close

03/07/2014

Kebijakan Lingkungan

Media Asing Soroti Hilangnya Ratusan Ribu Hektar Hutan di Indonesia

Data terbaru yang dirilis oleh peneliti asal RI, Belinda Arunarwati Margono, di jurnal Perubahan Iklim Alam mengenai situasi hutan di Indonesia mencengangkan. Betapa tidak, dalam data yang dirilis oleh perempuan yang bekerja di Kementerian Kehutanan itu menyebut RI telah kehilangan 6,02 juta hektar hutan.

Jumlah itu dilansir antara tahun 2000 dan 2012 silam. Maka tak heran, bila dua media asing, The Guardian dan Sydney Morning Heraldmenurunkan pemberitaan dari sumber serupa.

Harian The Guardian, Minggu 29 Juni 2014 melansir jumlah kehilangan hutan yang diderita RI bahkan kian bertambah yakni sekitar 47.600 hektar setiap tahunnya. Padahal di tahun 2012 lalu, Belinda memprediksi, RI telah kehilangan 840 ribu hektar hutan primernya.

Dengan jumlah hutan yang begitu besar dibabat habis, maka RI sukses mengambil alih predikat yang sebelumnya disematkan kepada Brasil, sebagai negara yang paling cepat menggunduli hutan. Negeri Samba itu, berdasarkan data Belinda, kehilangan 460 ribu hektar hutan hujan tropisnya.

SMH bahkan menjuluki RI dalam laporannya sebagai negara dengan tingkat pembalakkan liar terparah.
Padahal menurut The Guardian, area hutan di Indonesia mencapai seperempat hutan hujan tropis di Amazon, Brasil.
Dunia, ujar Belinda, jelas khawatir dengan fakta ini, karena Indonesia merupakan penghasil gas emisi rumah kaca terbesar ketiga setelah China dan Amerika Serikat. Sebanyak 85 persen emisi tersebut bersumber dari penghancuran dan berkurangnya lahan hutan.

Sementara hutan primer justru menjadi penyimpan karbon dalam jumlah paling besar di dunia.

Angka kehilangan hutan yang sedemikian besar, tulis The Guardian, justru tidak sejalan dengan komitmen RI yang tertuang dalam moratorium tahun 2009 silam. Sebab, Pemerintah RI justru terus memberikan izin untuk pembalakkan hutan primer dan lahan gambut. Kedua hal tersebut menjadi pemicu deforestasi hutan.

Padahal dalam moratorium itu, Pemerintah RI berniat akan mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 26 persen di tahun 2020 atau 41 persen dengan bantuan global. Pemerintah Norwegia kemudian mengucurkan dana senilai US$1 miliar atau Rp12 triliun. Namun, RI mengklaim membutuhkan dana US$5 miliar atau Rp60 triliun untuk mengatasi kerusakan hutan saat ini.

Dari hasil studi Belinda, sebanyak 40 persen pembalakkan hutan dilakukan secara ilegal di hutan produksi, konservasi dan lindung.

“Tingkat kehancuran hutan di Sumatera masih lebih cepat. Di belakangnya ada Kalimantan dan Papua,” ungkap Belinda.

Namun, imbuh Belinda, jika Pemerintah RI tidak segera berbuat sesuatu, dikhawatirkan satu hari ini, situasi serupa juga akan ditemui di hutan di Kalimantan dan Papua.

Studi itu juga seolah menyimpulkan bahwa kebijakan terkait perubahan iklim yang digagas Presiden SBY telah gagal. Kian meningkatnya populasi di Indonesia dan permintaan yang tinggi untuk kayu, karet untuk kertas dan minyak kelapa sawit, justru memicu pembalakkan hutan.

Hal itu diperburuk dengan korupsi di tingkat pemerintah pusat dan lokal serta tidak adanya penegakkan hukum.
“Hilangnya lahan gambut dalam jumlah besar, kemungkinan tidak disebabkan oleh pemangku skala kecil, tetapi pengembang lahan agro-industri skala besar,” tulis kesimpulan dalam studi tersebut.

Belinda mengaku telah memperoleh data mentah untuk proyeksi jumlah hutan yang ditebang di 2014, namun belum dirilis. Oleh sebab itu, dia enggan berspekulasi apakah trend penggundulan hutan kian meningkat atau tidak di tahun ini. [005-Vivanews]

 

read more
Hutan

Bertemu Pujangga ‘Penjaga Hutan’ Laman Satong

Namanya Yohanes Terang, berusia sekitar 60 tahun dengan perawakan yang tambun namun cukup kekar. Ia merupakan tokoh desa setempat, berasal dari suku Dayak namun beristrikan seorang putri Ambarawa, Jawa Tengah. Maklum saja, sejak usia muda ia telah merantau ke tanah Jawa menempuh Sekolah Pertanian hingga akhirnya ditugaskan kembali ke tanah kelahirannya hingga kini.

Yohanes sudah sejak tahun 1987 memegang jabatan Kepala Desa Laman Satong, Kabupaten Ketapang Propinsi Kalimantan Barat. Namun sejak tahun 2004 lalu ia mengundurkan diri dari jabatan tersebut. Ia merupakan alumni Kursus Pengembangan Masyarakat Desa di  Bogor, yang oleh Frans Seda, tokoh nasional, ditugaskan kembali ke kampung halaman membangun desanya.

Suatu hari di bulan Juni yang panas, kami berkesempatan bertemu dengannya di lokasi wisata ziarah Gua Maria yang terletak di Dusun Manjau, masih di desanya. Kami bertiga merupakan pemenang lomba menulis dengan tema “Menyelamatkan Biodiversity, Menyelamatkan Hutan,” yang diselenggarakan oleh Society of Indonesian Environmental Journalist (SIEJ), organisasi jurnalis lingkungan berkedudukan di Jakarta. Sebagai hadiahnya, panitia membawa kami mengunjungi Taman Nasional Gunung Palung (TNGP) yang memiliki luas 90.000 hektar dan bersinggungan dengan dua kabupaten yaitu Kabupaten Ketapang dan Kabupaten Kayong Utara.

Ikut juga bersama kami Sapto HP yang mewakili SIEJ, Daeng Rizal jurnalis Mongabay yang berdomisili di Pontianak serta paniita dari USAID. Obrolan berlangsung hangat setelah sebelumnya makan siang bersama.

Gua Maria ini merupakan lokasi wisata yang dialiri oleh alur kecil berair jernih, terletak di pinggiran hutan yang bersisian dengan kawasan TNGP. Objek wisata ini lumayan ramai dikunjungi bahkan terdapat areal seluas lapangan volley untuk melakukan misa bagi umat kristen.  Kami duduk-duduk di bawah rimbunnya pohon, beralaskan terpal atau duduk di atas batu.

TNGP merupakan salah satu kawasan pelestarian alam yang memiliki keaneka-ragaman hayati bernilai tinggi, dan berbagai tipe ekosistem antara lain hutan mangrove, hutan rawa, rawa gambut, hutan rawa air tawar, hutan pamah tropika, dan hutan pegunungan yang selalu ditutupi kabut.

Taman nasional ini merupakan satu-satunya kawasan hutan tropika Dipterocarpus yang terbaik dan terluas di Kalimantan. Sekitar 65 persen kawasan, masih berupa hutan primer yang tidak terganggu aktivitas manusia dan memiliki banyak komunitas tumbuhan dan satwa liar.

Kawasan ini ditumbuhi oleh jelutung (Dyera costulata), ramin (Gonystylus bancanus), damar (Agathis borneensis), pulai (Alstonia scholaris), rengas (Gluta renghas), kayu ulin (Eusideroxylon zwageri), Bruguiera sp., Lumnitzera sp., Rhizophora sp., Sonneratia sp., ara si pencekik, dan tumbuhan obat.

Tumbuhan yang tergolong unik di taman nasional ini adalah anggrek hitam (Coelogyne pandurata), yang mudah dilihat di Sungai Matan terutama pada bulan Februari-April. Daya tarik anggrek hitam terlihat pada bentuk bunga yang bertanda dengan warna hijau dengan kombinasi bercak hitam pada bagian tengah bunga, dan lama mekar antara 5-6 hari.

Tercatat ada 190 jenis burung dan 35 jenis mamalia yang berperan sebagai pemencar biji tumbuhan di hutan. Semua keluarga burung dan kemungkinan besar dari seluruh jenis burung yang ada di Kalimantan, terdapat di dalam hutan taman nasional ini.

Satwa yang sering terlihat di TNGP yaitu bekantan (Nasalis larvatus), orangutan (Pongo satyrus), bajing tanah bergaris empat (Lariscus hosei), kijang (Muntiacus muntjak pleiharicus), beruang madu (Helarctos malayanus euryspilus), beruk (Macaca nemestrina nemestrina), klampiau (Hylobates muelleri), kukang (Nyticebus coucang borneanus), rangkong badak (Buceros rhinoceros borneoensis), kancil (Tragulus napu borneanus), ayam hutan (Gallus gallus), enggang gading (Rhinoplax vigil), buaya siam (Crocodylus siamensis), kura-kura gading (Orlitia borneensis), dan penyu tempayan (Caretta caretta). Tidak kalah menariknya keberadaan tupai kenari (Rheithrosciurus macrotis) yang sangat langka, dan sulit untuk dilihat (Dishut.go.id).

Perjalanan menuju TNGP kami tempuh dari Pontianak, Ibu kota Propinsi Kalimantan Barat dengan menggunakan pesawat berukuran sedang dan mendarat di Bandara Rahadi Usman, di Ketapang. Ada yang menarik melihat pemandangan di Bandara Supadio Pontianak, penumpang berjejalan di pintu masuk, bagaikan suasana di terminal bus saja layaknya. Ragam penampilan penumpang sangat bervariasi, dari model penampilan orang desa hingga tampang pengusaha. Rupanya menurut Daeng Rizal, transportasi darat di Kalimantan sangat buruk sehingga banyak masyarakat memilih pesawat untuk bepergian antar satu daerah.

Mungkin karena terpengaruh masih dalam suasana kampanye calon presiden Indonesia, Yohanes membuka percakapan dengan mengutip sebuah pernyataan yang sangat relevan dengan pembangunan. Ia berkata seorang pemimpin adalah orang yang dapat membuat “jembatan”, baik secara fisik maupun sosial. Secara fisik berarti pemimpin harus dapat membuat infrastruktur seperti jalan, jembatan dan sebagainya. Sedangkan secara sosial berarti pemimpin harus mampu menjembatani berbagai kepentingan masyarakat yang sangat beragam. Kami tersenyum mendengarnya.

Desa tempatnya tinggal kini boleh dikatakan satu-satunya daerah yang masih selamat dari pembukaan kebun sawit. Selain itu desa ini dikepung oleh kegiatan ilegal logging namun syukurnya hutan desanya masih selamat. Masyarakat berhasil menghalau para logger liar tersebut.

Selain dikelilingi oleh perkebunan sawit, ada juga pertambangan Bauksit dalam daerah Laman Satong. Banyak juga warga desa yang bekerja di perusahaan tambang tersebut, selain bekerja di kebun sawit, sesuatu yang bertentangan dengan prinsip Yohanes Terang. Lahan sawit dan lahan pertambangan pun tumpang tindih satu sama lain.

Akibat ketidaksetujuannya dengan tambang, Yohanes sempat beberapa kali didatangi perwakilan perusahaan dan ditawarkan sejumlah duit. “Alasan mereka kasih duit karena saya orang tua di kampung. Tapi saya tolak,” kata Yohanes.

Dampak pembukaan kebun sawit dan tambang mulai terasa. Dulu saat mereka membuka daerah ini secara manual, tidak pernah terjadi banjir dan hujan debu. Sekarang banjir sudah menjadi langganan dan debu menjadi ‘santapan’ sehari-hari.

Ketika Yohanes ditempatkan ke desa Laman Satong, ia menerima pesan singkat saja. “ Tolong bawa perubahan di Dusun Manjau,” ujarnya menirukan pesan tersebut.

Yohanes bersama warga terus bekerja keras melestarikan hutan yang tersisa. Masih ada sedikit hutan lagi yang kini sedang diusahakan statusnya menjadi Hutan Desa. Hutan Desa sangat dibutuhkan untuk menyimpan air sehingga dimusim kemarau persediaan air masih ada.

Di hutan desa ini masyarakat menanam kopi, durian, pohon gaharu dan berbagai tanaman lainnya. Ada sekitar 1.070 Hektar Hutan Desa yang diusulkan. Sekitar 25 persennya akan dijadikan lokasi pembibitan pohon hutan.

Bagaimana pembagian lahan hutan desa? Lahan dibagi-bagi kepada masyarakat untuk dikelola. Ada dibentuk Lembaga Pengelola Hutan Desa berdasarkan peraturan desa nantinya. Organisasi ini akan mengatur pengelolaan hutan desa termasuk memberikan sanksi yang memakai hukum adat. Sanksi adat misalnya tidak boleh membuka ladang. Atau dengan kata lain boleh mengambil apa yang bisa dimanfaatkan asal tidak merusak hutan.

Ada cerita menarik dari Yohanes tentang tanaman hutan. Bagi masyarakat Dayak, pohon durian adalah salah satu pohon yang dikeramatkan. Menebang pohon durian sama saja dengan membunuh Demong (tokoh adat). Pohon durian hanya boleh ditebang untuk dibuat keranda jika ada yang meninggal.

Namun proses penetapan Hutan Desa oleh Kementerian Kehutanan penuh liku. Masyarakat dibantu oleh berbagai lembaga konservasi sudah mengusulkan Hutan Desa ke Gubernur Kalimantan Barat agar diberikan rekomendasi.
Yohanes adalah seorang yang sangat humoris. Beberapa kali ia menceritakan humor dari berbagai daerah. Dan ternyata Yohanes Terang juga adalah seorang pujangga yang telah menciptakan puluhan puisi. DI tengah ketenangan Desa Laman Satong, dari jemarinya telah lahir berbagai puisi, terutama bertemakan alam. Akibatnya, ia pun sering diminta membacakan puisinya di berbagai acara yang dihadirinya, bahkan di acara tingkat desa sekalipun. Inilah salah satu puisinya:

Kata Uang

Aku uang
Aku raja di atas segala raja
Aku kuasa di atas segala penguasa
Aku segalanya bagi manusia
Aku hadir disetiap bentuk dan rupa
Aku tinggi, panjang, dalam dan seluas alam raya
Aku racun, obat, hina juga mulia  
Aku gagah, megah, indah, luka, duka, merana

Lihat karena akulah,  pejabat agung mulia jatuh ke lembah duka dan hina
Karena akulah bumi dilobang, gunung terpangkas, hutan terpanggang, asap mendera
Karena akulah sumber bencana yang tidak berujung sampai berakhirnya cerita

Jangan lupa pada saatnya menghadap Sang Pencipta aku tidak ada disana
Karena bagi-Nya aku tidak punya guna []

read more