close

September 2014

Kebijakan Lingkungan

Moratorium Tambang Harus Jawab Isu Kesejahteraan & Lingkungan

Banda Aceh – Instruksi Gubernur Aceh tentang penutupan seluruh pertambangan illegal harus disikapi dengan bijak. Pertama, Intruksi tersebut harus dipandang sebagai sebuah semangat mencegah kerusakan di muka bumi baik bagi manusia maupun lingkungan hidup. Kedua, kebijakan tersebut  harus diikuti dengan langkah kongkrit untuk menjawab dampak yang timbul bagi perekonomian warga penambang akibat  intruksi Gubernur Aceh menutup pertambangan rakyat.

Demikian disampaikan oleh Juru Bicara Koalisi Peduli Hutan Aceh (KPHA), Efendi Isma dalam siaran persnya hari ini. Menurutnya fakta saat ini ada ribuan warga Aceh menggantungkan hidup dari usaha pertambangan khususnya tambang emas. Di sisi lain, ada dampak buruk yang ditimbulkan karena pengolahan hasil tambang emas  masih menggunakan bahan berbahaya seperti  air raksa dan sianida yang dipercaya merusak bagi manusia dan lingkungan hidup.

Menurut investigasi  KPHA, terdapat sejumlah lokasi pertambangan emas rakyat di Aceh seperti Pidie, Aceh Jaya dan Aceh Selatan dan sampai saat ini masih beroperasi serta menggunakan merkuri.

Pembiaran terhadap penggunaan  bahan berbahaya oleh warga dalam mengolah hasil tambang memang tidak boleh terjadi. Karena hal itu akan berdampak buruk bagi mereka sendiri dan lingkungan untuk jangaka waktu yang lama. Namun, menutup tambang emas tradisonal rakyat tanpa diikuti dengan solusi komprehensif, juga dapat disebut sebagai tindakan yang tidak bijak.

Menyikapi polemik Intruksi Gubernur soal penutupan pertambangan illegal di Aceh, Koalisi Peduli Hutan Aceh (KPHA) menilai ada beberapa hal yang harus segera dilakukan diantaranya:
1.    Pemerintah Aceh harus segera mengeluarkan Peraturan Pemerintah Aceh tentang Moratorium Tambang. Termasuk mengatur soal tambang rakyat.

2.    Segera melokalisir area pertambangan rakyat yang terdapat di seluruh Aceh, untuk mengetahui potensi dan menyusun rencana yang matang tentang pemanfaatan dan pengelolaan tambang Aceh yang berasaskan kesejahteraan berkeadilan bagi rakyat Aceh dan kelestarian lingkungan.

3.    Melakukan musyawarah dengan warga yang selama ini mengantungkan hidup mereka dari sector pertambangan emas  guna menemukan solusi perkonomian selama moratorium tambang Aceh.

4.    Pemerintah Aceh juga harus memastikan pemutusan mata rantai peredaran bahan berbahaya yang digunakan warga dalam aktivitas pertambangan emas. Selain itu, Pemerintah Aceh juga harus bertanggung jawab atas pembiaran penggunaan bahan berbahaya selama ini oleh warga. Termasuk juga memberantas mafia merkuri atau sianida yang bermain dan mengambil keuntungan dari bisnis tersebut selama ini di Aceh.

5.    Pemerintah segera membuat rencana program pertambangan rakyat dengan metode ramah lingkungan dan memastikan terlaksana dengan asaz kesejahteraan berkeadilan bagi seluruh rakyat Aceh. Program tambang rakyat yang ramah lingkungan adalah jaminan atas pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam menikmati sumber daya alam yang ada.

6.    Meninjau ulang seluruh izin perusahaan pertambangan di Aceh.  Guna memastikan tidak perampokan sumber daya alam oleh pihak- pihak tertentu yang kita yakini terjadi selama ini di Aceh. Termasuk juga soal pemenuhan kewajiban reklamasi dan CSR.

7.    Pemerintah Aceh harus mlakukan audit lingkungan Aceh secara menyeluruh, guna mengetahui secara menyeluruh ada tidaknya tindak pidana/ kejahatan di sector kehutanan dan pemanfaatan SDA Aceh.

8.    Membuka ke public seluruh proses pemanfaatan dan penerimaan hasil ekspolitasi SDA Aceh khususnya sector pertambangan.

9.    Mendesak Pemerintah Aceh segera melakukan revisi Qanun RTRWA. Mengingat Qanun Aceh yang telah disahkan pada akhir tahun 2013 itu, tidak merinci secara jelas soal jenis dan lokasi pertambangan di Aceh. [rel]

read more
Tajuk Lingkungan

Reformis…

Sebuah bangunan dingin tanpa kedaulatan. Bahkan di atas meja makan, kita dengan mudah menemukan produk label impor; yang sebenarnya bahan bakunya berasal dari belakang rumah kita. Ya, begitulah. Dan yang tampak oleh mata, mungkin kaum miskin di Jakarta hidup dalam keadaan yang lebih buruk dari kaum miskin di Aceh. Tapi kaum kaya di Aceh hidup sama mewahnya dengan kaum kaya di Jakarta. Sementara daya beli dari upah minimum terus merosot dari tahun ke tahun.

Saya rasa, istilah “reformis” telah mengandung makna yang buruk. Sebab mereka yang kini menjabat di pemerintahan sebagian besar adalah reformis – “laku tak sesuai cakap”. Ada kondisi lain yang mendasar, yaitu soal agraria. Ada berjuta-juta hektar tanah yang dibiarkan menganggur dan tidak difungsikan untuk memberi makan rakyatnya sendiri. Sektor pertanian seharusnya menjadi jalan keluar bagi barisan penganggur agar mereka bisa memperbaiki kondisi hidup. Tetapi sebagian besar tanah-tanah itu dikuasai kaum feodal dan tirani yang korup.

Bagaimana kebijakan pemerintah Aceh dalam rangka melindungi hutan? Saya rasa mereka terlalu banyak bicara mengenai hutan ketimbang bagaimana sungguh-sungguh memecahkan masalah yang ada di Kawasan Ekosistem Leuser saat ini. Begitu juga yang ada di hutan raya Seulawah.

Di sana terdapat fakta orang-orang yang bekerja dan hidup dari hasil hutan, tetapi kita tidak boleh sewenang-wenang memaksa mereka keluar dari sana. Sebab ada bentuk-bentuk kehidupan yang dapat menyangga lingkungan dalam jangka panjang bagi mereka yang sudah lama tinggal di hutan. Negara seharusnya bisa membantu mereka agar dapat mengelola material-material berharga secara rasional dan ramah  – sambil menghentikan arus jutaan orang lainnya yang mengalir menuju sungai-sungai “emas” di sana dengan cara memberi mereka pekerjaan lain.

Negara tidak perlu lagi mengulang “tragedi” demi sebuah undang-undang untuk membunuh mereka yang belum tentu bersalah. Namun tidak ada program ekonomi yang berkelanjutan tanpa tindakan-tindakan nyata untuk menghapus perusakan ekosistem.

Di sini, negara harus melakukan strategi peningkatan-peningkatan di dalam standar hidup mayoritas rakyat, yang dapat membantu mereka berpartisipasi lebih efektif di dalam pemulihan basis sumber daya alam di sekitarnya.

Dan saya rasa, Dewan Perwakilan Rakyat yang datang dari partai politik yang brengsek itu harus dipaksa untuk menyerahkan proposal pembangunan alternatif kepada rakyat, proses-proses dialog yang mewakili suatu langkah kritis dalam menentukan kebijakan pembangunan yang adil dan berkelanjutan bagi seluruh rakyat.

Bila negara memaksakan keinginannya sendiri, itu sebenarnya gejala bahwa kedaulatan rakyat sedang disingkirkan.

|Afrizal Akmal, 2014|

read more