close

01/07/2014

Sains

Pestisida Rusak Ekosistem Alami

Penggunaan pestisida terbukti secara sistemis meracuni ekosistem, menghancurkan keanekaragaman hayati. Hal ini terungkap dari hasil penelitian selama empat tahun yang dilakukan oleh komunitas ilmiah, Task Force On Systemic Pesticides.

Penggunaan pestisida sistemis berjenis neonicotinoids dan fipronil (neonics) menyebabkan kerusakan yang parah pada spesies invertebrata yang bermanfaat bagi lingkungan dan menjadi penyebab utama menurunnya populasi lebah di alam.

Perhatian terhadap pemakaian pestisida sistemis ini sudah berlangsung selama 20 tahun terakhir namun belum ada kesimpulan ilmiah tentang bahaya pestisida ini hingga hasil penelitian ini diterbitkan.

Tim peneliti yang melakukan analisis penuh terhadap 800 penelitian dari seluruh dunia telah menemukan bukti nyata dari bahaya pemakaian pestisida ini dan menyeru diciptakannya aksi dan kebijakan untuk mencegah pemakaiannya.

Hasil kajian yang dikenal dengan nama Worldwide Integrated Assessment (WIA) ini akan diterbitkan dalam Journal Environment Science and Pollution Research. Tim peneliti menyimpulkan, pestisida berjenis neonics membawa ancaman kerusakan serius terhadap populasi lebah madu dan serangga penyerbuk lainnya seperti kupu-kupu, spesies invertebrata seperti cacing tanah dan berbagai spesies invertebrata yaitu berbagai jenis burung.

Pestisida jenis neonics adalah racun syaraf yang mematikan baik secara langsung maupun tidak langsung. Paparan jangka panjang pestisida jenis ini – walau dalam takaran yang tidak mematikan – akan merusak sensor serangga dan hewan lainnya, termasuk indra penciuman, memori yang akan mengganggu kemampuan mereka bereproduksi, mencari dan mengolah makanan.

Pada lebah, racun ini akan mengganggu kemampuan mereka melakukan penyerbukan. Pada cacing tanah, racun ini akan merusak kemampuan mereka membuat lubang. Pada burung dan serangga pestisida ini meracuni makanan mereka, mengganggu sistem sensor dan kemampuan terbang sehingga mereka semakin rentan terhadap predator dan penyakit.

Dr Jean-Marc Bonmatin dari National Centre for Scientific Research di Perancis yang merupakan salah satu penyusun laporan ini menyatakan, “Bukti-bukti yang ada sudah sangat jelas. Kami menemukan ancaman yang nyata (dari penggunaan pestisida sistemis ini) pada lingkungan, baik yang alami maupun lingkungan hasil olahan manusia.”

Penggunaan pestisida ini menurut Jean-Marc tidak melindungi produksi pangan, tapi malah sebaliknya, merusak infrastruktur penting dalam sistem produksi pangan. “Pestisida ini juga merusak sistem penyerbukan alami, habitat mereka, termasuk sistem pengontrol hama alami yang menjadi ciri sebuah ekosistem yang sehat,” tuturnya.[]

Sumber: hijauku.com

read more
Ragam

Kambing Janda di Taman Nasional Gunung Palung

Pada tanggal 20 – 24 Juni 2014 lalu, saya dari Aceh dan dua teman dari Riau berkesempatan mengunjungi Taman Nasional Gunung Palung (TNGP) di Propinsi Kalimantan Barat. Kami bertiga merupakan pemenang lomba menulis dengan tema “Menyelamatkan Biodiversity, Menyelamatkan Hutan,” yang diselenggarakan oleh Society of Indonesian Environmental Journalist (SIEJ), organisasi jurnalis lingkungan berkedudukan di Jakarta. Sebagai hadiahnya, panitia membawa kami mengunjungi TNGP yang memiliki luas 90.000 hektar dan bersinggungan dengan dua kabupaten yaitu Kabupaten Ketapang dan Kabupaten Kayong Utara.

TNGP merupakan salah satu kawasan pelestarian alam yang memiliki keaneka-ragaman hayati bernilai tinggi, dan berbagai tipe ekosistem antara lain hutan mangrove, hutan rawa, rawa gambut, hutan rawa air tawar, hutan pamah tropika, dan hutan pegunungan yang selalu ditutupi kabut.

Taman nasional ini merupakan satu-satunya kawasan hutan tropika Dipterocarpus yang terbaik dan terluas di Kalimantan. Sekitar 65 persen kawasan, masih berupa hutan primer yang tidak terganggu aktivitas manusia dan memiliki banyak komunitas tumbuhan dan satwa liar.

Kawasan ini ditumbuhi oleh jelutung (Dyera costulata), ramin (Gonystylus bancanus), damar (Agathis borneensis), pulai (Alstonia scholaris), rengas (Gluta renghas), kayu ulin (Eusideroxylon zwageri), Bruguiera sp., Lumnitzera sp., Rhizophora sp., Sonneratia sp., ara si pencekik, dan tumbuhan obat.

Tumbuhan yang tergolong unik di taman nasional ini adalah anggrek hitam (Coelogyne pandurata), yang mudah dilihat di Sungai Matan terutama pada bulan Februari-April. Daya tarik anggrek hitam terlihat pada bentuk bunga yang bertanda dengan warna hijau dengan kombinasi bercak hitam pada bagian tengah bunga, dan lama mekar antara 5-6 hari.

Tercatat ada 190 jenis burung dan 35 jenis mamalia yang berperan sebagai pemencar biji tumbuhan di hutan. Semua keluarga burung dan kemungkinan besar dari seluruh jenis burung yang ada di Kalimantan, terdapat di dalam hutan taman nasional ini.

Satwa yang sering terlihat di TNGP yaitu bekantan (Nasalis larvatus), orangutan (Pongo satyrus), bajing tanah bergaris empat (Lariscus hosei), kijang (Muntiacus muntjak pleiharicus), beruang madu (Helarctos malayanus euryspilus), beruk (Macaca nemestrina nemestrina), klampiau (Hylobates muelleri), kukang (Nyticebus coucang borneanus), rangkong badak (Buceros rhinoceros borneoensis), kancil (Tragulus napu borneanus), ayam hutan (Gallus gallus), enggang gading (Rhinoplax vigil), buaya siam (Crocodylus siamensis), kura-kura gading (Orlitia borneensis), dan penyu tempayan (Caretta caretta). Tidak kalah menariknya keberadaan tupai kenari (Rheithrosciurus macrotis) yang sangat langka, dan sulit untuk dilihat (Dishut.go.id).

Perjalanan menuju TNGP kami tempuh dari Pontianak, Ibu kota Propinsi ini dengan menggunakan pesawat berukuran sedang dan mendarat di Bandara Rahadi Usman, di Ketapang. Ada yang menarik melihat pemandangan di Bandara Supadio Pontianak, penumpang berjejalan di pintu masuk, bagaikan suasana di terminal bus saja layaknya. Ragam penampilan penumpang sangat bervariasi, dari model penampilan orang desa hingga tampang pengusaha. Rupanya menurut cerita teman, seorang jurnalis lingkungan asal Pontianak, Daeng Rizal, transportasi darat di Kalimantan sangat buruk sehingga banyak masyarakat memilih pesawat untuk bepergian antar satu daerah.

Dari Ketapang untuk menuju TNGP masih dibutuhkan dua jam perjalanan darat lagi. Tapi ini sebenarnya belum masuk zona inti atau kawasan hutan lebat TNGP tetapi hanya kawasan pinggiran yang banyak pemukiman. Hari pertama ini kami langsung menjumpai masyarakat yang bermukim di pinggiran hutan TNGP untuk bersilaturahmi dan wawancara tentang program konservasi hutan.

Desa yang kami kunjungi pertama adalah Desa Sedahan, Kecamatan Sukadana, Kabupaten Kayong Utara. Warga yang didukung oleh organisasi lokal bernama Yayasan Asri menjalankan program penyelamatan hutan sambil memberdayakan kehidupan masyarakat. Segudang problematika khas penduduk sekitar hutan ada di desa ini mulai dari batas hutan yang tidak jelas, tanah dan kebun mereka masuk ke dalam wilayah TNGP dan pembukaan hutan menjadi kebun sawit. Namun kini banyak masyarakat desa yang dulunya merupakan penebang liar kini telah beralih menjadi petani atau menjalankan usaha lainnya.

Seperti yang kami temui hari itu, satu kelompok tani yang dulunya merupakan penebang liar. Pak Jono, bekas penebang liar berkisah kepada kami tentang pekerjaannya dulu. “ Kalau dipikir-pikir duit yang kami dapat dulu tidak banyak. Memang totalnya banyak tetapi setelah potong hutang sana-sini paling bisa kami bawa pulang 1 juta. Sekarang dengan bertani kami bisa mendapat lebih,”katanya.

Yayasan Asri membantu masyarakat dengan berbagai program uniknya di bidang kesehatan dan pemberdayaan masyarakat. Mereka mendirikan klinik dan menyediakan obat-obat berkualitas bagi warga sekitar hutan. Program kesehatan ini menjadi menarik karena menerapkan sistem “reward and punishment” bagi warga yang menjaga hutan. Sebagai contoh, desa-desa di sekitar hutan diberi label zona merah dan zona hijau. Bagi warga desa yang tinggal di zona merah, jika berobat ke klinik hanya mendapat diskon 30 persen. Sedangkan bagi penduduk yang tinggal di zona hijau mendapat potongan harga jauh lebih besar yaitu 70 persen.

Zona merah berarti di desa tersebut ditemukan tumpukan kayu ilegal, kegiatan penebangan liar dan gergaji mesin. Sebaliknya jika zona hijau berarti desa tersebut telah aman dari kegiatan yang merusak hutan. Jadi masyarakat akan menjaga desanya agar tidak masuk dalam zona merah atau menjaga desanya tetap zona hijau mengingat pelayanan kesehatan yang diberikan sangat berkualitas walaupun sebenarnya ada Puskesmas yang memberikan obat gratis di sekitar mereka. Warga lebih percaya kepada dokter-dokter klinik Yayasan Asri yang berasal dari berbagai daerah bahkan ada dokter dari luar negeri.

Program pemberdayaan yang dilakukan antara lain memberikan pelatihan pertanian organik bagi masyarakat seperti membuat pestisida alami, kompos dan sebagainya.  Selain itu masyarakat juga melakukan penanaman pohon-pohon untuk rehabilitasi hutan baik pohon yang menghasilkan kayu maupun pohon yang memiliki buah. Pohon yang berbuah ini sangat penting sebagai makanan satwa agar hewan-hewan ini tidak mengganggu pertanian penduduk.

Selain itu pohon-pohon yang berbuah dapat menjadi koridor satwa antara satu wilayah dengan wilayah lainnya.
Bagi saya program pemberdayaan Yayasan Asri yang paling menarik adalah “ Kambing untuk Janda”. Ketika pertama mendengar kata “kambing janda”, saya pikir ini hanya becandaan orang setempat saja. Ternyata ini adalah program pemberian kambing kepada janda kurang mampu untuk dipelihara dan hasilnya nanti digulirkan (revolving) kepada janda lain. Konsultan Teknis Pemeliharaan kambing, Muhammad Yusuf menceritakan awalnya program Kambing untuk Janda ini idenya dari seorang janda warga negara Amerika Serikat yang berkunjung ke daerah TNGP. Janda ini kemudian berinisiatif mengumpulkan dana dari rekan-rekannya sesama janda dan dana ini dibelikan kambing yang diserahkan kepada janda miskin yang bermukim sekitar hutan.

“Syarat penerima bantuan adalah janda miskin berumur 50 tahun keatas, miskin, tidak punya anak atau cucu berkecukupan atau PNS. Kami mensurvey janda calon penerima yang nama-namanya diberikan oleh kepala desa. Saat ini ada sekitar 180 janda penerima kambing dari 9 desa, setiap janda mendapatkan sepasang kambing. Namun kambing jantannya digilirkan antara betina-betina lain. Kalau kambing sudah beranak maka anaknya diberikan kepada janda lain,” jelas Muhammad Yusuf. Program ini sudah dimulai sejak tahun 2008 lalu dan sampai saat ini pelaksanaannya terus dimonitor oleh yayasan.

Salah seorang janda penerima kambing, Fatimah, 64 tahun, sempat kami jumpai saat sedang menggembalakan kambingnya di daerah berumput pinggir pantai. Ia mendapat bantuan kambing tahun 2012 dan kini telah mempunyai enam ekor kambing. Janda dengan 6 anak ini seharian menjaga kambingnya agar tidak dimakan anjing atau predator lainnya. Harga kambing sangat tinggi di daerah ini, harganya dihitung perkilogram berat tubuh kambing yang masih hidup.

“Kalau kambing jantan harganya 70.000 per kilo, kalau kambing betina 40.000 per kilo,” kata Fatimah. Kambingnya sendiri saat ini masih kecil-kecil selain induknya, jadi Fatimah belum bisa menaksir berapa harga total peliharaannya tersebut.

Fatimah menjaga kambingnya sepenuh hati dan jiwanya. Sehari bisa 4-5 jam ia menggembalkan kambing yang dimulai dari pagi hari. Sorenya ia masih mencari umpan untuk dimakan kambingnya di dalam kandang. Ini sangat berbeda dengan yang saya lihat di Aceh, dimana pemilik kambing seenaknya saja melepaskan hewan bertanduk ini sehingga merusak tanaman orang lain.

Unik, ini sepertinya baru saya mendengar ada program khusus untuk janda yang tinggal sekitar hutan.  Program pelestarian hutan yang disatukan dengan program pemberdayaan masyarakat memang sangat penting. Apa artinya hutan lestari jika masyarkat tidak sejahtera, ungkapan seorang tokoh masyarakat setempat. Ini seperti motto Yayasan Asri, Hutan Lestari Masyarakat Sejahtera.

Memang tiga hari yang melelahkan melakukan perjalanan sambung menyambung antara pesawat terbang dan jalan darat. Tetapi Insya Allah perjalanan ini memberikan banyak inspirasi bagi saya.[]

read more