close

hutan leuser

Kebijakan Lingkungan

Kawasan Strategis Nasional KEL (Bukan) Pepesan Kosong

Kawasan Strategis Nasional (KSN) dapat dipahami sebagai suatu kawasan – sebagaimana ditentukan dalam penataan ruang nasional – yang keberadaannya teramat penting dan mempengaruhi secara nasional baik dari aspek pertahanan dan keamanan, pertumbuhan ekonomi, sosial dan budaya, pendayagunaan sumber daya alam dan/atau teknologi tinggi, dan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup. Sebanyak 76 KSN telah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah No. 26/ 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional yang diperbaiki dengan Peraturan Pemerintah No. 13/2017 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 26/2008. Sebanyak 25 KSN diantaranya adalah kawasan yang penting bagi negara dari aspek fungsi dan daya dukung lingkungan hidup dimana Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) termasuk salah satunya.

KEL memang pantas ditetapkan sebagai KSN mengingat areal hutan hujan di ujung barat Pulau Sumatera ini memiliki keragaman hayati yang amat tinggi dan unik. Wilayah hutan ini merupakan tempat satu-satunya di dunia yang masih memiliki empat mamalia besar endemik di dalam satu wilayah: Gajah Sumatera, Harimau Sumatera, Orangutan Sumatera dan Badak Sumatera. Wilayah jelajah ke-empat satwa besar ini saling berpotongan sehingga membentuk areal yang sangat luas (sekitar 2.255.557 hektar) yang membentang dari tengah Provinsi Aceh (meliputi 13 kabupaten) hingga ke Provinsi Sumatera Utara (meliputi 4 kabupaten). Eksistensi empat mamalia tersebut telah menjadikan KEL sebagai ikon konservasi yang penting di muka bumi. Selain itu, KEL juga merupakan penyedia air, plasma nutfah dan penyerap karbon.

Penetapan KEL sebagai satu dari begitu banyak KSN tentu merupakan kabar gembira bagi pegiat konservasi. Dengan statusnya sebagai kawasan penting maka penataan ruang (meliputi pola dan struktur ruang) di wilayah ini akan berbeda dari penataan ruang di kawasan-kawasan lain. Penataan ruang di KSN diatur sedemikian rupa dalam Rencana Tata Ruang (RTR) sehingga kepentingan nasional sebagai acuan penetapan nilai strategis kawasan tersebut dapat tetap dimaksimalkan. Penataan ruang KSN memuat pola dan struktur ruang serta pengaturan kewenangan dan pengembangan kawasan yang secara spesifik menafikan atau melampaui kewenangan pemerintah provinsi dan/atau kabupaten. Oleh karena itu, penetapan KSN dan penataan ruangnya harus menjadi “cetakbiru” bagi penataan ruang provinsi dan kabupaten. Dengan demikian, pola dan struktur ruang yang dimuat dalam dokumen RTR Wilayah Provinsi untuk areal-areal yang terpetakan sebagai KSN sama sekali tidak boleh berbeda dengan RTR KSN.

Sayangnya, sejak ditetapkan sepuluh tahun lalu, KEL masih belum memiliki RTR KSN. Dari 25 KSN lingkungan hidup hanya dua KSN yang telah ditetapkan RTR-nya yakni RTR KSN Taman Nasional Gunung Merapi dan RTR KSN Danau Toba. Keduanya ditetapkan pada tahun 2014. Satu hal dapat disimpulkan disini bahwa derajat kepentingan sekaligus tingkat pengaruh strategis KEL bagi kepentingan nasional masih lebih rendah dibanding dua KSN tersebut. Derajat kepentingan ini akan semakin rendah apabila dibandingkan dengan penataan untuk KSN ekonomi. Pemerintah pusat secara sadar menunjukkan bahwa kepentingan ekonomi lebih utama dibanding lingkungan hidup.

Penetapan KEL sebagai KSN dapat berubah menjadi pepesan kosong semata. Selama satu dekade ini, penetapan tersebut hanyalah kemasan yang tak ada isinya. Penataan pola dan struktur ruang di wilayah tersebut masih sama seperti sebelum ditetapkan sebagai kawasan strategis karena ketiadaan “cetak biru”. Penetapan sebagai KSN sejauh ini belum menimbulkan perubahan signifikan dalam pengelolaan KEL sebagai kawasan yang penting bagi negara. Nyatanya, meskipun telah ditetapkan sebagai KSN, Pemerintah Aceh tidak memasukkannya dalam RTR Provinsi. Ketiadaan RTR KSN itu dapat digunakan sebagai alibi bagi pelanggaran perizinan. Padahal UU penataan ruang telah mengatur sanksi yang cukup berat.

Agar tidak menjadi pepesan kosong, Pemerintah Aceh tidak cukup hanya menyerukan agar penetapan RTR KSN KEL oleh Pemerintah Pusat dipercepat tetapi juga harus menyodorkan usulan penataan ruang KEL yang diinisiasi sendiri untuk disahkan melalui Peraturan Presiden. Inisiatif sedemikian sangat mendesak untuk dilakukan mengingat RTR Wilayah Provinsi sudah tiba waktunya untuk dapat direvisi. Selain itu, menggantungkan penetapan RTR kepada prioritas Pemerintah Pusat bukanlah langkah yang tepat mengingat begitu banyaknya KSN ekonomi yang menunggu untuk dibuat RTR-nya.

Inisiatif dari Pemerintah Aceh harus menunjukkan penataan keruangan yang menampilkan betapa KEL dapat mendukung kepentingan nasional dengan menyodorkan opsi pengendalian pemanfaatan yang taktikal sekaligus mampu mengakomodir perkembangan kebutuhan sosial ekonomi baik di Aceh maupun di Indonesia. Itu berarti, pengaturan pola dan struktur ruang harus dilakukan dengan sangat cermat agar fungsi pelestarian dan perlindungan hutan tropis yang disediakan oleh KEL dapat dipasangkan secara optimal dengan kebutuhan mobilitas barang dan jasa serta pertumbuhan pemukiman. Untuk itu, selain memetakan pusat-pusat kegiatan, RTR juga perlu memuat skenario pertumbuhan kota-kota baru yang tidak mengancam keberadaan KEL.

Skenario tersebut harus diamankan dengan merencanakan perubahan atau penyesuaian kebijakan dan regulasi secara nasional. Semua aturan perundang-undangan yang penting untuk direvisi atau ditetapkan haruslah termuat dalam indikasi program yang akan dilaksanakan. Dalam usulan tersebut, penting pula untuk memasukkan Pemerintah Aceh sebagai pemegang kuasa pengelolaan kawasan sebagai implementasi UU Pemerintahan Aceh dalam pengelolaan KEL.

Inisiatif tersebut harus didahulukan oleh Pemerintah Aceh dibanding menyusun perbaikan RTR Wilayah Provinsi. Bagaimanapun, tanpa RTR KSN sebagai cetakbiru penataan ruang di Provinsi Aceh dan kabupaten-kabupaten yang terkait, posisi KEL sebagai penyokong kepentingan nasional hanyalah isapan jempol semata alias pepesan kosong. Cetak biru penataan ruang tersebut dapat berfungsi untuk mengatur pertumbuhan ekonomi masyarakat di sekitar KEL melalui indikasi program yang diadopsi oleh 13 kabupaten yang terpengaruh. Tentu saja, agar penataan yang menjadi usulan Pemerintah Aceh ini mampu mengakomodir berbagai kepentingan, penyusunannya harus memenuhi aspek teknokratis, politis sekaligus partisipatif. Dengan kata lain, usah melakukan revisi RTR Provinsi sebelum RTR KEL ditetapkan.

Penulis Fahmi Rizal, Pernah bergiat di berbagai LSM dan Proyek Lingkungan

 

 

read more
Green Style

Kisah Perjuangan Farwiza Farhan Selamatkan Hutan Leuser

Farwiza Farhan, seorang perempuan aktivis lingkungan berjuang melindungi hutan belantara Ekosistem Leuser di Sumatra, satu tempat di dunia di mana orangutan, badak, gajah dan harimau masih hidup berdampingan di alam liar. Pada tahun 2012, LSM Yayasan HAkA, tempatnya bekerja menggugat perusahaan kelapa sawit yang telah membuka hutan tanpa izin yang sah.

Mengapa Farwiza berjuang menyelamatkan lingkungan? Rasa ketidakadilan bahwa tidak ada yang berbicara untuk kepentingan satwa liar mendorongnya untuk menjadi aktivis lingkungan. “Bayangkan berdiri di bawah kanopi hutan yang sangat besar dan Anda melihat ke atas – Anda dapat mendengar burung Enggang terbang melesat dan kemudian Anda melihat ke sekeliling dan Anda mendengar suara Owa bergema melalui hutan, di wilayah mereka”.

Orangutan – ibu dan bayi berayun dari pohon ke pohon – dan di antara semua satwa liar yang berbeda ini, melihat semua kera yang berbeda menjerit. Tapi kemudian dari waktu ke waktu, keheningan melanda, hampir tidak terdengar suara hewan apapun.

“Di kejauhan kadang-kadang Anda dapat mendengar suara gergaji mesin, Anda dapat mendengar suara kehancuran semakin mendekat. Anda tahu bahwa ada sesuatu yang dapat Anda lakukan untuk mencegah hal itu terjadi. Anda tahu ada sesuatu yang dapat Anda lakukan untuk menghentikan gergaji mesin. Merusak hutan lebih dalam,”

“Saya menjadi konservasionis awalnya karena saya menonton terlalu banyak siaran BBC Blue Planet. Saya jatuh cinta dengan lautan, dengan terumbu karang, ketika saya masih sangat muda dan saya menetapkan di hati saya bahwa ini adalah apa yang akan saya lakukan selama sisa hidupku.

“Kemudian, ketika saya benar-benar lulus sebagai ahli biologi kelautan, saya kembali ke karang yang sama di mana saya jatuh cinta dengan lautan pertama kalinya, untuk melihatnya benar-benar hancur – semua karena perubahan iklim – dan ini membuat saya marah,”ujarnya.

“Jadi, dalam pikiran naif saya saat itu, saya pikir, mungkin saya akan mencoba melindungi hutan. Mungkin itu sedikit lebih mudah, mungkin saya hanya perlu memasang pagar di sekitarnya dan itu akan baik-baik saja. Dan tentu saja saya terbukti salah waktu dan waktu lagi.

Ancaman Terhadap Ekosistem Leuser
“Ancaman utama bagi Ekosistem Leuser adalah kegiatan eksploitasi dan pembangunan yang tidak berkelanjutan. Perusahaan besar yang ingin menanam kelapa sawit – salah satu tanaman paling menguntungkan di dunia – menjadi ancaman bagi ekosistem yang sangat rapuh ini,”kata Farwiza.

“Permasalahan kebun kelapa sawit itu cukup rumit. Sangat sulit untuk mempersempit isunya dengan mengatakan, ‘Jangan membeli minyak sawit, atau hanya membeli minyak sawit yang berkelanjutan’ atau ‘memboikot semuanya’. Cara kita melihat minyak sawit – Ini hanya tanaman yang sangat menguntungkan, dan masalahnya adalah bagaimana permintaan telah mendorong ekspansi besar perkebunan kelapa sawit,”jelasnya.

“Masalah utama dengan minyak kelapa sawit adalah tata kelolanya – bagaimana konsumen di negara maju dapat mendorong minyak sawit yang benar-benar bebas konflik. Karena kita sering mencari jalan pintas. Kita menginginkan produk yang berkelanjutan, tetapi kita tidak mau membayar untuk itu,”ujarnya.

Farwiza mengatakan saat ini manusia hidup di zaman informasi yang berlebihan. Di masa lalu, ia akan mengatakan kepada orang-orang untuk membaca lebih banyak atau mencari tahu lebih banyak. Sekarang sepertinya ia akan mendorong orang-orang berjanji melihat lebih banyak atau mengalami langung lebih banyak tempat yang akan punah.

“Tempat-tempat seperti Sumatera, Amazon, Madagaskar adalah tempat-tempat di bawah ancaman luar biasa dari eksploitasi, termasuk minyak sawit. Jika Anda datang ke tempat itu dan melihat keadaannya sekarang dan Anda ingin menyaksikan tempat itu kembali di masa depan, Anda akan memiliki hubungan yang lebih kuat untuk mengetahui apa yang harus dilakukan ketika menyangkut minyak sawit dan deforestasi. “[]

Sumber: bbcnews.com

 

 

read more
Hutan

Tanaman Ganja Pun Merambah TN Gunung Leuser

Petugas gabungan TNGL, POLRI dan TNI melakukan pemusnahan ladang ganja di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), Resort Bakongan, SPTN Wilayah II Kluet Utara, BPTN Wilayah I Tapaktuan, Kabupaten Aceh Selatan pada Selasa, (7/8/2018).

Lahan ganja illegal itu bermula didapat melalui data analisa citra satelit yang dilakukan petugas TN. Gunung Leuser. Mengetahui hal tersebut Kepala BPTN Wilayah I Tapaktuan, Buana Darmansyah, S.Hut. T, menugaskan anggotanya untuk melakukan pengecekan langsung ke tempat kejadian perkara (TKP) bersama dengan tim terpadu lainnya.

Tim Patroli terpadu ini terdiri dari petugas TN. Gunung Leuser, Polres Aceh Selatan dan Kodim 0107 Aceh Selatan. Kegiatan berlangsung selama 4 hari sejak Minggu, 05 Agustus 2018. Perjalanan menuju lokasi dari desa terdekat Gampoeng Seunebok Keuranji, Kecamatan Kota Bahagia, Aceh Selatan membutuhkan waktu 2 hari.

Hasilnya, tim patroli menemukan kebun ganja seluas 2 hektar namun pemilik ladang tidak dijumpai di lapangan. Sekitar 2000 batang tanaman ganja berusia ± 3-4 bulanan dimusnahkan petugas. Pemusnahan terhadap tanaman illegal tersebut dilakukan dengan cara mencabut dan membakar, sementara sebagian barang bukti lainnya dibawa ke Polres Aceh Selatan.

“Terimakasih kami kepada kerja keras seluruh tim juga dukungan dan kerjasama Kapolres Aceh Selatan, AKBP. Dedy Sadsono, ST dan Dandim 0107 Aceh Selatan, Letkol Kav. Hary Mulyanto dalam menumpaskan tanaman ilegal di kawasan TNGL”, ujar Buana.[]

Sumber: gunungleuser.or.id  

 

 

read more
Green StyleRagam

Perjuangan Melindungi Hutan Leuser Lewat Petisi Online

Perjuangan melindungi lingkungan ditempuh bukan hanya dengan cara demonstrasi, aksi, advokasi ataupun lewat pengadilan. Teknologi informasi yang semakin berkembang dan masyarakat yang saling terkoneksi membuat pejuang lingkungan menambah metode lagi, yaitu melalui petisi online. Petisi online bisa dikatakan perjuangan bersama masyarakat global yang menekan pihak-pihak tertentu agar memenuhi tuntutan disebuah tempat dan dengan sebuah isu. Masyarakat diseluruh penjuru dunia, atas kesamaan ide dan visi meneken tuntutan bersama yang diajukan ke pihak tertentu.

Situs petisi online, change.org menjadi pioner perjuangan advokasi petisi online di Indonesia. Sejumlah isu sudah di petisikan lewat situs ini termasuk perlindungan hutan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). Yang terbaru adalah petisi online dari 100.000 masyarakat yang menuntut agar lahan PT Kallista Alam di Nagan Raya, Propinsi Aceh dieksekusi oleh pemerintah sesuai dengan putusan MA. Namun sebelum ini, sudah ada beberapa petisi online terkait dengan perlindungan KEL.

Berikut petisi online yang pernah diluncurkan terkait hutan dalam KEL:

1. Petisi “Selamatkan Leuser, Selamatkan Aceh! Petisi ini ditujukan kepada Menteri Dalam Negeri RI, Tjahjo Kumolo, digagas oleh Gerakan Rakyat Aceh Menggugat (GeRAM). Petisi meminta Presiden Jokowi melalui jajaran Kementerian Dalam Negeri dapat menjalankan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 650–441 Tahun 2014, dengan membatalkan RTRW Aceh 2013–2033 yang tidak memasukkan Kawasan Ekosistem Leuser ke dalam Kawasan Strategis Nasional. Pembatalan ini akan menjadi langkah awal yang sangat penting bagi penyusunan RTRW yang memperhatikan kepentingan kami, masyarakat Aceh, Indonesia, dan dunia.

Petisi online diluncurkan pada 26 Januari 2016 dan diteken oleh 81.825 pendukung sampai tanggal berita ini dimuat.

2. Petisi “Tolak pemberian izin eksplorasi kawasan inti Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL)” ditujukan kepada pecinta alam, Pelestari Lingkungan, Taman Nasional Gunung Leuser dan Gubernur Aceh Zaini Abdullah serta Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Petisi yang diajukan oleh masyarakat lokal,Warman Saputra, meminta masyarakat pecinta alam dan pemerhati lingkungan di Aceh agar memohon kepada kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tidak memberi izin pengembangan potensi panas bumi kepada PT Hitay Panas Energy melakukan eksplorasi kawasan hutan Leuser. Kawasan inti Taman Nasional Gunung Leuser dihuni oleh berbagai Flora dan Fauna yang tergolong langka, kawasan ini harus dilindungi dan dilestarikan.

Petisi online diluncurkan tanggal 29 Agustus 2016 dan mendapat tekenan dari 317 pendukung.

3. Petisi “Lindungi Kawasan Ekosistem Leuser, Nyatakan Warisan Dunia! Petisi ini ditujukan kepada Gubernur Aceh 2012-2017, Dr. Zaini Abdullah sebagai pemimpin Aceh untuk menunjukkan kepada dunia bahwa keputusannya sangat mempengaruhi kehidupan banyak orang di Aceh. Gubernur Aceh saat itu dianggap berada di bawah tekanan untuk menandatangani peraturan baru yang akan menghancurkan KEL untuk selamanya. Petisi ini dibuat oleh WALHI Aceh.

Petisi online diluncurkan pada 6 Desember 2013 dan sampai penutupannya telah diteken oleh 22.746 pendukung.

4.Petisi ” Gubernur Zaini, Tepati Janji, Tegakkan Hukum. Hentikan semua kegiatan berbasis lahan di Rawa Tripa dan cabut izin perusahaan yang membakar Rawa Tripa! Petisi ini mengingatkan Gubernur dan mendukung beliau untuk menepati janjinya dengan memerintahkan penghentian semua operasi berbasis lahan di Rawa tripa, dan mencabut izin perusahaan kelapa sawit bermasalah di Tripa. Petisi ini salah satu tonggak keberhasilan perjuangan penyelamatan lingkungan oleh masyarakat global karena isu yang diusung petisi meraih kemenangan mulai dari PN hingga Mahkamah Agung. Petisi digagas oleh organisasi End of the Icons dan ditujukan kepada World Bank Investigation Team.

Petisi online diluncurkan tanggal 28 Juni 2012 dan mendapat 35.595 pendukung.

Kedepan tentu akan makin banyak petisi online bermunculan mengingat kasus-kasus lingkungan juga semakin banyak. Dukungan dari masyarakat luas sangat dibutuhkan dalam perjuangan melindungi hutan Indonesia..

 

 

read more