabat mereka. Tapi masalah belum berakhir.”

Arctic 30 dibebaskan dengan jaminan setelah menghabiskan hampir dua bulan di tahanan, menyusul protes damai menentang pengeboran minyak Arktik. Namun, kondisi jaminan mereka belum sepenuhnya diketahui dan 30 Arktik masih menghadapi tuduhan hooliganisme, dihukum sampai 7 tahun penjara.

Kita juga belum sepenuhnya bebas ketika kita masih berhadapan dengan keserakahan dan eksploitasi yang kapan saja siap menghancurkan tempat-tempat yang harus dilindungi di planet ini, seperti kawasan Arktik. Kawasan yang rentan namun berada dalam ancaman dari pengeboran minyak, eksploitasi ikan dan perubahan iklim.

Kita belum sepenuhnya bebas ketika kita harus membesarkan anak-anak dalam rasa khawatir di tengah lingkungan yang tercemar oleh polusi air, udara serta makanan. Kita belum sepenuhnya bebas ketika udara bersih yang menjadi hak setiap individu termasuk anak cucu kita menjadi kotor karena bahan bakar fosil sementara solusi lain yang lebih aman tersedia.

Namun 71 hari kita telah membuktikan: saat kita berdiri bersama, sesuatu yang besar bisa saja terjadi. Bahwa tekad dan kebersamaan adalah dua amunisi yang bisa meruntuhkan tembok-tembok kekuasaan. Perjuangan ini belum selesai. Kita masih harus bergerak bersama, dari Arktik hingga ke hutan-hutan di Sumatera sampai akhirnya kebebasan itu benar-benar menjadi milik kita, milik anak cucu kita.

Murmansk, kota besar di bagian barat laut Rusia 12 kilometer dari Laut Barents di pantai utara Semenanjung Kola menjadi saksi bahwa bagaimana pun caranya – tekad dan visi tak bisa dirampas dan dibelenggu. Walaupun perjalanan menuju kebebasan itu sangat panjang, ketika kita terus bergerak bersama, masih ada harapan untuk mewariskan planet yang bersih dan lestari bagi anak cucu kita nanti.

Sumber: greenpeace.or.id

read more