close

13/12/2013

Perubahan Iklim

Bappenas: Laporan Penurunan GRK Daerah Belum Lancar

Pencapaian penurunan emisi Gas Rumah Kaca sesuai Rencana Aksi Daerah (RAD–GRK) belum terukur karena laporan rekapitulasi capaian penurunan emisi dari 33 provinsi belum lancar.

“(Penurunan emisi) 33 provinsi harus dapat dihitung, ini pekerjaan melelahkan, tapi kontribusi daerah harus bisa dihitung,” kata Direktur Lingkungan Hidup Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Wahyunungsih Darajati, dalam seminar nasional Strategi Indonesia dalam Mengatasi Dampak Sosial Perubahan Iklim di LIPI, Jakarta, Kamis.

Sesuai dengan Rencana Aksi Nasional untuk penurunan Gas Rumah Kaca (RAN–GRK) yang tertuang dalam Perpres Nomor 61 Tahun 2011, menurut dia, Indonesia menggunakan dua pendekatan ganda yakni secara sektoral dan regional untuk mengalokasikan upaya-upaya mitigasi.

Ia mengatakan secara sektoral upaya mitigasi fokus dilakukan di sektor pertanian, kehutanan dan lahan gambut, energi dan transportasi, industri, limbah, dan kegiatan pendukung lainnya. Sedangkan secara regional memastikan RAD–GRK yang telah disusun melalui Peraturan Gubernur berjalan di 33 provinsi.

“Mempersiapkan sumber daya manusia di daerah agar paham dan mampu menjalankan RAD–GRK sangat penting. Pelatihan, pemberian panduan, TOT sudah dilakukan dengan harapan mereka dapat membuat rencana aksi sesuai dengan kondisi dan karakter daerah masing-masing,” ujar dia.

Guna mengetahui kemajuan dan kendala dalam pelaksanaan RAN–GRK dan RAD–GRK maka Perencanaan, Evaluasi, dan Pelaporan (PEP) harus dilakukan, kata Wahyuningsih.

“Daerah masalahnya masih bolong-bolong dalam membuat laporan. Kegiatannya sih ada realisasi anggarannya pun ada, tapi laporan rekapitulasi capaian penurunan emisinya tidak tahu,” ujar dia.

Arah kebijakan pembangunan nasional selain memastikan pertumbuhan ekonomi sampai dengan tujuh persen juga upaya penurunan emisi GRK 26–41 persen pada 2020. “Komitmen pernurunan emisi 26 persen dengan dana sendiri, 41 persen target dengan bantuan pihak lain,” katanya.(*)

Sumber: antaranews.com

read more
Ragam

Wisata Alam di Hutan Perhutani

Hamparan kebun durian yang berbatasan dengan hutan Perhutani menjadi pemandangan di sepanjang jalan memasuki Desa Lolong, Kecamatan Karanganyar, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah. Jalanan yang berkelok-kelok dan menanjak, serta kemunculan beberapa kera yang tiba-tiba melompat di pinggir jalan, memberi keunikan tersendiri pada setiap perjalanan menuju kawasan tersebut.

Desa Lolong berada di tenggara Kecamatan Kajen, ibu kota Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah. Desa ini berjarak sekitar 9 kilometer dari Kecamatan Kajen atau sekitar 34 kilometer dari jalur pantura Kota Pekalongan. Desa Lolong bisa ditempuh dalam waktu sekitar 1,5 jam dari Kota Pekalongan dengan menggunakan kendaraan bermotor.

Selama bertahun-tahun, keindahan alam Desa Lolong menjadi aset bagi masyarakat di wilayah itu. Keberadaan Sungai Sengkarang dengan lebar sekitar 60 meter yang mengalir di tengah desa, menambah kekayaan alam di Desa Lolong.

Awalnya, belum banyak yang menyadari bahwa keindahan alam tersebut merupakan kekayaan. Namun sejak sekitar setahun terakhir, para pemuda Desa Lolong dengan dukungan Pemerintah Kabupaten Pekalongan, memanfaatkan kekayaan dan keindahan alam Desa Lolong sebagai sebuah desa wisata. Para pemuda menyajikan wisata petualangan alam yang dikemas dalam Lolong Adventure.

Sekretaris Lolong Adventure, Khoerul Basar, pertengahan Oktober lalu menuturkan, awalnya masyarakat mengelola alam di Desa Lolong secara biasa. Mereka hidup dan menyatu dengan keasrian desa itu, dari hari ke hari. Sungai Sengkarang juga sering menjadi tempat bermain dan berenang bagi masyarakat setempat.

Pada sekitar tahun 2010, masyarakat mendapatkan bantuan dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Pariwisata. Masyarakat, termasuk para pemuda kemudian sepakat memanfaatkan bantuan tersebut untuk membeli perahu arung jeram serta kelengkapan alat-alat arung jeram.

Mereka pun belajar mengembangkan wisata arung jeram. Sebanyak 25 pemuda Desa Lolong terus belajar menyelenggarakan wisata petualangan alam tersebut, hingga sejak setahun lalu mereka mulai mengembangkannya secara profesional.

Hingga kini, terdapat enam perahu, bantuan PNPM Pariwisata. Selain alat-alat wisata petualangan air, mereka juga mendapatkan bantuan alat-alat outbound. Mereka juga mendapatkan bantuan bangunan posko dari pemda setempat.

Untuk meningkatkan profesionalitas dalam mengelola wisata arung jeram, para pemuda Desa Lolong juga mengikuti pelatihan River Guide Arung Jeram, hingga mendapatkan sertifikat. ”Sekarang ada 26 tenaga ahli arung jeram di desa ini,” kata Khoerul.

Kini, warga pun menjadikan rumah mereka sebagai home stay, dengan harga sewa sekitar Rp 250.000 per malam. Lolong juga menjadi salah satu daerah tujuan untuk lokasi perkemahan dan pelatihan alam, yang diselenggarakan sejumlah lembaga dan perusahaan.

Keberadaan wisata petualangan di Desa Lolong menambah pendapatan masyarakat. Menurut Koordinator Darat Lolong Adventure, Maman Firmansyah, dalam kondisi ramai, jumlah pengunjung bisa mencapai 50 orang per hari. Sementara dalam kondisi sepi, jumlah pengunjung sekitar 200 orang hingga 300 orang per bulan. Kondisi ramai biasanya berlangsung pada musim hujan, saat debit air sungai meningkat.

Profesi warga Desa Lolong yang sebagian besar menjadi petani durian, juga sangat mendukung pengembangan wisata alam di desa itu. Saat musim panen durian, sekitar Desember hingga Maret, sepanjang jalan menuju desa tersebut penuh dengan pedagang durian.

Selain memberikan nilai tambah bagi penghasilan warga yang sebagian besar berprofesi sebagai petani durian, pengembangan desa wisata menjadi sebuah upaya kampanye dan sosialisasi mengenai pentingnya pelestarian hutan.

Upaya warga menanami kebun mereka dengan pohon durian merupakan salah satu upaya pelestarian hutan. Durian menjadi tanaman penguat tanah, pada kondisi lahan di Desa Lolong yang bertekstur pegunungan. Warga juga menanami lahan dengan tanaman petai dan pucung atau kluwak.

Ajak masyarakat
Warga juga berupaya menyosialisasikan kelestarian alam, dengan mengajak masyarakat yang datang ke lokasi wisata tersebut, untuk ikut menjaga kebersihan. Menurut pendamping masyarakat Desa Lolong dari Komuniti Forestri (KF), yaitu komunitas masyarakat peduli hutan, Thomas Hari Adi, masyarakat memiliki bak sampah induk di tiap RT. Mereka juga mengelola sampah organik, seperti sampah durian menjadi kompos.

Pada sepanjang pinggir Sungai Sengkarang juga banyak ditanami bambu oleh masyarakat. Selain memberikan kesan asri, bambu tersebut berfungsi sebagai penahan erosi sehingga sungai tersebut terhindar dari longsor.

Para pemuda Desa Lolong juga menyadari adanya risiko yang sewaktu-waktu bisa muncul dari kegiatan yang mereka selenggarakan. Untuk mengantisipasi risiko, seperti air bah di Sungai Sengkarang, para pemuda Desa Lolong pun terbiasa membaca alam.

Mereka selalu mengamati pergerakan hujan di wilayah Lolong dan wilayah di atasnya. Apabila di Desa Lolong hujan, sedangkan wilayah di atasnya tidak hujan, petualangan air bisa dilanjutkan. Namun apabila wilayah Desa Lolong tidak hujan, sedangkan wilayah di atasnya hujan, petualangan air akan dihentikan.

Faktor risiko itu juga menjadi tantangan bagi pemuda dan warga Desa Lolong untuk mengampanyekan pelestarian hutan. Kelestarian hutan dan alam di wilayah Lolong, serta daerah-daerah di atasnya sama artinya dengan kelestarian usaha dan penghidupan warga dari wisata alam di desa tersebut.

Thomas Hari Adi mengatakan, melalui penyelenggaraan wisata alam, para pemuda Desa Lolong telah terbiasa mengampanyekan pentingnya pelestarian alam. Mereka telah menyadari pentingnya kelestarian alam untuk kelangsungan hidup dan penghidupan masyarakat. []

Sumber: kompas.com

read more
Flora Fauna

Dunia Internasional Gagal Sepakati Konservasi Ikan Tuna

Pertemuan puncak ke-10 lembaga perikanan regional pasifik barat-tengah (WCPFC10) yang berlangsung tanggal 2 sampai 6 Desember 2013 lalu di Cairns, Australia, telah gagal menghasilkan kesepakatan konservasi dan pengelolaan yang kuat untuk melindungi masa depan sumberdaya tuna dari kondisi penangkapan berlebih.

Sejumlah aktivis Greenpeace, dan perwakilan organisasi non-pemerintah lainnya menjadi saksi langsung atas lemahnya komitmen banyak negara dalam pertemuan WCPFC10 untuk melakukan tindakan nyata menyelamatkan tuna dari eksploitasi berlebih.

Lagi-lagi kompetisi dan ekspansi bisnis perikanan antar anggota WCPFC telah mengesampingkan pentingnya instrumen yang kuat dan mengikat dalam pemulihan stok perikanan.  Konsensus WCPFC10 tersebut juga berarti tidak memberikan ruang, kesempatan dan keadilan bagi nelayan skala kecil untuk memanfaatkan sumberdaya ikan secara berkelanjutan.

Upaya pengetatan aturan dan batasan jumlah armada (longline dan purse seines), pengaturan dan penggunaan rumpon (FADs) serta kuota tangkap, terutama untuk tuna mata besar (bigeye) dan jenis-jenis tuna tropis lainnya termasuk cakalang (skipjack) dan sirip kuning (yellowfin) berdasarkan anjuran komite ilmiah WCPFC, berujung pada ketidakjelasan upaya pengurangan kapasitas tangkap.

Sebagian besar negara-negara WCPFC, jelas masih enggan menjalankan sistem perikanan yang bertanggungjawab dan berkelanjutan. Sejumlah pemangku kepentingan, seperti Amerika Serikat, Uni Eropa dan Cina, bahkan ragu menurunkan kapasitas tangkap dan cenderung memilih agar mendiskusikan kembali sejumlah proposal pengaturan sampai dengan pertemuan puncak tahun depan (WCPC11) di Samoa.

Jepang, pada pertemuan WCPFC10 sempat dielukan sebagai reformis karena turut mengusung upaya pembaharuan pengaturan agar setiap negara dapat mengambil langkah nyata mengatasi kondisi penangkapan berlebih di kawasan Pasifik barat. Namun tetap saja tidak dapat disembunyikan, pada momentum yang sama, Jepang bersama Cina, Taiwan, Korea Selatan bahkan Filipina turut memainkan peran ‘pengamanan kepentingan’ antar sesama negara Asia, terutama terhadap Indonesia, mengingat  Jepang dan negara-negara tersebut memiliki kepentingan ekspansi bisnis perikanan yang besar di Indonesia.

Sekalipun demikian, Pertemuan Cairns juga patut diapresiasi dan dirayakan. Sambutan hangat terhadap bergabungnya Indonesia sebagai salah satu anggota WCPFC di Cairns merupakan signal kuat bahwa upaya pengelolaan perikanan regional Pasifik barat menjadi semakin penting dan kita masih punya harapan bahwa Indonesia dapat menjadi pelopor dan pendorong terwujudnya keteladanan perikanan di kawasan tersebut.

Untuk itu, Indonesia perlu segera berbenah! Langkah awal, yang perlu ditempuh pemerintah melalui  Kementerian Kelautan dan Perikanan  adalah mengevaluasi kriteria dan membenahi sistem perizinan kapal ikan di Indonesia.  Kedua, pada saat yang bersamaan, segera menyusun pembaharuan sistem dan menyelenggarakan pengkajian stok ikan nasional dengan mendukung dan mengoptimalkan kewenangan dan kerja-kerja dari Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan (Komnas Kajiskan).

Sebagai tuan rumah pertemuan WCPFC12 di tahun 2015 mendatang, Indonesia perlu berbenah lebih serius serta mempersiapkan diri lebih baik sejak sekarang agar keadilan perikanan dapat diwujudkan dan pengelolaan sumber daya ikan yang bertanggungjawab dan mengarusutamakan pemenuhan kriteria lingkungan dan sosial dampaknya benar-benar dapat dinikmati oleh nelayan dan rakyat Indonesia.[]

Sumber: greenpeace.or.id

read more