close

kallista alam

Hutan

MA Tolak Kasasi PT Kallista Alam di Aceh yang Dihukum Rp 366 Miliar

Jakarta – Perusahaan pembakar hutan, PT Kallista Alam tidak terima bila dihukum Rp 366 miliar. Segala cara hukum dilakukan, termasuk perlawanan hukum lewat jalur perdata. Bagaimana akhirnya?

Kasus ini bermula saat hutan di Rawa Tripa, Aceh terbakar hebat pada 2012. Pemerintah bergerak dan menggugat PT Kallista Alam selaku pemegang izin atas pembukaan sawit di atas lahan itu.

PT Kallista Alam kemudian dihukum me-recovery hutan dengan nilai denda Rp 366 miliar. Putusan itu kompak dihukum oleh PN Meulaboh, banding, kasasi, dan PK.

PT Kallista Alam tidak habis akal. Mereka mengajukan perlawanan dengan meminta permohonan perkara itu tidak bisa dieksekusi. Siapa sangka, PN Meulaboh mengabulkan dan membatalkan putusan MA tersebut pada 12 April 2018. Putusan ini menuai reaksi dari berbagai kelompok masyarakat.

Pemerintah pun tidak terima dan mengajukan banding. Pada 4 Oktober 2018, Pengadilan Tinggi (PT) Banda Aceh membatalkan putusan PN Meulaboh dan memutuskan gugatan PT Kallista Alam tidak diterima (niet ontvankelijke verklaard).

Nah, giliran PT Kallista Alam yang tidak terima. Diwakili oleh direkturnya, Subianto Rusid, PT Kallista Alam mengajukan kasasi. Apa kata MA?

“Tolak,” demikian lansir putusan MA dalam websitenya, Kamis (5/12/2019).

Putusan itu diketok oleh ketua majelis hakim Syamsul Maarif. Adapun anggota majelis yaitu Zahrul Rabain dan Panji Widagdo. Putusan itu diketok pada 2 Desember 2019.[]

Sumber: detik.com

read more
HutanKebijakan Lingkungan

KLHK Apresiasi Putusan Pengadilan Tinggi Hukum Kallista Alam Rp 366 Miliar

Pengadilan Tinggi (PT) Aceh menganulir vonis PN Meulaboh yang membatalkan putusan sebelumnya yang menghukum PT Kallista Alam. Alhasil, Kallista Alam tetap dihukum Rp 366 miliar atas kebakaran hutan di Rawa Tripa, Aceh.

Kasus bermula saat hutan di Rawa Tripa terbakar hebat pada 2012. Pemerintah bergerak dan menggugat PT Kallista Alam selaku pemegang izin atas pembukaan sawit di atas lahan itu. PT Kallista Alam tidak habis akal. Ia meminta permohonan perkara itu tidak bisa dieksekusi. Anehnya, PN Meulaboh mengabulkan dan membatalkan putusan-putusan sebelumnya.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tidak terima dan mengajukan banding. Hakim Pengadian Tinggi pun sudah memutuskan.

“Menerima permohonan Banding dari Pembanding semula Tergugat tersebut. Membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Meulaboh Nomor 16/Pdt,G/2017/PN.Mbo, Tanggal 12 April 2018,” putus majelis banding sebagaimana dilansir website Mahkamah Agung (MA), Senin (15/10/2018).

Putusan itu ditetapkan pada 4 Oktober 2018 dengan nomor perkara 80/PDT-LH/2018/PT.BNA. Bertindak sebagai Ketua Majelis Djumali dengan hakim anggota Petriyanti dan Wahyono.

Putusan ini diapresiasi dengan baik oleh pihak Kementerian Lingkungan Hidup & Kehutanan.

“Kami mengapresiasi putusan majelis hakim PT Aceh atas banding yang kami ajukan,” ujar Dirjen Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Rasio Ridho Sani, Senin (15/10/2018).

“Putusan ini merupakan penerapan prinsip in dubio pro natura oleh majelis PT Aceh,” ujar Rasio.

Prinsip in dubio pro natura adalah prinsip dalam kasus-kasus lingkungan hidup yaitu jika dihadapkan pada ketidakpastian sebab akibat dan besaran ganti rugi, pengambil keputusan, baik dalam bidang kekuasaan eksekutif maupun hakim dalam perkara-perkara perdata dan administrasi lingkungan, haruslah memberikan pertimbangan atau penilaian yang mengutamakan kepentingan perlindungan dan pemulihan lingkungan hidup.

“Keberpihakan majelis hakim untuk mewujudkan keadilan lingkungan dan hak-hak masyarakat atas lingkungan hidup yang baik dan sehat,” kata Rasio.

“Kami meminta Ketua PN Meulaboh untuk segera mengeksekusi ganti rugi dan pemulihan lingkungan akibat pembakaran lahan yang dilakukan oleh PT Kallista Alam. Dengan adanya putusan ini, tidak ada alasan lagi bagi Ketua PN Meulaboh untuk menunda eksekusi putusan Mahkamah Agung (MA) yang sudah berkeputusan tetap (inkrach van gewidjsde) di mana PT Kallista harus membayar ganti rugi dan biaya pemulihan sebesar Rp 366 mililar atas perbuatan melawan hukum yang mereka lakukan,” pungkas Rasio.

Sumber: Detik.com

 

 

read more
Green StyleHutan

Seratus Ribu Masyarakat Teken Petisi Dukung Eksekusi PT Kallista Alam

BANDA ACEH – Koalisi Masyarakat Sipil (KMS) mendatangi Pengadilan Tinggi Banda Aceh untuk menyerahkan seratus ribu lebih dukungan publik untuk eksekusi putusan MA terhadap PT Kallista Alam (PT KA), perusahaan pembakar lahan rawa gambut Tripa, Nagan Raya, Kamis (12/07/2018).

KMS yang terdiri dari Yayasan HAkA, Rumoh Transparansi, FORA, Change.org Indonesia, Gerakan Rakyat Aceh Menggugat (GeRAM), dan Perhimpunan Pengacara Lingkungan Hidup (P2LH) menyerahkan petisi Change.org/HukumPembakarLahan. Petisi tersebut berisikan dukungan sekaligus desakan kepada PT Banda Aceh untuk membatalkan putusan Pengadilan Negeri Meulaboh Perkara Nomor 16/Pdt_G/2017/PN Mbo.

Pada sidang tanggal 12 April 2018, Majelis Hakim PN Meulaboh yang memeriksa Perkara Nomor 16/Pdt_G/2017/PN Mbo menyatakan bahwa Putusan PN Meulaboh sebelumnya yaitu Perkara Nomor 12/PDT.G/2012/PN MBO yang menghukum PT Kallista Alam (PT KA) dengan denda dan kewajiban memulihkan lahan yang rusak akibat dibakar senilai Rp. 366 milyar tidak mempunyai title eksekutorial atau tidak bisa dieksekusi. Seperti diketahui sebelumnya, PT KA dinyatakan bersalah karena terbukti membakar 1.000 hektar lahan gambut di Tripa, Nagan Raya, Aceh.

Sekretaris Yayasan HAkA, Badrul Irfan mengatakan penyerahan petisi ini merupakan bentuk kepedulian dan kekecewaan publik terhadap putusan PN Meulaboh yang menyatakan bahwa putusan Mahkamah Agung (MA) terhadap kasus pembakar lahan ini tidak bisa dieksekusi. Sebagai wujud partisipasi pubik, HAkA menggalang petisi ini melalui Change.org Indonesia mendesak MA untuk membatalkan putusan 16/Pdt.G/2017/PN.Mbo sekaligus memerintahkan PN Meulaboh melaksanakan eksekusi terhadap PT. KA sesuai dengan putusan perkara no. 1 PK/PDT/2017 jo. Putusan no. 651 K/Pdt/2015 jo putusan no. 50/PDT/2014/PT BNA jo. Putusan no. 12/PDT.G/2012/PN.MBO — untuk membayar biaya pemulihan lingkungan sebesar Rp 366 miliar.

Sebelumnya, Rumoh Transparansi juga sudah melaporkan kasus ini ke KPK dengan nomor pengaduan 96297 pada hari Rabu, 2 Mei 2018. “Kami mencium ada penyelewengan pada kasus ini yang menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 366 milyar. Hal ini juga kami anggap sebagai salah satu upaya penyalahgunaan wewenang oleh PN Meulaboh. Atas dasar ini, kami mengadukan pihak PN Meulaboh ke KPK sebagai lembaga anti-rusuah di Indonesia,” ujar Koordinator Rumoh Transparansi, Crisna Akbar.

Salah satu penandatangan petisi dengan akun Aslam Saad menulis, “Ketika hukum digadaikan oleh penegak hukum kepada para perusak hutan, rakyat sekitar hutan semakin menderita dan negara tak berdaya.” Akun lain dengan nama Elok Galih Karuniawati menulis, “Selamatkanlah hutan kita dan eksekusi perusahaan yang telah ceroboh membakar hutan. #SaveTripa.”

“PT Kallista Alam telah dibuktikan bersalah berdasarkan undang-undang administrasi, pidana, dan perdata oleh majelis pengadilan dan Mahkamah Agung. Bila suatu pengadilan negeri bisa menentang putusan Mahkamah Agung, ini sangat tidak masuk akal. Tidak mengejutkan kalau sekarang banyak pengamat yang mempertanyakan motif di belakang putusan hakim PN Meulaboh dalam kasus ini, dan kami meminta ada investigasi khusus disini,” ujar juru bicara GeRAM, M. Fahmi.[rel]

 

read more
Hutan

Tuntutan Kepada Direktur PT Kalista Alam Terlalu Ringan

Tim Koalisi Penyelamatan Rawa Tripa (TKPRT) menyambut baik atas kemajuan proses penegakan hukum terhadap PT. Kallista Alam (KA) pelaku pembukaan Lahan tanpa izin yang saat ini telah sampai pada penyempaian tuntutan Jaksa Penuntut Umum, namun TKPRT menilai tuntutan ini terlalu ringan dibandingkan dengan dampak kerusakan alam yang ditimbulkan paska pembukaan lahan di rawa gambut tripa tersebut. Dampak ekologis sering kali di abaikan dalam penegakan hukum lingkungan selama ini.

“Gugatan Pidana terhadap PT Kalista Alam Perkara no 132/pid.B/2013/PN MBO tentang pembukaan Lahan tanpa izin yang melanggar UU NO 18 tahun 2004 tentang perkebunan dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum dari kajari Suka Makmur, Kabupaten Nagan Raya atas nama terdakwa Subianto Rasyid selaku Direktur PT Kalista Alam dengan tuntutan 10 Bulan dan denda 150 Juta dengan Subsider kurungan selama 3 bulan,”ujar Juru Bicara TKPRT Fadillah Ibra dalam siaran persnya kemarin.

Selain itu, dengan tuntutan seperti itu, sama sekali belum memberikan efek jera bagi para pelaku kejahatan lingkungan.

PT KA terindikasi telah melanggar UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan UU Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan karena beroperasi tanpa izin. Termasuk telah melanggar UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya karena beroperasi di Kawasan Ekosistem Leuser yang berstutas sebagai Kawasan Strategis Nasional. Jika mengacu pada Pasal 108 tentang pembakaran hutan dan lahan, tuntutan minimalnya seharusnya 3 hingga 10 tahun penjara dan denda 3 hingga 10 milyar rupiah. Untuk itu diharapkan kepada Jaksa untuk menelaah kembali tuntutanya tersebut.

Dari tuntutan JPU tersebut sangatlah ringan jika dibandingkan dengan tuntutan yang termuat didalam UU  perkebunan yakni  dengan hukuman maksimal mencapai 5 tahun penjara dan denda  2 Milyar Rupiah,  begitu juga dengan UU Konservasi. Sedangkan dari Tuntutan yang di berikan oleh JPU tidak mencapai setengahnya, hal ini dikhawatirkan tidak akan menimbulkan efek jera kepada pelaku perusakan lingkungan.

Seharusnya JPU menuntut pelaku minimal setengah dari maksimal tuntutan yang berlaku didalam UU, sehingga akan menimbulakn efek jera yang nantinya akan menjadi pengalaman bagi pelaku lainnya.

Dalam hal ini TKPRT meminta agar Pemerintah Aceh Segera menetapkan Kawasan 1.605 eks IUp-B PT kalista Alam agar segera Ditetapkan menjadi Kawasan Konservasi daerah, mengingat sejak pencabutan IUP-B terhadap kawasan tersebut dari akhir tahun 2011 hingga kini belum ada tindak lanjut dari pemerintah daerah, hal ini sangat di khawatirkan akan menjadi sumber konflik baru.[rel]

read more
Kebijakan Lingkungan

Jepang Akan Beri Tiongkok Latihan Hukum Lingkungan

Jepang akan membantu melatih para pengacara dan para aktivis lingkungan Tiongkok dalam mendapatkan keahlian menangani permasalahan lingkungan melalui proses hukum. Kedua negara menandatangani sebuah kesepakatan di Beijing pada Kamis (13/3/2014). Jepang akan menyumbang hingga sekitar US$ 88.000 dalam bentuk bantuan.

Polusi lingkungan menjadi masalah serius di Tiongkok di tengah pembangunan ekonominya yang pesat. Tidak banyak kemajuan yang terlihat dari langkah-langkah yang diambil pihak otoritas.

Salah satu penyebabnya dikatakan karena kurangnya para ahli yang mengerti gugatan hukum lingkungan. Berdasarkan kesepakatan tersebut, pemerintah akan melatih 30 pengacara dan aktivis lingkungan Tiongkok.

Kesepakatan itu juga berencana membuat sebuah buku tentang gugatan-gugatan hukum serta kegiatan-kegiatan yang terkait lingkungan oleh para warga di masa lalu.[]

Sumber: beritasatu.com

read more
Kebijakan Lingkungan

Pembukaan Lahan di Rawa Tripa Masih Terjadi

Landscape Protection Specialist Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) dalam presentasinya menyatakan bahwa di lahan gambut Rawa Tripa sampai hari ini masih ada pembukaan. Hal ini tampak dari gambar citra satelit dimana titik hutan gambut yang dibuka bisa dilihat dengan jelas. Selain itu, hasil survey YEL pada 59 titik di Rawa Tripa menunjukan kedalam gambut yang bervariasi.

Landscape Protection Specialist YEL, Graham Usher, dihadapan Tim Koalisi Penyelamatan Rawa Tripa (TKPRT), Senin (3/2/2014) melakukan presentasi kondisi Rawa Tripa terkini. Dalam presentasi yang dilaksanakan di kantor Yayasan Leuser International, Graham mengatakan berdasarkan peta satelit yang diperolehnya pada Januari 2014 tampak ada perluasan atau pembukaan lahan di kawasan 1605 hektar hutan gambut Rawa Tripa milik PT Kallista Alam (KA) dan PT SPS.Lahan ini sendiri telah dicabut izin usaha budidaya perkebunan-nya oleh Gubernur Aceh, Dr. Zaini Abdullah sehingga seharusnya tidak boleh dijamah siapapun.

Ada dugaan masyarakat membuka lahan tersebut namun dibekingi oleh pemodal karena melibatkan alat-alat berat untuk membuka kanal untuk mengeringkan gambut.

Selain itu juga ada pembukaan jalan oleh Pemkab Aceh Barat Daya yang membelah hutan gambut menuju pelabuhan yang akan dibangun dalam waktu dekat.

” Kami memakai peta dasar yang dulu dipakai Wetland sebagai perbandingan. Survey gambut di 59 titik Rawa Tripa mendapatkan hasil bahwa gambut di lahan PT KA merupakan gambut dalam, antara 4 sampai 7 meter,” ujar Graham. Sampel gambut masih berada di Bogor untuk dianalisa jenis gambutnya dan juga sedang dibor lebih banyak titik lagi di lahan gambut agar diperoleh hasil yang lebih akurat tentang kedalaman gambut dan luasnya.

Gambut terdalam yang pernah diukur mencapai 8,5 meter dimana daerah gambut ini akan dilintasi oleh jalan tembus ke pelabuhan baru di kabupaten Aceh Barat Daya. ” Ini butuh investasi yang besar untuk penimbunan dan jalan kemungkinan akan amblas,” kata Graham.

Selain survey yang dilakukan YEL, Tim dari Universitas Syiah Kuala juga melakukan survey yang sejenis di daerah yang sama. Namun bagi Graham dan sebagian besar anggota TKPRT, Survey dari Unsyiah ini masih menimbulkan tanda tanya besar.

“Survey Unsyiah menyatakan jenis tanah aluvial di lahan gambut yang bisa ditanam, padahal lahan ini malah memiliki kedalaman gambut hingga 7 meter,” ungkap Graham.

Senada dengan Graham, anggota TKPRT, T. Muhammad Zulfikar juga meminta diadakan konsolidasi hasil survey antara YEL dengan Tim Unsyiah mengingat hakikat dari dua survey ini sama, yaitu meneliti kondisi gambut di Rawa Tripa.

” Kita minta dilakukan telaah hasil survey atau penelitian antara tim peneliti dari YEL dengan tim peneliti Unsyiah dan akan melakukan kolaborasi hasil temuan para pihak untuk menjadi hasil bersama,” ujar T. Muhammad Zulfikar.

Blokir Kanal

YEL juga saat ini sedang mengusulkan pemblokiran kanal di kawasan seluas 1.605 hektar di Rawa Tripa dimana daerah ini telah mendapat penetapan dari PN Meulaboh sebagai sitaan negara. ” Kami mengusulkan kepada program TFCA (sebuah program yang didanai USAID-red) untuk memblokir kanal dalam beberapa bulan ke depan. Ada 4 kanal utama yang akan diblokir,” jelas Graham.

Menurutnya Bupati Nagan Raya bersedia mengeluarkan surat dukungan pemblokiran lahan dengan terlebih dahulu YEL dan TFCA mempresentasikan rencananya dihadapan bupati.

Hutan gambut Rawa Tripa saat ini sudah terbelah-belah dalam konsesi milik perusahaan perkebunan kelapa sawit. Sebenarnya pemanfaatan lahan gambut yang bertekstur lembut dan mudah amblas dalam jangka panjang akan merugikan pengelola sendiri.

Saat ini tidak jelas berapa luas daerah berhutan yang masih bersisa di Rawa Tripa karena dari total luasnya 61.803 hektar, hampir seluruhnya telah menjadi konsesi kebun sawit. Sebagian besar sudah dibuka, sebagian masih hutan namun terfragmentasi, sebagian ada yang sudah dibuka namun ditinggalkan karena tidak cocok untuk ditanami sawit.

Jika melihat keadaan hutan gambut yang terus menerus mengalami kehancuran, sulit rasanya bisa menjalankan komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi GRK sebesar 26 persen dari tingkat business as usual (BAU, kondisi tanpa adanya rencana aksi) pada tahun 2020 atau sampai dengan 41persen dengan bantuan internasional, sebagaimana yang diumumkan Presiden Yudhoyono pada tahun 2009.

“Ada yang tidak nyambung antara impian, aturan konservasi dan kenyataan di lapangan. Upaya penurunan emisi bisa nonsens. Kebakaran hutan terbesar terjadi di hutan gambut,” ucap Graham.

TKPRT berharap restorasi lahan gambut Rawa Tripa dapat dimulai dari penutupan kanal di lahan 1605 hektar yang telah dicabut izinnya oleh Pemerintah Aceh. Penutupan kanal bertujuan agar air dari gambut tidak mengalir keluar kawasan sehingga menyebabkan lahan kering. Penutupan juga dilakukan agar terjadi penghutanan kembali kawasan yang telah dibuka secara alami.

read more
Tajuk Lingkungan

Harapan Baru dari Rawa Tripa

Hingga saat ini, perusakan lingkungan di Aceh oleh oknum yang tidak bertanggung jawab masih kerap terjadi. Belum ada upaya serius dari pemerintah Aceh untuk menghentikan aksi itu. Ironis memang, janji untuk menyelamatkan lingkungan yang sering diucapkan belum ada realisasinya.

“Kita akan meninjau kembali perusahaan yang bergerak pada lingkungan. Apabila lingkungan rusak, maka pihak pertama yang dirugikan adalah masyarakat. Jika dibiarkan akan merusak lingkungan,” kata Gubernur Zaini Abdullah sebelum dilantik kepada sejumlah awak media.

Pernyataaan itu telah memberikan harapan baru untuk rakyat Aceh dalam menata lingkungannya menjadi lebih baik. Namun, hal tersebut bukan hanya sebatas opini yang hanya didengungkan untuk menyenangkan hati rakyat sesaat, melainkan adanya perwujudan di lapangan. Ini penting, mengingat dengan adanya kerusakan lingkungan telah memberikan trauma yang mendalam serta hilangnya mata pencaharian masyarakat Aceh.

Contohnya, kawasan hutan gambut rawa tripa, Kabupaten Nagan Raya yang dulunya pernah menjadi kawasan terkaya pada level Sumatera dengan keanekaragaman hayati kini diambang lenyap. Sampai Mei 2012, hutan yang awalnya seluasa 62.000 hektar kini hanya tertinggal 50 persennya saja. Kawasan yang dulunya dijadikan sebagai
tempat untuk mengais rezeki oleh masyarakat setempat, kini sudah tidak ada lagi.

Karena itu, kepemimpinan baru Aceh bisa memberikan terobosan yang bisa memberikan memanfaat nyata bagi rakyat, bukan hanya umbar janji. Sekarang, kebijakan dan ketegasan dari pemerintah baru Aceh sangat dinanti-nantikan oleh tiga juta rakyat Aceh. Janji yang pernah diucapkan dulunya harus segera ditepati bukan dilupakan sehingga kehidupan rakyat Aceh akan semakin baik.[]

read more
Ragam

Rahmawati, Hakim yang ‘Selamatkan’ Rawa Tripa

Hakim Pengadilan Negeri Meulaboh ini belum lama mengikuti sertifikasi sebagai hakim lingkungan oleh Mahkamah Agung di akhir tahun 2013. Hakim yang juga Ketua Pengadilan Negeri Meulaboh ini menjadi ketua majelis hakim mengambil keputusan yang pro lingkungan. Ia menghukum perusahaan PT Kallista Alam (KA) untuk membayar denda sebesar Rp.366 miliar sebagai biayar ganti rugi material dan rehabilitasi lahan gambut. Putusan ini bisa menyelamatkan rawa gambut dari ancaman kerusakan lanjutan oleh berbagai kegiatan.

Ia bernama Rahmawati, kelahiran Cot Girek, 16 Desember 1962 memberi angin segar bagi penegakan hukum lingkungan di Indonesia bahkan dunia. Rawa Gambut Tripa yang berada di Kabupaten Nagan Raya mengalami kerusakan parah karena dibakar oleh perusahaan kepala sawit, KA dan lainnya.

Ia mengabulkan permohonan Kementerian Lingkungan Hidup dalam perkara perdata No.12/PDT.G/2012/PN MBO. Putusan bijak ini berpengaruh besar terhadap pelestarian lingkungan hidup dan menentukan hajat hidup orang banyak.

Sebagaimana dikutip dari situs resmi Pengadilan Tinggi Aceh, Rahmawati menjadi hakim sejak 2002 dimulai dari Pengadilan Negeri Lhokseumawe. Kemudian tahun 2006, Rahmawati SH menjadi hakim di Pengadilan Negeri Banda Aceh.

Karirnya meningkat, tahun 2010, Ia dipindahkan ke Pengadilan Negeri Meulaboh menjabat sebagai Wakil Ketua.
Lalu ia diangkat menjadi Ketua Pengadilan Negeri Meulaboh tahun 2012.

Tahun 2013, Rahmawati menerima sertifikasi hakim lingkungan di Provinsi Aceh dari Mahkamah Agung.

Baru-baru ini tepat 8 Januari 2014, Alumni Fakultas Hukum Unsyiah ini memutuskan perkara lingkungan yang berada dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) di rawa gambut tripa atau lebih dikenal sebutan Rawa Tripa di Kabupaten Nagan Raya.

Sejak 27 November 2012, Rahmawati mulai memimpin sidang kasus lingkungan tersebut. Saat itu ia dibantu Ferry Hardiansyah SH dan Juanda Wijaya SH. Ia menyarankan para pihak untuk melakukan mediasi. Kemudian Ferry Hardiansyah digantikan oleh hakim Rahma Novatiana.

Dalam perjalanannya, mediasi “deadlock” sehingga kemudian gugatan masuk dalam pokok perkara.

Pada tanggal 28 Agustus 2013, Rahmawati bersama hakim anggota Rahma Novatiana dan Juanda Wijaya SH turun ke lokasi dimana lahan gambut dibakar oleh KA, di Suak Bahong, Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten Nagan Raya melakukan sidang Pemeriksaan Setempat (PS).

Ia melihat langsung kawasan gambut yang masih ada bekas-bekas kebakaran. Di bawah terik matahari, ia berjalan kaki selama dua jam perjalanan. Diapit Kuasa Hukum KLH dan PT. Kallista Alam, Ia berdiskusi di lapangan, memimpin sidang PS di atas rawa gambut tripa. Bukan hanya satu atau dua titik yang dikunjungi namun ia bersikeras mengunjungi nyaris semua titik yang terbakar. Sidang PS ini guna memberikan gambaran utuh tentang lokasi kebakaran.

Semoga semakin banyak hakim yang pro kepada lingkungan dimasa mendatang.

Sumber: acehterkini.com

 

read more
1 2 3
Page 1 of 3