close

22/05/2014

Ragam

Mahadewi Ikut Tanam Trembesi Pantura

Grup vokal Mahadewi mengaku peduli terhadap lingkungan. Makanya mereka mendukung program ‘Menanam Pohon Trembesi’ 1.350 Km dari Merak – Banyuwangi bersama Djarum Foundation.

“Kita sangat senang menanam pohon trembesi di kota Rembang. Ini merupakan bentuk kecintaan kita terhadap lingkungan,” tutur Anissa Nabila, personel Mahadewi, usai menanam pohon di Alun-alun Kota Rembang, Jawa Tengah, kemarin.

Anissa menjelaskan, dengan ikut kampanye lingkungan hidup berarti dirinya telah menyelamatkan pencemaran udara. “Pohon trembesi merupakan pohon yang bisa mengurangi polusi dengan menyerap karbondioksida dan mengeluarkan oksigen,” papar Anissa.

Grup vokal yang digawangi oleh Frischa Putri Yulisa, Lusi Sibarani dan Anissa Nabila ini akan terus ikut melestarikan lingkungan. Selain menanam pohon, Mahadewi juga tampil menghibur masyarakat Rembang dengan lagunya berjudul Sumpah I Love U, Satu-Satunya Cinta dan lainnya.

Jalur Pantura
Pihak Djarum Foundation mengatakan, mereka tidak hanya melakukan penanaman, namun juga perawatan selama 3 tahun terhadap 36.357 pohon trembesi yang nantinya tertanam di sepanjang jalur pantura Pulau Jawa.

“Dengan komitmen yang tidak pernah putus inilah, maka Djarum Trees For Life terus berusaha melakukan penanaman pohon dan ikut berperan serta dalam meningkatkan kualitas hidup masyarakat,” tandas F.X Supanji, Vice President Director Djarum Foundation. []

Sumber: poskotanews.com

read more
Green Style

Serangga Bisa Jadi Pangan Ramah Lingkungan

Konferensi ‘Serangga sebagai Pangan Dunia’ telah digelar 14-17 Mei lalu. Lebih dari 450 peneliti dan delegasi dari lembaga internasional mengikuti acara yang digelar di Ede, Belanda, ini.

Menurut Arnold van Huis, profesor di Wageningen University, Belanda, ada 2.000 jenis serangga yang bisa dikonsumsi. “Serangga adalah peluang dan pasar besar,” ujarnya, seperti ditulis AFP (14/05/2014).

Mei tahun lalu, Badan Pangan dan Pertanian (FAO) PBB mengatakan bahwa serangga bukan hanya penting sebagai sumber vitamin dan asam amino, tapi juga berdampak baik bagi lingkungan.

Belalang, semut, cacing, ulat, dan jenis serangga lain bisa jadi langkah yang aman dan murah untuk memberi makan jutaan orang di dunia di tengah kerusakan lingkungan dan meledaknya populasi.

FAO memperkirakan, dunia perlu meningkatkan produksi pangan hingga 70% pada 2050 untuk memenuhi kebutuhan populasi global sebanyak 9 miliar jiwa.

Produksi pakan hewan kini bersaing dengan makanan manusia dan produksi bahan bakar dalam memperebutkan sumber daya alam seperti lahan dan air. Namun, 70% lahan agrikultur di dunia sudah diperuntukkan secara langsung maupun tak langsung untuk produksi daging.

Serangga sudah mulai digunakan sebagai pakan ternak. Satu ton tepung lalat black soldier hanya menghabiskan biaya $1.000 (Rp 11,5 juta) dibanding pakan ikan seharga $13.000 (Rp 149,5 juta). Di beberapa restoran, seranggapun mulai dijadikan konsumsi manusia.

Namun, kata van Huis, ini baru permulaan. Ketertarikan masyarakat kini berkembang sangat cepat. “Bicara soal pakan ternak, serangga akan segera menjadi populer. Namun untuk konsumsi manusia, butuh 5-10 tahun,” ujarnya.

Paul Vantomme yang menangani program konsumsi serangga di FAO menilai perlunya diversifikasi pangan. Pasalnya, 90% produksi kedelai bergantung pada Argentina, Brazil, dan Amerika Serikat. Sementara itu, setiap tahun 12 juta ton ikan dikeruk dari lautan sebelum diolah menjadi pakan ternak. Langkah ini tentu tak berkelanjutan bagi lingkungan.

Di lain pihak, serangga hanya menyumbang jejak yang sangat sedikit dalam emisi karbon dan penggunaan air jika dibandingkan sumber makanan konvensional. Risiko serangga menularkan penyakit ke manusia juga lebih rendah dibanding beberapa jenis hewan ternak.

Serangga memiliki efisiensi konversi pangan yang tinggi karena berdarah dingin. “Rata-rata serangga bisa mengonversi dua kg pakan menjadi satu kg massa serangga, sedangkan hewan ternak memerlukan delapan kg pakan untuk menghasilkan satu kg pertambahan berat badan hewan,” jelas FAO.[]

Sumber: detik.com

read more
Perubahan Iklim

Pulau-pulau Kecil Indonesia Terancam Tenggelam

Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (Kehati) mengatakan, keberadaan pulau-pulau kecil di Indonesia yang kaya potensi terancam perubahan iklim dan pemanfaatan yang merusak.

“Pemanasan global yang mengakibatkan cairnya es di kutub dan akhirnya membuat muka laut menjadi lebih tinggi dapat menenggelamkan pulau-pulau kecil di Indonesia,” kata Program Officer Ekosistem Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yayasan Kehati Basuki Rahmad di Jakarta, Kamis (22/5).

Seperti diberitakan Antara, pemanasan global juga memberi dampak pada kerusakan terumbu karang yang sangat rentan pada perubahan suhu di laut.

Kondisi itu, katanya, diperburuk dengan kerusakan yang diakibatkan kegiatan manusia. Padahal proses pertumbuhan terumbu karang rata-rata satu sentimeter untuk setiap tahunnya. Jika kerusakan menimpa lima meter terumbu karang, maka pemulihannya bisa mencapai waktu 500 tahun.

Terumbu karang merupakan organisme yang sangat penting bagi pulau-pulau kecil sebagai benteng bagi pantai atau pulau dari gerusan arus laut. Jika tidak ada karang yang melindungi maka pengikisan pantai akan semakin cepat terjadi.

Selain itu, rusak atau hilangnya terumbu karang juga mempengaruhi produksi perikanan, sebab ikan melakukan pemijahan (mencampur jantan dan betina) di sekitar karang. Tanpa adanya karang, ikan-ikan ini akan pergi dan sulit untuk ditangkap.

Ancaman lain dari kegiatan manusia di antaranya reklamasi pantai serta berubahnya muka tanah di pulau-pulau kecil karena perkebunan dan pertambangan.

Selain itu, kata Basuki Rahmad, pulau-pulau kecil yang tersebar di seluruh Indonesia juga memiliki isu serius dari sisi kedaulatan negara. Masih banyak pulau-pulau berpenghuni yang belum mendapatkan perhatian serius dari pemerintah.

“Mereka merasa diambil sumberdayanya akan tetapi tidak mendapatkan imbal balik yang setimpal. Kekecewaan seperti ini tentunya mengancam kesatuan negara ini,” kata Basuki.

Bertepatan dengan Hari Keanekaragaman Hayati Dunia, 22 Mei 2014, Yayasan Kehati mengajak masyarakat Indonesia untuk peduli pada pulau-pulau kecil sesuai dengan tema tahun ini “island biodiversity”.

Sumber: merdeka.com

read more