close

rawa singkil

Kebijakan Lingkungan

Brand Dunia Pasok Minyak Sawit Ilegal dari Suaka Margasatwa Singkil

San Francisco – Rainforest Action Network (RAN) di tahun 2019 ini melakukan investigasi lapangan untuk mengungkap aktivitas perusakan lahan gambut di dalam kawasan Suaka Margasatwa Rawa Singkil yang digerakkan oleh merek-merek makanan ringan dan bank-bank besar dunia. Perusahaan-perusahaan ini telah mengadopsi kebijakan untuk mengakhiri deforestasi dalam rantai pasok mereka bertahun-tahun yang lalu namun masih terus memasok minyak kelapa sawit yang ditanam secara ilegal dari dalam hutan gambut Suaka Margasatwa Rawa Singkil yang dilindungi, bagian dari hutan hujan dataran rendah penting di Kawasan Ekosistem Leuser Sumatra. Minyak sawit ini kemudian digunakan untuk memproduksi makanan ringan yang dijual di seluruh dunia oleh Unilever, Nestlé, PepsiCo, Mondelēz, General Mills, Kellogg’s, Mars dan Hershey.

“Bukti yang dihasilkan dari investigasi kami sangat jelas,” ujar Gemma Tillack, Direktur Kebijakan RAN. “Terlepas dari kenyataan bahwa merek-merek besar ini secara terbuka telah berjanji untuk mengakhiri deforestasi, mereka masih memasok minyak sawit yang bersumber dari perusahaan yang mendorong ekspansi perkebunan kelapa sawit ke dalam salah satu jantung lanskap konservasi prioritas dengan tingkat perlindungan tertinggi untuk mengatasi krisis iklim dan kepunahan satwa liar—hutan gambut dataran rendah di Kawasan Ekosistem Leuser.”

“Pabrik kelapa sawit dalam investigasi ini sama sekali tidak memiliki sistem monitoring dasar untuk memastikan bahwa minyak sawit yang mereka kelola tidak bersumber dari perusakan hutan hujan, seharusnya perusahaan dengan komitmen tanpa deforestasi tidak lagi membeli dari pabrik ini apabila perusahaan memang memiliki itikad baik untuk menerapkan kebijakan yang telah mereka buat,” Gemma menambahkan.

Kelestarian lanskap Singkil-Bengkung di dalam Kawasan Ekosistem Leuser —termasuk Suaka Margasatwa Rawa Singkil, hutan gambut Kluet dan hutan hujan dataran rendah yang menjadi penghubung— penting untuk dunia karena terdiri dari hamparan lahan gambut langka, dalam, dan merupakan salah satu penyerap karbon alami paling berharga dan efektif untuk bumi. Sebaliknya, ketika dikeringkan dan ditebang untuk perkebunan kelapa sawit seperti yang didokumentasikan dalam laporan ini, lahan gambut ini akan berubah menjadi bom karbon yang melepaskan polusi dalam jumlah yang sangat besar ke atmosfer selama bertahun-tahun.

Menjelang negosiasi Perjanjian COP PBB tahun 2015 di Paris, terjadi kebakaran gambut besar di Indonesia, yang didorong oleh ekspansi perkebunan kelapa sawit, apabila dikonversi jumlah polusi karbon yang dikeluarkan ke atmosfer lebih besar

dari gabungan seluruh emisi karbon ekonomi Amerika Serikat. Diperkirakan bahwa emisi karbon dari kebakaran di kedua lahan gambut ini dapat berkontribusi hingga 7% dari total emisi tahunan Indonesia, merongrong kemampuan Indonesia untuk memenuhi komitmennya terhadap Perjanjian Paris.

Daerah hutan hujan basah dataran rendah ini telah dijuluki ‘ibukota orangutan dunia’, karena merupakan rumah bagi populasi dengan kepadatan tertinggi orangutan Sumatra yang terancam punah. Ini termasuk sub-populasi orangutan yang berbeda, beberapa ribu individu menunjukkan struktur sosial dan perilaku menggunakan alat yang unik dibandingkan sejumlah populasi orangutan lainnya. Wilayah Singkil-Bengkung juga merupakan habitat berkembang biak terbaik yang tersisa untuk spesies terancam punah seperti badak, gajah, dan harimau Sumatra.

“Wilayah Singkil-Bengkung dari Kawasan Ekosistem Leuser akan menyajikan kesempatan langka apabila kita kelola dengan benar,” lanjut Gemma. “Area ini masih memiliki habitat luas dan utuh untuk gajah, badak, orangutan, harimau, dan spesies lainnya yang tak terhitung jumlahnya untuk bertahan hidup, tetapi tanpa tindakan nyata oleh perusahaan makanan kecil dan bank-bank besar, harta karun dan penyerap karbon alami yang tak ternilai ini akan hilang ditebang dan dikeringkan.”

RAN menuntut agar merek-merek yang terungkap berkontribusi dalam penghancuran ini berhenti membeli minyak kelapa sawit yang bersumber dari pabrik nakal yang teridentifikasi dalam penyelidikan, sampai pabrik-pabrik tersebut mampu membuat membuat sistem pemantauan, penelusuran, dan memastikan sistem kepatuhan yang transparan agar dapat diverifikasi untuk memastikan mereka hanya menerima kelapa sawit yang benar-benar bertanggung jawab. Selain itu, RAN juga menyerukan kepada perusahaan untuk menempatkan produsen yang melanggar aturan deforestasi dalam daftar larangan membeli, serta meminta bank-bank yang mendanai untuk memperkuat persyaratan pembiayaan bagi kliennya agar berhenti memasok kelapa sawit ilegal dan memperkuat sistem pemantauan dan kepatuhan hingga pemasok pihak ketiga.[rel]

read more
Hutan

Konversi Hutan Ancam Kelestarian Rawa Singkil

Suaka Margasatwa Rawa Singkil Aceh adalah salah satu hutan rawa gambut di Indonesia, yang terletak di bagian selatan Aceh. Hutan rawa gambut ini merupakan kombinasi hutan hujan tropis dan hutan gambut. Hutan rawa gambut sangat penting karena memiliki peran sebagai penampung air alami untuk menyimpan kelebihan air daerah sekitarnya dan mengurangi risiko banjir. Rawa Singkil memiliki kekayaan alam yang sangat unik dan penting bagi makhluk hidup. Hutan ini juga merupakan habitat satwa langka yang terancam punah, seperti orangutan sumatera, harimau sumatera, gajah sumatera, badak sumatera dan lain-lain.

Hutan ini juga memiliki kekayaan flora yang memiliki nilai ekonomi tinggi, di antaranya adalah jenis kayu seperti Meranti, Gaharu, Damar, Kapur, dan Kerwing. Oleh karena itu, hutan ini ditetapkan sebagai Kawasan Konservasi Alam berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan no. 166 / Kpts-II / 1998.

Isi dari keputusan itu ada perubahan fungsi dan penunjukan kawasan Hutan Rawa Singkil yang terletak di Provinsi Aceh, Kabupaten Aceh Selatan, dengan luas 102.500 hektar menjadi kawasan Cagar Alam dengan nama Rawa Singkil Wildlife Reserve. Sebagian besar penduduk lokal di Aceh Selatan, Subulussalam dan Aceh Singkil bergantung pada hutan Rawa Singkil ini. Mereka memanfaatkan sumber daya alam yang berkelanjutan.

Namun, pada 2015, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengeluarkan Keputusan No. 103 / MenLHK-II / 2015 yang menetapkan pengurangan area Suaka Margasatwa Rawa Singkil menjadi 81.338 hektar. Pengurangan luas hutan mencapai 20 ribu hektar.

Sekarang kondisi Suaka Margasatwa Rawa Singkil secara perlahan mengalami kehancuran. Adanya perburuan hewan langka mengakibatkan keberadaan hewan langka punah dan menghancurkan ekosistem yang ada di kawasan hutan. Belum lagi maraknya pembukaan lahan skala besar dimulai dengan pembakaran hutan dan membuka lahan menggunakan alat berat yang tujuannya adalah menjadikan daerah tersebut menjadi lahan pertanian atau perkebunan kelapa sawit dan karet.

Sekitar 80 hektar hutan di kawasan ini telah ditebangi menjadi perkebunan kelapa sawit, tepatnya di Desa Ie Meudama, Kabupaten Aceh Selatan. Ini dilakukan oleh mafia darat yang ingin menjadikan hutan konservasi ini sebagai perkebunan. Masyarakat lokal tidak mungkin merusak hutan di mana mereka bergantung pada kehidupan mereka dengan membuka kebun sawit, apalagi menggunakan alat berat.

Jika kehancuran ini terus terjadi maka bencana terbesar adalah penduduk lokal yang tinggal di hutan rawa dan akan menjadi beban baru bagi pemerintah. Untuk mencegah hal ini terjadi, pemerintah bersama dengan Pusat Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh dan tim melakukan patroli rutin.

Selain itu, beberapa operasi gabungan dilakukan oleh polisi dengan Balai Penegakan Hukum dan Keamanan Lingkungan dan Kehutanan Sumatera. Pencegahan juga dilakukan dengan mensosialisasikan dan mendidik masyarakat sekitar agar tidak menyalahgunakan sumber daya alam yang ada.

Pemerintah dan masyarakat sekitarnya berjanji dan berusaha untuk melindungi kawasan hutan rawa singkil sehingga keanekaragaman hayati di kawasan itu tetap berkelanjutan. Hutan ini adalah potensi yang dapat diandalkan dalam ekowisata. Pesona alam dan keunikan hutan rawa singkil merupakan daya tarik yang menarik bagi wisatawan dan peneliti untuk mengenali keragaman flora dan fauna yang ada. Karena itu, keberadaan Suaka Margasatwa Rawa Singkil Aceh perlu dilindungi dan dilestarikan.[]

Sumber: Sarah Beekmans/www.sarahbeekmans.com

 

read more
Flora FaunaHutan

YEL dan DLHK Bentuk Task Force Rencana Pengelolaan Gambut Aceh

Hutan Aceh yang sangat kaya dengan beragam biodiversity harus selalu dikelola dengan baik karena hutan memberikan manfaat kepada makhluk hidup sekitarnya. Tak terkecuali hutan gambut, dimana hutan ini sangat rentan mengalami degradasi akibat ulaat manusia. Pemerintah Aceh memasukan kawasan hutan gambut seluas 11.359 Ha menjadi kawasan gambut lindung yang dimasukkan dalam Qanun RTRW Aceh.

Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) dan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Propinsi Aceh pada Senin malam (1/11/2018) di Banda Aceh melakukan Kick off Meeting Rencana Pembentukan Tim Task Force dalam Rangka Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Kawasan Ekosistem Gambut (RPPEG) Aceh dan Proses Kelembagaannya. Keberadaan RPPEG ini dianggap penting untuk penyelamatan hutan gambut Aceh. Turut hadir Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Propinsi Aceh, Ir. Syahrial.

Perwakilan YEL, T.Muhammad Zulfikar menyampaikan bahwa rencana pengelolaan gambut bisa benar-benar menjadi perhatian pemerintah Aceh. RPPEG diharapkan bisa jadi hingga terbentuk juga kelembagaan yang mengelolanya. “Bentuknya bagaimana akan kita diskusikan bersama,”ujarnya. RPPEG sebagai payung pelaksanaan pengelolaan gambut dan menjadi dokumen milik pemerintah Aceh

Konsultan penyusunan RPPEG, Yakob Ishadamy menambahkan lingkup kegiatan ini adalah mengumpulkan peraturan perundangan yang terkait pengelolaan gambut, kajian evaluatif terhadap beberapa kebijakan paralel dengan RPJP dan RPJM, baik propinsi dan kabupaten/kota. Harapan kita semua aturan ini bisa diintegrasikan dalam sebuah dokumen dan bisa dioperasional sebaik mungkin.

“RPPEG ini masa berlakunya 20 tahun, dapat dilaksanakan oleh pemerintah Aceh,”kata Yacob.

Paling akhir diharapkan ada rekomendasi mengenai bentuk kelembagaan untuk mengelola gambut. Diharapkan nanti RPPEG ini dapat disahkan menjadi peraturan Gubernur Aceh, kata Yacob.

Sebuah tim penyusunan dokumen RPPEG yang terdiri dari sejumlah ahli dari LSM, akademisi dan pemerintah akan dibentuk agar proses penyusunan dokumen bisa berjalan dengan baik.

 

 

 

read more
Green StyleKebijakan Lingkungan

Empat LSM Lingkungan Presentasikan Program Hutan & Satwa Aceh

Banda Aceh – Program Tropical Forest Conservation Action for Sumatera (TFCA Sumatera) menyelenggarakan kegiatan pemaparan proyek perlindungan hutan Aceh, Kamis (19/7/2018) bertempat di Kyriad Hotel Banda Aceh. Kegiatan menghadirkan empat LSM lingkungan yang mendapat bantuan pendanaan dari TFCA Sumatera untuk mempresentasikan kegiatan mereka dalam melindungi hutan Aceh. TFCA sendiri adalah sebuah program kerjasama antara pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat dimana dananya diambil dari pengalihan hutang Indonesia (debt Swap) kepada Amerika. Uang yang berasal dari pembayaran hutang ditampung dalam rekening trust fund kemudian disalurkan untuk pembiayaan perlindungan hutan. Program berjalan selama delapan tahun (2009-2020) dengan total dana USD 42,6 juta.

Keempat LSM tersebut adalah Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) yang mempresentasikan program mereka di hutan gambut Rawa Tripa, Yayasan Leuser Internasional (YLI) yang menjelaskan program mereka di Suaka Margasatwa Rawa Singkil, Forum Konservasi Leuser (FKL) yang mempresentasikan kegiatan mereka di Kawasan Ekosistem Leuser dan Conservation Response Unit (CRU) Aceh yang memaparkan program perlindungan gajah di Kawasan Ekosistem Leuser. Setiap lembaga memaparkan apa yang telah mereka laksanakan dalam proyek TFCA, capaian-capaian, tantangan dan rencana program ke depan.

Wakil dari YEL, T. Muhammad Zulfikar dalam pemaparannya menyampaikan pentingnya kawasan gambut Rawa Tripa yang terletak di Nagan Raya dan sebagian Aceh Barat Daya. Hutan ini, yang menjadi habitat Orangutan Sumatera mengalami kerusakan parah akibat dibuka untuk perkebunan kelapa sawit. Karena itu YEL mengadvokasi kawasan gambut ini menjadi kawasan lindung.

“Gambut harus diselamatkan karena sudah banyak yang mengalami perubahan tata guna lahan,”ujarnya. Isu Rawa Tripa sempat menjadi perhatian public pasca gugatan sejumlah LSM terhadap PT Kallista Alam yang dituduh membakar lahan dan membuka kebun illegal. Gugatan ini dimenangkan LSM lingkungan hingga MA, namun sayangnya eksekusi putusan MA tertunda akibat gugatan balik yang dilancarkan oleh PT Kallista Alam. Seluas 1.605 hektar bekas lahan milik perusahaan ini dikembali kepada fungsi semula namun sayangnya akibat pengelolaan yang tidak jelas kini sebagian lahannya jadi ajang perebutan.

Menurut Zulfikar isu gambut sangat penting untuk dibicarakan dan dicarikan solusinya. Apalagi pemerintah Aceh dimasa Gubernur Zaini Abdullah mengeluarkan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) dari Qanun Tata Ruang Aceh. Kementerian LHK sudah memberikan rekomendasi agar KEL dimasukan kembali ke dalam Qanun RTRW Aceh.
Sekitar 13.000 hektar gambut di Rawa Tripa diperjuangkan menjadi kawasan lindung gambut. Sementara masih ada 3000-an hektar lahan gambut di Aceh Jaya yang belum tersentuh program advokasi. “Takutnya jika gambut Aceh Jaya tidak diadvokasi, gambut ini akan hilang sedikit-sedikit akibat perubahan lahan,”kata Zulfikar.

Zulfikar juga menegaskan pentingnya dibentuk badan yang khusus mengurusi masalah lahan gambut di Aceh. Jika di tingkat nasional ada Badan Restorasi Gambut, maka di Aceh perlu bentuk lembaga yang sejenis.

Selain program kehutanan, YEL juga memberikan bantuan kepada masyarakat sekitar hutan Rawa Tripa. Bantuan berupa keterampilan membuat pupuk, pemberian bantuan bibit tanaman dan ikan. Ini dilakukan agar kesejahteraan masyarakat sekitar dapat meningkat.

Sementara itu mewakili dari YLI, Nijar Tarigan menampilkan kegiatan yang mereka lakukan di suaka marga satwa Rawa Singkil. Ia menyebutkan Suaka Margasatwa Rawa Singkil seluas 102.500 ha yang berada di dalam KEL merupakan salah satu hutan rawa gambut yang masih tersisa di dunia yang perlu dipertahankan. Kawasan hutan ini rawan mengalami kerusakan dan membutuhkan perlindungan secara berkelanjutan, juga menjadi habitat banyak mamalia, tumbuhan, burung, spesies ikan dan banyak jenis reptil yang langka dan terancam, serta penting untuk memelihara berbagai jasa-jasa lingkungan.

Tampil mewakili CRU Aceh adalah Wahdi Azmi. Lembaga ini mendapat bantuan dana dari program TFCA spesies untuk khusus menangani gajah. Diantara program CRU Aceh yang menonjol adalah memasang Collar GPS pada gajah untuk mengetahui pergerakan gajah dan membangun barrier gajah dengan memadukan antara artificial barrier (barrier buatan manusia) dengan natural barrier (barrier alami) agar gajah liar tidak masuk pemukiman penduduk yang sering menimbulkan konflik.

Wahdi menyebutkan bahwa habitat gajah di Aceh masih mencukupi karena hutan Aceh masih relative luas. Hal ini berbeda dengan hutan di Sumatera lainnya yang luasnya semakin menyusut. Aceh mempunyai kesempatan yang bagus untuk menjaga kehidupan gajah yang tersebar hampir di seluruh daerah Aceh. Hanya saja gajah Aceh tidak mendiami daerah konservasi sendiri atau suaka marga satwa tapi tinggal dalam hutan-hutan yang pengelolaannya dibawah pemerintah Aceh. CRU Aceh akan memperjuangkan berdirinya suaka margasatwa (sanctuary) yang menjadi tempat berlindung hewan-hewan liar. CRU Aceh sendiri terpisah secara struktural dengan CRU-CRU lain yang berada di bawah BKSDA.

Topografi hutan Aceh yang ekstrim, tebing-tebing hutan yang curam menjadi natural barrier yang bagus bagi gajah. Barrier buatan sendiri tidak akan efektif bila tidak dikelola dengan benar. Perpaduan kedua barrier ini menjadikannya sebagai barrier yang efektif dan efisien. Saat ini terdapat 70-80 ekor gajah kawasan hutan Ulu Masen.

FKL lebih banyak mempresentasikan program patroli mereka dimana mereka sangat sering menemukan jerat hewan liar dan perambahan liar di kawasan KEL. Patroli rutin mereka laksanakan untuk mencegah perburuan hewan liar. Tak kurang dari ribuan jerat berbagai ukuran untuk berbagai macam hewan liat telah berhasil mereka sita. Selama berpatroli mereka ditemani oleh petugas dari BKSDA yang memang secara UU memiliki kewenangan khusus beroperasi dalam kawasan lindung.

Dana Hibah TFCA untuk Aceh
Selama lima siklus dan off cycle program TFCA, banyak lembaga lingkungan yang melaksanakan konservasi di Aceh dengan bantuan dana TFCA. Berikut daftar lembaga yang mendapat pendanaan untuk bekerja di propinsi Aceh:
1. Yayasan Leuser International
Nama Proyek: Pengamanan Kawasan Strategis Aceh Selatan – Singkil bagi Konservasi yang Berbasis Masyarakat Secara Berkelanjutan di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam
Bentang Alam: Taman Nasional Batang Gadis, Ekosistem Leuser dan Taman Nasional Gunung Leuser,
Durasi Hibah: Maret 2011-Januari 2017
Bantuan dana : Rp. 11.181.842.059

2. Yayasan Ekosistem Lestari
Nama proyek : Penyelamatan Ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa-Babahrot Melalui Upaya Penetapan Kawasan Lindung di Luar Kawasan Hutan dan Restorasi dengan Pendekatan Multi Pihak
Bentang Alam: Ekosistem Leuser dan Taman Nasional Gunung Leuser,
Durasi Hibah: Mei 2012-April 2017
Bantuan dana: Rp. 6.548.795.000

3. Konsorsium Jantho Lestari
Nama proyek : Kegiatan Konservasi Hutan Tropis di Cagar Alam Jantho Kabupaten Aceh Besar, Pidie dan sekitarnya untuk Perbaikan Fungsi Kawasan Konservasi, Keanekaragaman Hayati dan Peningkatan Taraf Hidup Masyarakat Sekitar Hutan
Anggota Konsorsium: 1. Yayasan Pemerhati Alam Dunia Hijau Indonesia (PADHI) 2. WWF-Indonesia
Bentang Alam: Hutan Seulawah – Ulu Masen,
Durasi Hibah: Juni 2014 – Mei 2017
Bantuan dana: Rp. 4.620.828.000

4. Konsorsium Suar Galang Keadilan
Nama proyek: Penguatan Kapasitas Penegak Hukum Dalam Penanganan Kasus Kejahatan Terhadap Satwa Liar yang Dilindungi di Aceh
Bentang Alam: Hutan Seulawah – Ulu Masen,
Durasi Hibah: Oktober 2016 – April 2017
Bantuan dana: Rp. 1.000.000.000

5. Konsorsium HAKA
Nama proyek: Konservasi Badak Sumatera Di Kawasan Ekosistem Leuser Melalui Peningkatan Peran Pemerintah Daerah dan Masyarakat Lokal
Anggota Konsorsium: 1. Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HaKA) 2. Forum Konservasi Leuser (FKL) 3. Forum Masyarakat Leuser Aceh Tenggara (FORMALAT)
Bentang Alam: Ekosistem Leuser dan Taman Nasional Gunung Leuser,
Durasi Hibah: November 2015-Oktober 2016
Bantuan dana: Rp. 1.000.000.000

(Sumber: tfcasumatera.org)

 

 

read more
HutanKebijakan Lingkungan

Pemerintah & Masyarakat Tutup Kanal Ilegal di SM Rawa Singkil

Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh bersama Polres Aceh Selatan dan sejumlah LSM melakukan penutupan kanal yang dibangun secara ilegal di Suaka Margasatwa (SM) Rawa Singkil sejak 23-25 Mei 2018. Penutupan ini dilakukan menyusul vonis Pengadilan Negeri (PN) Tapaktuan yang memvonis pelaku perambahan liar Rawa Singkil, Teuku Popon Rizal hukuman penjara 1 bulan 6 hari penjara dengan denda Rp20 juta.

Kanal yang terletak dalam SM Rawa Singkil dan masuk dalam Desa Keude Trumon tersebut ditutup agar hutan gambut kembali berfungsi seperti semula. Field Manager Forum Konservasi Leuser, Istafan menyatakan kanal sepanjang 800 meter dengan lebar 2-3 meter dan memiliki jalan disisi kanan-kirinya sekitar 3-4 meter ditutup agar fungsi hutan kembali seperti semula. “Kanal ditutup agar air dari hutan tidak mengalir keluar hutan. Jadi penutupan membuat air akan dalam posisi tergenang dan perlahan kembali menyebar ke sekitarnya,”ujar Istafan. Pembukaan kanal secara ilegal ini diduga untuk membuka perkebunan pada wilayah yang terlarang.

Penutupan kanal harus dilakukan karena pengadilan telah mengeluarkan vonis untuk terdakwa Teuku Popon Rizal. Teuku Popon ditangkap bersama 2 pekerjanya oleh tim gabungan berdasarkan laporan dari masyarakat sekitar akhir Oktober 2016 bersama dengan alat berat excavator.

Perambahan di Rawa Singkil khususnya di Kabupaten Aceh Selatan, sering dilakukan bukan hanya oleh masyarakat, tetapi juga oleh pengusaha setempat.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) Rahmat Nur Hidayat mendakwa Teuku Popon Rizal dengan Pasal 19 ayat (1) jo Pasal 40 ayat (1) dari UU RI Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUH Pidana. Selain itu Popon Rizal juga dijerat pidana Pasal 33 ayat (1) jo Pasal 40 ayat (1) UU RI Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUH Pidana.

Rawa Singkil ditetapkan sebagai Kawasan Pelesatarian Alam berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 166/Kpts-II/1998 tentang perubahan fungsi dan penunjukkan kawasan Hutan Rawa Singkil yang terletak di Kabupaten Aceh Selatan seluas 102.500 hektare menjadi Kawasan Suaka Alam dengan nama Suaka Margasatwa Rawa Singkil. Selanjutnya Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: 103/MenLHK-II/2015 menetapkan SM Rawa Singkil berkurang kawasannya menjadi 81.338 hektare.[]

 

 

read more