close

REDD

Hutan

Ternyata Hutan Banyak Berikan Nutrisi pada Anak-anak

Kecenderungan pada anak-anak yang tinggal di wilayah Afrika dengan tutupan pohon rapat makanan bergizi yang lebih banyak, menambah kepercayaan akan penelitian yang menunjukkan bahwa hutan memiliki peranan kunci dalam ketahanan pangan, merujuk jurnal baru yang dipublikasikan Perubahan Iklim Global.

Meningkatkan produksi tanaman pangan kaya energi seperti beras, jagung, dan gandum dipandang penting untuk mencapai ketahanan pangan global, tetapi jika mengorbankan hutan justru bisa merusak ketahanan pangan.

“Penelitian kami menunjukkan bahwa anak-anak di Afrika yang tinggal di dalam masyarakat yang dikelilingi tutupan hutan memiliki keragaman makanan lebih tinggi dan mengonsumsi lebih banyak buah serta sayur,” kata Amy Ickowitz, ahli ekonomi Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR). “Di daerah ini, keragaman makanan meningkat seiring tutupan pohon, anak-anak di tempat dengan banyak pepohonan memiliki makanan yang lebih sehat.”

Tantangan yangb Rumit
Secara global, sekitar 870 juta orang tidak memiliki cukup makanan, dan lebih dari dua miliar menderita defisiensi mikronutrisi, atau “kelaparan tersembunyi”, menurut lembaga pangan PBB, sementara ada 1,4 miliar orang obesitas atau kelebihan berat badan. Data PBB memproyeksikan bahwa populasi global akan meningkat dari 7 miliar ke lebih dari 9 miliar pada 2050, memerlukan peningkatan produksi makanan sepadan, dan tentu akan memberikan tekanan lebih terhadap hutan-hutan tropis yang sudah dilanda ekspansi pertanian tak berkelanjutan.

“Ketika pentingnya konsumsi mikronutrien dan keragaman makanan diakui, kebutuhan untuk bergerak meningkatkan area produksi atau hasil tanaman pokok guna mencapai ketahanan pangan menjadi jelas,” kata Ickowitz . Bukti terbaru menunjukkan antara 1980 dan 2000,  95 persen lahan baru untuk pertanian awalnya merupakan lahan yang tertutup oleh hutan, tambahnya.

Dalam penelitian tersebut, para ilmuwan menggunakan analisis regresi untuk menentukan hubungan statistik antara tutupan pohon dan kualitas gizi makanan anak-anak. Mereka memantau data makanan dari survei kesehatan demografis 93.000 anak-anak antara usia 1 dan 5 tahun dari 21 negara Afrika dan mengombinasikannya dengan data tutupan pohon dari Global Land Cover Facility. Regresi ini menemukan korelasi positif yang signifikan secara statistik antara tutupan pohon dan keragaman makanan.

Kesetimbangan Rentan
Para peneliti berusaha menguji hubungan tutupan pohon dengan tiga indikator kunci kualitas makanan yang terhubung ke asupan mikronutrien — keragaman makanan, konsumsi buah dan sayuran, serta konsumsi makanan hewani.

Sepanjang penelitian, ditemukan pengamatan menarik : Konsumsi buah dan sayuran meningkat sampai 45 persen tutupan pohon, kemudian menurun seiring dengan peningkatan tutupan pohon yang lebih tinggi dari itu. Tidak ditemukan hubungan serupa antara tutupan pohon dan konsumsi sumber makanan hewani.

Ada tiga skenario yang dengan itu Ickowitz menduga ada dampak positif tutupan pohon pada gizi.

Pertama, anak-anak yang tinggal di daerah dekat hutan mungkin memiliki akses lebih besar terhadap buah liar, sayuran hijau, lundi, siput dan daging hewan liar — makanan yang bisa memberikan mikronutrisi penting seperti vitamin A, zat besi, dan seng.

Kedua, `rumah tangga yang menanam atau memanen tanaman hutan di lahan mereka memperoleh keuntungan dari peningkatan akses terhadap buah-buahan dan kacang-kacangan dari pohon.

Ketiga, teknik pertanian yang digunakan di banyak area hutan menghasilkan bahan makanan yang lebih bergizi karena melibatkan percampuran mosaik kompleks beragam tanaman, kata Ickowitz.

“Kunci yang mendasari tiga skenario tersebut,” katanya, “adalah kondisi yang mencegah orang di semua tempat memiliki akses sama yang diatur pasar terhadap makanan bergizi. Misalnya, mereka tidak dapat membeli barang di toko lokal karena tidak memiliki uang tunai, atau  mereka tinggal di daerah terpencil dan bergantung pada hasil dari kawasan hutan lokal mereka.”

Meskipun para ilmuwan menemukan bukti yang menghubungkan tutupan pohon dan indikator kualitas makanan, data yang mereka miliki tidak membedakan hutan alam, hutan tanaman, lahan gambut tua, dan agroforestri.

“Kami tidak dapat mencari tahu dari data kami apakah orang yang tinggal di dekat hutan mengumpulkan makanan yang lebih bergizi dari hutan, apakah mereka membudidayakannya di lahan pertanian dan hutan agro, atau kombinasi,” kata Ickowitz.

“Hasil penelitian menunjukkan deforestasi dapat memiliki efek negatif jangka panjang pada gizi, sehingga penting bahwa kita melakukan penelitian lebih lanjut untuk lebih memahami hubungan yang telah kita temukan antara tutupan pohon dan gizi.”

Sumber: cifor

read more
Perubahan Iklim

Tak Punya ‘One Map’, Izin Lahan di Indonesia Tumpang Tindih

Secara karikatif dikatakan Indonesia memiliki sekitar 15 lembaga pemberi izin penggunaan lahan yang menggunakan peta yang berbeda-beda. Alhasil konsesi yang diberikan menjadi tumpang tindih. Hal ini dikatakan oleh mantan penyusun strategi Nasional REDD+, DR. Mubariq Ahmad dalam Lokakarya Meliput Perubahan Iklim, di Banda Aceh, Selasa (28/1/2014).

Mubariq Ahmad memberi contoh apa yang terjadi Kabupaten Morowali, di Propinsi Sulawesi Tengah. Pemerintah Kabupaten Morowali memberikan konsesi tambang nikel yang luasnya melebihi luas kabupatennya. “ Jadi satu peta saja sudah di abuse  oleh mereka,” ujar Mubariq.

Kewajiban penggunaan satu peta (one map) yang sama sebagai acuan dalam pemberian izin pemakaian lahan tidak ada di Indonesia. One map masih dalam pengerjaan, belum selesai dibuat pemerintah dan sistem baru penggunaan lahan pun belum ada. “ Makanya moratorium (izin lahan-red) diperpanjang selama dua tahun,” kata Mubariq.

Selain tanpa one map, tidak ada kewajiban cross check ke lapangan bagi lembaga pemberi izin lahan. Tak pelak lagi akhirnya terjadi tumpang tindih lahan di lapangan. Mubariq secara karikatif mengansumsikan mulai dari tingkat kabupaten hingga pemerintah pusat ada 15 lembaga pemberi izin. “ Kita asumsikan saja mulai dari kabupaten ada lima lembaga berbeda yang mengeluarkan izin untuk tiap sektor, kemudian hal sama di tingkat propinsi dan seterusnya hingga pemerintah pusat,” jelas Mubariq.

Ketika ditanyakan kenapa tidak memakai peta yang dikeluarkan oleh lembaga resmi seperti Badan Informasi Geospasial (dulu Bakorsutanal-red), Mubariq menjawab bahwa konsolidasi informasi pada satu lembaga susah. “ Ada kepentingan ekonomi yang terganggu. Ini the most extreme case. Informasi is power, power is money,” katanya.

Prioritas REDD+

Mubariq juga menyampaikan bahwa Propinsi Aceh bersama Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur mendapat prioritas dalam pelaksanaan REDD+. Yang dimaksud prioritas disini adalah dukungan implementasi REDD+ dari pemerintah pusat melalui dukungan pendanaan secara konkrit.

“ Kaltim paling siap secara teknis, Aceh diharapkan menjadi pelopor dalam REDD+,” kata Mubariq.
Dukungan pendanaan untuk implementasi secara programatik melalui program penataan perizinan dan percepatan pengukuhan kawasan hutan. Kesiapan dan proaktif dari daerah prioritas sangat diharapkan.

Mubariq mengatakan, bekas Kepala BRR Aceh-Nias yang kini menjadi Ketua UKP4, Kuntoro punya perhatian khusus pada Aceh. Aceh sendiri merupakan propinsi “Darling donor”. Peluang ini bisa dimanfaatkan untuk perbaikan tata kelola hutan.

Saat ini telah dibentuk Badan Pelaksana REDD+ yang setingkat menteri, dikepalai oleh Heru Prasetyo. Ia juga merupakan salah seorang staf Kuntoro di BRR Aceh-Nias.

read more
Perubahan Iklim

Heru Prasetyo Pimpin Badan REDD+

Setelah lebih dari tiga bulan terbentuk, akhirnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, menunjuk Heru Prasetyo, sebagai Ketua Badan Pengelola REDD+ lewat Kepres tertanggal 12 Desember 2013. Saat ini, Heru menjabat deputi I UKP4. Sejak 2010,  dia aktif menjadi sekretaris dan anggota Satgas REDD+.

Heru pernah memiliki peran penting dalam mengelola dana bantuan asing saat menjabat sebagai direktur Hubungan Internasional Badan Pelaksana Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias 2005-2009. Tingkat efektivitas penyerapan BRR diakui dunia dengan hasil melebihi ekspektasi.

Dia memiliki pengalaman sektor swasta yang luas, saat bekerja sebagai konsultan selama lebih 15 tahun, dan menjabat sebagai Country Managing Director Accenture untuk Indonesia pada periode 1974-2002.

Kini, menjabat kepala Badan REDD+, dia bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Dia mempunyai tugas membantu Presiden dalam tugas koordinasi, sinkronisasi, perencanaan, fasilitasi, pengelolaan, pemantauan, pengawasan serta pengendalian REDD+ di Indonesia. Badan REDD+ ini,  mengemban tugas menurunkan laju deforestasi dan memperbaharui tata kelola serta transparansi pengelolaan sumber daya alam di Indonesia.

Heru Prasetyo, mengatakan, Badan REDD+ bertujuan memperjelas kedudukan dan pelaksanaan pemanfaatan dan kepemilikan hutan. Badan REDD+, katanya, harus segera bergerak maju dengan kecepatan penuh demi kepentingan Indonesia dan seluruh bumi.

Dia berharap, dengan ada badan ini, Indonesia jauh lebih baik  mengendalikan emisi karbon dari pemanfaatan lahan. “Dengan menyusun dan mempraktikan sistem yang mampu mengukur dan melaporkan pengurangan emisi secara akurat dan dapat diverifikasi. Jadi, kita dapat mengatakan telah menurunkan emisi dan menyelamatkan hutan dan lahan gambut,” katanya, dalam rilis kepada media di Jakarta, Jumat (20/12/13).

Persiapan pembentukan Badan Pengelola REDD+ melibatkan sedikitnya 18 kementerian dan lembaga serta 11 pemerintah provinsi dan kabupaten. Badan ini merupakan komponen kunci dalam mengawali fase kedua dari surat niat yang ditandatangani Pemerintah Indonesia dan Norwegia.

Fase pertama kerjasama Indonesia dan Norwegia ini untuk mempersiapkan kelembagaan REDD+ di Indonesia. Termasuk, seluruh instrumen dan kapasitas bagi kelembagaan ini dalam menjalankan berbagai inisiatif REDD+. Kegiatan fase pertama dilaksanakan Satgas REDD+ yang menghasilkan antara lain, strategi nasional, dan instrumen pendanaan dan komponen pengukuran, pelaporan dan verifikasi (MRV).

Kementerian Lingkungan Norwegia menyambut baik penunjukan Heru Prasetyo menjadi kepala Badan REDD+. Dari pernyataan resmi yang dikirim Kedutaan Norwegia di Indonesia, menyebutkan, langkah ini merupakan gerakan bersejarah dari Pemerintah Indonesia yang akan menyelamatkan hutan tropis ketiga terbesar dunia.

Penunjukan Heru ini, merupakan kemajuan penting bagi Indonesia, dalam kebijakan kehutanan, dan menunjukkan komitmen untuk transparan, dan menerapkan pendekatan keberlanjutan dalam melestarian hutan negeri ini.

Kini, Indonesia memiliki peralatan lengkap untuk mengambil tempat sebagai pemimpin global dalam perlindungan alam, dan hutan tropis, yang berperan penting dalam perang melawan perubahan iklim.

Penunjukan ini juga kemajuan dari perjanjian deforestasi global yang didorong pada menit-menit terakhir dalam pembahasan perubahan iklim global di Warsawa, Polandia, November 2013. Terobosan REDD+ ini, membuka jalan bagi negara-negara maju buat menyalurkan miliaran dolar dana perlindungan hutan ke Indonesia, Kongo, dan negara-negara berkembang lain yang memiliki hutan tropis.

RI Siap Jalankan REDD+
Kuntoro Mangkusubroto, Kepala UKP4 mengatakan, Indonesia siap menerapkan REDD+. Tantangan kepala badan ini, adalah mendorong reformasi ke arah kerjasama lintas sektoral. “Ini untuk menjawab tantangan besar menurunkan emisi gas rumah kaca Indonesia dengan paradigma pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.”

Menurut dia, tantangan dunia saat ini mengurangi emisi gas rumah kaca dan deforestasi. “Kalau kita berbicara soal memerangi emisi gas rumah kaca, sektor utama kehutanan.”

Komitmen yang dicanangkan SBY, yang melandasi perubahan arah ekonomi Indonesia menjadi pembangunan ekonomi hijau. “Ini bukan basa-basi. Seluruh cara berpikir harus dibuat sedemikian rupa hingga mencapai apa yang kita harapkan,”  ucap Kuntoro.

Untuk itu, kerjasama dengan semua pihak diharapkan termasuk penguatan hak-hak masyarakat adat. Pada level provinsi,  Satgas REDD+ sudah melakukan pembanguan kapasistas. Kalimantan Tengah (Kalteng) dipilih sebagai provinsi percontohan. Kalteng juga provinsi  pertama yang memulai proses pengakuan wilayah adat  melalui perda. “Ini sesuatu yang sangat penting. Ini sekaligus  melingkupi berbagai aspek legal untuk mewadahi hak-hak masyarakat adat.”

Zulkifli Hasan, Menteri Kehutanan, dalam pertemuan para pihak terkait Badan REDD+ di Jakarta, Kamis (19/12/13) mengatakan, Badan REDD+ ini memang dibentuk terpisah dan mandiri, terutama MRV dan keuangan.  “Jadi sangat penting lembaga dipercaya atau tidak. Kami dari Kementerian Kehutanan dari awal memonitoring dan verifikasi termasuk dana. Bersyukur lahir badan REDD+ dan sudah ada kepala,” katanya.

Dengan ada Badan REDD+, Kemenhut merasa diperkuat secara kelembagaan, baik yang melakukan pengawasan dan penegakan hukum.  Menurut Zulkifli, penyusunan Badan REDD+ ini sangat sulit karena ada berbagai kepentingan. Namun, berkat bantuan UKP4 dan negosiasi apik akhirnya persiapan REDD+ selesai. REDD+ dapat memperkuat skema Kemenhut yang selama ini masih mengalami berbagai kendala.

William Sabandar dari Tim Khusus REDD+ mengatakan,  Satgas REDD+ telah bekerja selama tiga tahun yang diakhiri persiapan REDD+ memasuki fase pelaksanaan.

Selama menjalankan tugas, Satgas REDD+  telah menghasilkan banyak kegiatan antara lain, 387 dokumen dalam berbagai bentuk. Program-program yang dihasilkan dapat dikategorikan empat kelompok utama. Pertama, kelompok kelembagaan dan sistem, telah dihasilkan tiga produk utama,  lembaga REDD+, instrumen pendanaan dan MRV.

Kedua, strategi dan perencanaan, yang menghasilkan strategi  nasional REDD+ didukung rencana aksi  nasional REDD+ dan rencana aksi daerah yang dihasilkan 11 provinsi berhutan di Indonesia.  Ketiga, pelaksanaan taktis, misal pelaksanaan provinsi percontohan selama  2,5 tahun di Kalteng.  Lalu, berbagai kegiatan perencanaan, penyiapan kelembagaan sampai dengan percontohan di Kabupaten Pulang Pisau, Kapuas, dan Barito Selatan.

Keempat, strategi pendukung. Database yang dihasilkan bisa diakses oleh publik secara terbuka dan dilengkapi sejumlah website. Pada kesempatan itu, ditandatangani nota kesepahaman sebagai upaya meletakkan dasar-dasar pelaksanaan REDD+ dan disusul semua provinsi.  Kali ini dimulai dengan tiga provinsi, yaitu Kalteng,  Jambi dan Kalimantan Timur.

Sumber: mongabay.co.id

read more
Kebijakan Lingkungan

Kuntoro Apresiasi Sambutan Luar Biasa Sukseskan REDD+

Kepala Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) Kuntoro Mangkusubroto, hari Kamis di Jakarta mengapresiasi respon luar biasa dari berbagai pihak serta kembali mengingatkan semua pihak untuk mengubah cara pandang pembangunan ke arah yang pro lingkungan.

“Kerjasama semua pihak sangat diperlukan. Saya berterimakasih atas segala respon yang telah ditunjukkan oleh berbagai pihak termasuk masyarakat adat, pemerintah-pemerintah provinsi mitra REDD+ serta kelompok korporasi,” kata Kuntoro dalam pidato kuncinya di hadapan lebih dari 400 orang yang hadir dalam pertemuan dengan para pemangku kepentingan pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation/REDD+) di Jakarta pada hari Kamis (19/12).

Peserta yang hadir datang dari berbagai kalangan termasuk dari pemerintahan daerah, organisasi masyarakat sipil, akademia serta perwakilan negara-negara sahabat.

UKP4 menggelar pertemuan dengan para pemangku kepentingan REDD+ di Jakarta dan menyerahterimakan semua hasil pekerjaan Satuan Tugas Persiapan Kelembagaan REDD+ (Satgas REDD+). Pertemuan ini juga dirancang untuk memberikan informasi terkini dan peluang kepada semua pihak untuk bertemu dan bertukar informasi tentang kemajuan dan arahan kebijakan dan rencana aksi REDD+.

“Seluruh cara berpikir kita harus berubah. Empat jalur pembangunan ekonomi kita, salah satunya adalah pro lingkungan. Ini bukan basa basi, itu masuk ke dalam mainstream pembangunan kita,” tambah Kuntoro. Indonesia dinilai cukup berhasil setelah melakukan terobosan berarti dalam menurunkan tingkat kemiskinan melalui empat jalur strategi (four track strategy) pembangunan ekonomi dalam pengurangan pengangguran dan pengetasan kemiskinan.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membentuk Badan Pengelola REDD+ akhir Agustus 2013 lalu. Badan ini mempunyai tugas untuk membantu Presiden melaksanakan tugas koordinasi, sinkronisasi, perencanaan, fasilitasi, pengelolaan, pemantauan, pengawasan, serta pengendalian REDD+ di Indonesia. Persiapan beroperasinya Badan ini telah dilaksanakan oleh Satgas REDD+ termasuk sebuah strategi nasional; instrumen pendanaan; serta komponen pengukuran, pelaporan, dan verifikasi (MRV).

Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan menyatakan bahwa kementeriannya siap untuk melaksanakan kebijakan untuk mendukung REDD+. “Kita merasa sangat senang dengan hadirnya Badan REDD+ ini dan siap melaksanakannya di lapangan. MRV dan pendanaannya dilaksanakan oleh Badan REDD+ agar kredibel dan akuntabel.”[rel]

read more
Kebijakan Lingkungan

UKP4: Indonesia Masuki Babak Baru Pelaksanaan REDD+

Kepala Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) Kuntoro Mangkusubroto, hari Selasa (17/12/2013) di Jakarta meyakinkan kembali bahwa Indonesia siap melaksanakan komitmen Presiden untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan.

Pada 19 Desember 2013, UKP4 akan mengadakan pertemuan dengan para pemangku kepentingan REDD+ dan menyerahterimakan semua hasil pekerjaan Satuan Tugas Persiapan Kelembagaan REDD+ (Satgas REDD+) termasuk pekerjaan yang sedang berjalan dan dalam perencanaan.

Pertemuan ini, yang digelar pada Kamis (19/12/2013), dirancang untuk memberikan informasi terkini dan peluang kepada semua pihak dari setiap elemen pemangku kepentingan REDD+ dan peminat isu ini, untuk bertemu dan bertukar informasi tentang kemajuan dan arahan kebijakan dan rencana aksi REDD+.

“Indonesia saat ini on track dalam usaha mencapai target penurunan emisi. Pertemuan ini bertujuan untuk melaporkan kemajuan dan tantangannya. Semua pihak harus berkoalisi untuk menghentikan perusakan hutan dan penurunan emisi.” ujar Kuntoro.

Komitmen Indonesia secara sukarela untuk mengurangi emisi gas rumah kaca pada tahun 2020 sebesar 26% atau sampai dengan 41% dengan bantuan internasional mendapat dukungan dari berbagai pihak termasuk dunia internasional. Langkah berani ini adalah bentuk kepemimpinan Indonesia dalam memerangi dampak buruk perubahan iklim dan menyejahterakan masyarakat Indonesia terutama yang secara langsung kehidupannya bergantung pada sumber daya alam.

Sebuah badan khusus yang bertugas mengelola kegiatan reduksi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD+) yang bertanggung jawab kepada Presiden telah dibentuk akhir Agustus lalu. Persiapan beroperasinya Badan ini telah dilaksanakan oleh Satgas REDD+ termasuk sebuah strategi nasional; instrumen pendanaan; serta komponen pengukuran, pelaporan, dan verifikasi (MRV).

Peserta pertemuan tersebut mencakup pemangku kepentingan dari latar belakang yang beragam, sektor dan kepentingan, termasuk para pemimpin politik, anggota kabinet, DPR, DPRD Provinsi, para perwakilan negara sahabat dan pejabat diplomat senior serta pejabat kerja sama pembangunan. Pertemuan ini juga melibatkan masyarakat sipil, media massa, akademisi, dan sektor swasta termasuk asosiasi bisnis. Peserta juga termasuk pejabat dari tingkat pusat dan daerah yang memiliki wewenang dan tanggung jawab yang terkait dengan berbagai bagian dari agenda kebijakan REDD+.

Dalam pertemuan ini juga akan diselenggarakan sesi interaktif dengan bentuk bazaar tematis. Sesi ini akan memberikan kesempatan diskusi tatap muka antara berbagai pihak dan kelompok kepentingan.[rel]

read more
Hutan

Laporan UNDP: Aceh Peringkat Terbawah Indeks Tata Kelola Hutan

United Nations Development Programme (UNDP) bekerja sama dengan Kementerian Kehutanan, UKP4/Satgas REDD+ dan Bappenas, Senin (2/12/2013) mempresentasikan laporan Indek Tata Kelola Hutan, Lahan dan REDD+ 2012 di Indonesia di Banda Aceh. Ada sepuluh propinsi yang dinilai indeksnya, Aceh menduduki peringkat terbawah.

covre indeksAnggota tim penyusun laporan yang hadir dalam presentasi tersebut, Dr. Abdul Wahib Situmorang (UNDP), Purwadi Soeprihanto S.Hut, ME (Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia) dan Dr. Sunaryo (staf ahli Menteri Kehutanan). Acara ini dihadiri oleh para aktivis lingkungan dan sejumlah awak media.

Abdul Wahib mempresentasikan laporan yang bertitel “ Penilaian Tata Kelola yang Partisipatif (Participatory Governance Assessment/PGA)” yang memaparkan beberapa temuan tata kelola kehutanan di Aceh. Dari skala 1-5 (makin besar makin bagus-red) Aceh mendapat indeks 2,07. Sementara sembilan propinsi lain Riau (2,28), Jambi (2,38), Sumatera Selatan (2,19), Kalimantan Barat (2,73), Kalimantan Tengah (2,64), Kalimantan Timur (2,42), Sulawesi Tengah (2,52), Papua Barat (2,29) dan Papua (2,41).

Selain tingkat propinsi, untuk Aceh juga diukur indeks tingkat kabupaten yaitu Kabupaten Aceh Barat (1,52) dan Aceh Tenggara (1,85). “Dari hasil pemetaan dengan scorecard tidak ada satupun komponen penilaian di Aceh yang mendapat kategori warna hijau (bagus-red). Sebagian besar masuk warna kuning (sedang-red), bahkan warna merah terutama pada tingkat kabupaten,” jelas Abdul Wahib.

Berdasarkan hasil penilaian ini, indeks Propinsi Aceh dan dua kabupatennya, lebih rendah dari indeks rata-rata nasional yaitu 2,33.

PGA mempergunakan 117 indikator untuk menilai kondisi tata kelola hutan, lahan dan REDD+ 2012. Kesemua indikator ini ditelaah melalui tiga komponen yaitu kerangka hukum dan kebijakan, kapasitas para aktor (pemerintah, CSO, masyarakat adat/lokal dan pebisnis) dan kinerja. Ada enam isu tata kelola hutan dan prinsip tata kelola diidentifikasi dan menjadi prioritas dalam penilaian indeks ini. Keenam isu tersebut adalah perencanaan ruang dan hutan, pengaturan hak, pengorganisasian hutan, pengelolaan hutan dan kontrol dan penegakan hukum serta kesiapan infrastruktur REDD+.

“Saat presentasi laporan ini dihadapan Pemerintah Aceh, Kadishutbun bertanya Aceh memiliki hutan yang luas, sekitar 60% dari wilayahnya, tapi kenapa kok indeksnya rendah. Saya menjawabnya bahwa pengukuran ini bukan berdasarkan output (hutan) saja. Ini bukan soal hutan bagus atau tidak tetapi ini merupakan agregat dari beberapa indikator. Komponen kinerjanya masih rendah begitu juga kapasitas pemerintah dan pebisninsnya,” jelas Dr. Sunaryo.

Total luas hutan Aceh sesuai SK Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan 170/Kpts-II/2000 tahun 2000 adalah 3.549.813 Ha. Ini menempatkan Aceh diperingkat 12 propinsi yang memiliki kawasan hutan di Indonesia.

Sementara yang menggembirakan, dari penilaian komponen kapasitas aktor, diperoleh indeks kapasitas masyarakat sipil (CSO) yang mencapai 2,75. Laporan menyebutkan kelompok masyarakat sipil cukup aktif memberikan masukan pada perencanaan wilayah dan kehutanan yang cukup memadai. Beberapa kelompok masyarakat yang cukup aktif tersebut antara lain Walhi Aceh, WWF, Jaringan Komunitas Masyarakat Adat (JKMA), Institute Green Aceh, Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) dan Masyarakat Transparansi Anggaran (MaTA).

Indeks Sebagai Baseline
Jadi apa manfaat pengukuran indeks ini? “ Indeks ini menjadi kerangka acuan, baseline data, sehingga bisa dipantau bersama bagaimana kemajuannya dimasa depan,” jawab Abdul Wahib. Selain itu indeks tata kelola hutan bisa menjadi rujukan dalam penyusunan rencana pembangunan daerah.

Pada Minggu malam (1/12/2013) tim sudah berjumpa dengan tokoh Aceh, Mentroe Malik di Banda Aceh. Dalam pertemuan tersebut, Mentroe Malik mengatakan hasil studi ini penting dan ia berjanji akan mengkomuniskasikan laporan UNDP tersebut kepada pihak terkait. Ini disampaikan oleh Dr. Sunaryo kepada peserta pemaparan.

Dr. Sunaryo menambahkan hasil studi ini bisa masuk ke dalam revisi tata ruang nantinya. “ Harus ada redesain ulang tata kelola hutan Aceh sesuai dengan Undang-undang pemerintah Aceh,” katanya.

Posisi studi yang menghasilkan indeks ini adalah baseline yang nanti akan terus dipantau perkembangannya di masa mendatang. Studi ini memberikan informasi agar tata kelola hutan bisa ditingkatkan. Seluruh stakeholder diharapkan berpartisipasi dalam mengelola hutan.

Laporan juga membeberkan kelemahan-kelemahan dalam pengelolaan hutan. “Bukan hanya kondisi hutan, tetapi juga infrastruktur kehutanan,” kata Purwadi Soeprihanto. Laporan ini dapat dianggap sebagai prakondisi, dimana diharapkan jika prakondisi bagus maka outputnya (hutannya) bagus juga.

Selain itu, Dr. Sunaryo meluruskan pendapat bahwa REDD+ merupakan proyek. “ REDD bukanlah proyek, tetapi merupakan insentif yang diberikan kepada pemerintah pusat dan propinsi yang menjaga hutannya atau mengurangi emisi, “ katanya. Nanti akan ada sharing benefit antara berbagai stakeholder.

Insentif diberikan setelah tata cara pemberiannya disusun dengan jelas. Sampai hari ini, menurut Dr. Sunaryo, tata cara pemberian insentif di Indonesia belum jelas. “ Jadi belum ada pembayaran REDD di Indonesia, yang ada baru komitmen dari negara maju. Insentif akan diberikan tahun 2015, saat ini kita baru menyiapkan pra kondisi. Jika tidak punya baseline maka kita tidak bisa mengklaim dana insentif tersebut,” jelasnya.[m.nizar abdurrani]

read more
Kebijakan Lingkungan

Indonesia Komitmen Lakukan Pembangunan Rendah Emisi

Low Emission Capacity Buidling (LECB) program Indonesia, hari Senin mengadakan sesi pemaparan mengenai perspektif praktis tentang proses transisi Indonesia menuju Ekonomi Hijau yang dibawakan oleh Pavan Sukhdev, seorang pakar dunia Ekonomi Hijau. Kuliah Umum ini digelar di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Senin (2/12/2013).

Ekonomi hijau adalah strategi logis untuk menyelaraskan target pemerintah Indonesia untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 26% pada tahun 2020 dengan upaya sendiri, dan sampai 41% dengan bantuan internasional, pada tahun 2020 relatif atas skenario business as usual, dengan tetap mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 7%.

Dengan mengadopsi jalur pembangunan hijau dengan melibatkan masyarakat untuk mengembangkan sumber-sumber penghidupan yang serasi dengan alam, Indonesia memiliki kesempatan besar untuk menggunakan jasa lingkungan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

“Barang dan jasa alam adalah barang dan jasa publik … bila kita gagal dalam mengelola barang publik, yang paling rentan akan menderita kerugiannya adalah masyarakat miskin,” kata Pavan dalam kuliahnya. “Penghitungan nilai ekosistem adalah komponen penting untuk pendapatan atau PDB bagi masyarakat miskin.”

Dalam kunjungannya di Indonesia, Pavan Sukhdev memberikan serangkaian kuliah umum dan pelatihan sebagai bagian dari kegiatan pengembangan kapasitas terkait pemahaman tentang transisi menuju Ekonomi Hijau. Indonesia, bersama 25 negara lain di dunia berkolaborasi dalam program Low Emission Capacity Builiding (LECB) yang diluncurkan secara global pada bulan Januari 2011 sebagai bagian dari kolaborasi antara Uni Eropa dan UNDP.

Pavan menghargai langkah yang diambil Indonesia dalam memulai insiatif-inisiatif rendah emisi. “Dibandingkan beberapa negara lain yang telah saya kunjungi, Indonesia beruntung karena para pemimpinnya sadar akan pentingnya ekonomi hijau.”

Pengembangan kapasitas emisi rendah adalah bagian dari komitmen Indonesia untuk pembangunan berkelanjutan. Komitmen ini telah diterjemahkan ke dalam Rencana Aksi Nasional yang menyeluruh yang dikenal sebagai RAN-GRK (PP No. 61 Tahun 2011). Indonesia juga aktif terlibat dalam inisiatif global REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation).[rel]

read more
Hutan

Mendefinisikan Hutan Demi Meningkatkan Pemantauan REDD

Jika para pembuat kebijakan gagal mempertimbangkan secara hati-hati bagaimana mereka mendefinisikan hutan, mereka mengambil risiko mengorbankan potensi keberhasilan program REDD+ yang didukung PBB, yang bertujuan untuk menurunkan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, kata para ilmuwan.

Suatu studi kasus baru-baru ini di Indonesia menemukan bahwa  tantangan seperti menentukan perkebunan eukaliptus dan jati sebagai “hutan” dapat memiliki dampak signifikan terhadap bagaimana emisi karbon dari deforestasi dan degradasi diukur dan dilaporkan, dan bagaimana penyebab deforestasi dikaji, demikian menurut sebuah kajian.

“Definisi  menetapkan parameter yang dengan itu Anda menghimpun informasi mengenai hutan Anda di masa lalu, sekarang, dan masa datang, yang memungkinkan Anda mendesain skema REDD+ yang lebih efektif,” kata Louis Verchot, Direktur Penelitian Hutan dan Lingkungan pada Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR), yang juga ilmuwan sekaligus penulis pembantu laporan baru.

“Jika definisi ini tidak jelas dan konsisten maka Anda akan mendasarkan penilaian keberhasilan Anda pada data yang tidak akurat. Anda mungkin berpikir mengalami dampak yang lebih besar dari yang sebenarnya.”

Penelitian tersebut, meninjau data sejarah deforestasi di seluruh kepulauan Indonesia dari 2000 sampai dengan 2009, menemukan bahwa tingkat deforestasi 28 persen lebih tinggi – 1,35 juta hektare lebih – bila menggunakan definisi nasional dibandingkan dengan definisi internasional, atau menggunakan definisi yang hanya mengakui hutan non-perkebunan.

Indonesia adalah salah satu penghasil emisi gas rumah kaca terkemuka dunia — 85 persen di antaranya berasal dari konversi dan deforestasi lahan. Memilih definisi hutan yang tidak sesuai  dengan kondisi nasional dapat menyebabkan meluasnya area deforestasi yang dikecualikan oleh skema REDD+ dan tambahan 200 juta ton karbon yang dipompa ke atmosfer, ungkap laporan tersebut. Emisi ini harus diperhitungkan jika Indonesia ingin memenuhi janjinya untuk mengurangi gas rumah kaca secara keseluruhan sebesar 26 persen pada 2020 dan untuk keberhasilan 44 proyek REDD+ yang saat ini sedang berjalan.

Studi kasus di Indonesia memberikan pelajaran penting bagi negara-negara lain yang berpartisipasi dalam program REDD+, khususnya kebutuhan untuk secara akurat memonitor dan melaporkan emisi karbon dan tingkat deforestasi mereka.

Data yang dikumpulkan menggunakan citra satelit dan daftar persediaan karbon dipakai untuk menentukan referensi emisi pada tingkat nasional (REL) — patokan untuk mengukur keberhasilan tindakan REDD+ dan dasar untuk menghitung pembayaran kompensasi.

Dengan demikian, kegagalan dalam mengupas semua sumber utama deforestasi secara komprehensf karena kesulitan mendefinisikan hutan dapat mempengaruhi legitimasi skema, kata Verchot, dan itulah sebabnya mengapa pemerintah harus memilih dengan bijak.

“REDD+ memiliki insentif keuangan, sehingga pembuat kebijakan harus sadar ketika mengirimkan definisi kepada Konvensi Kerangka Kerja tentang Perubahan Iklim [UNFCCC] PBB bahwa mereka akurat dan menjaga cermat,” katanya menambahkan.

Perbedaan dalam Mendefinisikan Hutan 
Meskipun Panel Internasional tentang Perubahan Iklim (IPCC) merekomendasikan agar negara-negara melaporkan hilangnya tutupan hutan dan emisi gas rumah kaca menggunakan definisi yang diakui secara internasional, seperti definisi Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), tidak ada kesepakatan global mengenai definisi “deforestasi” dan “degradasi” dalam UNFCCC sendiri. Definisi tersebut berbeda-beda di setiap negara, bahkan di tingkat provinsi dan daerah dalam suatu negara.

Di Indonesia, sebagian besar definisi ditentukan oleh Kementerian Kehutanan (MOF) dan perkebunan (hutan tanaman tunggal, seringnya spesies non-pribumi) dianggap sebagai bagian dari domain hutan nasional.

Ini berarti bahwa di bawah Kementerian Kehutanan saat ini, perkebunan jati dan eukaliptus diklasifikasikan sebagai “hutan”, yang bisa memiliki implikasi emisi yang besar, kata Verchot.

Meskipun hutan tanaman memang menyimpan karbon, mereka berkontribusi terhadap pengurangan emisi bila ditanam di lahan kritis dengan kepadatan karbon yang rendah pada awalnya, kata dia menambahkan, sehingga sejarah tanah yang akan ditanami harus dipertimbangkan.

“Beberapa yang tidak masuk ke dalam definisi terbaru adalah hutan tanaman yang menggantikan hutan alam, seperti rawa gambut, yang melepaskan sejumlah besar emisi ke atmosfer,” katanya. “UNFCCC sangat spesifik bahwa emisi dari konversi hutan alam menjadi hutan tanaman harus dipertimbangkan dalam skema REDD+ nasional.”

Dengan pemikiran ini, ilmuwan CIFOR memutuskan untuk kembali memeriksa data sejarah deforestasi di seluruh kepulauan Indonesia untuk mengungkap sejauh mana definisi FAO, definisi “hutan alam” yang mengecualikan hutan tanaman, dan Departemen Kehutanan akan berdampak pada penilaian laju deforestasi dan penyebab deforestasi.

Studi ini menemukan bahwa antara 2000 dan 2009, laju deforestasi seluas 4,9 juta hektare terjadi saat menggunakan definisi FAO, 5,8 juta hektare saat menggunakan definisi “hutan alam” (18 persen lebih tinggi), dan 6,8 juta hektare saat menggunakan definisi MOF (28 persen lebih tinggi).

Pemilihan definisi menyebabkan hasil yang sangat berbeda
Sebagai contoh, di bawah definisi internasional FAO, semak  belukar dianggap hutan sekunder, berdasarkan tutupan dan tinggi kanopi. Ini berarti bahwa di Kalimantan dan Sulawesi, antara 2003 dan 2006, sebagian besar kawasan hutan sekunder yang dikonversi ke semak belukar tidak dihitung sebagai “deforestasi” berdasarkan definisi FAO.

Oleh karena itu, laju deforestasi dua kali lebih tinggi untuk definisi hutan alam Kementerian Kehutanan daripada definisi hutan alam FAO di daerah-daerah ini.

Bahkan, lebih dari setengah total luas area yang terdeforestasi di Indonesia pada 2000-2009 disebabkan oleh konversi hutan sekunder ke semak belukar berdasarkan definisi hutan nasional dan hutan alam, yang tidak diakui oleh definisi FAO.

Baik definisi menurut FAO maupun Kementerian Kehutanan tidak membeda-bedakan perkebunan dan hutan alam. Ini berarti bahwa ketika lebih dari 130.000 hektare lahan gambut, hutan bakau, dan hutan dataran tinggi dikonversi menjadi hutan tanaman di Sumatera pada 2006-2009, mereka diakui sebagai digunduli hanya dengan definisi hutan “alam”.

Tanpa membedakan antara hutan alam dan hutan tanaman, data sering bisa menyesatkan, kata Verchot. Dia menunjuk ke lonjakan dalam laju “deforestasi” di Jawa antara 2003 dan 2006 di mana kedua definisi Kementerian Kehutanan dan FAO mengakui konversi 650.000 hektare perkebunan hutan menjadi lahan pertanian sebagai “deforestasi”, sedangkan definisi alami tidak.

Sementara pentingnya definisi hutan alam semakin diakui oleh LSM, organisasi penelitian, dan dalam perundingan-perundingan REDD+ UNFCCC, Verchot dengan cepat menyebutkan bahwa pilihan definisi terletak di tangan para pembuat kebijakan di Indonesia.

Namun, ada beberapa pelajaran yang bisa diambil.

Pertama, Verchot mengatakan, definisi internasional yang tidak sesuai dengan keadaan nasional dapat menyebabkan deforestasi yang signifikan.

Kedua, kata dia, “Bagaimana Anda mendefinisikan hutan sangat mempengaruhi apa yang Anda nilai sebagai penyebab deforestasi dan apa yang Anda lakukan mengenai hal itu. Jika definisi Anda tidak mengurangi porsi deforestasi secara signifikan, kebijakan untuk mengurangi deforestasi mungkin melewatkan bagian besar dari masalah dan tidak efektif.”

Sumber: cifor

read more
1 2
Page 2 of 2