close

bijih besi

Ragam

Enam Perusahaan Aceh Jual Konsesi Tambang ke Asing

Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh mengindikasikan enam perusahaan tambang yang beroperasi di Kabupaten Aceh Selatan, Provinsi Aceh, telah menjual konsesi kepada perusahaan asing asal Australia sejak 2008 sampai 2011.

“Dan sampai hari ini, persoalan penjualan konsesi pertambangan perusahaan ini masih ditelaah di Kementerian ESDM. Indikasi sementara kerugian sudah mencapai lebih Rp20 miliar,” kata Koordinator GeRAK Aceh Asqalani di Meulaboh, Rabu (29/1/2014).

Ia menjelaskan, enam perusahaan itu mengantongi izin Kuasa Pertambangan (KP) emas dan Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang diperoleh sejak 2006 hingga 2011 dari pemerintah daerah. akan tetapi, perizinan itu tidak pergunakan dan kemudian dijual ke perusahaan asing.

Perusahaan pembeli asal Australia tersebut bernama Prosperiti Resources, sedangkan enam perusahaan di Aceh Selatan, yakni PT Bintang Agung Mining, PT Multi Mineral Utama, PT Mulia Kencana Makmur, PT Aneka Mining Nasional, PT Aspirasi Widya Chandra dan PT Arus Tirta Power.

Asqalani menjelaskan, dari total enam perusahaan tersebut diperkirakan lebih 40 ribu hektare konsesi pertambangan emas sudah dijual ke pengusaha asing dengan transaksi ilegal senilai Rp1,5 miliar diberikan sebagai modal dasar.

Kata dia, enam perusahaan tambang emas di Aceh Selatan tersebut hanya sebagai sub dan ada satu perusahaan induk berada di luar yang menampung produksi penjualan serta mencari donor tanpa diketahui pihak pemerintah daerah.

“Mereka melakukan transaksi ilegal dengan donor dan dengan dana Rp1,5 miliar per perusahaan. Dana ini digunakan untuk membangun perusahaan dan mendapat izin lain yang belum didapatkan di daerah,” katanya.

Lebih lanjut dikatakan, ke enam perusahaan tersebut hanya membayarkan pajak pada tahun pertama dan kedua (2006-2008) sebagai kedok bersih. Dari sisi lain, tidak diketahui pasti apakah donasi ke enam perusahaan tersebut sampai ke pihak lain di pemerintah pusat.

Hasil investigasi GeRAK, kata Asqalani, kesalahan awal munculnya peluang tersebut adalah kebijakan yang keliru kepala daerah Aceh Selatan periode 2007-2012. Hal ini terjadi karena terjadi konflik kepentingan pribadi dan pemerintah dalam proses pemberian izin KP.

“Hal ini juga kami sudah menyiapkan laporan tertulis. Sebab, menurut kami persoalan Bupati Aceh Selatan ini ada kasus lain yang harus diselesaikan di PN Tipikor dan ditindaklanjuti KPK,”kata Asqalani.(Ant)

Sumber: metrotvnews

read more
Kebijakan Lingkungan

LKLH Desak Segerakan Moratorium Tambang Aceh

Pemberlakuan Undang-undang Mineral dan Batubara (Minerba) No. 4 Tahun 2009 beberapa waktu lalu, ternyata menimbulkan berbagai polemik. Sejak tanggal 12 Januari 2014, perusahaan tambang dilarang melakukan ekspor barang tambang mentah. Dalam regulasi tersebut disebutkan bahwa perusahaan tambang wajib membangun pabrik pengolahan dan pemurnian barang tambang (smelter). Beberapa bahan tambang tersebut diantaranya emas, tembaga, bijih besi, nikel, batu bara dan bauksit.

Ketua Lembaga Kajian Lingkungan Hidup (LKLH) Aceh, Teuku Muhammad Zulfikar, dalam siaran persnya, Jumat (17 Januari 2014) mengatakan kalangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mendesak Pemerintah agar konsisten melaksanakan UU Minerba tersebut. Artinya, sejak 12 Januari 2014, kegiatan ekspor mineral mentah tidak akan diizinkan lagi. ” Perusahaan-perusahaan yang belum melakukan pengolahan dan pemurnian dilarang mengekspor mineral  mentah,” ujar T. Muhammad Zulfikar.

Seiring dengan pemberlakuan UU Minerba, DPR Aceh pada tanggal 27 Desember 2013 yang lalu juga telah mensahkan Peraturan Daerah/Qanun tentang Pengelolaan Pertambangan Mineral dan Batu bara. Dalam qanun tersebut tercantum agar setiap perusahaan tambang agar memberikan dana kompensasi sebesar 6,6 persen dari biaya produksinya. Besaran dana kompensasi ini kemudian menjadi sebuah kebijakan yang kontroversial antara perusahaan tambang dan Pemerintah Aceh.

Padahal sebelum qanun tersebut disahkan besaran dana kompensasi yang diajukan saat itu justru lumayan besar, yakni mencapai 25  persen. Namun keberatan perusahaan pertambangan saat ini dikabulkan oleh Pemerintah Aceh dengan menurunkannya hingga mencapai 6,6 persen saja.

Salah satu perusahaan pertambangan yang keberatan dengan aturan tersebut adalah PT. Mifa Bersaudara yang mengelola usaha pertambangan Batu bara di Kabupaten Aceh Barat. Bahkan perusahaan tersebut mengancam akan angkat kaki dari Aceh dan menghentikan produksinya bila Pemerintah Aceh tidak melakukan perubahan atas qanun tersebut.

Jika dilihat dari aspek tata kelola, justru pengelolaan pertambangan di Aceh saat ini masih sangat tertutup dan kabur. Pemerintah Aceh tidak melaksanakan keterbukaan informasi publik yang baik dalam pengelolaan tambang di Aceh.  Selama ini Pemerintah Aceh belum mampu mensajikan informasi kepada publik mengenai hasil pertambangan.

Saat ini lebih dari 144 (data Distamben Aceh, 2013) perusahaan yang memiliki Izin Usaha Pertambangan di Aceh yang melakukan eksplorasi maupun eksploitasi yang tersebar di wilayah Aceh. Namun dari sekian banyak perusahaan yang beroperasi, sama sekali belum tampak upaya untuk mensejahterakan masyarakat, terutama yang berdomisili di sekitar wilayah pertambangan, bahkan sebaliknya konflik sosial antara masyarakat dengan perusahaan maupun antara masyarakat yang menolak dan menerima justru yang lebih mencuat.

Bahkan di beberapa lokasi sudah mulai terjadi berbagai kerusakan lingkungan, sebut saja mulai dari pencemaran udara, kerusakan sarana tranportasi/jalan yang dilalui masyarakat, kerusakan daerah aliran sungai, pencemaran sumber air, kerusakan hutan. Dan berbagai kerusakan lingkungan lainnya.

Selama ini perusahaan tambang yang beroperasi di Aceh sedikit sekali merekrut putra daerah sebagai pekerjanya. Masyarakat tidak ubahnya seperti penonton dan pemantau saja, istilahnya dalam bahasa Aceh “Buya Krueng teudong-dong, buya tamoeng meuraseuki” (orang setempat hanya mampu duduk termangu saja sementara orang yang datang dari luar yang dapat rezeki).

Belum lagi dampak lingkungan yang akan dirasakan oleh masyarakat Aceh yang tinggal di daerah yang rawan berbagai bencana tersebut. Padahal apabila hasil tambang di Aceh tidak dieksploitasi sekalipun, rakyat Aceh tidak akan lapar, karena masih banyak potensi sumber daya alam Aceh yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat yang belum optimal dimanfaatkan, misalnya sektor perikanan dan kelautan, sektor peternakan, sektor pertanian dan perkebunan, sektor jasa dan pariwisata, justru seharusnya sektor-sektor ini yang perlu segera dikembangkan dan dioptimalkan potensi kelolanya baik oleh Pemerintah, dunia usaha  maupun masyarakat.

Untuk itu, menyahuti berbagai persoalan di Aceh terkait pengelolaan pertambangan tersebut, Lembaga Kajian Lingkungan Hidup (LKLH) Aceh mendesak Gubernur Aceh untuk segera mengeluarkan Instruksi atau Peraturan Gubernur tentang Moratorium Tambang (Penghentian Sementara Pemberian Izin Usaha Pertambangan) di Aceh.

Hal ini sesuai dengan komitmen dan apa yang pernah diucapkann Gubernur Aceh dr. Zaini Abdullah pada saat menerima kunjungan Duta Besar China untuk Indonesia Liu Jianchao di Banda Aceh beberapa waktu lalu. Pada saat itu Gubernur Aceh mengatakan bahwa Pemerintah Provinsi Aceh memutuskan untuk segera memberlakukan moratorium pertambangan.

Keputusan ini merupakan pelaksanaan dari komitmen Pemerintah Provinsi Aceh untuk menjaga keseimbangan dan kelestarian lingkungan hidup di Aceh. Dan Moratorium Tambang juga bertujuan untuk menjaga cadangan alam seperti emas dan bijih besi serta hasil-hasil tambang lainnya sehingga masih dapat dimanfaatkan oleh generasi mendatang. []

 

read more
Kebijakan Lingkungan

Benarkah Australia Nikmati Untung Larangan Ekspor Mineral RI?

Seiring diberlakukannya larangan ekspor mineral mentah oleh Indonesia, sejumlah negara terancam mengalami kemerosotan pasokan komoditas tambang dalam jangka pajang. Namun kondisi tersebut justru memberikan keuntungan tersendiri bagi sejumlah penambang bauksit di beberapa negara, salah satunya Australia.

Seperti dikutip laman The Australia, Senin (13/1/2014), larangan ekspor mineral yang diterapkan pemerintah Indonesia membuat para produsen pengolah mineral mentah mencari sumber energi lain. Seperti misalnya, China yang sangat bergantung pada pasokan bauksit Indonesia.

Tanpa ragu, China memilih perusahaan Australia Bauxite (ABZ) untuk memasok kebutuhannya. Sejak pertengahan tahun lalu, perusahaan tersebut terus mengembangkan pasokan bauksitnya.

Sembilan bulan yang lalu, ABZ meresmikan kerjasama dengan Xinfa Group yang memiliki sejumlah smelter alumunium di empat provinsi di China. Xinfa Group sepakat untuk menerima pasokan dari ABZ sambil terus memantau kondisi kebijakan pengiriman mineral mentah di Indonesia.

Jika Indonesia terus melanjutkan larangannya dan fokus pada upaya mengembangkan pengolahan mineral mentah di dalam negeri, ABZ akan menikmati peluang kerjasama besar dengan pasar-pasar baru sepanjang operasinya. Selain ABZ, BHP Billiton dan Rio Tinto juga dapat menikmati keuntungan dari larangan ekspor mineral mentah Indonesia.

Sejauh ini, BHP telah memasok bauksit untuk sejumlah smelter di Afrika Selatan dan Mozambique. Sementara Rio Tinto memiliki pasokan yang besar di sektor tersebut untuk memenuhi kebutuhan smelter Bell Bay di Tasmania. []

Sumber: TGJ/liputan6

read more