close

September 2018

Energi

Masyarakat Beutong Minta Anggota Dewan Ikut Tolak Tambang

Nagan Raya – Masyarakat Beutong Ateuh Banggalang yang tergabung dalam Ormas Generasi Beutong Ateuh Banggalang (GBAB) mempertanyakan keberadaan wakil rakyat yang sampai hari ini belum memberikan kontribusi terkait penolakan tambang PT. Emas Mineral Murni (EMM). Ada 25 orang anggota DPRK Nagan Raya, 8 orang anggota DPRA Dapil 3 Aceh, serta ada 6 orang anggota DPR RI dari dapil 2 Aceh. Kemana mereka, kenapa tidak bersuara membela kepentingan rakyat yang ada di Beutong Ateuh Banggalang. Ketua GBAB, Zakaria, mempertanyakan hal ini Minggu (30/9/2019).

Menurut Zakaria, dari 8 anggota DPRA tersebut, 5 orang diantaranya adalah berasal dari Nagan Raya. “Kemana mereka? Persoalan tambang PT EMM tidak hanya persoalan Beutong Ateuh Banggalang, tapi hari ini sudah menjadi persoalan Aceh dan dunia,”ujar Zakaria.

Seharusnya, wakil rakyat yang saat kampanye lantang berjanji menyuarakan kepentingan rakyat, tidak diam. Sama halnya bagi anggota DPR RI dari Aceh, perjuangkan kepentingan rakyat.

“Para wakil rakyat yang terhormat, perlu anda tahu bahwa 10.000 ha tanah di Beutong Ateuh Banggalang telah diambil oleh perusahaan asing. Makam aulia, situs sejarah, makam ulama dan syuhada akan hilang bersama lobang tambang. Kami akan menerima berbagai dampak, bencana longsor, banjir, kekeringan, gangguan kesehatan, pencemaran, dan berbagai dampak lingkungan lainnya,”jelas Zakaria kembali.

Seharusnya para wakil rakyat dari berbagai tingkatan tidak diam, akan tetapi berada dalam satu barisan perjuangan kami dalam Menolak tambang PT EMM. Jika itu tidak dilakukan, maka kami atas nama masyarakat Beutong Ateuh Banggalang memberikan mosi tak percaya kepada semua anggota DPRK Nagan Raya, anggota DPRA Dapil 3 Aceh, dan anggota DPR RI Dapil 2 Aceh.[rel]

 

 

read more
Ragam

Masyarakat Menolak Tanah Para Syuhada Menjadi Tambang Emas

Banda Aceh, FJL – PT PT Emas Mineral Murni akan melakukan eksploitasi tambang dengan luas 10.000 Hektare, atau dua kali luas wilayah kota Banda Aceh, mencakup dua kabupaten, yakni kabupaten Nagan Raya dan kabupaten Aceh Tengah. Masyarakat Kecamatan Beutong Ateuh Banggalang, kabupaten Nagan Raya, Aceh, menolak operasi tambang yang dilakukan  PT. EMM di kecamatan tersebut.

Penolakan tersebut disampaikan oleh Tengku Diwa Laksana perwakilan masyarakat kecamatan Betong Ateuh, dalam diskusi Izin Tambang Asing di Aceh dan Kewenangan Pemerintah Lokal, yang digagas Forum Jurnalis Peduli Lingkungan.

Tgk Diwa mengatakan, masyarakat Beutong dengan tegas menolak tambang di wilayahnya, selain merusak alam, wilayah yang dianggap sebagai daerah penuh sejarah Aceh itu, juga akan rusak.

PT EMM merupakan perusahaan tambang dengan pemegang saham Beutong Resources Pte. Ltd Rp.4.000.000.000 (Singapura) dan PT. Media Mining Resources (Indonesia).

“Beutong Ateuh tempat perjuangan terakhir Cut Nyak Dhien, tempat disemayamnya para syuhada, juga kawasan paru2 dunia, juga berbagai kekayaan ekosistem, kami tidak mau itu rusak,” Kata Diwa Laksana, Jumat (28/9/2018).

Dirinya mengaku, masyarakat tidak mengetahui pasti PT EMM kapan masuk dan melakukan eksploitasi di wiayah tersebut, warga desa juga tidak mendapatkan informasi dari pemerintah, soal ijin tambang yang sudah di keluarkan.

Dirinya menegaskan, jika pihak perusahaan terus lakukan aktifitas yang diprediksi akan mengakibatkan bencana, sehingga kami masyarakat semua bergerak menolak tambang tersebut.

Saat ini, pihak perusahaan sudah melakukan ekplositasi tambang dan berdampak penggusuran dua desa, yaitu desa Blang Puuk, dan desa Blang Meurandeh. Warga memperkirakan jika 10.000 hektar tambang di eksploitasi, maka tiga desa lainnya juga akan berdampak pada penggusuran, yaitu desa Kuta Teungoh, Babah Suak, dan desa Persiapan Pintu Angin.

“Kalau Jadi 10.000 hektare, lima desa akan digusur, nasib kami seperti apa?” terang Diwa Laksana.

Sementara itu, Direktur Walhi Aceh, Muhammad Nur, menyampaikan dukungan nya terhadap penghentian ijin tambang yang selama ini diperjuangkan warga Beutong Ateuh.[rel]

read more
Green Style

FJL Aceh Gelar Pameran Foto Kerusakan Lingkungan di Aceh

BANDA ACEH – Forum Jurnalis Lingkungan (FJL) Aceh berkolaborasi dengan Komunitas Pilem Aneuk Aceh (Kopiah) dan mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) menggelar pameran foto. Ada 26 foto hasil jepretan anggota FJL dipamerkan di koridor Fakultas Pertanian, Senin (24/9/2018).

“Jadi para fotografer mengambil momen yang berkenaan dengan lingkungan. Dampak kerusakan lingkungan Aceh,” kata Sekretaris FJL Aceh, Ratno Sugito.

Kata Ratno, seluruh foto tersebut nantinya juga akan dipamerkan di Sekretariat Forum Jurnalis Lingkungan, Lambhuk, Banda Aceh sampai tanggal 28 September 2018. Tujuannya untuk memberitahukan kepada publik bahwa ada kerusakan hutan yang terjadi di Aceh.

“Pada hari Jumat juga akan digelar diskusi, akan menghadirkan multistakeholder yang berkompeten untuk membahas persoalan lingkungan di Aceh,” jelasnya.

Sementara itu Koordinator FJL Aceh, Afifuddin Aceh secara terpisah menjelaskan, sengaja digelar di kampus untuk mengedukasi mahasiswa agar peduli terhadap lingkungan. Mahasiswa juga berkewajiban untuk melakukan konservasi.

“Untuk melakukan edukasi pentingnya melakukan konservasi lingkungan dan satwa, jadi mahsiswa harus paham bahwa penting menjaga hutan untuk keseimbangan alam,” ungkap Afifuddin Acal.

Ia juga menambahkan bahwa alam ini harus sesuai dengan pergerakan rantai makanan, jika salah satu dari rantai makanan itu terputus maka akan ada dampak negatif dan terjadi ketidakseimbangan ekosistem.

“Kelestarian lingkungan itu penting untuk dijaga. Mata rantai harus dijaga,” ungkapnya. Selain pameran foto, juga ada kuliah umum dan diskusi yang disampaikan langsung oleh Erin Elizabeth McKee, selaku Mission director USAID For Indonesia. Selain itu kuliah umum ini juga diisi oleh Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh, Muhammad Nur. “Sasaran kita mahasiswa, agar mahasiswa melek tentang konservasi lingkungan dan hewan,” tambahnya.

Pameran ini juga merupakan rangkaian kegiatan awal, sebab nantinya pameran ini akan digelar kembali di Sekretariat Forum Jurnalis Lingkungan, warkop Abu Master Kupi, Lambhuk, Ulee Kareng, Banda Aceh dari tanggal 25 hingga 28 September mendatang.[rel]

read more
Kebijakan Lingkungan

KEL Sebagai Kawasan Ekosistem Esensial: Sebuah Gagasan

Dalam sejarahnya, Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) digagas sebagai kawasan penyangga untuk Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). Puluhan tahun berlalu, kawasan ini selalu menyisakan ‘masalah’ yang belum terselesaikan terutama masalah regulasi. Pertanyaan tentang sejauh mana kewenangan pemerintah lokal dalam mengelola KEL belum menemukan jawaban tegas. Belum lagi masalah ruang lingkup pengelolaan yang masih membutuhkan diskusi panjang. Demikian juga masalah sumber penganggaran untuk pengelolaannya.

Seperti diketahui, sejak diberlakukan Undang-undang No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh, kewenangan pengelolaan KEL – yang ada di wilayah Aceh – secara tegas dimandatkan kepada Pemerintah Aceh. Kewenangan tersebut menghendaki Pemerintah Aceh untuk melindungi dan melestarikan KEL. UU yang sama menyebutkan bahwa pengelolaan KEL dilaksanakan dengan anggaran dan fasilitas yang disediakan oleh Pemerintah Pusat. Lebih dari satu dasawarsa berlalu, anggaran yang dicita-citakan tersebut tak terlihat di dalam dokumen anggaran pemerintah pusat. Padahal KEL disebut sebagai Kawasan Strategis Nasional (KSN) yang terkait dengan penataan ruang dalam Peraturan Pemerintah (PP) tahun 2008.

Di masa awal penerapan UU Pemerintahan Aceh, Pemerintah Aceh mengambil mandat tersebut dengan membentuk badan pengelola. Namun Badan ini akhirnya dibubarkan setelah beroperasi beberapa tahun. Saat ini, Pemerintah Aceh menerjemahkan kewenangan yang dimandatkan tersebut dengan menempatkan pengelolaan KEL ke dalam beberapa Kesatuan Pemangku Hutan (KPH) alih-alih mengelolanya sebagai sebuah kawasan terpadu. Pemerintah Aceh tampaknya lebih fokus pada keberadaan hutan secara keseluruhan di wilayah Aceh daripada melihat keberadaan KEL secara khusus. Hal ini sejalan dengan ketiadaan nomenlaktur KEL di dalam Qanun Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Aceh. Pengaturan yang sedemikian berpotensi untuk mengaburkan KEL sehingga terbingkai menjadi wilayah kerja KPH semata. Apalagi aturan yang mengatur ke KEL sebagai KSN belum muncul hingga saat ini. Lebih jauh lagi, aturan-aturan terkait kehutanan hampir tidak pernah menimbang UU Pemerintahan Aceh di atas. PP tentang kewenangan nasional di Aceh juga tidak secara spesifik menerjemahkan mandat yang dimiliki Pemerintah Aceh terkait pengelolaan KEL.

Jika kita kembali kepada gagasan awal keberadaannya, diketahui bahwa KEL dimaksudkan untuk melindungi habitat beberapa mamalia besar endemik yang menjelajah di areal seluas lebih dari 2,6 juta hektar tersebut. Kekhawatiran terhadap hilangnya habitat dan punahnya satwa membuat banyak pihak mengambil andil untuk melindungi kawasan tersebut meskipun diawali dengan munculnya aturan-aturan yang membingungkan khalayak. Kekhawatiran itu tetap ada mengingat kondisi perlindungan dan pelestarian KEL yang masih jauh panggang dari api.

Gagasan untuk mewujudkan wilayah penyangga sekaligus melestarikan habitat satwa penting saat ini dapat diakomodir melalui pembentukan kawasan ekosistem esensial (KEE). Pasal 24 ayat (1) PP Nomor 28 tahun 2011 secara spesifik menyebutkan bahwa perlindungan pada kawasan perlindungan alam (KPA) dan kawasan suaka alam (KSA) juga memuat perlindungan terhadap kawasan ekosistem esensial.

KEE dapat dipahami sebagai suatu ekosistem diluar kawasan konservasi seperti KSA dan KPA baik yang memiliki alas hak maupun tidak. KEE disyaratkan mempunyai nilai keragaman hayati tinggi sekaligus dapat menunjang kelangsungan kehidupan untuk kemudian ditetapkan pemerintah (melalui kementerian LHK) sebagai kawasan yang dilindungi dan dikelola berdasarkan prinsip-prinsip konservasi keanekaragaman hayati. Pengelolaan KEE ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia. Kriteria kawasan yang dapat ditetapkan sebagai ekosistem esensial bisa juga karena kawasan tersebut merupakan koridor satwa liar atau habitat bagi spesies penting, langka, endemik atau terancam punah. KEE yang berupa kawasan penyangga kawasan konservasi memenuhi semua kriteria tersebut, berkesesuaian dengan apa yang ingin diperjuangkan dengan keberadaan KEL.

KEL dapat dikelola sebagai KEE bertipe lansekap dengan menempatkannya dalam koridor-koridor untuk mamalia besar seperti Orangutan Sumatera, Badak Sumatera, Gajah Sumatera dan Harimau Sumatera yang endemik di areal ini. Pengelolaan KEE dapat mengakomodir berbagi KPH, ijin usaha kehutanan, masyarakat adat dan berbagai organisasi swadaya masyarakat dengan adanya kepastian regulasi untuk model pengelolaan ini. Regulasi memungkinkan pengelolaan koridor seperti menyusun rencana kerja, memfasilitasi pertemuan- pertemuan, membentuk satuan tugas pengamanan, meningkatkan kapasitas sumberdaya manusia, membantu proses-proses penyelesaian konflik dan melakukan monitoring, evaluasi serta pelaporan.

Penetapan KEL sebagai KEE tidak membutuhkan langkah yang panjang lagi mengingat bahwa kawasan ekosistem ini telah memiliki banyak bahan pendukung untuk mendapatkan status tersebut. Proses-proses seperti identifikasi dan inventarisasi para pihak dan berbagai potensi ekosistem telah memiliki data yang cukup. Yang dibutuhkan hanyalah keberadaan forum bersama untuk mengelolanya dan pengusulan oleh Gubernur Aceh. Sedikit musyawarah multi pihak untuk menegaskan delineasi batas ekosistem mungkin masih diperlukan.

Forum bersama untuk mengelola KEE diharapkan dapat mengakomodir berbagai kepentingan sepenjang para pengambil kebijakan terlibat penuh di dalamnya. Forum bersama tentu saja dapat memasukkan unsur pemerintahan dari 13 kabupaten/kota yang memiliki KEL kedalam bagiannya serta pihak-pihak lain yang terlibat. Mungkin dapat diatur sehingga forum bersifat bicameral dan menempatkan satu unit pengelolaan yang diisi oleh para professional sebagai eksekutor rencana kerja. Penetapan sebagai KEE juga turut memastikan bahwa kewenangan pengelolaan KEL berada pada forum.[]

Penulis adalah pekerja pada sejumlah lembaga lingkungan baik nasional dan internasional, berdomisili di Banda Aceh. Penulis dapat dihubungi di email:efrizaltamiang@gmail.com

 

 

read more
Kebijakan Lingkungan

Permintaan Gubernur Aceh Terkait Perpres KEL Dipercepat Disambut Baik Aktivis

Banda Aceh – Plt Gubernur Aceh, Ir. Nova Iriansyah, MT, mengirimkan surat kepada Menteri Agraria dan Tata Ruang RI meminta mempercepat penyelesaian Peraturan Presiden tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) dan Peraturan Presiden tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional Sabang dan sekitarnya (kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas Sabang).

Surat ini ditanggapi oleh aktivis lingkungan sebagai sesuatu hal yang positif. Terkait dengan surat tersebut, selaku aktivis lingkungan T. Muhammad Zulfikar memberikan tanggapannya.

“Saya pikir ini suatu hal yang menggembirakan. Karena dalam beberapa tahun terakhir ini terkesan pengelolaan KEL sepertinya diabaikan begitu saja. Di satu sisi ini merupakan kewenangan pusat karena merupakan KSN, namun jika merujuk pada UUPA pasal 150 justru pusat telah mendelegasikannya tugas-tugas pengelolaan KEL kepada Pemerintah Aceh. Namun dalam kenyataannya hal ini tidak terlaksana dengan baik di lapangan,”jelasnya.

T. Muhammad Zulfikar berharap, dengan dikeluarkannya Rencana Tata Ruang (RTR) KSN KEL, ada kejelasan terkait bentuk pengelolaan yang dilakukan bersama, baik oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh. Sehingga perlindungan KEL yang memiliki keanekaragaman hayati (biodiversity) dapat dilakukan dengan baik. Begitu juga pemanfaatan kawasan oleh para pihak juga bisa terkoordinir dengan adanya lembaga pengelola yang telah diatur di dalam Perpres RTR KSN KEL tersebut.

“Mari kita kawal bersama proses penyusunan RTR KSN KEL tersebut, termasuk perlu juga kita pantau proses Peninjauan Kembali (PK) Qanun RTRW Aceh agar dapat memuat secara rinci pengelolaan KEL di Aceh sebagai bagian dari Kawasan Strategis Nasional,”ujarnya.

Surat permintaan tersebut bernomor 515/23481 dan bertanggal 6 September 2018.

Plt Gubernur Aceh mengirimkan surat tersebut dalam rangka percepatan dan persiapan pengembangan Kawasan Strategis Nasional yang berada di Aceh yaitu KEL dan Sabang.

read more
Tajuk Lingkungan

Aktivis Minta Mahasiswa Nagan Perkuat Pelestarian Rawa Tripa

Banda Aceh – Hutan gambut Rawa Tripa menghadapi ancaman kerusakan dari berbagai pihak secara massive pasca tsunami. Semua pihak yang peduli terhadap perlindungan dan pengelolaan hutan Rawa Tripa harus ikut membantu pelestarian hutan tersebut. Mahasiswa Nagan Raya terutama yang berdiam disekitar kawasan Rawa Tripa merupakan tulang punggung utama untuk menjaga hutan yang juga merupakan tempat tinggal orangutan tersebut.

Kesimpulan ini merupakan hasil pertemuan Focus Group Discussion (FGD) antara aktivis lingkungan yang tergabung dalam Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) bersama Komunitas Mahasiswa Tripa (KOMTRI) dan Ikatan Pelajar Mahasiswa Darul Makmur (Ipelmasdam), Kamis (20/09/2018) di Kafe 3 in 1 Banda Aceh.

FGD tersebut dihadiri oleh T. Muhammad Zulfikar (YEL), Indrianto (Koordinator Proyek Tripa YEL) dan Halim Bangun (pengacara lingkungan) serta 10 orang dari perwakilan mahasiswa.

T. Muhammad Zulfikar dalam FGD tersebut mensosialisasikan tentang keadaan hutan Rawa Tripa saat ini, termasuk fungsi dan manfaat hutan bagi makhluk hidup. Gambut di Rawa Tripa memiliki ketebalan diatas 3 meter dibeberapa tempat sehingga harus dilindungi agar tidak mengalami kekeringan dan beralih fungsi lahan. Ancaman terhadap Rawa Tripa paling besar datang dari sektor perkebunan sawit dan kegiatan pertambangan. Saat ini Rawa Tripa sedang dalam proses penetapan sebagai kawasan lindung gambut di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Hal-hal merupakan beberapa point penting dalam pemaparan T. Muhammad Zulfikar.

Sementara Indrianto juga kembali memaparkan secara rinci kondisi hutan gambut Rawa Tripa secara teknis. Pengukuran-pengukuran yang telah dilakukan oleh sejumlah ilmuan seperti kedalaman lapisan gambut, jumlah orangutan yang tinggal di Rawa Tripa, kondisi iklim mikro Rawa Tripa menjadi perhatian presentasi Indrianto. Selanjutnya Indrianto mengajak mahasiswa bersama-sama untuk mengadvokasi lingkungan.

“Rawa Tripa butuh energi baru dari mahasiswa,”ujarnya.

Menurutnya sudah selayaknya mahasiswa Nagan Raya, sebagai masyarakat yang berada di sekitar hutan Rawa Tripa ikut memperkuat advokasi lingkungan. Apapun yang terjadi dengan hutan gambut tersebut, masyarakat sekitar lah yang paling merasakan dampaknya untuk waktu yang lebih lama dibandingkan dengan masyarakat luar Rawa Tripa. Selain itu, kelompok masyarakat tertentu sekitar Rawa Tripa juga merupakan pelaku perusakan sehingga perlu diberikan pemahaman bersama.

“Kami dari LSM ini, tentu tidak selamanya mempunyai program di Rawa Tripa. Jadi masyarakat lah yang paling utama berhak menjaganya,”kata T. Muhammad Zulfikar.

Ketua KOMTRI, Ibnu Kasir, mengatakan siap melakukan advokasi Rawa Tripa dan berharap dapat diikutsertakan dalam kegiatan-kegiatan advokasi hutan Rawa Tripa.

 

 

read more
Green StyleHutan

Bagaimana Peran Masyarakat Dalam Menjaga Hutan KEL?

Banda Aceh – Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) saat ini terus saja mengalami ancaman kerusakan yang disebabkan oleh berbagai pihak. Namun demikian upaya-upaya penyelamatan KEL tetap saja bisa dilakukan oleh semua pihak. Kondisi KEL saat ini relative dianggap lebih baik dibandingkan hutan-hutan lain yang berada di Sumatera. Apa yang bisa dilakukan kelompok masyarakat sipil dalam rangka penyelamatan hutan KEL?

Pertanyaan ini coba dijawab dalam seminar nasional yang bertemakan “Peran Pemerintah dan Masyarakat terhadap Penegakan Hukum Serta Pemanfaatan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) Sebagai Paru-paru Dunia” di Gedung AAC Dayan Dawood Darussalam Banda Aceh, Senin (17/9/2018). Pembicara dalam seminar ini antara lain Dede Suhendra (Program Manager Northern Sumatera WWF), Guntur M. Tariq, S.Ik (Dit Reskrimsus Polda Aceh) dan Farwiza Farhan (Yayasan HAkA) serta moderator Ir. T. Muhammad Zulfikar dari Yayasan Ekosistem Lestari.

Dede Suhendra dalam pemaparannya mengatakan kelompok masyarakat dapat membentuk lembaga pengawas (Watchdog) yang secara kritis menyuarakan perlunya perlindungan KEL. Hal ini bisa dilakukan melalui kegiatan advokasi, baik yang bersifat litigasi maupun non litigasi. Selain itu masyarakat juga dapat mempromosikan etika pelestarian yang baik, agar meningkatkan kesadaran semua pihak dan melakukan aksi-aksi konservasi di daerah-daerah strategis dalam KEL.

“Kolaborasi dan kerjasama strategis masyarakat biar bisa mempromosikan bagaimana pengelolaan terbaik di KEL,” ujarnya.

Banyak sudah pengelolaan hutan yang menjalankan praktek-praktek terbaiknya yang berbasiskan pada perlindungan dan pelestarian lingkungan, tukasnya.

Seminar Nasional ini dilaksanakan oleh Asian Law Students’ Association (ALSA) Local Chapter Universitas Syiah Kuala, dihadiri tak kurang dari 200-an peserta yang berasal dari 13 anggota dari perguruan tinggi di Indonesia yang merupakan anggota ALSA.

KEL adalah wilayah yang secara alami terintegrasikan oleh faktor-faktor bentangan alam, dan memiliki kekayaan keanekaragaman hayati.

Berbagai kegiatan pembangunan turut andil memberikan ancaman bagi kelestarian Leuser. Pertambahan jumlah penduduk, kegiatan investasi di wilayah hutan, pembangunan infrastruktur yang tidak mempertimbangkan fungsi-fungsi ekologi dan banyak sekali kegiatan illegal dalam KEL, merupakan hal-hal yang menjadi tekanan bagi paru-paru dunia ini.

 

 

read more
Kebijakan Lingkungan

ALSA Unsyiah Adakan Seminar Bahas Penegakan Hukum KEL

Banda Aceh – Bertempat di Gedung AAC Dayan Dawood Darussalam Banda Aceh, hari ini Senin (17/9/2018) Asian Law Students’ Association (ALSA) Local Chapter Universitas Syiah Kuala, mengadakan seminar nasional yang membahas penegakan hukum lingkungan. Tak kurang dari 200-an peserta yang berasal dari 13 anggota dari perguruan tinggi di Indonesia yang merupakan anggota ALSA menghadiri acara ini. Selain anggota ALSA, seminar yang bertemakan “Peran Pemerintah dan Masyarakat terhadap Penegakan Hukum Serta Pemanfaatan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) Sebagai Paru-paru Dunia” juga dihadiri oleh unsur LSM dan akademisi.

Penanggung Jawab Kegiatan, Oktavia Dwi Rahayu, kepada Greenjournalist mengatakan bahwa acara diselenggarakan sebagai bagian dari kegiatan Pra-Musyawarah Nasional dan ALSA Leadership Training. Acara ini dibuka oleh Rektor Universitas Syiah Kuala, Prof.Dr.Ir. Samsul Rizal M.Eng.

Sebagaimana yang sering diberitakan, KEL sebagai sebuah kawasan hutan yang telah diakui UNESCO sebagai warisan dunia sedang menghadapi berbagai ancaman. Ancaman tersebut mulai dari dihapuskannya terminologi KEL dalam Qanun RTRW Aceh, perubahan tata guna lahan KEL hingga perburuan ilegal hewan langka yang hidup di dalam hutan yang  juga disebut paru-paru dunia.

Hadir dalam Seminar Nasional tersebut sebagai pemateri Dede Suhendra (Program Manager Northern Sumatera WWF), Guntur M. Tariq, S.Ik (Dit Reskrimsus Polda Aceh) dan Farwiza Farhan (Yayasan HAkA) serta bertindak sebagai moderator Ir. T. Muhammad Zulfikar dari Yayasan Ekosistem Lestari. Ketiga pembicara ini mengupas situasi terakhir kondisi KEL saat ini.

Perwakilan Polda Aceh menyampaikan bahwa Propinsi Aceh merupakan kawasan nasional yang penataan ruangnya diprioritaskan sangat penting secara nasional terhadap kedaulatan negara, pertahanan dan keamanan negara, baik di bidang ekonomi, sosial budaya atau lingkungan hidup.

Selain itu, banyaknya potensi yang dapat dimanfaatkan tidak memungkiri untuk potensi terjadinya kejahatan. Hal ini dikarenakan banyaknya aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah, namun kurangnya sosialisasi hukum kepada masyarakat oleh pegiat hukum, sehingga menimbulkan kesenjangan pemahaman. Masyarakat dalam melakukan kegiatan tidak mengenal aturan dan tidak mengenal dampak yang akan terjadi dari kegiatan yang dilakukan, salah satunya di bidang lingkungan.

 

 

read more
1 2
Page 1 of 2