close

October 2013

Energi

Konservasi Penting untuk Pengembangan Energi Terbarukan

Konservasi hutan dan lingkungan penting untuk pengembangan energi terbarukan. Tanpa sumber daya alam yang mendukung, pengembangan energi terbarukan sendiri akan menemui hambatan.

Fabby Tumiwa, Direktur Institute for Essential Services Reform (IESR), dalam diskusi “Quo Vadis Kebijakan Energi Nasional”, Selasa (16/4/2013) di Jakarta, mengungkapkan, “Kalau permasalahan lingkungan tidak diatasi, sumber daya alam yang mendukung energi terbarukan tidak ada.”

Fabby mencontohkan upaya pemerintah mengembangkan energi panas bumi. Pengembangan panas bumi membutuhkan tangkapan air. Namun, upaya konservasi air masih minim. Aktivitas tambang misalnya, dibiarkan walaupun merusak sumber daya air.

“Di sini letak tidak konsistennya pemerintah. Pemerintah punya target 6000 MW tahun 2020 dari panas Bumi. Tetapi daerah tangkapan air yang begruna untuk panas bumi tidak dipelihara,” ungkap Fabby.

Menurut Fabby, masih banyak pekerjaan rumah yang harus dibenahi. Ia mengungkapkan, masalah konservasi air misalnya, tidak hanya terkait dengan pengembangan panas bumi, tetapi juga energi terbarukan lain seperti biomassa.

Saat ini, Kebijakan Energi Nasional yang disusun oleh Dewan Energi Nasional tengah dibahas di Kelompok Kerja di Komisi VIII DPR. Kebijakan akan dituangkan menjadi Peraturan Pemerintah yang sangat menentukan pemenuhan energi di masa depan.

Faby menuturkan, ada target cukup ambisius dalam pemakaian energi terbarukan dalam draft. Pada tahun 2025, diharapkan pemakaian energi terbarukan mencapai 25 persen. Diharapkan pula, penggunaan batu bara dan gas bisa turun.

Kebutuhan energi Indonesia pada tahun 2025 mencapai 400 juta ton oil equivalent. Sementara pada tahun 2050 mencapai 1000 juta ton oil equivalent. Upaya konservasi sumber daya alam adalah salah satu kunci memenuhi kebutuhan energi tersebut dari sumber yang terbarukan.[Yunanto Wiji Utomo]

Sumber: kompas.com

read more
Ragam

Polusi Menurunkan Kelahiran Anak Laki-Laki?

Polusi udara dapat menyebabkan penyakit pernafasan, kesehatan jantung yang buruk, dan kanker tertentu. Baru-baru ini, para peneliti telah menemukan berbagai efek reproduksi termasuk berat badan lahir rendah, keguguran, kelahiran prematur, dan penurunan kualitas sperma. Para peneliti di jurnal BMJ Open melihat efek dari polusi udara pada rasio anak perempuan terhadap kelahiran anak laki-laki  di Sao Paulo, Brasil.

Peneliti membagi daerah Sao Paulo dalam kategori yang berbeda berdasarkan konsentrasi partikel udara ambien mereka (PM10) konsentrasi terus dari waktu ke waktu. Tingkat PM10 digunakan sebagai penanda tingkat polusi udara. Jumlah kelahiran antara tahun 2000 dan 2007 dikumpulkan dengan rasio laki-laki terhadap kelahiran perempuan dihitung selama sebulan. Sebuah korelasi langsung antara pertumbuhan polusi dan berkurangnya kelahiran anak laki-laki adalah ditemukan lebih dari 1 persen kelahiran anak laki-laki lebih sdeikit daripada kelahiran anak perempuan selama periode waktu keadaan udara tercemar polusi paling parah. Para peneliti memperkirakan ada hampir 31.000 kelahiran laki-laki yang berkurang selama masa studi akibat polusi.

Studi mengatakan bahwa polusi memiliki efek pada kesehatan telur dan sperma. Tingkat hormon dalam ayah dan ibu juga dipengaruhi oleh polusi dan perubahan ini dapat tercermin dalam perbedaan jenis kelamin keturunannya.

Sumber: infokesehatanalami

read more
Sains

Sikat Ini Bikin Gigi Bersih dalam Waktu 6 Detik

Jakarta –  Tim dokter gigi yang berasal dari Perusahaan Blizzident berhasil menciptakan sikat gigi yang mampu membersihkan seluruh gigi hanya dalam waktu enam detik. Bagaimana bisa?

Melansir Tech Spot, 4 Oktober 2013, Blizzident mengklaim sikat gigi teknologi terbaru ini mampu menghilangkan kesalahan dalam menyikat gigi, serta mampu menjangkau seluruh bagian gigi yang tidak bisa dilakukan oleh sikat gigi biasa.

Sikat gigi ini dirancang dari hasil scan model gigi seseorang yang dilakukan oleh dokter gigi ketika akan memasang kawat gigi. Lalu, hasil scan tersebut dijadikan model 3D untuk membuat sikat gigi yang ukurannya sangat presisi dan akurat.

“Sikat gigi ini berbentuk gumshield—semacam alat pelindung mulut yang menutupi gusi dan gigi yang dipakai oleh para petinju,” tulis Blizzident di situs resminya.

Setiap gumshield terdiri dari 400 sikat lembut yang bekerja secara elektrik, sehingga mampu membersihkan gigi dengan baik dan tepat.

“Dalam penggunaan sikat gigi tradisional, sering sekali terjadi kesalahan penyikatan gigi dan mengakibatkan luka pada gusi. Namun, dengan sikat gigi teknologi terbaru ini Anda dapat membersihkan gigi dengan sempurna,” klaim Blizzident.

Namun, untuk mendapatkan sikat gigi canggih ini, Anda harus merogoh kocek lebih dalam, karena alat unik ini dibanderol dengan harga £250, setara Rp4,6 juta. Dan, satu sikat gigi hanya mampu bekerja selama 12 bulan. Setelah itu, Anda harus menggantinya dengan yang baru. Mau pesan? Anda bisa mengunjungi websitenya di tautan ini. (umi)

Sumber: viva.co.id

read more
Hutan

Takdir Hutan Aceh di Bawah Hukum yang Lemah

“Kita harus bergerak bersama untuk menganalisis  apa yang akan terjadi terhadap pengelolaan hutan. Ada dilema antara kebijakan pemerintah dengan fakta yang tercermin dalam tata kelola hutan”. Pernyataan ini disampaikan oleh aktivis lingkungan, Afrizal Akmal.

Afrizal Akmal juga mengatakan bahwa pemerintah terlibat langsung dalam tata kelola hutan yang tidak terkontrol hampir di seluruh Negara. Bahkan, pembalakan liar terjadi karena gagalnya pemerintah pusat memfasilitasi perusahaan-perusahaan hingga mereka beroperasi secara illegal. Dalam kasus ini, tidak adanya proses pengecekan secara akurat data yang bersangkutan serta tidak adanya regulasi yang mengatur tentang biaya izin penebangan.

Peraturan dan penegakan hukum semakin membingungkan saat Badan Pertanahan Nasional Propinsi Aceh tetap melanjutkan izin konsesi pembukaan lahan tanpa pengecekan yang akurat. Sayangnya, banyak lahan yang mendapatkan izin konsesi terbengkalai setelah penebangan usai.

Afrizal Akmal menekankan bahwa misi pengelolaan hutan harus ditetapkan dan ditempatkan pada salah satu lembaga untuk pengaturan yang efektif. Kebijakan pemetaan hutan, izin konsesi, pengaturan pemukiman harus dikelola dibawah satu badan.

“ Kami menemukan fakta bahwa sistem data base geografi yang telah dirumuskan menyalahi peraturan. Hasilnya, data yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional palsu. Selain itu, mekanisme sewa lahan dan pelanggaran batas tanah juga tidak jelas dan tidak disosialisasikan kepada publik. Tampaknya instansi pemerintah telah bermain-main dengan kebijakan hutan dan mereka pembohong,” kata Afrizal.

Afrizal Akmal menyebutkan bahwa Pemerintah Aceh mencanangkan misi “Green Project” sebagai resolusi masalah kehutanan. Yang pada kenyataannya, hal tersebut tidak menjadi solusi.

Setelah Aceh mendapatkan otonomi khusus dibawah NKRI, pemerintah Aceh mengatur kebijakan lahan dan hutannya sendiri, hal ini sesuai untuk pemerintahan otonom. Namun, ada kesalahan yang terjadi terkait penyalahgunaan kekuasaan oleh Pemerintah Aceh. Tak pelak lagi, izin konsesi pertambangan dan perkebunan yang diberikan mengarahkan pada perambahan dan penghancuran hutan.

Mengacu ke data Kantor Administrasi Izin Propinsi Aceh, pada tahun 2008, 201 perusahaan mendapatkan hak menggunakan lahan dan tanaman perkebunan. Areal konsesi mencakup 540,839,955 hektar atau 9,42% dari total hutan Aceh. Bahkan, banyak perusahaan telah mendapatkan izin untuk bisnis kehutanan seperti perkebunan sawit, coklat, kopi, karet, pisang, kedelai, peternakan, perikanan dan perkebunan. Semua lahan perkebunan tersebar di sepanjang wilayah Propinsi Aceh.

Izin penggunaan lahan begitu mudah diberikan di era desentralisasi. Hal ini terlihat dari pemerintah daerah yang langsung dapat memberikan izin kepada perusahaan melalui satu pintu. Pemerintah pusat di Jakarta hanya memverifikasi dan menyetujui saja izin untuk kawasan tertentu. Namun, masih tersisa persoalan seperti pelanggaran hukum oleh perusahaan sawit yang telah dan masih beroperasi seperti di kawasan lahan gambut Rawa Tripa.

Belakangan ini, hutan rawa gambut ditargetkan menjadi area bisnis perkebunan sawit. Misalnya saja yang terjadi pada hutan gambut Rawa Tripa sedang mengalami perambahan meskipun terletak di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). Sekalipun terletak di KEL namun tidak menjamin mendapatkan pengamanan yang layak. Kelemahan pengamanan mengakibatkan perusahaan yang mendapatkan izin konsesi mengambil keuntungan atas lahan tersebut. Meskipun dibeberapa area yang sudah mendapatkan izin konsesi belum ditanami kelapa sawit, namun pembukaan lahan terus berlangsung.

Terkait hal tersebut, WALHI Aceh menuntut pemerintah Aceh untuk menghentikan izin konsesi terhadap investor baru yang akan membuka perkebunan. Serta menuntut segera diadakannya pemeriksaan terhadap kinerja perusahaan yang telah mendapatkan izin sebelumnya. Selain itu, perlu dilakukan upaya pengembalian hak kepemilikan lahan masyarakat adat,  menghentikan sementara proses penebangan hutan, tidak memberikan izin baru, dan merevitalisasi hutan yang telah terdegradasi.

Menurut Yayasan Leuser Internasional dan Flora Fauna Indonesia, kerusakan hutan Aceh terjadi sejak tahun 2006-2012. Angka rata-rata setiap tahunnya mencapai 23,124,41 hektar. Hutan di Kota Subulussalam telah hancur sekitar 3,946 hektar, Kabupaten Nagan Raya 2,581,90 hektar, dan Kabupaten Gaayo Lues mencakup 2,064 hektar. Seluruh area tersebut merupakan kawasan hutan yang terletak di daerah otonom, yang merupakan kawasan yang dilindungi. Namun sayangnya, pemerintah daerah dengan mudahnya mengeluarkan izin.

“Jika kerusakan terus berlanjut maka akan berdampak pada bencana alam yang lebih besar dimasa akan datang. Bahkan, Badan PBB yang mengurusi program lingkungan (UNEP) mengatakan jika dalam lima belas tahun ke depan hutan Sumatera dan Kalimantan terus dirusak maka habitat Orang Utan akan punah,” ujar Deputi Direktur Walhi Aceh, Muhammad Nizar Abdurrani, mengomentari proyeksi UNEP yang sangat mengkhawatirkan tersebut.

Selain itu, Deputi Direktur WALHI Aceh juga menekankan bahwa ada ketidakpastian definisi  pengelolaan hutan dalam berbagai peraturan. Misalnya melalui dokumen tertentu No.41/2009, peraturan pemerintah No.44/2004 dan SK Kementrian Kehutanan No. 32/2001 serta Peraturan Kementrian Kehutanan No.50/2009. Ke semua aturan tersebut menjelaskan tentang kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam mengembangkan kawasan hutan. Namun kenyataan di lapangan, ada banyak tumpang tindih aturan yang memberikan celah bagi pihak tertentu untuk melanggarnya.

Aktivis lingkungan lainnya, Dewa Gumay mengungkapkan bahwa adanya tumpang tindih wilayah penebangan kayu di Provinsi Aceh. Ini terjadi karena perbedaan sudut pandang antar kementrian kehutanan, kementrian pertanian, kementrian pertambangan dan kementrian lainnya. Berdasarkan asumsi, bagian kawasan hutan yang dimaksud terlihat berbeda secara faktual. Persoalan penebangan hutan, sepenuhnya tanggungjawab kementrian kehutanan selaku penanggungjawab keselamatan hutan. Kementrian pertambangan bertanggungjawab terhadap geologi kawasan pertambangan melalui pemetaan kawasan tambang dan pemukiman. Meskipun begitu, banyak perusahaan yang memperoleh izin dengan proses yang tidak jelas daan tumpang tindih tanpa proses pengecekan yang tuntas.

Terkait kasus hutan gambut Rawa Tripa yang melibatkan PT Kalista Alam selaku perusahaan yang telah mendapatkan izin membuka lahan perkebunan, berbagai instansi pemerintah yang terkait seperti kementrian perkebunan dan kementrian kehutanan, mempunyai pendapat yang berbeda satu sama lainnya. Menurut kementrian kehutanan, lahan konsesi tidak terletak dikawasan hutan, sementara itu, kementrian kehutanan menyebutkan bahwa lahan konsesi tersebut merupakan hutan konservasi. Peraturan yang tidak jelas antar pihak terkait ini menjadikan celah keuntungan bagi perusahaan untuk melnggar hukum.

Dari aspek ekonomi, degradasi hutan telah menyebabkan kerusakan sumber daya alam, termasuk kapasitas hutan sebagai habitat tanaman dan hewan. Hal tersebut secara langsung juga berimplikasi pada ekonomi masyarakat setempat yang mencari nafkah dari hasil hutan.

Meskipun, degradasi hutan yang telah rusak tidak bisa disebutkan secara resmi, namun dari assessment awal yang telah dilakukan dapat diperkirakan jumlah lahan dan hutan yang telah dirambah, penebangan kayu, restorasi hutan, infrastruktur dan berapa yang digunakan untuk wisata. Sebenarnya, ada biaya yang tak ternilai untuk semua degradasi hutan setiap tahunnya.

Ada beberapa tantangan bagi pemerintah Aceh sebagai daerah otonom dalam menghadapi persoalan ini. Tentu saja untuk pemanfaatan sumber daya alam yang berkeadilan dan berkelanjutan dibutuhkan perencanaan pembangunan yang terukur. Bukan hanya keuntungan sesaat dari investor, perlahan-lahan sumber daya alam akan rusak dan tercemar di lahan konsesi, akan memicu perubahan iklim serta konflik lahan yang tidak berkesudahan. Untuk itu Pemerintah Aceh harus meninjau ulang dan mempertimbangkan kembali kebijakan dan aturan  terkait pembangunan.

Dr. M. Nasir, dosen Fakultas Ilmu Ekonomi Lingkungan, Universitas Syiah Kuala Aceh menyebutkan bahwa investasi dibidang tananaman sedang tumbuh. Perhatian terhadap pertumbuhan investasi saja akan berakibat negatif terhadap lingkungan. Yang harus diperhatikan dalam pembangunan adalah adanya keseimbangan antara ekonomi dan lingkungan serta pengembangan ekonomi masyarakat dan kesejahteraan. Karena masyarakat setempat berdomisili dan bermata pencaharian dihutan setempat. Jika investasi tersebut membahayakan dan dapat merusak, maka secara langsung akan merusak ekonomi setempat.

Sayangnya, lahan Aceh yang subur, tempat dimana kerajaan nenek moyang pernah berdiri megah dan tempat mencari nafkah masyarakat Aceh, dihadapkan pada tantangan invasi besar-besaran bisnis kayu sebagaimana yang terjadi juga pada Negara-negara berkembang lainnya di dunia. Ditengah permintaan konsumen dan tidak adanya standar regulasi, lemahnya penegakan hukum, hutan dan lahan telah dirusak dan pemiliknya direlokasi, serta terjadinya persoalan social dan lingkungan. Secara khusus, hutn hujan tropis yang dibanggakan pemerintah Indonesia sebagai paru-paru dunia sedang menghadapi rakusnya investor kapitalis. [Ruayrin Pedsalabkaew]

Penulis, Ruayrin Pedsalabkaew, fellow pada Asian Public Intellectual (API), Reporter Deep South Watch yang telah melakukan penelitian tentang isu-isu perampasan lahan oleh perusahaan multinasional di Aceh: Dampaknya terhadap Hak Asasi Manusia dan Kearifan Lokal. Pendapat penulis tidak menggambarkan pandangan API Fellowships Program, The Nippon Foundation, the Coordinating Institution, dan/atau lembaga partner.

sumber: www.theglobejournal.com

read more
Flora Fauna

Black Baza Burung Langka Pernah Singgah di Aceh

Banda Aceh – Anda pencinta burung, tentu tidak asing dengan jenis burung Black Baza, burung yang memiliki kebiasaan berimigrasi satu daerah ke daerah lain.Burung Baza merupakan jenis burung yang langka ditemukan di hutan Indnesesia, konon lagi di Aceh paling ujung Indonesia.

 

Di Indonesia lebih dikenal dengan sebutan burung Elang Baza Hitam yang memiliki namalatinnya adalah ‘Aviceda leuphotes’. Namun, Anda jangan salah, burung Elang Baza Hitam itu bukanlah jenis burung Elang yang kerap ditemukan di Aceh, tetapi ini merupakan spesies lain yang sangat jarang ditemukan di Aceh.

Burung tersebut pada dasarnya bermukim di Asia Selatan dan Asia Tenggara. Kebiasaan burung Black Baza adalah berimigrasi panjang satu tempat ke tempat lainnya pada musim gugur sekira bulan Oktober – November setiap tahunnya. Biasanya Black Baza menghabiskan musim dingin di daerah selatan Semenanjung India dan Sri Lanka.

Dewi fortuna kali ini memang berpihak pada anggota Aceh Widlife Photographer (AWP). Kenapa tidak, saat mereka menjalankan rutinitas hunting yang menjadi agenda rutin mereka setiap minggunya. Tanpa sengaja mereka bisa mengabadikan burung Black Baza yang tergolong langka tersebut.

“Burung itu jangankan di Aceh, di Indonesia saja sangat langka bisa ditemukan dan bisa diabadikan dengan kamera,” kata salah seorang anggota AWP, Aldi F Aloy saat ditemui khusus oleh Green Journalist.

Black Baza ditemukan oleh Tim AWP saat melakukan hunting foto di hutan Krueng Raya, Kecamatan Krueng Raya, Kabupaten Aceh Besar Provinsi Aceh pada tanggal 10 Januari 2013 lalu.

Saat itulah Tim AWP melihat ada burung aneh hinggap di sebatang pohon di Kreung Raya. Seketika itu. Aldy F Aloy memperhatikan secara sekasama untuk memastikan jenis burung tersebut.

Sontak saja semua yang sedang hunting diantaranya ada Tedi Wahyudi, Faisal Amin dan dirinya sendiri mengenali itu merupakan jenis burung Black Baza yang sangat jarang ditemukan di Aceh.

Tidak menunggu lama, Tim AWP langsung mengarahkan bidikan cameranya ke arah yang ditunjuk oleh rekannya itu.Semua Tim AWO tidak membiarkan sedetikpun terlewati momentum yang paling langka tersebut.

“Waktu saya lihat, langsung saya katakan itu Black Baza,” tuturnya.

Menjelang 4 bulan kemudian di tahun yang sama. Anggota AWP kembali hunting ke desa Lamtamot, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh. Saat itu AWP kembali menemukan Black Baza.

“Jadi kita kembali menemukan burung itu pada tanggal 13 Mei 2013 di Lamtamot,” tukasnya. Lanjutnya, ini hal yang aneh, semestinya burung tersebut telah kembali ke asalnya di Asia Selatan dan Asia Tenggara.

Sebenarnya Black Baza banyak ditemukan di Thailand, Singapore, Malaysia. Demikian juga ada tersebar di India Selatan, Cina Selatan. Sedangkan di Indonesia, hanya ada di Sumatera, Riau dan juga kepulauan Lingga. “Kalau di Indonesia masih langka, sulit ditemukan,” imbuhnya.

Menurut catatan dalam sejarah, di Caringin, Sukabumi pada tanggal 17 November 1980 dan Maret 1978 pernah ditemukan juga burung tersebut dengan berimigrasi ke daerah itu. Dengan demikian, sejarah mencatat, kembali ditemukan dan berhasil diabadikan di Aceh pada tanggal 10 Januari 2013 dan 13 Mei 2013.

“Itu memontum yang luar biasa kami dapatkan,” tuturnya.

Atas temuan itu, anggota AWP berencana akan membuat sebuah buku mengenai burung-burung di Aceh. Kata Aloy, saat ini AWP sudah berhasil menemukan 200 species burung. “Kita berencana mau tulis buku, sekarang masih dalam persiapan untuk menuju kesana, tapi saat ini terkendala dana,” imbuhnya.

Aloy diakhir perbincangan juga menambahkan, hal yang membanggakan untuk seluruh anggota AWP. Atas temuan burung langka tersebut, saat ini kisah itu dan beberapa gambar burung tersebut akan dirilis sebuah jurnal Kukila.

“Jurnal Kukila itu merupakan Jurnal tentang Ornithology Indonesia, akan di muat di Kukila Vol.17 dibagian Around The Archipelgo (ATA),” tutupnya.[Afifuddin Acal]

read more
Ragam

Gunung Tangkuban Parahu Kembali Meletus

Bandung – Gunung Tangkuban Parahu yang berlokasi di perbatasan Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Subang, Jawa Barat, kembali menunjukkan aktivitas vulkanik berupa letusan phreatik, Sabtu (5/10/2013) pukul 06.21 WIB pagi tadi.

Kepala Pusat Vulkanologi Mitigasi Bencana (PVMBG) M Hendrasto mengatakan, akibat letusan Gunung Tangkuban Parahu tersebut, PVMBG menaikkan status gunung wisata tersebut dari Normal (level I) menjadi Waspada (level II).

“Letusan terjadi pukul 06.21 WIB, kita menetapkan status Waspada pada pukul 06.30 WIB,” kata Hendrasto saat ditemui di kantor PVMBG, Kota Bandung, Sabtu.

Letusan yang terjadi, kata Hendrasto, berupa sebaran abu vulkanik yang menyebar ke udara hingga radius 500 meter ke arah barat kawah pusat atau dikenal dengan Kawah Ratu. “Letusannya terjadi di Kawah Ratu,” tegasnya.

Sebagai bentuk antisipasi terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan, PVMBG merekomendasikan kawasan Gunung Tangkuban Parahu ditutup dan tidak boleh didekati pengunjung sejauh radius 1,5 kilometer dari Kawah Ratu.

“Direkomendasikan untuk tutup sementara, tidak boleh ada pengunjung atau pedagang yang mendekat ke kawah,” imbaunya.

Sumber: kompas.com

read more
Kebijakan Lingkungan

Lewat Batubara, Bank-bank Inggris ‘Bakar’ Alam Kalimantan

London – Laporan World Development Movement yang dirilis Selasa (1/10/13) mengungkapkan, lima bank ternama dari Inggris, HSBC, Barclays, Standard Chartered, RBS dan Lloyds telah ‘membakar’ alam Kalimantan. Lewat pendanaan kepada perusahaan-perusahaan tambang batubara, bank-bank ini andil dalam perubahan iklim, menyengsarakan masyarakat dan lingkungan di hutan Kalimantan.

Bank-bank Inggris ini memberikan pinjaman untuk mengeksploitasi batubara Indonesia, lebih dari bank lain sejak 2009. Sekitar 83 persen batubara yang diproduksi di Kalimantan, dari perusahaan-perusahaan yang mempunyai hubungan dengan bank top di Inggris ini.

Dari laporan berjudul Banking while Borneo burns ini terlihat, Barclays telah mendanai PT Bumi Resources, pemilik tambang batubara terbesar Indonesia sebesar £127 juta. PT Kaltim Prima Coal, anak perusahaan ini ‘menciptakan’ banyak orang kehilangan lahan, seperti masyarakat adat di Segading yang harus berpindah tempat sampai tiga kali.

Standard Chartered pun meminjamkan US1 triliun atau sekitar £640 juta untuk perusahaan Indonesia, PT Borneo Lumbung dalam 2012. Tambang batubara Borneo Lumbung mencemari sungai yang menjadi tempat hidup masyarakat di Desa Maruwei, Kabupaten Murung Raya, Kalimantan Tengah (Kalteng).

Masih ada lagi. Sejak 2009, perusahaan tambang raksasa dari London, HPP Billiton menerima £6.3 triliun dari Barclays, Standard Chartered, RBS dan Lloyds, termasuk dana-dana pensiun di Inggris. BHP Billiton berencana membuka tambang batubara melintasi kawasan-kawasan di Kalimantan. Ia mengancam penghancuran hutan yang menjadi tempat hidup masyarakat adat.

Yesmaida, warga Desa Maruwei, dalam laporan itu mengatakan, kini sungai mereka hitam dan kotor. “Kadang ketika kami mencuci terasa gatal. Paling penting, kami tak bisa minum air itu lagi. Padahal, sebelumnya sungai itu bersih dan jernih. Kini tak lagi…”

Senada diungkapkan Gagay, Ketua Adat Dayak Basap di Segading. Dia mengatakan, Dayak Basap tergantung hutan tetapi perusahaan malah menghancurkannya. “Kami pernah berburu di dalam hutan. Kini, kami tak dapat berburu lagi, kamipun tak dapat bekerja di perusahaan karena tak memiliki pendidikan cukup.”

Untuk itu, World Development Movement mendesak, bank-bank dan lembaga pendanaan pensiun di Inggris, berhenti mendanai perubahan iklim dan menciptakan gelembung karbon yang mengancam krisis keuangan baru.
Danau-danau jadi-jadian hasil buatan tambang batubara di Kalteng. Foto: Walhi Kalteng

Alex Scrivener, pengkampanye World Development Movement mengatakan, ledakan batubara meninggalkan jejak kehancuran, merusak hutan dan kehidupan masyarakat Kalimantan. “Di sini dan banyak proyek minyak fosil di dunia, tangan semu lembaga keuangan Inggris bekerja. Kita harus menghentikan bank kita menyirami triliunan ke dalam energi kotor. Energi yang menciptakan perubahan iklim, menghancurkan lingkungan masyarakat lokal dan tempat hidup mereka.”

Arie Rompas, Direktur Eksekutif Walhi Kalteng, mengatakan, tak hanya bank, dana pensiun Norwegia pun menaruh investasi pada perusahaan-perusahaan tambang batubara Kalimantan sekitar US$34,2 juta. “Ini tentu bermuka dua dan tak sejalan dengan tujuan pemberian US$1 miliar Pemerintah Norwegia bagi penyelamatan hutan Indonesia.”

Bank lain, yang membakar dunia dengan batubara Kalimantan adalah Bank Dunia lewat jaminan pendanaan infrastruktur Indonesia (Indonesia Infrastructure Guarantee Fund -IIGF). Salah satu program ini, adalah proyek rel kereta api batubara Kalimantan, dari Puruk Cahu ke Bangkuang.

Arie mengatakan, pemanasan global, proyek jalan kereta api ini akan mempercepat pengerukan batubara di Kalteng. “Ia berdampak bagi kerusakan lingkungan karena akan membuka hutan dan wilayah tangkapan air di wilayah hulu pulau Kalimantan,” katanya Kamis(3/10/13). Proyek ini, katanya, akan mendorong konflik dan perampasan tanah masyarakat adat Dayak akibat.

Tak jauh beda dikatakan Pius Ginting, Pengkampanye Tambang dan Energi Walhi Nasional. Menurut dia, saatnya bagi negara-negara dan bank internasional mengurangi dan menghentikan investasi di sektor batubara Indonesia. “Pemerintah Indonesia harus segera membuat strategi phasing out batubara, karena tren global sedang mengarah ke energi terbarukan.”

Bank Indonesia dan Kementerian Lingkungan Hidup, yang belum lama ini menggagas prinsip green banking, sebaiknya mendorong bank-bank nasional dan internasional tidak berinvestasi pada energi kotor, seperti batubara.

Sumber: mongabay.co.id

read more
Flora Fauna

Peringatan Animal Day: Orangutan Bukan Mainan

Banda Aceh – Para pecinta hewan sedunia hari ini merayakan World Animal Day. Di Indonesia, para relawan Centre for Orangutan Protection menyerukan masyarakat untuk tidak mendukung bisnis pertunjukan orangutan yang masih jamak dilakukan di berbagai kebun binatang di Indonesia. Sedangkan di Aceh, sejumlah aktivitas penyayang hewan menggelar aksi di Bundaran Simpang Lima, Jumat (4/10/2013).

Daniek Hendarto, juru kampanye orangutan di Yogya mengatakan, ”  Sirkus Orangutan dan berfoto bersama orangutan adalah cara keliru untuk mendidik para pengunjung kebun binatang. Pada dasarnya, Orangutan adalah satwa liar. Untuk menjadikannya bisa mengerti perintah – perintah dan berbagai kemampuan seperti manusia, tentu saja harus melalui pelatihan yang keras, kejam dan tanpa ampun. Praktek kejahatan dan kekejaman ini akan terus berlangsung jika masyarakat terus membeli tiket pertunjukan.”

Sementara dari Samarinda, Ramadhani, juru kampanye orangutan di Samarinda memberikan pernyataan  “Orangutan yang tergusur dari habitat, karena hutannya dibabat untuk membuka perkebunan kelapa sawit, masih harus menghabiskan seluruh sisa hidupnya dalam pusaran bisnis satwa liar yang berkedok lembaga konservasi. Ini adalah kejahatan dan kekejaman yang harus segera dihentikan. Para pelaku bisnis kebun binatang dan Taman Safari sudah seharusnya kembali ke jati dirinya sebagai lembaga konservasi ex situ yang mendukung konservasi in situ. Bukannya mengacaukan persepsi masyarakat pada satwa liar.”

Juru kampanye orangutan di Banda Aceh Ratno Sugito menyatakan hal senada. Menurutnya  sudah seharusnya kebun binatang konsisten sebagai lembaga konservasi ex situ, bukan mengembangkan diri sebagai tempat hiburan biasa. Ada misi edukasi yang diembannya. Perhimpunan Kebun Binatang Seluruh Indonesia memiliki andil besar dalam kesesatan trend ini. Sudah seharusnya mereka mensupervisi kebun binatang, bukan membiarkannya sebagai kuburan satwa liar seperti kebun binatang di Medan.

” Seluruh Orangutan yang dikirim ke sana sudah tewas karena salah kelola. Dua Orangutan yang dikirim oleh BKSDA Aceh dikawatirkan akan tewas jika tidak segera dievakuasi, ” kata Ratno. [rel]

read more
1 13 14 15 16
Page 15 of 16