close

14/12/2013

Flora Fauna

Orangutan, Dilindungi Tapi Diburu

Deforestasi adalah salah satu penyebab utama hilangnya keanekaragaman hayati yang ada, salah satunya adalah Orangutan yang terdapat di Sumatera dan Kalimantan yang keberadaannya kini semakin terancam. Hilangnya hutan sebagai akibat pembukaan lahan untuk perkebunan, seperti kelapa sawit dan karet menyebabkan konflik antara Orangutan dengan manusia semakin nyata.

Beberapa kasus yang terjadi belakangan ini, seperti pembantaian Orangutan di Kalimantan Timur adalah bukti adanya konflik tersebut. Padahal, Orangutan adalah salah satu primata yang dilindungi berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Ekosistemnya.

Jamartin Sihite Acting CEO The Borneo Orangutan Survival Foundation mengatakan, Secara internasional melalui Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora – CITES telah memasukkan Orangutan sebagai salah satu satwa yang dilindungi karena terancam kepunahannya dan Indonesia telah meratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Ekosistemnya pelanggar terhadap peraturan ini diancam dengan pidana kurungan selama 5 tahun dan denda sebesar Rp 100 juta.

“Bahwa menangkap, melukai, dan membunuh Orangutan adalah melanggar pasal 21 ayat 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990,” katanya.

Menurut Dia, konflik antara Orangutan dengan manusia disebabkan oleh adanya pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit yang mengakibatkan satwa dilindungi ini masuk ke perkampungan penduduk untuk mencari makan, ancaman selanjutnya adalah kebakaran hutan.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Conferency on Parties (COP) ke 13 Tahun 2007 di Bali mengatakan, bahwa Orangutan memiliki peran penting dalam climate change (perubahahn iklim), ketika Orangutannya ada, pasti hutannya sehat serta memiliki peran dalam perubahan iklim. Salah satu rencana aksi konservasi primata ini adalah penegakan hukum terhadap kasus-kasus menyangkut satwa dilindungi ini.

Jamartin CEO mengatakan, kendala lainnya adalah saat melakukan rescue atau pertolongan terkait Orangutan agar dipermudah birokrasi perizinannya. Selama ini, izin perlengkapan senjata bius untuk rescue terhadap primata dilindungi ini melalui beberapa pintu, seperti Bea Cukai, Kepolisian, baik Mabes Polri juga Polda dan bahkan sampai  Badan Intelejen. Hal inilah salah satu hambatan dalam proses rescue tersebut.  “Padahal itu merupakan tugas Negara, menyelamatkan asset Negara,” ujarnya.

Dia juga mengatakan, terkait Orangutan yang masuk ke perkampungan penduduk yang disebabkan hutannya di buka oleh swasta oleh karena itu swasta juga harus ikut bertanggung jawab dengan memberikan sosialisasi kepada masyarakat bahwa kalau ada Orangutan masuk perkampungan jangan dibunuh.

Hardi Baktiantoro Principal Centre for Orangutan Protection – COP mengatakan, satu ekor anak Orangutan yang sampai ke pusat penyelamatan itu mewakilkan 2 hingga 10 ekor  Orangutan yang mati dan tidak dilaporkan dan itu masuk akal. “Saat rescue Orangutan tidak selamanya berhasil. Ada yang tertusuk tangannya ada yang kena ranting dan umumnya bayi yang diselamatkan juga tidak bisa survive,” katanya.

Populasi Orangutan di Kalimantan berdasarkan data pada 2004 sebanyak 52 ribu ekor. Sedangkan di Sumatera sebanyak 5.500 ekor. Khusus populasi liar yang bertahan saat ini hanya terdapat di daerah barat laut pulau Sumatera, tepatnya berada di Provinsi Aceh dan Sumatera Utara.

Sumber: ekuatorial.com

read more
Hutan

Ilmuwan Desak Kebijaksanaan Tata Kelola Hutan

Tata kelola hutan sering berarti penanganan ketidakpastian dari tata guna lahan, pohon dan sumber daya, sebuah proses yang seringkali menjadi rumit akibat adanya interaksi antar pemerintah, sektor swasta dan masyarakat sipil, demikian menurut ilmuwan.

“Adanya standarisasi bisa menjadi salah satu upaya pendekatan perbaikan tata kelola, meski di banyak kasus, standarisasi sukarela global tetap menjadi patokan berlaku tanpa syarat kepatuhan – kami belajar dari pengalaman, standarisasi jenis ini harus dihindari, “ ujar Direktur riset portfolio hutan dan tata kelola Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR), Andrew Wardell.

CIFOR, bekerja sama dengan Organisasi Persatuan Riset Hutan Internasional (IUFRO) dan Organisasi Pengembangan Hukum Internasional (IDLO), telah mengadakan forum diskusi di dalam konferensi Forum Bentang Alam Global di Warsawa, bersamaan dengan negosiasi kebijakan iklim internasional mengenai siapa mengelola hutan, bagaimana hutan dikelola dan dengan dampak apa.

Diskusi terfokus pada apakah standar keberlanjutan dapat mendukung kerangka tata kelola terintegrasi, misalnya, dengan mengatur akses biofuel ke pasar Eropa atau menciptakan pengaman sosial dan lingkungan untuk mendampingi projek REDD (Reduksi Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan), program dukungan PBB, di negara-negara berkembang.

Pengambil kebijakan membangun kerangka kerja untuk menjamin bahwa upaya konservasi hutan tidak malah berbalik mempengaruhi hak masyarakat lokal mendapatkan insentif bantuan dari negara maju setelah ada pembuktian bahwa mereka telah mereduksi emisi karbon.

Mengatur Parameter
Sebuah standar untuk tata kelola hutan dapat didefinisikan sebagai “batas tertentu atau praktik terbaik untuk dicapai,” kata Caroline Haywood, pengacara perubahan iklim dan spesialis ekonomi hijau IDLO, yang membantu legislasi di negara berkembang.

Kelompok ini tengah melakukan projek penelitian dalam kaitannya dengan fokus CIFOR untuk menciptakan kerangka kerja keberlanjutan investasi rendah-karbon.

Standar Internasional seharusnya tetap berfungsi seluas mungkin, sementara legislasi menjadi alat untuk menerapkannya dalam konteks spesifik, kata Haywood.

Standar internasional “adalah acuan bagus untuk melihat bagaimana negara menerapkan – sejenis standar emas tersebut,” kata Renee Gift, spesialis Iklim IDLO.

Ketika sebuah negara mengambil kebijakan, seseorang dapat menilai keragaman isu yang diatasi, sebagai tahap awal proses pembuatan hukum, katanya.

Peneliti harus fokus pada hikmah pelajaran mengenai bagaimana upaya kebijakan tertentu didukung, kata Ben Cashore, profefor tata kelola dan politik lingkungan Universitas Yale. “Terdapat perbedaan ketika institusi mendapatkan otoritas yang mereka butuhkan untuk menjalankan kebijakan, dan isi standar yang mereka terapkan pada kebijakan itu,” katanya.

Sejarah standar keberlanjutan dalam manajemen hutan dapat dilacak pada kegagalan upaya menandatangani Konvensi Hutan Global di awal 1990-an, kata Cashore.

Pendukung manajemen hutan yang baik, setelahnya berbalik pada mekanisme berbasis pasar seperti sertifikasi kayu untuk mengatur kebijakan perdaganan. Bagaimanapun, standar pengukuran seperti itu tidak melingkupi seluruh produk hutan.

“Sertifikasi itu terlalu kompleks dan terlalu mahal untuk usaha kecil dan menengah,” kata Wardell.

STRATEGI AGAR BERHASIL

Wardell dan Cashore telah berkontribusi pada bagian utama literatur terbaru yang mengintepretasikan tata kelola hutan sebagai arena komplek yang harus diterapkan pada institusi tingkat global, nasional dan lokal.

Kepentingan saat ini dalam verifikasi legal asal kayu dan memisahkan produk ilegal menempatkan pemerintah kembali sebagai pusat tata kelola hutan, kata Cashore.

Kebijakan Uni Eropa tentang Voluntary Partnership Agreements (Kesepakatan Kemitraan Sukarela) memungkinan pengapalan kapal hanya dari negara yang memverifikasi ekspor mereka sesuai dengan hukum nasional mereka adalah satu contoh standar sukarela berubah menjadi dasar legal, kata Wardell – menambahkan bahwa terlalu dini untuk menyatakan bahwa ini adalah keberhasilan.

Dukungan untuk proses verifikasi legal ini cukup mencolok, kata Cashor. “Ini karena pendekatannya bawah-atas, standar-rendah, melibatkan multi-level pemerintah,” kata Cashore. Seharusnya saat ini ilmuwan menjelaskan apa motivasi di balik penerimaan meluas, yang bisa saja didorong oleh kepentingan sendiri: perusahaan legal melihat hal ini sebagai peluang untuk menghadapi persaingan dari penebang lebih kecil, ilegal; lembaga swadaya masyarakat (LSM) lingkungan berharap melihat hasil lebih baik muncul dari aksi mereka melalui pendekatan ini; dan negara merdeka dapat menggunakannya untuk mengklaim kedaulatan, katanya.

“Hanya ketika kita belajar mengapa tingkat standar tertentu menarik dukungan luas, kita dapat melihatnya lebih jauh,” kat Cashore.

Sumber: cifor.org

read more
Tajuk Lingkungan

Penipu Emisi Karbon

Pemerintah Aceh telah melacurkan diri dengan menjual stok carbon hutan Ulu Masen seluas + 750.000 Ha yang terletak di Kabupaten Aceh Besar, Pidie, Pidie Jaya, Aceh Barat, Aceh Jaya dan Aceh Tengah ke pasar Internasional dengan memakai jasa perusahaan Carbon Conservation Pty Ltd yang berkedudukan di Lismore, New South Wales, 2480, Australia.

“Penjualan” ini dilakukan dimasa Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf, yang memberikan persetujuan kepada Carbon Conservation melakukan investasi dalam jumlah besar untuk membangun kepercayaan investor dan masyarakat  Internasional terhadap Ulu Masen Credit. Perjanjian penjualan dan pemasaran proyek ekosistem Ulu Masen untuk investasi ekonomi Hijau di Aceh dilakukan pada Tanggal 2 Juni 2008. Perjanjian ini membuat, mengatur dan menjalankan kampaye publisitas dan membangun hubungan baik dengan penanam modal, institusi keuangan dan perantara, menciptakan pasar  yang sehat dan menguntungkan bagi Ulu Masen Credit.

Setelah mendapat kepercayaan dari Irwandi Yusuf, Carbon Conservation menjual stok carbon Ulu Masen dengan melakukan joint dan bekerjasama dengan  Merril Lynch Commodities (Eropa) Limited (ML). Tujuannya  untuk masuk dan terikat dalam Verified Emissiens Reductions Purchase Agreement atau Perjanjian Pembelian Pengurangan Emisi yang Terverifikasi (VERPA) di tingkat Internasional.

Point-point yang disetujui oleh Carbon Conservation dan ML yang mengatur (a) untuk setiap periode verifikasi antara tahun 2008-2011, ML akan membeli semua Ulu Masen Credit yang dihasilkan Proyek, hingga maksimum 500.000 Ulu Masen Credit dalam setiap periode verifikasi, ada akan diberi opsi berjumlah 700.000, di setiap periode-periode verifikasi tersebut, dengan harga 4 Dolar Amerika per Ulu Masen Credit;

(b) untuk setiap periode verifikasi antara tahun 2012 dan 2013, ML akan diberi opsi untuk membeli/mendapatkan semua Ulu Masen Credit yang dihasilkan Proyek, hingga jumlah maksimum 700.000 Ulu Masen Credits dalam setiap periode-periode verifikasi tersebut, dengan harga 7 Dolar Amerika Serikat per Ulu Masen Credit;

(c) Pada kondisi ML menjual Ulu Masen Credit pada harga melebihi 7 Dolar Amerika Serikat per Ulu Masen Credit, pembagian keuntungan akan dibayar oleh ML;

(d) ML akan membayar, bergantung pada hasil uji kelayakan, 1 juta Dolar Amerika Serikat untuk opsi yang dijelaskan pada paragraf (a) dan (b) diatas.

Berdasarkan perjanjian ini, Carbon Conservatioan sebagai perpanjangan tangan pemerintah Aceh yang akan memasarkan dan menjual Ulu Masen Credits di dunia global. Penjualan dimaksud demi keuntungan masyarakat Aceh, pendapatan dari Ulu Masen Credit dari Proyek dibagi dua ; (a) 30% pertama dari Ulu Masen Credit yang dihasilkan pada setiap periode Verifikasi akan dialokasikan menjadi penyangga Risiko Manajemen (RMB/Risk Manajement Buffer).

(b) Sisanya sebesar 70% dari Ulu masen Credit yang dihasilkan akan dijual dan pendapatan yang dihasilkan dari penjualan dibagi lagi untuk biaya/jasa Agen Penagih/Pengumpul, Pembayaran jasa pemasaran, rekening proyek.
Jumlah penjualan yang dibayarkan ke Agen Pengumpul (Rekening Pengumpul) di transfer uang/dibayarkan/dibagikan untuk biaya/jasa Agen Penagih/Pengumpul, Pembayaran jasa pemasaran, rekening proyek. Rekening proyek dipegang oleh pihak ketiga (Escrow) dibagikan/dibayarkan untuk biaya proyek dan dana bantuan.

Sampai akhir tahun 2011 uang yang dijanjikan oleh pihak ketiga; dalam hal ini adalah Carbon Conservatioan dan Merril Lynch Commodities; belum ada kepastian berapa harga karbon Ulu Mesen. Nilai uang yang dibayar berdasarkan besar serapan carbon dari hutan Ulu Masen seluas + 750.000 Ha.

Perhitungan kasar berapa produksi karbon Ulu Masen dalam satu hektar adalah sebesar 132 ton/ha. Luas hutan 750.000 Ha bisa memproduksi carbon sebanyak 100.500.000 ton/hektar. Nilai karbon dikalikan dengan US$ 4 Dolar Amerika. Betapa besarnya uang didapatkan dari stok karbon Ulu Masen sebesar US$ 3.680.000.000.000 dolar Amerika.

Sangat fantastis, diatas kertas Ulu Masen akan menjadi petro dollar penganti Lhokseumawe. Tapi sekarang, uang dolar sebanyak itu tidak ada.  Perhitungan nilai uang karbonnya sangat besar, ironisnya tidak ada hasil apa-apa. Seperti kata pepatah tong kosong nyaring bunyinya, akhirnya pemerintah Aceh sampai dengan akhir tahun 2011 tidak mendapatkan apa-apa. Perjanjian dengan Carbon Conservation sampai dengan tahun 2013.

Sepertinya pembayaran konpensasi stock karbon telah diganti dengan keikutsertakan Gubernur Aceh pada sejumlah event internasional di luar negeri. Aceh bakal kena tipu lagi dan ditipu uang emisi karbon oleh pihak ketiga. Buruk sekali, uang karbon Aceh hanya dihargai dengan menjadi peserta konferensi internasional. Atau kemungkinan dana stok karbon Aceh telah dikorupsi  oleh pihak ketiga dalam perjanjian tersebut.  []

Catatan redaksi: Tulisan ini pernah dimuat dalam Majalah Tanah Rencong, Edisi November – Desember 2011. Tulisan ini dimunculkan kembali karena masih relevan dengan keadaan sekarang.

read more