close

15/04/2014

Ragam

Pembunuhan Aktivis Lingkungan Naik Tiga Kali Lipat

Pembunuhan terhadap para aktivis lingkungan dan pembela tanah rakyat tercatat meningkat selama dekade terakhir. Sebuah laporan yang dirilis Global Witness mencatat, kasus kematian para aktivis tersebut pada 2012 hampir tiga kali lipat lebih tinggi dibanding sepuluh tahun lalu.

Global Witness merupakan organisasi yang aktif melakukan penyelidikan dan advokasi persoalan sumber daya alam yang berkaitan dengan korupsi, pelanggaran hak asasi manusia, dan kerusakan lingkungan.

Hasil investigasi yang dilakukan Global Witness, pada 2012 ditemukan ada 147 kasus kematian aktivis, atau naik dibandingkan pada 2002 lalu yang tercatat 51 kasus. Dalam laporan juga disebutkan, sepanjang 2002 hingga 2013, setidaknya 908 aktivis tewas di 35 negara. Selain itu, angka kematian meningkat dalam empat tahun terakhir dengan rata-rata dua aktivis tewas dalam satu minggu.

Angka ini belum sepenuhnya memasukkan data kematian yang berada di wilayah terisolasi seperti Afrika dan sejumlah negara Asia. Global Witness juga tidak memasukkan data kematian dari wilayah dengan rezim otoriter dan kelompok masyarakat sipil yang tergolong lemah, seperti Republik Afrika Tengah, Zimbabwe, dan Myanmar.

“Kebanyakan mereka yang menghadapi ancaman adalah orang-orang yang menentang perampasan tanah rakyat, penambangan, dan perdagangan kayu industri,” bunyi laporan Global Witness seperti dilansir The Guardian, Selasa, 15 April 2014. Lainnya tewas karena melakukan protes terhadap pencemaran, pembuangan limbah, dan konservasi satwa liar.

Brasil menjadi negara dengan kasus kematian aktivis pembela sumber daya alam terbanyak, dengan 448 kasus sepanjang 2002-2013. Sayangnya, hanya ada 10 kasus kematian yang akhirnya diproses hukum di Brasil selama 12 tahun terakhir. Isolate Wichinieski, Koordinator Nasional dari Commisao Pastoral da Terra, mengatakan, “Apakah kasus-kasus kekerasan sudah kebal hukum?”

Selanjutnya Honduras dan Peru dengan 58 kasus kematian. Di Asia, Filipina menjadi negara dengan kasus kematian aktivis terbanyak yakni 67 kasus, diikuti Thailand sebanyak 16 kasus. Lebih dari 80 persen dari kematian yang tercatat berada di kawasan Amerika Latin dan Amerika Tengah.

Penyelidikan terhadap informasi pelaku kemudian digali. Diketahui, ada 294 pelaku pembunuhan dari 448 kasus, di mana 54 pelaku teridentifikasi sebagai polisi atau militer.

Oliver Coutney, juru kampanye senior di Global Witness mengatakan ada beberapa gejala yang jelas dari krisis lingkungan global, melihat meningkatnya kasus kematian bagi para aktivis pembela hak lingkungan dan mata pencaharian, yang berjuang dari penyalahgunaan kekuasaan oleh perusahaan dan negara. “Pemerintah gagal melindungi warga negaranya dan masyarakat internasional tidak peduli terhadap penderitaan mereka.”

Masyarakat adat di beberapa negara merupakan kelompok yang paling tersisihkan. Beberapa di Guatemala dan Honduras mengatakan bahwa mereka tidak tahu bahwa lahan mereka direbut dan dijual ke pihak lain sampai tiba-tiba aparat keamanan yang bekerja untuk perusahaan pertambangan datang. Penolakan mereka seringkali justru dianggap sebagai tindakan anti-pembangunan, lalu mereka akan menghadapi tuduhan perdata maupun pidana.

Sumber: tempo.co.id

read more
Kebijakan Lingkungan

Hukum Lingkungan Hidup Bukan Hal Sederhana

Hakim High Court of Brazil Prof. Antonio Herman Benjamin mengatakan hukum soal lingkungan hidup bukanlah hal yang sederhana. Sampai saat ini manusia masih mempelajari bagaimana lingkungan itu bekerja.

“Lingkungan merupakan masalah yang kompleks. Komputer yang paling canggih saja tidak tahu bagaimana perubahan iklim terjadi,” ujar Antonio saat menjadi pembicara di Seminar Nasional dengan tema “Trends in Environmental Law: A Comparative Law Perspective di Mayapada Tower II, Jakarta, Selasa (15/4/2014).

Ia menerangkan di dunia diperkirakan ada 5 juta spesies dan belum bisa diidentifikasi semua. Hal itu pun terjadi di hutan tropis yang ada di Indonesia dan Brazil.

Antonio yang juga merupakan Guru Besar Catholic University of Brasilia school of Law ini mengatakan saat berbicara lingkungan hidup dalam pandangan hukum menjadi lebih sulit untuk menjelaskan.

“Kita bicara soal polusi lingkungan, bagaimana kita bisa mendefiniskan? Karena definisi ini berbeda dari satu negara ke negara lain. Ini sifatnya bukan nasional tetapi juga internasional dan juga daerah lokal,” ujar Antonio.

Pria berkacamata ini mengatakan banyak peraturan di negara-negara yang saling tumpang tindih satu sama lainnya.

Ia mengatakan dalam melindungi kelestarian lingkungan hidup seperti hutan bukan hanya alasan ekonomis. Tetapi juga mengenai hak generasi mendatang yang juga mempunyai hak untuk menikmati lingkungan hidup yang baik.

“Saya sebut hak dengan pengertian luas dan bukan hanya soal retorika. Bila kita bicara soal generasi mendatang, kita juga bicara hak mereka,” ujar Antonio.

Ia mengakui pada masa lalu banyak praktisi hukum tidak mendiskusikan rule of law terkait hukum lingkungan hidup. Untungnya hal itu berubah pada zaman sekarang, karena beberapa sekolah hukum sedang mengembangkan UU lingkungan hidup.

“Kita mendiskusikan sesuatu yang lebih fundamental daripada sekedar status. Karena UU LH akan mati bila tidak ada rule of law. Tanpa integritas kita tidak akan punya UU Lingkungan Hidup,” ujar Antonio.

Sumber: beritasatu.com

read more
Flora Fauna

Bahas Konflik Satwa, BKSDA Meeting dengan Aktivis Lingkungan

Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh melakukan pertemuan dengan sejumlah aktivis lingkungan dalam rangka mencari solusi penyelesaian konflik satwa. Pertemuan tersebut mengungkap beberapa informasi bagaimana menangani satwa liar termasuk penegakan hukum. BKSD sendiri merasa tidak mampu melakukan tugasnya tanpa bantuan dari pihak lain.

Kepala BKSDA Aceh, Genman Hasibuan mengatakan sudah banyak penegakan hukum yang dilakukan namun ternyata tidak memberikan efek jera kepada pelakunya. Selalu saja masih ada masyarakat yang tertangkap karena hukum terkait hewan liar, tanya Genman dalam pertemuan tersebut. “Masyarakat yang tertangkap karena pengambilan gading gajah masih terkait dengan pembunuhan gajah beberapa waktu lalu di kabupaten yang sama,” katanya dalam pertemuan yang berlangsung, Senin (14/4/2014) di Kantor BKSDA Banda Aceh.

Banyak orang yang masuk penjara karena kasus hewan liar namun persoalan konflik satwa di lapangan tidak selesai juga. Dampaknya negatifnya BKSDA semakin dibenci oleh segelintir orang yang tidak senang bahkan teror semakin meningkat terhadap staf BKSDA. Selain itu Genman juga menyoroti pemberitaan terkait kasus hewan liar yang menurutnya tidak menguntungkan penyelidikan.

“Wartawan menghubungi saya menanyakan kasus, saya kalau tidak bicara tidak enak, takut menyembunyikan informasi,”jelasnya. Menurutnya kedepan ritme pemberitaan kasus hewan liar harus diatur kembali agar jangan sampai pihak BKSDA bergerak pelaku sudah kabur akibat mengetahui kasusnya di media.

Terkait dengan penanganan konflik satwa liar terutama gajah, BKSDA sudah mengirimkan surat kepada Pemerintah Kabupaten yang memiliki konflik satwa liar agar ikut menangani persoalan tersebut dengan mengedepankan sosial ekonomi masyarakat. “ Pemerintah daerah harus ikut menangani karena masyarakat yang berkonflik dengan satwa terganggu perekonomiannya,” ujar Genman. BKSDA hanya Unit Pelaksana Teknis di Daerah di bawah Kementerian Kehutanan yang kemampuannya sangat terbatas.

Peserta yang hadir dalam pertemuan juga menyampaikan pendapatnya terkait kondisi perlindungan satwa liar di Aceh. Ratno Sugito, aktivis satwa liar menceritakan pengalamannya saat mengunjungi lokasi pembunuhan gajah di Kaway XVI. Setahu Ratno belum ada masyarakat yang ditangkap dalam kasus kematian gajah itu. Selain itu ia mengamati di lokasi terdapat kebun yang dipagari dengan kawat beraliran listrik. “Perusahaan harus ikut bertanggung jawab atas kematian hewan liar,” ujarnya. Dirinya siap membantu BKSDA Aceh dalam menghubungkan BKSDA dengan jaringan perlindungan satwa di tingkat nasional.

Sementara itu Munawar Kholis dari Flora Fauna International (FFI) mengusulkan dibentuknya Rescue centre, tempat penampungan sementara hewan-hewan yang disita dari masyarakat. Namun juga diutarakannya, Rescue Centre membutuhkan biaya yang besar. “ Sebagian satwa memang sudah tidak mungkin dilepaskan kembali karena perilakunya yang sudah berubah sehingga harus ditanggung di Rescue Centre. Kholis pernah bertahun-tahun bekerja di Rescue Centre di Pulau Jawa.

Badrul Irfan dari Koalisi Peduli Hutan Aceh menyarankan agar BKSDA memasang iklan penyerahan hewan liar di media massa dengan tujuan masyarakat sukarela menyerahkan satwa liar. Namun usulan ini menurut Genman sulit dilaksanakan karena BKSDA khawatir jika masyarakat ramai menyerahkan hewan, tidak ada kandang yang memadai di BKSDA untuk menampung hewan liar tersebut. BKSDA kekurangan anggaran untuk memelihara hewan dalam jumlah banyak.

Aktivis lingkungan lain, Wahdi memberikan pendapat bahwa ada cara agar hewan liar tidak memakan hasil pertanian masyarakat yaitu dengan menanam tanaman yang tidak disukai hewan liar tersebut. Misalnya menanam lada, yang merupakan tanaman tidak disukai gajah sehingga terhindar dari konflik satwa liar.

Pada akhir pertemuan peserta menyepakati untuk melakukan pertemuan rutin dua bulanan membahas isu aktual penyelamatan satwa. Untuk pertemuan ke depan disepakati membahas konflik gajah liar dengan masyarakat.[]

read more