close

March 2016

Tajuk Lingkungan

Mental Inlander Lingkungan Indonesia

Kedatangan bintang papan atas Hollywood, Lenardo DiCaprio, ke Hutan Leuser Aceh, Minggu (27/3/2016) membuat heboh masyarakat Indonesia terutama para aktivis lingkungan. Kedatangan ini bisa disebut diam-diam karena sebelumnya tidak ada publikasi atau sinyal perihal kedatangan aktor yang memenangkan piala oscar awal Maret 2016 lalu. Sebenarnya dalam beberapa tahun belakangan ini, dia bermetamarfosis menjadi seorang yang sangat peduli lingkungan. Leo membuat sejumlah pernyataan tentang kondisi lingkungan terkini. Termasuk pidatonya saat menerima Oscar pun sarat dengan pesan-pesan menjaga lingkungan.

Lantas apa yang aneh dari kedatangan Leo ke Hutan Leuser, hutan dimana sejumlah hewan kunci yang nyaris punah masih bisa hidup bersama? Leo datang bersama aktor watak Hollywood lain yaitu Adrien Brody, mengunjungi sejumlah situs-situs konservasi satwa liar. Mereka ditemani oleh sejumlah aktivis lingkungan lokal. Masyarakat setempat pun tak mau ketinggalan momen langka ini, berebut mendekati kedua aktor dan syukur-syukur bisa foto bareng.

Kehebohan karena datangnya bintang kawakan ini memang wajar. Maklum mereka adalah bintang top kelas dunia. Bagi yang suka menikmati film Amerika, keduanya tentu saja akrab wara-wiri dalam sejumlah film berkelas. Tiba-tiba sudah sampai ke Aceh, tentu menimbulkan kegemparan dalam tanda positif. Apalagi Leo dan Adrien menjadi sarana kampanye yang efektif menembus ke seluruh dunia.

Sejumlah media massa memuat berita kedatangan mereka. Timeline berseliweran perbincangan mengenai keduanya, terutama di medsos nya aktivis lingkungan. Saya sedikit terhenyak, kemarin-kemarin pada kemana ya orang-orang saat aktivis lokal sibuk berjuang melawan perusakan lingkungan?

Mental inlander bangsa Indonesia belum sepenuhnya hilang. Saat orang asing yang datang, kita ramai-ramai mengelukannya seolah-olah mereka lah penyelamat satu-satunya. Sementara yang lokal capek berkoar-koar namun tidak mendapat perhatian yang setimpal. Bangsa asing datang, populer dan kaya, langsung mendapat kehormatan setinggi gunung. Padahal setelah mereka pulang dan sampai di rumahnya masing-masing, siapa yang terus berjibaku menghadapi penebangan hutan?

Dulu situasi yang mirip juga terjadi saat aktor Amerika Harrison Ford datang ke Jakarta, pada September 2013. Ford sempat dikabarkan loncat-loncat ke atas meja di Kementerian Kehutanan saking kesalnya terhadap rusaknya hutan Indonesia. Peristiwa ini mendapat perhatian luas dari media dan masyarakat. Ford pun menjadi pahlawan pembela lingkungan. Persis sama dalam film-filmnya dimana dia sebagai petualang selalu menjadi pahlawan. Kita pun mengelu-elukannya.

Jadi saran saya kurangi lah sedikit mental inlander itu. Kalau bisa hilangkan secara total. Bukannya saya apriori dengan kedatangan mereka tapi cobalah berlaku lebih adil. Dengarlah aktivis lokal berbicara, jangan selalu tunggu yang asing. Yang lokal lah yang berjuang keras. Memang dunia bekerja seperti ini, selalu menganggungkan siapa yang populer dan kaya. []

read more
Green Style

Mengerikan, Seperempat Kematian Global Akibat Polusi

Hampir satu dari empat total kematian global tahunan, berkaitan dengan lingkungan, menurut pernyataan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 15 Maret 2016 lalu. Laporan tersebut menyatakan bahwa 12,6 juta kematian setiap tahunnya merupakan konsekuensi dari tinggal atau bekerja di lingkungan yang tidak sehat.

Menurut WHO, faktor risiko lingkungan seperti udara, air, dan polusi tanah, paparan bahan kimia, perubahan iklim, dan radiasi ultraviolet, berkontribusi terhadap lebih dari 100 penyakit dan cedera.

Penyakit non-menular seperti penyakit jantung dan kanker yang berhubungan dengan paparan polusi, bertanggungjawab terhadap 8,2 juta kematian di seluruh dunia setiap tahun, hampir dua pertiga dari total kematian.

Laporan itu juga mengatakan bahwa penyakit seperti infeksi malaria dan diare, yang terkait dengan kualitas air yang buruk, sanitasi dan pengelolaan limbah, terus menurun, meskipun mereka masih menghasilkan satu sepertiga dari total korban.

WHO mengungkapkan bahwa akses terhadap air, sanitasi, imunisasi, kelambu yang bebas insektisida, dan obat-obatan esensial adalah alasan mengapa jenis penyakit ini telah menurun.

Stroke adalah penyebab nomor satu kematian terkait polusi lingkungan, yang telah “membunuh” 2,5 juta orang setiap tahunnya. Penyebab lain yang mengakibatkan kematian adalah penyakit jantung iskemik, insiden kecelakaan lalu lintas yang berakibat kematian, kanker, penyakit pernapasan kronis, penyakit diare, dan infeksi saluran pernapasan.

“Ada kebutuhan mendesak untuk investasi dalam strategi untuk mengurangi risiko lingkungan di perkotaan, rumah, dan tempat kerja kita,” ujar Dr. Maria Neira, Direktur Departemen Kesehatan Masyarakat, Lingkungan, dan Penentu Kesehatan Sosial di WHO.

“Investasi tersebut dapat secara signifikan mengurangi beban di seluruh dunia terhadap peningkatan penyakit jantung dan pernapasan, luka, serta kanker. Selain itu juga menghasilkan penghematan langsung dalam biaya kesehatan,” lanjutnya.

Dunia Timur telah menyaksikan banyak kematian terkait lingkungan, khususnya di Asia dan Afrika. Laporan menunjukkan bahwa terdapat 3,8 juta kematian setiap tahunnya di Asia Tenggara, diikuti oleh 3,5 juta orang di kawasan Pasifi k Barat, dan 2,2 juta orang di Afrika. Kawasan Eropa melaporkan 1,4 juta kematian akibat pencemaran lingkungan setiap tahun, dan 854.000 orang di Mediterania Timur.

Sementara di Amerika, WHO memperkirakan dampak terendah, dengan 847.000 kematian setiap tahunnya. Anak balita dan orangtua usia 50 sampai 75 tahun adalah yang paling terpengaruh.

“Lingkungan yang sehat mendasari populasi yang sehat,” kata Direktur Jenderal WHO, Dr. Margaret Chan.

“Jika negara tidak mengambil tindakan untuk membuat lingkungan dimana orang hidup dan bekerja secara sehat, jutaan orang akan terus menjadi sakit dan mati dalam usia muda,” tambahnya.

WHO mengatakan dalam laporan itu bahwa pada Majelis Kesehatan Dunia pada Mei 2016 ini, mereka akan mengusulkan pemetaan secara menyeluruh guna meningkatkan respon global terhadap sector kesehatan untuk mengurangi efek dari polusiudara. ()

Sumber: Epochtimes/Osc/Yant

read more
Ragam

Tahukah Anda Berapa Banyak Makanan yang Dibuang?

Di berbagai kebudayaan, pembuangan makanan dianggap melanggar moral. Lagi pula, terdapat hampir 800 juta jiwa di seluruh dunia yang menderita kelaparan. Namun menurut Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) PBB, kita menyia-nyiakan cukup banyak makanan— 1,3 miliar ton per tahun di seluruh dunia. Angka ini  mencukupi kebutuhan pangan mereka, lebih dari dua kali. Ke manakah perginya semua makanan itu—yang jumlahnya sekitar sepertiga dari produksi di seluruh dunia?

Di negara berkembang, sebagian besar lenyap saat pasca panen akibat kekurangan fasilitas penyimpanan yang memadai, jalan yang bagus, dan alat pembeku. Sebagai perbandingan, negara maju membuang lebih banyak makanan di rantai suplai saat pelaku ritel memesan, menyajikan, atau memajang terlalu banyak. Selain itu juga saat konsumen mengabaikan sisa makanan yang di dalam kulkas atau membuang makanan mudah basi sebelum kadaluwarsa.

Membuang makanan juga berdampak buruk bagi lingkungan. Menghasilkan makanan yang tidak dikonsumsi—entah itu sosis atau biskuit—sama halnya dengan menyia-nyiakan air, pupuk, pestisida, bibit, bahan bakar, dan lahan yang dibutuhkan untuk menumbuhkan tanaman. Jumlahnya tidak tanggung-tanggung. Di seluruh dunia, produksi makanan yang terbuang dalam setahun menghabiskan air sebanyak setahun aliran Volga, sungai terbesar di Eropa.

Jumlah mencengangkan ini belum mencakup pembuangan dari peternakan, kapal nelayan, dan penjagalan. Jika diibaratkan negara, limbah makanan akan menjadi penghasil gas rumah kaca terbesar ketiga di dunia, setelah Tiongkok dan AS. Di planet dengan sumber daya terbatas, dengan ekspektasi tambahan penduduk sebanyak dua miliar pada 2050, pemborosan ini, menurut Stuart dalam bukunya Waste: Uncovering the Global Food Scandal, sungguh tidak senonoh.

Delapan puluh kilometer di utara Lima, Peru, di kota pertanian Huaral, Stuart menyeruput segelas jus satsuma segar bersama Luis Garibaldi, pemilik Fundo Maria Luisa, perkebunan jeruk mandarin terbesar di Peru. Mencondongkan badan ke depan di kursinya, Stuart bertanya: Berapa jumlah ekspor Anda? Berapa yang ditolak? Apa alasannya? Apa yang terjadi pada produk yang terbuang? Tujuh puluh persen panenannya, ujar Garibaldi, diekspor ke Uni Eropa dan Amerika Utara. Namun 30 persennya tidak memiliki ukuran, warna, dan tingkat kemanisan yang tepat, atau memiliki noda, parut, goresan, bekas terbakar sinar matahari, jamur, atau laba-laba. Sebagian besar dijual di pasar setempat, seharga hanya sepertiga harga ekspor.

Kami bermobil 300 kilometer ke selatan. Di wilayah Ica, Stuart mewawancarai petani yang setiap tahun meninggalkan begitu saja di kebunnya, jutaan asparagus yang batangnya terlalu kurus atau bengkok, atau kuntumnya terlalu terbuka untuk diekspor. Selanjutnya seorang produsen mengakui bahwa setiap tahun dia membuang lebih dari seribu ton jeruk Minneola tangelo dan seratus ton grapefruit (buah serupa jeruk) yang sedikit cacat ke parit pasir di belakang gudang pengemasannya.

Standar kelas—yang dikendalikan industri maupun diterapkan secara sukarela—telah lama diciptakan untuk memberikan petani dan pembeli, bahasa umum guna mengevaluasi produk dan menengahi perdebatan. Pembagian kelas juga bisa membantu mengurangi pembuangan makanan. Jika petani bisa membagi asparagus atau jeruk tangelo ke kelas-kelas yang telah ditetapkan, mereka akan mendapatkan peluang lebih besar untuk mencari pasar bagi produk “kedua” mereka. Supermarket selalu bebas menetapkan standar, tentunya, namun beberapa tahun terakhir pasar swalayan berskala besar mulai mengelola bagian produk bagaikan kontes kecantikan. Hal ini untuk menanggapi konsumen, kata mereka, yang meminta produk ideal: apel bulat mengilap, asparagus lurus berkuncup tertutup rapat.

“Semua ini soal kualitas dan penampilan,” kata Rick Stein, wakil presiden divisi bahan makanan segar di Food Marketing Institute. “Hanya penampilan terbaik yang akan membuat konsumen rela merogoh dompet.” Sebagian produk yang tidak menarik konsumen akan disumbangkan ke bank makanan atau diolah menjadi hidangan siap makan atau salad, namun sebagian besar kelebihan toko bahan pangan di AS tak disumbangkan maupun didaur ulang. Stuart memuji kampanye baru beberapa supermarket di AS dan UE untuk menjual produk “jelek” dengan harga diskon, namun dia lebih mengharapkan perbaikan secara  sistemik. “Akan jauh lebih baik jika standar itu dilonggarkan,” katanya seraya menatap lautan jeruk Peru yang terlantar dan tidak memiliki pasar kedua akibat penampilan buruk atau hal lainnya.

Selama tujuh hari Stuart mengunjungi pertanian dan gudang pengemasan, merentetkan pertanyaan, mengumpulkan data, dan mengambil sampel barang tolakan. Di antara kunjungannya dia meringkuk bagaikan kalong di bangku belakang mobil yang sesak dan mengetik. Tik, tik. Dia mempersiapkan logistik untuk perjalanan riset berikutnya, kemudian menerima undangan minum dari manajer umum Bank Makanan Peru. Tik, tik. Janji temu dengan penyelamat makanan yang baru saja terbang dari Santiago, Cili. Ke mana pun dia pergi, sepertinya orang-orang ingin menyampaikan kepada Stuart cerita mencengangkan tentang limbah makanan.

Stuart, kini, 38, lahir di London, bungsu dari tiga lelaki bersaudara. Dia tinggal di kota secara paruh waktu namun pada usia 14 sepenuhnya pindah bersama ayahnya ke wilayah pedesaan East Sussex. Di seberang lembah berdirilah rumah mewah kakeknya, properti luas dengan cukup pekerja untuk mengawaki tim kriket dalam pertandingan melawan desa setempat pada masa Perang Dunia II. Ayah Stuart, Simon, dibesarkan di sana, dan cerita tentang kekayaan pertanian mereka memikat putra bungsunya.

Tinggal berkilo-kilo meter dari kota terdekat namun secara psikologis akrab dengan pertanian kakeknya yang bisa mencukupi kebutuhan mereka, membentuk kepribadian Stuart. Ayahnya mengurus kebun sayur besar, dan Stuart memelihara babi dan ayam di sana. Sebagai penukar pupuk kandang, Simon memberi Tristram potongan sayurnya. “Jadi saya punya telur dan daging, dan kerap keluar bersama musang saya untuk berburu kelinci dan menembak rusa,” kata Stuart. Isi ruang penyimpanan makanan hampir selalu lengkap. Stuart mulai menjual daging babi dan telur kepada orangtua teman-teman sekolahnya, namun dia segera menyadari bahwa membeli pakan ternak bisa membuatnya bangkrut. Dia memulai di rute yang biasa dilewatinya: memunguti kentang berwujud buruk dan kue basi dari toko setempat dan dapur sekolahnya. Dia mengembangbiakkan babi betinanya, Gudrun, dan menyadari bahwa masyarakat di sekitarnya membuang sangat banyak makanan yang masih bagus setiap hari.

Kesadaran lingkungan Stuart kian terasah. Pada usia 12, dia menulis makalah tentang persamaan bahan bakar fosil dengan rokok—keduanya merusak badan dan menyebabkan kecanduan. Setelah menghabiskan sebagian waktunya di sebuah peternakan di Prancis, dia diterima di University of Cambridge, tempatnya mempelajari sastra Inggris dan mengalami pencerabutan keji dari surga agro-ekologisnya. Makanan sekolah dibuat “tanpa mengacu pada kriteria ramah lingkungan,” ujarnya. Untuk menanggapinya, dia bersama para aktivis kampus lainnya menikmati makanan yang berhasil mereka bebaskan dari tong sampah supermarket. Dia juga meminum sari apel yang diperas dari buah apel orang lain, berbagi otak panggang, limpa gulung, dan keripik kuping dari begitu banyak keturunan Gudrun, dan—setelah mengetahui bahwa rasanya enak—menghirup siput dari kebun teman-temannya.

Tidak mengherankan jika Stuart pernah giat berteater. “Saya lumayan menyukainya,” ia berkata, walaupun kegiatan ini akhirnya “menghalanginya melanjutkan tugasnya yang sangat penting, yakni menyelamatkan Bumi.” Dia cukup menyadari bahwa para mahasiswa kaya yang memunguti wadah-wadah ricotta yang belum dibuka dari tempat sampah memiliki kekuatan untuk memengaruhi orang lain. Ketika itu, ujarnya, baik supermarket maupun agen-agen pemerintah belum memiliki kebijakan yang jelas mengenai limbah pangan. Hal ini akan segera berubah.

Pada 2002 kegemaran Stuart mengorek tempat sampah menarik cukup perhatian untuk membantunya menghasilkan video dokumenter mengenai pembuangan makanan bagi sebuah acara politik di BBC, dan aktivis di seluruh dunia menghubunginya untuk bermitra dalam penyelamatan makanan. (Saat itu dia tinggal di London.) Dengan cukup data mengenai di mana dan mengapa tepatnya bahan pangan hilang di rantai makanan, dia menyadari bahwa sesungguhnya ia bisa berbuat sesuatu mengenai hal ini. Saat itulah benih bukunya, Waste, mulai ditebar. Di dalam buku itu dia menginvestigasi penyebab dan dampak lingkungan pembuangan makanan di seluruh dunia.

Waste mendapatkan banyak pujian, namun Stuart menyadari bahwa buku yang sarat data tidak akan bisa menjaring jutaan pembaca, padahal dia benar-benar berharap jutaan orang akan mendukung upayanya. “Karena itulah saya membuat Feeding the 5.000,” ujarnya, meniru instruksi Yesus dalam Yohanes 6:12, yakni “Kumpulkanlah potongan kelebihannya, supaya jangan satu pun yang terbuang.” Diluncurkan pada 2009, Feeding the 5.000 akan menjadi batu loncatan Stuart—perjamuan umum gratis yang sepenuhnya dibuat dari makanan tak bertuan. Acara serupa dibuat ulang di lebih dari 30 kota. Ribuan orang turut menikmati hidangan, publikasi media mengikuti, dan masyarakat mulai gencar menyuarakan keberatan atas pembuangan makanan. Tak lama kemudian Stuart mulai memberikan ceramah di seluruh dunia dan mengkritik pedas aktor-aktor paling berkuasa dalam industri pangan. Banyak di antaranya harus membela diri dalam polemik yang diciptakannya. Supermarket mulai menganggapnya sebagai “duri dalam daging,” katanya. “Dan itu benar.”

Dari manakah kepercayaan diri luar biasa Stuart berasal? Entah dari mana memulainya. Stuart adalah sosok ambisius, agresif, dan penuh narsisme. Namun dia juga pintar bicara, jenaka, dan sangat menguasai bidangnya. “Ketika dia berbicara, Anda ingin mengikutinya,” ujar Dana Gunders, spesialis pembuangan makanan dari Natural Resources Defence Council yang menulis Waste Free Kitchen Handbook. “Dia benar-benar andal, bukan hanya dalam menularkan gairahnya kepada orang lain melainkan juga memeliharanya, mengisi pasukannya dengan orang-orang yang sama bergairahnya dalam mengambil tindakan untuk mengatasi pembuangan makanan.”

Stuart mengambil setiap kesempatan yang ada untuk menyantap makanan yang kurang menimbulkan selera—strategi untuk mengambil yang tidak bisa diambil dari tempat sampah, sekaligus memberikan contoh perilaku positif. Pada pagi pertamanya di Peru dia memakan dadih darah ayam. “Saya belum pernah makan itu,” ujarnya dengan gembira. Saat makan siang, dia menyantap daging marmot. Pada hari kedua, dia memesan babat sapi; pada hari ketiga, lidah dan bergelas-gelas pisco—brendi khas Peru.

Jika kita mengurangi pembuangan makanan, mengubah pola makan kita dengan mengurangi daging dan produk susu, lebih sedikit mengubah panenan bahan makanan menjadi bahan bakar nabati, dan memberdayakan lahan beperforma buruk, kita mungkin akan mampu memberi makan lebih dari delapan miliar manusia berpola makan sehat.

Asupan protein tampaknya memberikan energi bagi Stuart untuk menghadapi percakapan di pertanian dan gudang pengemasan, yang dengan cepat menjadi sarat angka. Sekian kilo, ton, kontainer, peti, persentase yang ditolak, diselamatkan, dibiarkan mati. Dia mampu mencerna seluruh detail itu. “Saya ingin bisa mengatakan kepada orang Eropa bahwa kesukaan mereka terhadap asparagus berkuncup tertutup setara dengan X juta hektare lahan, X juta galon air, dan X juta kilo pupuk yang terbuang.” Dia menarik napas. “Saya ingin diberitakan, dengan lugas mengatakan kepada orang-orang bahwa pilihan mereka bermakna.”

Seiring dengan kekhawatiran pemerintah mengenai cara memberi makan lebih dari sembilan miliar manusia pada 2050, banyak yang berpendapat bahwa produksi makanan dunia harus ditingkatkan antara 70 hingga 100 persen. Namun pertanian dianggap sebagai salah satu ancaman terbesar bagi kesehatan planet kita. Sektor ini bertanggung jawab atas penggunaan 70 persen air bersih, 80 persen deforestasi tropis dan subtropis dunia, dan 30 hingga 35 persen emisi gas rumah kaca buatan manusia. Pertumbuhan populasi dan kebangkitan ekonomi menambah permintaan akan daging dan produk susu, yang membutuhkan banyak biji-bijian dan sumber daya lainnya untuk menghasilkan kalori yang relatif kecil. Dengan demikian, dampaknya pun akan semakin buruk. Tetapi, mengubah lebih banyak alam liar menjadi lahan pertanian mungkin tidak diperlukan, sebagian pakar berpendapat. Jika kita mengurangi pembuangan makanan, mengubah pola makan kita dengan mengurangi daging dan produk susu, lebih sedikit mengubah panenan bahan makanan menjadi bahan bakar nabati, dan memberdayakan lahan beperforma buruk, kita mungkin akan mampu memberi makan lebih dari delapan miliar manusia berpola makan sehat. Hal ini bisa dilakukan tanpa harus membabat lebih banyak hutan hujan tropis, membajak lebih banyak padang rumput, atau merusak lebih banyak lahan basah.

Stuart tidak pernah melupakan gambaran besar ini, namun dia menyadari bahwa perubahan paradigma terjadi berangsur-angsur. Ia pun berdiri di gurun pasir di belakang gedung pengemasan di Ica, dengan gigih mewawancarai Luis Torres, manajer umum Shuman Produce Peru. Akibat tidak ada pasar lokal yang mau menerima sisa ekspornya, setiap tahun Torres membuang sekitar 1.500 ton bawang bombay kecil atau berbentuk kurang bulat. Namun dia enggan menyalahkan pembeli atas kerugian ini.

Tiga tahun silam, selama sepekan Stuart menjelajahi pedesaan Kenya, berburu bahan untuk makan malam formal di Nairobi, tempat Program Lingkungan Hidup (UNEP) PBB akan menyoroti masalah pembuangan makanan. Seratus lima puluh kilometer dari ibu kota, dia menemui petani yang dipaksa oleh standar kosmetik Eropa untuk membuang 40 ton kacang polong, brokoli, kacang kapri, dan buncis per minggu—cukup untuk memberi makan 250.000 orang. Dalam setahun Stuart bersama kru kamera kembali ke Kenya dan mendapati bahwa petani menyingkirkan hampir setengah panenan mereka di ladang dan gudang pengemasan. Petani polong-polongan pun kehilangan lebih banyak karena harus memotong pucuk dan ekor dari produk mereka yang masih bertahan. Pihak supermarket juga secara rutin membatalkan pesanan di menit terakhir tanpa memberikan kompensasi kepada petani. Setelah Feedback memublikasikan gambar-gambar kacang polong tolakan dan menuduh jaringan supermarket besar telah mengalihkan biaya yang harus mereka tanggung ke petani yang relatif tidak berdaya, pedagang Inggris siap berdiskusi. Mereka akhirnya setuju membayar pembatalan pesanan dan memperpanjang kemasan mereka agar polong hanya perlu dipotong di salah satu ujungnya. Tidak hanya pembuangan makanan dan sumber daya yang berkurang, lahan yang dibutuhkan para petani juga berkurang beberapa hektare.

Laporan Feedback tentang polong-polongan Kenya pada 2015 hanyalah satu pencapaian di tahun yang menjadi titik balik itu. Di akhir 2015 PBB berjanji mengurangi pembuangan makanan hingga setengah pada 2030. Mekanisme pasti dari tujuan ambisius ini belum dijabarkan. Namun sejumlah negara dan perusahaan menciptakan dan mengadopsi pengukuran standar untuk menghitung buangan. Jika target terpenuhi, akan ada cukup makanan yang bisa diselamatkan untuk memenuhi kebutuhan setidaknya semiliar manusia.[]

Sumber: NatGeo Indonesia

read more
Perubahan Iklim

UEA Bikin Penelitian untuk Ciptakan Hujan di Gurun Pasir

Uni Emirat Arab membentuk dan mendanai tiga tim peneliti dari seluruh dunia untuk meneliti bagaimana menciptakan hujan di atas gurun pasir Arab. Tim dari Jerman, Jepang dan UEA, akan berbagi US $ 5 juta dari Program Penelitian UEA untuk program Rain Enhancement Science. Setiap tim akan menangani aspek yang berbeda dari teknologi yang disebut penyemaian awan – di mana bahan kimia yang ditaburkan ke atmosfer dari pesawat untuk mendorong kondensasi air dan pembentukan awan dengan harapan akan terjadi hujan.

“[Program] akan mengamankan pasokan air UEA dalam jangka panjang, dan mendukung inovasi untuk mencapai solusi masa depan yang meningkatkan keamanan air di kawasan dan dunia,” kata Direktur Program Alya Al Mazroui.

Sebagai bagian dari proyek, tim dari Jerman akan mencoba untuk menemukan tempat terbaik untuk pembibitan hujan dengan melihat bagaimana cuaca zona konvergensi – tempat di mana dua arus udara yang bertemu – berinteraksi dengan tutupan lahan.

Tim Jepang akan berusaha untuk mengembangkan algoritma baru untuk mengidentifikasi awan paling mungkin menjadi hujan.Tim UAE, yang dipimpin oleh Linda Zou, seorang insinyur lingkungan di UEA Masdar Institut Sains dan Teknologi, akan melihat alternatif untuk garam dan karbon dioksida beku yang digunakan dalam penyemaian awan.

Penelitian Zou akan mencakup penggunaan nanoteknologi, termasuk nanographene, untuk mempercepat kondensasi air dan membuat formasi hujan tetesan lebih efisien.

Al Mazroui mengatakan saat ini ada upaya peningkatan hujan UEA melibatkan awan penyemaian dengan garam alami, yang menarik uap air untuk membentuk tetesan hujan.

“Proses ini membutuhkan 72 jam persiapan dan peramalan cuaca untuk menentukan kelayakan proses, dan melakukan itu pada waktu yang tepat,” jelasnya.

Pada saat yang sama, gaya hidup intensif banyak warga negara Teluk menghabiskan air per orang adalah salah satu yang tertinggi di dunia, yang mengarah ke kekurangan air yang signifikan.

Namun program ini bukan tanpa kritik. Seorang insinyur  sistem air di Universitas Raja Saud di Arab Saudi Mohammad El-Nesr, mengatakan akan lebih berguna penelitian langsung yang memastikan UEA mengelola penggunaan persediaan air yang ada.

Dia menambahkan bahwa ada potensi bahaya yang terkait dengan bahan kimia yang digunakan dalam penyemaian awan, terutama perak iodida. “Penggunaannya mungkin melibatkan risiko yang sangat besar, menurut penelitian,” ia memperingatkan.

Sumber: scidev.net

read more
Kebijakan Lingkungan

Lestari Akan Selamatkan 1,5 juta Ha Hutan Aceh

Direktur Bidang Lingkungan Hidup Indonesia USAID, John Hansen dan Direktur Sumber Daya Hutan dan Konservasi Sumber Daya  Air Bappenas Hernowo hari ini Selasa (15/3/2016) secara resmi meluncurkan program Lestari bertempat di aula Dinas Kehutanan Propinsi Aceh, Banda Aceh. Lestari di Aceh akan menjalankan tata kelola hutan yang baik seluas 1,5 juta hektar. Luas ini merupakan bagian total dari 8,42 juta hektar hutan di Indonesia yang menjadi target kerja program ini.

Lestari merupakan program dari USAID selama lima tahun ke depan (2015-2020) yang fokus pada upaya-upaya mitigasi perubahan iklim dan konservasi hutan. Adapun wilayah kerja Lestari di Aceh adalah bentang alam Leuser (Leuser Landscape) yang meliputi Kabupaten Aceh Selatan, Gayo Lues, Aceh Tenggara dan Aceh Barat Daya serta mencakup bagian dari Taman Nasional Gunung Leuser dan Suaka Margasatwa Rawa Singkil.

Tujuan Lestari adalah menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang berasal dari sektor pemanfaatan lahan dengan melindungi hutan yang memiliki nilai konservasi yang tinggi, diintegrasikan dengan program pembangunan yang beremisi rendah atau Low Emission Development) pada lahan lain yang telah rusak.

Dalam pertemuan yang dihadir juga oleh Kadis Kehutanan Aceh, Ir, Husaini Syamaun, terungkap bahwa program ini akan melibatkan berbagai pemangku kepentingan baik dari swasta maupun dari pemerintah, seperti anggota Kelompok Pengelola Hutan (KPH) III, V dan VI. KPH berperan penting dalam memperkenalkan bentuk tata kelola hutan lokal yang dipusatkan pada upaya membangun kemitraan dengan komunitas lokal.

Pada saat jumpa pers usai acara, ketika ditanya apa yang menjadi indikator kesuksesan program ini, John Hensen mengatakan indikator program ini dapat dilihat dari capaian program. “Lestari akan mengelola 8,42 juta hektar hutan dengan baik, satu setengah juta diantaranya berada di Aceh,” katanya. Selain itu Lestari membantu target pemerintah untuk menurunkan sebesar 41 persen emisi karbon. ” Hal ini semua dapat terlaksana dengan kerja sama dengan semua pihak,” ucapnya.

Hensen juga menekankan bahwa Lestari bekerja sama dengan pihak swasta dengan membentuk 10 kemitraan Publik-swasta (Publik Private Partnership) untuk meningkatkan efektivitas Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS).

Untuk memastikan program ini dapat diterima dengan baik oleh masyarakata, Hensen mengatakan bahwa Lestari bekerja sama langsung dengan masyarakat di tingkat tapak. “Komunitas dilibatkan sejak dari perencanaan menyusun zonasi dan tata ruang, mengatur konservasi dan juga melibatkan pihak lain,”katanya.

Selain di Aceh Lestari juga bekerja di lima bentang alam lain yaitu lanskap Katingan-Kahayan (Kalimantan Tengah), lanskap Lorentz Lowlands, Lanskap Mappi-Bouven Digoel, Lanskap Sarmi dan Lanskap Cyclop (Papua).[]

read more
Perubahan Iklim

Kemarau Sebabkan Hutan Aceh Jaya Terbakar

Kemarau yang melanda kawasan Aceh Jaya dalam tiga pekan terakhir menyebabkan sedikitnya 20 hektare hutan di Gunung Keumala Desa Lhok Kruet, Kecamatan Sampoiniet, terbakar hebat, Sabtu (12/3/2016) sore. Meski berlanjut hingga Minggu kemarin, namun menjelang siang lidah api di kawasan itu berhasil dipadamkan.

“Supaya tidak membahayakan rumah penduduk, maka pada Sabtu sore itu juga langsung kita kerahkan empat unit armada pemadam kebakaran ke lokasi untuk memadamkan titik api yang berdekatan dengan rumah penduduk,” kata Kepala Badan Penanggulangan Bencana Kabupaten (BPBK) Aceh Jaya, Amren Sayuna, kepada media, Minggu (12/3/2016).

Ratusan warga Lhok Kruet sempat gundah dan ketakutan saat melihat berhektare-hektare hutan di Gunung Keumala yang satu kawasan dengan desa mereka terbakar hebat. Apalagi lidah api mengarah ke pinggir hutan, lalu merembet ke dekat rumah-rumah penduduk.

Tapi, berkat kegesitan tim armada damkar BPBK setempat, sejumlah titik api yang berdekatan dengan rumah penduduk berhasil dipadamkan langsung pada sore itu juga. Namun, bara api di kawasan hutan gambut itu tidak seluruhnya berhasil dipadamkan.

Seiring dengan itu, BPBK Aceh Jaya langsung membagi-bagikan masker kepada warga Lhok Kruet untuk mengantisipasi pengaruh buruk dari kepulan asap tebal di sekitar mereka.

Pada Minggu kemarin, menjelas siang, sudah tak terlihat lagi kobaran api, demikian pula kepulan asap yang membakar rumput pohon atau rumput kering, sebagaimana terjadi pada hari sebelumnya.

“Hutan yang terbakar di kawasan Gunung Keumala Lhok Kruet mencapai 20 hektare lebih. Kondisi ini sempat memicu kekawatiran karena lokasi kebakarannya berdekatan dengan rumah penduduk,” kata Danramil Lhok Kruet, Kapten Mulyadi.

Menurutnya, kebakaran di wilayah Aceh Jaya kini rentan terjadi karena sudah tiga minggu berlangsung musim kemarau dan kondisi hutan dalam keadaan kering. “Kebakaran di sini sangat mudah terjadi, sebab banyak rumput yang sudah kering, sehingga api terus menjalar, seperti di dalam sekam,” kata Kapten Mulyadi.

Sejauh ini, penyebab kebakaran itu belum diketahui. Apakah karena ada orang yang iseng membuang puntung rokok ke pinggir hutan atau justru karena ada warga yang sengaja membakar lahan untuk membuka kebun atau bersawah.

Sementara itu, Kepala Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan Bencana pada BPBK Aceh Jaya, Fajar Diharta, mengharapkan warga setempat agar tidak melakukan pembakaran lahan karena dapat menyebabkan kebakaran hutan dan lahan lainnya.

Saat ini, menurutnya, Aceh sedang musim kemarau, sehingga perlu kehati-hatian dalam membakar lahan. “Kita berharap dalam situasi kemarau ini untuk saling menjaga, sehingga tak ada pihak yang dirugikan jika terjadi kebakaran lahan dan hutan nantinya,” harap Fajar Diharta. []

Sumber: serambinews.com

read more
Ragam

Begini Konsep Manusia Kuno tentang Gerhana Matahari

Rabu, 9 Maret 2016 menjadi salah satu hari yang paling banyak dibicarakan oleh orang-orang Indonesia tahun ini. Di hari ini, kita akan menyaksikan peristiwa alam yang menakjubkan, yaitu Gerhana Matahari Total. Beragam upacara dan acara telah dipersiapkan, termasuk daerah-daerah yang bahkan tidak dilalui peristiwa ini, untuk menyambut fenomena ini. Terlepas dari itu, menarik untuk menyimak bagaimana Gerhana Matahari dipahami oleh peradaban-peradaban kuno di dunia.

Masyarakat Viking menyebut gerhana dengan Ragnarok alias apocalypse alias kiamat. Fenomena ini terjadi disebabkan dua serigala bernama Skoll dan Hati yang mengejar-ngejar Matahari dan Bulan. Jika salah satu benda langit itu tertangkap, maka gerhana akan terjadi. Manusia di Bumi harus menyelamatkannya, dengan cara membuat kebisingan sebanyak mungkin untuk menakut-nakuti dua serigala itu.

Meskipun ritual menyembah Matahari adalah hal lazim, sangat sedikit informasi yang dapat digali dari masyarakat Mesir Kuno tentang fenomena ini—bahkan mereka hampir tak mengenal istilah gerhana. Meski demikian, ada beberapa sarjana yang mencoba berteori, Gerhana Matahari bagi masyarakat Mesir Kuno adalah sebuah tanda kejahatan.

Orang-orang Maya Kuno menyebut Gerhana Matahari dengan “chi’ ibal kin” alias “memakan Matahari”. Tapi sayang, apa pandangan masyarakat Maya tentang fenomena ini tidak bisa digali lebih lanjut menyusul aksi penghancuran terhadap catatan-catatan Suku Maya tahun 1600-an oleh para misionaris Eropa yang datang ke daratan Amerika.

Meski demikian, sekelompok sarjana pada 2013 menemukan bahwa kalender astronomi masyarakat Maya Kuno berhasil memprediksi dengan akurat Gerhana Matahari pada 1991.

Dalam mitologi Hindu, Gerhana Matahari diidentikkan dengan dipenggalnya kepala Kala Rau oleh Batara Wisnu karena meminum nektar para dewa. Kepala Kala Rau yang dipenggal akhirnya melayang ke langit, menelan Matahari dan menyebabkan gerhana.

Masyarakat Yunani Kuno mempercayai Gerhana Matahari sebagai pertanda buruk, para dewa sedang marah, dan awal bencana dan kehancuran. Catatan tentang fenomena ini berhasil ditemukan di Homer’s Oddysey, yang berbunyi: “Matahari telah musnah dari surga, dan kabut yang jahat telah menyebar luas di dunia.”

Pada masyarakat China Kuno, Gerhana Matahari juga dianggap sebagai pertanda buruk. Orang-orang mengira, fenomena ini terjadi karena Matahari ditelan oleh naga. Untuk menghentikannya, orang-orang harus berteriak, membunyikan drum, dan menyalakan meriam api; supaya naga takut lalu pergi dan memuntahkan kembali Matahari.

Bagaimana dengan peradaban modern?
Lalu bagaimana Gerhana Matahari menurut kaca mata peradaban modern? Selama beberapa abad terakhir, telah terjadi lebih dari empat kali Gerhana Matahari Total di Inggris—belum di tempat-tempat lainnya—dan tidak satu pun yang mengakibatkan dunia berakhir. Sehingga tidak ada alasan untuk percaya dengan mitos-mitos yang tersebut di atas.

Meski demikian, para doomsayer (pembuat ramalan tentang masa depan dan kiamat) masih berpikir bahwa gerhana harus dilihat sebagai tanda peringatan dari kebesaran Yang Maha Kuasa. Dalam sebuah wawancara dengan WolrdNetDaily, Bob O’Dell, co-founder Root Source, mengatakan bahwa fenomena ini sebagai pesan Tuhan untuk seluruh penduduk Bumi.

Pastor Mark Blitz, penulis Blood Moons: Decoding the Imminent Heavenly Signs, seolah mengamini pernyataan O’Dell. Lebih tegas, ia menyebut, peristiwa ini sebagai peringatan bagi orang-orang Eropa. “Dalam tradisi Yahudi, Gerhana Matahari Total adalah peringatan kepada orang-orang Kafir … terutama orang-orang Eropa,” ujarnya.

Sumber: NatGeo Indonesia

read more
Sains

Jangan Ketinggalan, Jadwal Gerhana Matahari Total 9 Maret 2016

Fenomena langka akan terjadi di Indonesia pada 9 Maret 2016. Ya, Indonesia “mendapat jatah” kemunculan gerhana matahari total pada hari tersebut.

Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengatakan, butuh waktu 350 tahun untuk dapat melihat gerhana matahari total di tempat yang sama. Itu artinya, kesempatan menyaksikan fenomena ini di Indonesia hanya terjadi sekali seumur hidup.

Namun, tidak semua masyarakat di Indonesia dapat menyaksikan gerhana matahari total secara langsung. Menurut BMKG, hanya 11 provinsi yang dilintasi gerhana matahari total. Ke-11 provinsi tersebut adalah Bengkulu, Sumatera Selatan, Jambi, Bangka-Belitung, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, dan Maluku Utara.

Kejadian gerhana ini akan terjadi pada pagi hari. Meski demikian, setiap wilayah memiliki waktu yang berbeda-beda. Di wilayah Indonesia barat, gerhana mulai pukul 06.20 WIB di wilayah Palembang dan mencapai puncaknya pukul 07.21; wilayah Tanjung Pandan mulai pukul 06.21 dan mencapai puncaknya 07.23 WIB; wilayah Palangkaraya mulai pukul 06.23 dan mencapai puncaknya 07.30 WIB; dan di wilayah Bengkulu (Muko-Muko), gerhana akan mencapai puncaknya pukul 07.19 WIB.

Di wilayah Tengah seperti Palu, gerhana mulai pukul 07.27 WITA dan mencapai puncaknya pukul 08.38 WITA. Hal ini berbeda dengan Ternate yang berada di wilayah Timur, di mana gerhana mulai pukul 08.36 WIT dan mencapai puncaknya 09.52 WIT.

Terkait dengan gerhana matahari total yang tidak dapat disaksikan di seluruh wilayah Indonesia, BMKG menyediakan layanan streaming bagi masyarakat yang tertarik untuk menonton peristiwa langka ini.

Inilah Jadwal Gerhana Matahari Total 9 Maret 2016
Fenomena langka akan terjadi di Indonesia pada 9 Maret 2016. Ya, Indonesia “mendapat jatah” kemunculan gerhana matahari total pada hari tersebut.

Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengatakan, butuh waktu 350 tahun untuk dapat melihat gerhana matahari total di tempat yang sama. Itu artinya, kesempatan menyaksikan fenomena ini di Indonesia hanya terjadi sekali seumur hidup.

Namun, tidak semua masyarakat di Indonesia dapat menyaksikan gerhana matahari total secara langsung. Menurut BMKG, hanya 11 provinsi yang dilintasi gerhana matahari total. Ke-11 provinsi tersebut adalah Bengkulu, Sumatera Selatan, Jambi, Bangka-Belitung, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, dan Maluku Utara.

Kejadian gerhana ini akan terjadi pada pagi hari. Meski demikian, setiap wilayah memiliki waktu yang berbeda-beda. Di wilayah Indonesia barat, gerhana mulai pukul 06.20 WIB di wilayah Palembang dan mencapai puncaknya pukul 07.21; wilayah Tanjung Pandan mulai pukul 06.21 dan mencapai puncaknya 07.23 WIB; wilayah Palangkaraya mulai pukul 06.23 dan mencapai puncaknya 07.30 WIB; dan di wilayah Bengkulu (Muko-Muko), gerhana akan mencapai puncaknya pukul 07.19 WIB.

Di wilayah Tengah seperti Palu, gerhana mulai pukul 07.27 WITA dan mencapai puncaknya pukul 08.38 WITA. Hal ini berbeda dengan Ternate yang berada di wilayah Timur, di mana gerhana mulai pukul 08.36 WIT dan mencapai puncaknya 09.52 WIT.

Terkait dengan gerhana matahari total yang tidak dapat disaksikan di seluruh wilayah Indonesia, Panitia Nasional Persiapan dan Pengamatan Gerhana Matahari Total 9 Maret 2016 menyediakan layanan streaming di gerhana-indonesia.id bagi masyarakat yang tertarik untuk menonton peristiwa langka ini.[]

Sumber: NatGeo Indonesia

read more
1 2
Page 1 of 2