close

06/02/2014

Perubahan Iklim

Tahun 2013, Salah Satu Suhu Terpanas Sejak 1850

Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) milik PBB merilis fakta mengenai kondisi perubahan cuaca yang terjadi sepanjang 2013. Tercatat tahun 2013 merupakan tahun terpanas keenam sejak tahun 1850.

Rata-rata suhu permukaan bumi adalah 0,9 derajat fahrenheit atau sekitar 0,5 celcius. Angka ini jauh lebih tinggi dibanding tahun 1961 sampai 1990.

Selain itu, 2013 juga menjadi tahun terpanas setelah 2005 dan 2010. Sementara, menurut ilmuwan Amerika Serikat 2013 tercatat sebagai tahun terpanas keempat sejak 1880.

Dilansir AFP, WMO di Genewa, Swiss, Rabu (5/2/2014) juga menemukan permukaan air laut rata-rata global mencapai rekor tertinggi baru. Terjadi kenaikan sebesar 3,2 milimeter (0,12 inci) per tahun. Ini dua kali lipat lebih tinggi selama abad ke-20. Sehingga, daerah di sekitar pesisir dianggap sebagai zona rentan.

Tak ayal, sejumlah peristiwa ekstrim melanda sejumlah belahan bumi. Sebut saja Topan Haiyan yang ‘mematikan’ Filipina, kekeringan di Botswana, Nambia dan Angola serta gelombang panas di China Selatan pada Juli-Agustus 2013.

Menurut laporan, beberapa wilayah yang mengalami peningkatan suhu panas antara lain, Australia, Asia Tengah, Ethiopia, Tanzania, Samudera Arktik, kawasan barat daya serta antara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia.[]

Sumber: detiknews

read more
Kebijakan Lingkungan

Kadin Minta Insentif untuk Industri Ramah Lingkungan

Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Riau menilai industri yang ramah terhadap lingkungan layak untuk mendapatkan insentif berupa pemberian insentif fiskal atau pajak pada perusahaan yang menerapkan operasional dengan mengedepankan prinsip lebih hijau.

“Dunia usaha perlu terobosan-terobosan kebijakan ramah lingkungan, apalagi industri yang ada di Riau dan banyak mengolah sumber daya alam. Insentif diperlukan bagi mereka yang tidak merusak lingkungan,” ujar Ketua Kadin Riau Juni Ardianto Rachman di Pekanbaru, Senin (3/2/2014).

Menurut dia, pemberian insentif tersebut akan menambah gairah kalangan dunia usaha dan sekaligus memunculkan regulasi yang baik berupa keringanan bagi pelaku usaha yang semesti harus diciptakan pemerintah dalam kondisi saat ini. Pemerintah perlu melakukan pengelompokkan para pelaku usaha di setiap provinsi untuk memberikan insentif seperti di Riau yang terkenal banyak sekali pelaku industri berbasis sumber daya alam pulp dan kertas serta minyak sawit mentah (CPO).

Saat ini perusahaan yang ada di provinsi yang berjuluk “Bumi Lancang Kuning” belum banyak yang menerapkan dengan mengendepankan prinsip-prinsip ramah lingkungan dan dibutuh komitmen kuat untuk mewujudkan prinsip lebih hijau tersebut. “Bukan tidak ada usaha perusahaan di Riau yang operasionalnya menuju konsep lebih hijau atau green industry. Tapi jika untuk diberikan penghargaan oleh pemeritah, saya pikir belum,” katanya.

Sumber: republika.co.id

read more
Sains

Uniknya Pertanian Bawah Tanah London

Sekitar 33 meter di bawah jalanan London yang ramai, ada sebuah tempat perlindungan pada masa Perang Dunia II dan sudah lama terbengkalai. Richard Ballarf dan Steven Dring menyulapnya menjadi kebun sayuran, meski tanpa sinar matahari dan tanah.

Lewat proyek Zero Carbon Food, Ballarf dan Dring berusaha mewujudkan kebun bawah tanah yang ramah lingkungan. Setelah bertahun-tahun dipersiapkan, perkebunan seluas satu hektar ini akan beroperasi penuh Maret mendatang.

Sayuran yang akan ditanam pertama-tama adalah brokoli, kucai bawang putih, red vein sorrel, mustard, ketumbar, dan basil Thailand. Tanaman besar seperti jamur dan tomat akan menyusul. Direncanakan, produk pertama Zero Carbon Food akan tersedia di restoran dan pasar pada musim panas tahun ini.

“Zero Carbon Food menggunakan ruang bawah tanah tak terpakai di London untuk menghasilkan sayur-mayur, herba, dan microgreens menggunakan sinar LED dan hidroponik. Kami memproduksi bahan-bahan segar dengan jejak karbon minimal,” tulis Zero Carbon Food seperti dilansir situs Huffington Post (31/01/2014).

Alas tanam tiga lapis, sistem siklus air, serta lampu-lampu LED membantu menjaga suhu dan kelembapan lingkungan bawah tanah kondusif untuk pertumbuhan tanaman. Sistem hidroponik yang dipakai juga diklaim dapat mengirit penggunaan air hingga 70% dibanding sistem pertanian ladang terbuka konvensional.

“Hidroponik terdengar sangat teknis, padahal teknologi ini tak rumit. Meja-meja yang dipenuhi benih dibanjiri air, kemudian air tersebut surut dan kembali ke tangki. Beberapa jam kemudian, air kembali membanjiri meja. Begitu seterusnya,” ujar Dring yang mengklaim cara ini hemat energi.

Zero Carbon Food kini sedang mencari bantuan dana. Target mereka US$500.000 (Rp 6,1 miliar). Saat ini, mereka baru mengumpulkan US$64.600 (Rp 789 juta).

Perusahaan ini bekerjasama dengan Michel Roux Jr., chef restoran Le Gavroche di London yang meraih dua bintang Michelin.

“Saat pertama kali bertemu pria-pria ini, saya pikir mereka benar-benar gila. Namun ketika saya mengunjungi terowongan tersebut dan mencoba hasil panen enak yang mereka tanam di bawah sana, saya terkejut. Pasar untuk sayuran ini besar,” kata Roux Jr.

Sayuran-sayuran tersebut juga mendapat skor tinggi dari kritikus kuliner Samuel Muston. Ia mengatakan bahwa tunas polong (pea shoots), lobak mikro, dan mustard berdaun merahnya tampak gemuk dan memiliki rasa kuat.

“Sayuran yang sama di supermarket, yang bagus sekalipun, cenderung terasa seperti antara debu dan amplop cokelat. Sayuran yang ini, anehnya, terasa seperti ditanam di ladang,” kata Muston.

Sumber: detiknews

read more