close

03/12/2013

Sains

Dahsyat, Daun Pohon Mampu Serap 50 Persen Partikel Pencemar

Bernafas kini tidak mudah, begitu banyak polusi udara disekitar kita. Studi WHO baru-baru ini mengungkapkan bahwa polusi udara membunuh manusia lebih banyak dari kombinasi AIDS dan malaria serta penyakit kanker. Tapi syukurnya banyak tempat yang telah menjadi lebih baik walaupun masih banyak tempat lain yang kondisi udaranya buruk (terutama di Timur Tengah dan Asia serta Eropa).

Kita semua tahu bahwa dedaunan merupakan penyaring udara yang baik, tapi kita masih sulit untuk menentukan seberapa banyak polutan yang diserapnya. Sebuah riset terbaru dari Lancaster University, Inggris, mencoba menentukan jumlah polutan yang bisa diserap daun pohon. Temuannya menganggumkan dan menjadi alasan kuat kenapa kita harus terus menanam pohon.

Para ilmuan mulai penelitian dengan mengukur berapa banyak polusi udara yang masuk ke rumah-rumah penduduk di  Lancaster dengan menggunakan alat pendeteksi debu dan menyapu permukaan rumah-rumah tersebut. Kemudian partikel-partikel pencemar tersebut dianalisa, untuk mendapatkan informasi mengenai konsentrasi partikel-partikel tersebut.

Kemudian tim menempatkan sebuah layar pada 30 pohon Birch perak muda di depan empat rumah, termasuk salah satu rumah sebagai kontrol, selama 13 hari.  Penyapu dari delapan rumah menunjukkan bahwa rumah-rumah dengan layar pohon memiliki konsentrasi 52-65% lebih rendah partikel logam. Perbandingan semua data monitoring debu dari dua rumah kontrol asal menunjukkan penurunan 50% di PM1, PM2.5, PM10 dan di rumah dengan pohon-pohon di depan.

Dengan menguji daun Birch perak dengan alat scanning electron microscope, peneliti menemukan bahwa permukaan daun dengan bulu-bulu halus menyerap partikel logam. Juga seperti partikel yang diukur dari dalam rumah, partikel-partikel agaknya merupakan produk hasil pembakaran dan sistem pengereman dari berbagai kendaraan yang lewat.  Hasil pengamatan sebelumnya mengindikasikan korelasi yang kuat  antara jumlah material yang diidentifikasi, dan benzo(a)pyrene, sebuah zat hidrokarbon beracun penyebab kanker yang ditemukan dalam partikle pencemar tersebut.

Jadi, kapan sebaiknya kita mulai menanam pohon ? Tidak ada waktu yang pasti ditunjukan dalam studi ini namun menanam pohon kapanpun sepertinya tidak pernah rugi.

Sumber: treehugger.com

read more
Hutan

Mengenal Lebih Dekat Hutan Gambut Rawa Tripa

Isu hutan gambut Rawa Tripa dalam beberapa tahun belakang ini banyak diekspose oleh media dan mendapat perhatian luas dari aktivis lingkungan. Wajar saja karena hutan gambut ini sedang dalam proses perusakan massif akibat ulah manusia. Pemerintah pun kini bertindak lebih tegas dengan menyeret para perusak lingkungan itu ke meja hijau. Para terdakwa dari sejumlah perusahaan digugat secara perdata dengan denda ratusan miliar hingga digugat secara pidana dengan hukuman badan.

Sayangnya Qanun (Perda) Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh yang baru disahkan beberapa hari lalu tidak mencantumkan nama Leuser didalamnya. Ini berimplikasi perlindungan terhadap wilayah Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) akan semakin lemah.

Namun tahukah Anda bagaimana situasi Rawa Tripa itu sendiri? Berikut informasinya yang kami kumpulkan dari berbagai sumber.

Gambut Luas yang Hancur
Hutan gambut Rawa Tripa (Rawa Tripa) adalah salah satu dari tiga hutan rawa yang berada di pantai barat pulau Sumatera dengan luas mencapai ± 61.803 hektar. Secara administratif, 60% luas Rawa Tripa berada di kecamatan Darul Makmur, Nagan Raya. Sisanya berada di wilayah Babahrot, Aceh Barat Daya (Abdya). Wilayah tersebut berada dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). Di dalamnya mengalir tiga sungai besar yang menjadi batas kawasan. Daerah ini dapat ditempuh dua jam perjalanan darat dari Meulaboh atau sekitar satu jam dari Jeuram, Ibukota Kabupaten Nagan Raya.

Rawa Tripa memiliki peran sangat penting, yaitu sebagai pengatur siklus air tawar dan banjir serta benteng alami bagi bencana tsunami. Selain itu, Tripa juga dapat menjaga stabilitas iklim lokal, seperti curah hujan dan temperatur udara yang berperan positif bagi produksi pertanian yang berada di sekitarnya.

Rawa Tripa juga sangat kaya dengan berbagai jenis ikan dan hasil hutan non kayu yang secara tradisional dimanfaatkan masyarakat setempat sebagai sumber ekonomi keluarga dan sumber protein. Rawa gambut ini merupakan habitat terbaik berbagai jenis ikan tawar yang memiliki nilai komersial tinggi. Di dalam kawasan ini terdapat sedikitnya 40 jenis ikan bernilai ekonomi tinggi, seperti ikan Lele (biasa dan jumbo), Belut, Paitan dan Kerang.

Rawa Tripa juga menyediakan kayu konstruksi dan bahan bakar. Hal penting lainnya adalah beberapa sumber daya alam bukan kayu seperti madu lebah dan tumbuhan obat yang tak ternilai harganya.

Berbagai jenis satwa penting dan langka yang terdapat di kawasan hutan rawa gambut Tripa antara lain Beruang Madu (Helarctos malayanus), Orangutan Sumatera (Pongo abelii), Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrensis), Buaya Muara (Crocodilus porosus), Burung Rangkong (Buceros sp), dan berbagai jenis satwa liar lainnya.
Bahkan hasil penelitian Prof. Carel Van Schaik pada tahun 1996 menemukan kepadatan populasi orangutan tertinggi di dunia terdapat di dalam kawasan hutan rawa gambut Tripa, Kluet dan Singkil.

Jumlah total cadangan karbon di lapisan gambut Tripa diperkirakan mencapai 50 – 100 juta ton, dan merupakan stock cadangan karbon terbesar di Aceh yang belum terlindungi.

Namun, Rawa Tripa saat ini mengalami kerusakan yang sangat parah akibat pembukaan lahan di dalam kawasan tersebut oleh perusahaan perkebunan. Padahal kawasan tersebut secara tradisional merupakan sumber kehidupan masyarakat lokal.

Menurut perkiraan, luas hutan di Rawa Tripa hanya tersisa kurang dari 50% dari luas total 61.000 hektare. Saat ini, 36.185 hektare luas Rawa Tripa sudah menjadi wilayah konsesi bagi 4 perusahaan kelapa sawit besar yang beroperasi di Rawa Tripa yaitu PT. Astra Agro Lestari (13.177 Ha), PT. Kalista Alam (6.888 Ha),  PT. Gelora Sawita Makmur (8.604 Ha) dan PT. Cemerlang Abadi (7.516 Ha).

Dari total luas konsesi HGU di rawa Tripa, 20.200 hektar di antaranya telah dibuka. Sisanya berupa hutan primer dan sekunder yang akan segera mati sebagai dampak pembukaan kanal-kanal oleh perusahaan untuk mengeringkan rawa tersebut, kalau pengeringan ini tidak dihentikan dan restorasi, rehabilitasi lahan dilakukan segera.

Selain itu, teknik pembukaan lahan (land clearing) dengan cara pembakaran kerap dilakukan oleh pihak HGU yang memperparah kerusakan di hutan Rawa Tripa.

Kondisi Sosial, Ekonomi dan Ekologis Rawa Tripa
Di kawasan Rawa Tripa  ditempati oleh penduduk suku Aceh yang merupakan kelompok etnis terbesar dan dominan. Etnis-etnis lainnya antara lain suku Jawa, yang merupakan transmigran, suku Batak, dan sebagainya.

Mata pencaharian utama sebagian besar penduduk Tripa adalah di sektor pertanian (padi, cokelat, sawit) dan nelayan tradisional terutama untuk produk perikanan di rawa seperti lele dan lokan (sejenis kerang). Sebagian kecil masyarakat ada yang bekerja di perkebunan kelapa sawit sebagai buruh kasar/pekerja harian.

Rawa gambut memiliki peran penting dalam perkembangbiakan ikan. Oleh karena itu, bagi sebagian penduduk lokal di Tripa, lele dan jenis-jenis ikan rawa lainnya merupakan sumber ekonomi dan sumber protein penting bagi mereka.

Aspek ekologis Rawa Tripa
Rawa gambut Tripa merupakan bagian dari KEL yang dikenal dengan kekayaan keanekaragaman hayatinya dan telah di tetapkan sebagai kawasan strategis nasional untuk perlindungan lingkungan hidup. Rawa Tripa memiliki fungsi ekologis yang sangat penting bagi masyarakat sekitar, antara lain:

1. Sebagai pelindung dari bencana tsunami
Tripa sangat penting untuk penduduk lokal karena mampu menjadi buffer zone tangguh saat bencana Tsunami menghantam Aceh pada Desember 2004. Hal ini terlihat dari minimnya kerusakan yang terletak di belakang kawasan hutan rawa gambut Tripa yang masih terjaga dengan baik.

2. Pengatur siklus air dan pencegah banjir
Lahan gambut memiliki peranan hidrologis penting karena secara alami berfungsi sebagai cadangan (reservoir) air dengan kapasitas sangat besar. Jika tidak mengalami gangguan, lahan gambut dapat menyimpan air sebanyak 0,8 – 0,9 m3/m3 (Murdiyarso et al, 2004).  Dengan demikian Rawa gambut Tripa memiliki peran sangat penting sebagai pengatur siklus air tawar dan banjir.

3. Cadangan karbon
Berdasarkan hasil studi kedalaman gambut yang dilakukan di Rawa Tripa, memperlihatkan bahwa kawasan ini terdapat tiga kubah gambut dengan kedalaman lebih dari 5 meter. Jumlah cadangan karbon diatas permukaan tanah pada hutan yang masih ada seluas 31.410 Ha (Hutan primer seluas 24.088 Ha dan hutan sekunder seluas 7.231 Ha) sebesar 4.048.335 ton carbon. Sementara cadangan karbon di bawah permukaan tanah (dengan kedalaman antara 130 cm – 505 cm) diperkirakan sebesar 328-2.240 ton karbon/Ha  (Agus dan Wahdini, 2008). Jumlah total cadangan karbon di lapisan gambut Tripa diperkirakan mencapai 50 – 100 juta ton, dan merupakan stock cadangan karbon terbesar di Aceh yang belum terlindungi.

Menyadari nilai penting Rawa Tripa, penduduk lokal dari dulu telah menghormati keberadaan rawa Tripa. Mereka memperlakukan rawa tersebut secara khusus sebagai sumber daya alam yang dimanfaatkan. Tetapi kini sumber daya alam tersebut sudah semakin langka. Masyarakat setempat sudah tidak bisa dengan mudah menjaring ikan lele atau mencari madu seperti dulu lagi. Karenanya hutan gambut Rawa Tripa perlu diselamatkan demi manusia dan alam sekitarnya. []

read more
Flora Fauna

Mahasiswa Temukan Spesies Burung Baru di Kampus IPB

Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) Fakultas Kehutanan IPB kembali mencatat spesies baru dari burung (aves) di kawasan Kampus IPB Dramaga. Kali ini, Kelompok Pemerhati Burung (KPB) “Perenjak” HIMAKOVA menemukan burung dari suku Cuculidae berjenis Kadalan Birah (Phaenicophaeus curvirostris), atau yang dalam bahasa Inggris disebut Chesnut-breasted Malhoka.

“Kadalan Birah, selain baru tercatat keberadaannya di Kampus IPB Dramaga, juga baru tercatat keberadaannya di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) Sukabumi saat anggota KPB Himakova melakukan pengamatan burung pada tanggal 7 September 2013. Saat itu, Reza Aulia Ahmadi yang menemukan spesies ini dan sempat membuat artikelnya,” kata Ketua Biro Infokom HIMAKOVA Arizka Mufida.

HIMAKOVA yang aktif melakukan monitoring burung di Kampus IPB Dramaga, telah mencatat sekitar 90 spesies burung yang ada di kampus ini. Kadalan Birah sendiri ditemukan oleh anggota KPB ketika melakukan pengamatan di sekitar Kebun Sawit Cikabayan, Kampus IPB Dramaga, usai praktikum Inventarisasi Mamalia pada Senin (25/11/2013).

“Kadalan Birah termasuk jenis burung yang sulit ditemukan di kampus IPB Dramaga. Sebenarnya pada monitoring KPB sebelumnya, sudah pernah ditemukan spesies ini, namun karena masih sekali ditemukan dan tidak ada dokumentasi sehingga buktinya masih belum kuat. Adanya dokumentasi dari Ichy, membantu proses identifikasi dan menjadi bukti otentik adanya spesies ini,” ujar Ketua KPB HIMAKOVA Muhammad Fahmi Permana.

Kadalan Birah memiliki ciri-ciri morfologi yang cukup mencolok, dengan ukuran tubuh 49cm serta warna yang dominan hijau dan merah karat pada seluruh tubuhnya. Burung ini umum dijumpai di dataran rendah dengan kebiasaan mengunjungi semak belukar, padang alang-alang dan bertengger di tajuk-tajuk pohon kecil bersama pasangannya ataupun dengan keluarga kecil.

“Pada saat ditemukan, burung tersebut sedang bertengger dan meloncat-loncat di ranting pohon Sengon dan ditemukan berpasangan. Awalnya, saya mengira burung ini adalah Burung Bubut. Namun, setelah dilakukan pengambilan foto yang dilanjutkan dengan identifikasi jenis, diketahui bahwa burung tersebut merupakan Kadalan Birah,” tutur Richsy M Fauzi (Ichy), anggota KPB HIMAKOVA yang menemukan spesies tersebut.

Kampus IPB Dramaga menjadi habitat beragam jenis burung karena kondisi kampusnya yang mendukung, salah satunya daerah Cikabayan. Kondisi Cikabayan yang mempunyai berbagai vegetasi, di antaranya tegakan karet, sengon, kelapa sawit, padang alang-alang dan vegetasi hutan alam lainnya, menjadi faktor utama keberagaman jenis burung di kampus ini.[]

Sumber: republika.co.id

read more
Flora Fauna

Penyu Belimbing Kini Masuk Kategori Rentan

Leatherback sea turtle atau penyu belimbing, yang merupakan penyu terbesar di dunia, kini tak lagi masuk dalam satwa yang dikategorikan terancam punah (Critically Endangered) dalam Daftar Merah IUCN terbaru. Daftar yang terkini, penyu belimbing kini masuk dalam kategori rentan (Vulnerable). Kendati demikian para ahli konservasi memperingatkan bahwa spesies ini masih belum sepenuhnya aman dan jumlahnya masih terus berkurang.

Dalam penelitian terbaru ditemukan bahwa populasi penyu belimbing di barat laut Samudera Atlantik (di sepanjang Amerika Serikat dan Karibia) kini mulai mulai bertambah jumlahnya terkait upaya-upaya konservasi yang dilakukan. Sementara itu para pakar masih belum tahu pasti bagaimana populasi penyu belimbing di tenggara Samudera Atlantik (terutama di Gabon) yang masih merupakan populasi terbesar penyu belimbing.

Namun, situasi di Samudera Pasifik jauh lebih rentan. Populasi penyu belimbing di bagian timur Samudera Pasifik turun hingga 97 persen dalam tiga generasi penyu belimbing, sementara di sisi barat Samudera Pasifik populasinya menurun hingga 80% di periode yang sama.

Salah satunya di Indonesia, yang menjadi habitat penyu belimbing. Populasinya hanya tersisa sedikit saja dari sebelumnya (2.983 sarang pada 1999 dari 13.000 sarang pada tahun 1984). Untuk mengatasi hal tersebut, tiga Negara yaitu Indonesia, PNG dan Kepulauan Solomon telah sepakat untuk melindungi habitat penyu belimbing melalui Mou Tri National Partnership Agreement. Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh WWF-Indonesia, migrasi penyu belimbing yang bertelur di Pantai Utara Papua Barat (Abun) menunjukkan bahwa sebagian satwa langka itu juga bermigrasi ke perairan Kei Kecil untuk mengejar mangsanya (ubur-ubur raksasa).

Namun ketika bermigrasi ke Kei Kecil untuk mencari makan, Penyu Belimbing tidak begitu saja bebas dari ancaman. Praktik pembukaan hutan di sekitar kawasan pantai peneluran serta tangkapan sampingan oleh aktivitas perikanan yang sering kali lokasi tangkapnya timpang tindih dengan habitat pakannya adalah sejumlah faktor yang mengancam kepunahan reptil terbesar itu. Beberapa dekade yang lalu perburuan daging penyu untuk upacara adat juga turut menambah deret panjang ancaman terhadap Penyu belimbing. Namun kini, praktik tersebut sudah jauh lebih berkurang.

Penyu belimbing atau Dermochelys coriacea adalah satu dari tujuh jenis penyu yang ada di dunia, enam diantaranya bisa dijumpai di Indonesia. Penyu belimbing umumnya mempunyai panjang karapas 1-1,75 meter. Sedangkan panjang total umumnya 1,83-2,2 meter. Berat rata-rata penyu belimbing adalah 250-700 kilogram. Meskipun spesies terbesar yang pernah ditemukan (di pantai barat Wales tahun 1988) mempunyai panjang 3 meter dari kepala sampai ekor, dengan berat 916 kg.

Selain ukurannya yang besar, penyu belimbing, sebagaimana jenis penyu lainnya pun sebagai penjelajah lautan yang handal. WWF Indonesia bekerjasama dengan NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) pada Juli 2003 memasang transmitter di punggung sepuluh ekor penyu belimbing yang dilepas dari pantai Jamursba Medi, Papua. Pada Mei 2005, berdasarkan pengamatan satelit, penyu tersebut diketahui berada di Monteray Bay, sekitar 25 km dari Golden Bridge, San Fransisco, Amerika Serikat.

Sumber: Mongabay Indonesia

read more
Sains

Matematika Hijau Pohon Berkah

Saya pernah menulis tentang ‘Mencari Berkah Yang Hilang’, yang antara lain menjelaskan berkah sebagai sesuatu yang mengandung kebaikan yang amat sangat banyak. Malam yang berkah nilainya sekitar 29,500 kali dari malam yang lain, shalat di Masjidil Haram di kota Mekah yang diberkahi – nilainya bahkan 100,000 kali dari sholat di tempat yang lain. Bayangkan bila kita bisa menghadirkan keberkahan itu ke sekitar kita, antara lain melalui pohon yang diberkahi.

Zaitun usia sekitar 1 tahun | Foto: geraidinar.com

Menggunakan analogi nilai malam Lailatul Qadar dan kota Mekah yang diberkahi tersebut, insyaAllah akan memudahkan kita untuk bisa memahami bagaimana pohon yang diberkahi – yaitu zaitun – itu bisa menjadi berkah yang amat sangat banyak, yang nilainya puluhan ribu sampai seratus ribu kali pohon yang lain.

Untuk bisa berbagi memahami bagaimana keberkahan pohon zaitun itu dapat kami jelaskan dengan apa yang terjadi di laboratorium pembenihan zaitun kami. Pohon zaitun yang berumur 1 tahun seperti pada gambar disamping, Alhamdulillah bisa dengan relative mudah menghasilkan 3 pohon zaitun baru dengan teknologi micro-cutting di salah satu cabang atau rantingnya. Teknik ini hanya memerlukan 4 sampai 6 ruas daun (sekitar 10 cm) cabang atau ranting untuk bisa menjadi bakal pohon baru.

Setelah tahun ini (pohon usia 1 tahun)  menghasilkan 3 pohon baru, tahun depan insyaAllah akan ada minimal 3 cabang yang bisa dipotong lagi masing-masing menjadi 3 bibit baru. Artinya pohon yang setahun sekarang, ketika usianya dua tahun dia bisa menghasilkan 9 pohon baru plus 3 dari tahun sebelumnya, begitu seterusnya.

Bibit Zaitun hasil Micro-Cutting | Foto: geraidinar.com

Dalam tujuh tahun sampai tahun 2020, satu pohon zaitun yang sekarang berumur satu tahun setelah beranak-pinak, insya Allah bisa menghasilkan sekitar 7 juta pohon. Ini dimungkinkan dengan teknik micro-cutting – yang hanya membutuhkan cabang/ranting kecil sepanjang sekitar 10 cm yang terdiri dari 4-6 ruas daun tersebut di atas.

Padahal sekarang di seluruh lab kami (3 lokasi) ada sekitar 1,000 pohon zaitun. Artinya dengan matematika yang saya tunjukkan di gambar di bawah, teoritis kita bisa menghasilkan 7 milyar pohon zaitun sampai tahun 2020.

Pekerjaan yang sangat besar dan berat yang tentu saja tidak akan kami lakukan sendiri. InsyaAllah pekerjaan besar tersebut akan kami share ilmunya dan bibitnya sehingga bisa dilakukan rame-rame oleh masyarakat luas.

Pekerjaan besar lainnya adalah menemukan lahan di mana menanam 7 milyar pohon tersebut nantinya. Diperlukan luasan lahan sekitar 43 juta hektar untuk menanam pohon sejumlah ini atau sekitar 5 kali luasan tanaman kelapa sawit yang ada di Indonesia saat ini.

Matematika Micro Cutting Zaitun
Tidak mungkinkah memperoleh luasan ini ? mungkin sih mungkin tetapi tentu tidak akan mudah karena 43 juta hektar lahan adalah setara kurang lebih 22 % dari luasan Indonesia. Bukan berarti kita akan menanami 22 % lahan Indonesia dengan zaitun, tetapi matematika ini untuk menunjukkan bahwa bahkan kalau kita mau memenuhi Indonesia dengan pohon zaitun-pun; benih yang sekarang ada sangat cukup untuk melakukannya.

Belanda hanya perlu membawa empat benih sawit untuk kemudian Indonesia menjad produsen sawit terbesar di dunia dalam beberapa ratus tahun kemudian. Yang kita miliki kini bukan hanya empat benih, tetapi seribu benih – yang penggandaannya dengan micro-cutting bisa jauh lebih cepat ketimbang penggandaan sawit.

Artinya secara matematis-pun menjadi sangat mungkin untuk menanam zaitun dengan cara yang se masif penanaman sawit. Lebih dari itu zaitun adalah pohon yang diberkahi yang kabarnya langsung datang dari Yang Maha Tahu.

“Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat (nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS 24:35)

Maka bila diperlukan ratusan tahun untuk menjadikan Indonesia produsen sawit terbesar di dunia, hanya perlu waktu sekitar 10 tahun bagi Indonesia untuk menyamai produksi minyak zaitunnya sama besar dengan produksi minyak sawit sekarang. Data produksi minyak tersebut di atas hanya sampai tahun 2020 ketika mayoritas pohon belum berbuah, semua  pohon insyaAllah akan berbuah dalam empat tahun kemudian atau tahun 2023 – yaitu saat zaitun bisa menggantikan sawit kita sekarang.  Inilah barangkali bentuk keberkahan yang seharusnya bisa kita raih itu.

Zaitun  tidak memerlukan pabrik untuk membuat minyaknya, artinya masyarakat bisa lebih mudah di-encourage untuk menanamnya dan mengolahnya sendiri. Jadi keberkahan itu bener-bener menjadi hak semua orang.

Bahwa zaitun adalah pohon yang banyak berkahnya – itu sudah pasti benarnya karena Allah sendiri yang mengabarkannya, matematika di atas hanya alat bantu kita untuk memahami bagaimana keberkahan yang sangat banyak itu bisa kita hadirkan di sekitar kita.

Sumber: geraidinar.com

read more
Hutan

Laporan UNDP: Aceh Peringkat Terbawah Indeks Tata Kelola Hutan

United Nations Development Programme (UNDP) bekerja sama dengan Kementerian Kehutanan, UKP4/Satgas REDD+ dan Bappenas, Senin (2/12/2013) mempresentasikan laporan Indek Tata Kelola Hutan, Lahan dan REDD+ 2012 di Indonesia di Banda Aceh. Ada sepuluh propinsi yang dinilai indeksnya, Aceh menduduki peringkat terbawah.

covre indeksAnggota tim penyusun laporan yang hadir dalam presentasi tersebut, Dr. Abdul Wahib Situmorang (UNDP), Purwadi Soeprihanto S.Hut, ME (Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia) dan Dr. Sunaryo (staf ahli Menteri Kehutanan). Acara ini dihadiri oleh para aktivis lingkungan dan sejumlah awak media.

Abdul Wahib mempresentasikan laporan yang bertitel “ Penilaian Tata Kelola yang Partisipatif (Participatory Governance Assessment/PGA)” yang memaparkan beberapa temuan tata kelola kehutanan di Aceh. Dari skala 1-5 (makin besar makin bagus-red) Aceh mendapat indeks 2,07. Sementara sembilan propinsi lain Riau (2,28), Jambi (2,38), Sumatera Selatan (2,19), Kalimantan Barat (2,73), Kalimantan Tengah (2,64), Kalimantan Timur (2,42), Sulawesi Tengah (2,52), Papua Barat (2,29) dan Papua (2,41).

Selain tingkat propinsi, untuk Aceh juga diukur indeks tingkat kabupaten yaitu Kabupaten Aceh Barat (1,52) dan Aceh Tenggara (1,85). “Dari hasil pemetaan dengan scorecard tidak ada satupun komponen penilaian di Aceh yang mendapat kategori warna hijau (bagus-red). Sebagian besar masuk warna kuning (sedang-red), bahkan warna merah terutama pada tingkat kabupaten,” jelas Abdul Wahib.

Berdasarkan hasil penilaian ini, indeks Propinsi Aceh dan dua kabupatennya, lebih rendah dari indeks rata-rata nasional yaitu 2,33.

PGA mempergunakan 117 indikator untuk menilai kondisi tata kelola hutan, lahan dan REDD+ 2012. Kesemua indikator ini ditelaah melalui tiga komponen yaitu kerangka hukum dan kebijakan, kapasitas para aktor (pemerintah, CSO, masyarakat adat/lokal dan pebisnis) dan kinerja. Ada enam isu tata kelola hutan dan prinsip tata kelola diidentifikasi dan menjadi prioritas dalam penilaian indeks ini. Keenam isu tersebut adalah perencanaan ruang dan hutan, pengaturan hak, pengorganisasian hutan, pengelolaan hutan dan kontrol dan penegakan hukum serta kesiapan infrastruktur REDD+.

“Saat presentasi laporan ini dihadapan Pemerintah Aceh, Kadishutbun bertanya Aceh memiliki hutan yang luas, sekitar 60% dari wilayahnya, tapi kenapa kok indeksnya rendah. Saya menjawabnya bahwa pengukuran ini bukan berdasarkan output (hutan) saja. Ini bukan soal hutan bagus atau tidak tetapi ini merupakan agregat dari beberapa indikator. Komponen kinerjanya masih rendah begitu juga kapasitas pemerintah dan pebisninsnya,” jelas Dr. Sunaryo.

Total luas hutan Aceh sesuai SK Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan 170/Kpts-II/2000 tahun 2000 adalah 3.549.813 Ha. Ini menempatkan Aceh diperingkat 12 propinsi yang memiliki kawasan hutan di Indonesia.

Sementara yang menggembirakan, dari penilaian komponen kapasitas aktor, diperoleh indeks kapasitas masyarakat sipil (CSO) yang mencapai 2,75. Laporan menyebutkan kelompok masyarakat sipil cukup aktif memberikan masukan pada perencanaan wilayah dan kehutanan yang cukup memadai. Beberapa kelompok masyarakat yang cukup aktif tersebut antara lain Walhi Aceh, WWF, Jaringan Komunitas Masyarakat Adat (JKMA), Institute Green Aceh, Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) dan Masyarakat Transparansi Anggaran (MaTA).

Indeks Sebagai Baseline
Jadi apa manfaat pengukuran indeks ini? “ Indeks ini menjadi kerangka acuan, baseline data, sehingga bisa dipantau bersama bagaimana kemajuannya dimasa depan,” jawab Abdul Wahib. Selain itu indeks tata kelola hutan bisa menjadi rujukan dalam penyusunan rencana pembangunan daerah.

Pada Minggu malam (1/12/2013) tim sudah berjumpa dengan tokoh Aceh, Mentroe Malik di Banda Aceh. Dalam pertemuan tersebut, Mentroe Malik mengatakan hasil studi ini penting dan ia berjanji akan mengkomuniskasikan laporan UNDP tersebut kepada pihak terkait. Ini disampaikan oleh Dr. Sunaryo kepada peserta pemaparan.

Dr. Sunaryo menambahkan hasil studi ini bisa masuk ke dalam revisi tata ruang nantinya. “ Harus ada redesain ulang tata kelola hutan Aceh sesuai dengan Undang-undang pemerintah Aceh,” katanya.

Posisi studi yang menghasilkan indeks ini adalah baseline yang nanti akan terus dipantau perkembangannya di masa mendatang. Studi ini memberikan informasi agar tata kelola hutan bisa ditingkatkan. Seluruh stakeholder diharapkan berpartisipasi dalam mengelola hutan.

Laporan juga membeberkan kelemahan-kelemahan dalam pengelolaan hutan. “Bukan hanya kondisi hutan, tetapi juga infrastruktur kehutanan,” kata Purwadi Soeprihanto. Laporan ini dapat dianggap sebagai prakondisi, dimana diharapkan jika prakondisi bagus maka outputnya (hutannya) bagus juga.

Selain itu, Dr. Sunaryo meluruskan pendapat bahwa REDD+ merupakan proyek. “ REDD bukanlah proyek, tetapi merupakan insentif yang diberikan kepada pemerintah pusat dan propinsi yang menjaga hutannya atau mengurangi emisi, “ katanya. Nanti akan ada sharing benefit antara berbagai stakeholder.

Insentif diberikan setelah tata cara pemberiannya disusun dengan jelas. Sampai hari ini, menurut Dr. Sunaryo, tata cara pemberian insentif di Indonesia belum jelas. “ Jadi belum ada pembayaran REDD di Indonesia, yang ada baru komitmen dari negara maju. Insentif akan diberikan tahun 2015, saat ini kita baru menyiapkan pra kondisi. Jika tidak punya baseline maka kita tidak bisa mengklaim dana insentif tersebut,” jelasnya.[m.nizar abdurrani]

read more