close

November 2018

Kebijakan Lingkungan

Serikat Hijau Indonesia Minta DAS di Aceh Dilindungi dari Kerusakan

Banda Aceh – Beberapa minggu belakangan ini kita terus disodorkan berbagai berita duka oleh beragam media di Aceh, berupa bencana banjir yang melanda sejumlah kabupaten. Mulai Kabupaten Aceh Utara, Pidie, Aceh Jaya, Nagan Raya, Aceh Selatan, Aceh Singkil, Aceh Tenggara hingga berbagai wilayah lainnya di Aceh sepertinya “berlomba-lomba” dihampiri oleh air yang seharusnya menjadi sumber kehidupan itu. Air yang datangnya dalam jumlah besar, menjelma jadi daya rusak penyebab bencana yang tak pernah diharapkan sebelumnya. Selain hujan deras sebagai pemicu terjadinya banjir, kerusakan hutan, lahan dan lingkungan di wilayah hulu juga menjadi faktor penyebab utama terjadinya banjir.

Bencana yang terjadi secara beruntun di Aceh dan juga secara umum di Indonesia, diakibatkan penggunaan ruang yang tidak mengindahkan kemampuan dan daya dukung lingkungan, sehingga menyebabkan akumulasi kerusakan yang terjadi terus menerus dan menyebabkan terjadinya bencana. Padahal kita tahu bahwa Aceh merupakan wilayah dimana ratusan Daerah Aliran Sungai (DAS) mengalir dari hulu hingga ke hilir di berbagai pelosok wilayah dari desa hingga ke kota.

Perlu kita ketahui bahwa Keputusan Presiden (Keppres) No. 12 Tahun 2012 tentang Penetapan Wilayah Sungai, dimana Provinsi Aceh memiliki sembilan Wilayah Sungai Besar yang masing-masing empat Wilayah Sungai yang menjadi kewenangan dan tanggungjawab Pemerintah Pusat, dan lima Wilayah Sungai yang menjadi kewenangan dan tanggungjawab Pemerintah Aceh dan Kabupaten/Kota.

Kesembilan Wilayah Sungai tersebut adalah ; (1) Wilayah Sungai Aceh – Meureudu, yang memiliki luas 23.550,34 Km2; (2) Wilayah Sungai Jambo Aye seluas 13.884,06 Km2; (3) Wilayah Sungai Woyla – Batee seluas 5.621,00 Km2; (4) Wilayah Sungai Alas – Singkil seluas 10.090,13 Km2; (5) Wilayah Sungai Pase – Peusangan seluas 21.185,00 Km2; (6) Wilayah Sungai Tamiang – Langsa seluas 12.970,90 Km2; (7) Wilayah Sungai Teunom – Lambeso seluas 17.335,26 Km2; (8) Wilayah Sungai Baru – Kluet seluas 10.004,70 Km2 dan (9) Wilayah Sungai Pulau Simeulue, seluas 1.980,00 Km2.

Sembilan wilayah sungai tersebut juga memiliki potensi air dan curah huja rata-rata yang berbeda, untuk Wilayah Sungai (WS) Aceh – Meureudu misalnya, memiliki potensi air rata-rata sebesar 4 liter/detik/km2, dengan curah hujan rata-rata minimal 1500 mm. Lalu untuk sebagian WS Aceh Meureudu, WS Pase- Peusangan, WS Jambo Aye dan WS Tamiang Langsa memiliki potensi air rata-rata sebesar 7 – 8 lt/dt/km2 dengan curah hujan rata-rata 1500 s/d 3000 mm. Sedangkan WS Teunom – Lambeso, WS Woyla – Batee, WS Baru – Kluet dan WS Alas – Singkil memiliki potensi air dan curah hujan yang tinggi. Potensi air rata-rata mencapau 17-18 lt/dt/km2 dengan curah hujan rata-rata mencapai 3000 s/d 4500 mm.

Data Balai Wilayah Sungai Sumatera I disebutkan bahwa ke 9 wilayah sungai tersebut mengalirkan air ke 481 anak sungai lainnya, salah satu yang terbesar Krueng Pase-Peusangan yang membelah tiga kabupaten, yaitu Aceh Utara, Aceh Timur dan Aceh Tengah. Induk sungai Peusangan itu memiliki 107 anak sungai yang tersebar di wilayah pesisir timur Provinsi Aceh.

Saat ini hampir seluruh wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) di Aceh telah mengalami kerusakan yang sangat parah yang diakibatkan oleh banyak faktor. Diantaranya masih maraknya berbagai aksi perambahan hutan dan penebangan kayu secara ilegal. Konversi lahan baik untuk kepentingan perkebunan skala besar maupun pertambangan, baik tambang skala kecil seperti galian C maupun pertambangan besar yang sangat ekstraktif.

Maraknya berbagai aksi perambahan hutan, dan penebangan kayu di luar prosedur, serta berbagai dampak akibat kebijakan pembangunan yang tidak ramah lingkungan, salah satu contohnya adalah pembangunan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) yang berada di kawasan hutan lindung juga telah berdampak pada menurunnya daya dukung lingkungan hidup di Provinsi Aceh. Akankah kita mewariskan bencana untuk anak cucu kita, keputusannya ada pada diri kita masing-masing. Mari bersikap, karena lingkungan yang lestari bukan hanya untuk dinikmati saat ini saja, tapi juga untuk masa depan. (*)

Penulis, Teuku Muhammad Zulfikar, Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Aceh Sarekat Hijau Indonesia (SHI)

 

 

read more
Kebijakan Lingkungan

Kawasan Strategis Nasional KEL (Bukan) Pepesan Kosong

Kawasan Strategis Nasional (KSN) dapat dipahami sebagai suatu kawasan – sebagaimana ditentukan dalam penataan ruang nasional – yang keberadaannya teramat penting dan mempengaruhi secara nasional baik dari aspek pertahanan dan keamanan, pertumbuhan ekonomi, sosial dan budaya, pendayagunaan sumber daya alam dan/atau teknologi tinggi, dan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup. Sebanyak 76 KSN telah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah No. 26/ 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional yang diperbaiki dengan Peraturan Pemerintah No. 13/2017 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 26/2008. Sebanyak 25 KSN diantaranya adalah kawasan yang penting bagi negara dari aspek fungsi dan daya dukung lingkungan hidup dimana Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) termasuk salah satunya.

KEL memang pantas ditetapkan sebagai KSN mengingat areal hutan hujan di ujung barat Pulau Sumatera ini memiliki keragaman hayati yang amat tinggi dan unik. Wilayah hutan ini merupakan tempat satu-satunya di dunia yang masih memiliki empat mamalia besar endemik di dalam satu wilayah: Gajah Sumatera, Harimau Sumatera, Orangutan Sumatera dan Badak Sumatera. Wilayah jelajah ke-empat satwa besar ini saling berpotongan sehingga membentuk areal yang sangat luas (sekitar 2.255.557 hektar) yang membentang dari tengah Provinsi Aceh (meliputi 13 kabupaten) hingga ke Provinsi Sumatera Utara (meliputi 4 kabupaten). Eksistensi empat mamalia tersebut telah menjadikan KEL sebagai ikon konservasi yang penting di muka bumi. Selain itu, KEL juga merupakan penyedia air, plasma nutfah dan penyerap karbon.

Penetapan KEL sebagai satu dari begitu banyak KSN tentu merupakan kabar gembira bagi pegiat konservasi. Dengan statusnya sebagai kawasan penting maka penataan ruang (meliputi pola dan struktur ruang) di wilayah ini akan berbeda dari penataan ruang di kawasan-kawasan lain. Penataan ruang di KSN diatur sedemikian rupa dalam Rencana Tata Ruang (RTR) sehingga kepentingan nasional sebagai acuan penetapan nilai strategis kawasan tersebut dapat tetap dimaksimalkan. Penataan ruang KSN memuat pola dan struktur ruang serta pengaturan kewenangan dan pengembangan kawasan yang secara spesifik menafikan atau melampaui kewenangan pemerintah provinsi dan/atau kabupaten. Oleh karena itu, penetapan KSN dan penataan ruangnya harus menjadi “cetakbiru” bagi penataan ruang provinsi dan kabupaten. Dengan demikian, pola dan struktur ruang yang dimuat dalam dokumen RTR Wilayah Provinsi untuk areal-areal yang terpetakan sebagai KSN sama sekali tidak boleh berbeda dengan RTR KSN.

Sayangnya, sejak ditetapkan sepuluh tahun lalu, KEL masih belum memiliki RTR KSN. Dari 25 KSN lingkungan hidup hanya dua KSN yang telah ditetapkan RTR-nya yakni RTR KSN Taman Nasional Gunung Merapi dan RTR KSN Danau Toba. Keduanya ditetapkan pada tahun 2014. Satu hal dapat disimpulkan disini bahwa derajat kepentingan sekaligus tingkat pengaruh strategis KEL bagi kepentingan nasional masih lebih rendah dibanding dua KSN tersebut. Derajat kepentingan ini akan semakin rendah apabila dibandingkan dengan penataan untuk KSN ekonomi. Pemerintah pusat secara sadar menunjukkan bahwa kepentingan ekonomi lebih utama dibanding lingkungan hidup.

Penetapan KEL sebagai KSN dapat berubah menjadi pepesan kosong semata. Selama satu dekade ini, penetapan tersebut hanyalah kemasan yang tak ada isinya. Penataan pola dan struktur ruang di wilayah tersebut masih sama seperti sebelum ditetapkan sebagai kawasan strategis karena ketiadaan “cetak biru”. Penetapan sebagai KSN sejauh ini belum menimbulkan perubahan signifikan dalam pengelolaan KEL sebagai kawasan yang penting bagi negara. Nyatanya, meskipun telah ditetapkan sebagai KSN, Pemerintah Aceh tidak memasukkannya dalam RTR Provinsi. Ketiadaan RTR KSN itu dapat digunakan sebagai alibi bagi pelanggaran perizinan. Padahal UU penataan ruang telah mengatur sanksi yang cukup berat.

Agar tidak menjadi pepesan kosong, Pemerintah Aceh tidak cukup hanya menyerukan agar penetapan RTR KSN KEL oleh Pemerintah Pusat dipercepat tetapi juga harus menyodorkan usulan penataan ruang KEL yang diinisiasi sendiri untuk disahkan melalui Peraturan Presiden. Inisiatif sedemikian sangat mendesak untuk dilakukan mengingat RTR Wilayah Provinsi sudah tiba waktunya untuk dapat direvisi. Selain itu, menggantungkan penetapan RTR kepada prioritas Pemerintah Pusat bukanlah langkah yang tepat mengingat begitu banyaknya KSN ekonomi yang menunggu untuk dibuat RTR-nya.

Inisiatif dari Pemerintah Aceh harus menunjukkan penataan keruangan yang menampilkan betapa KEL dapat mendukung kepentingan nasional dengan menyodorkan opsi pengendalian pemanfaatan yang taktikal sekaligus mampu mengakomodir perkembangan kebutuhan sosial ekonomi baik di Aceh maupun di Indonesia. Itu berarti, pengaturan pola dan struktur ruang harus dilakukan dengan sangat cermat agar fungsi pelestarian dan perlindungan hutan tropis yang disediakan oleh KEL dapat dipasangkan secara optimal dengan kebutuhan mobilitas barang dan jasa serta pertumbuhan pemukiman. Untuk itu, selain memetakan pusat-pusat kegiatan, RTR juga perlu memuat skenario pertumbuhan kota-kota baru yang tidak mengancam keberadaan KEL.

Skenario tersebut harus diamankan dengan merencanakan perubahan atau penyesuaian kebijakan dan regulasi secara nasional. Semua aturan perundang-undangan yang penting untuk direvisi atau ditetapkan haruslah termuat dalam indikasi program yang akan dilaksanakan. Dalam usulan tersebut, penting pula untuk memasukkan Pemerintah Aceh sebagai pemegang kuasa pengelolaan kawasan sebagai implementasi UU Pemerintahan Aceh dalam pengelolaan KEL.

Inisiatif tersebut harus didahulukan oleh Pemerintah Aceh dibanding menyusun perbaikan RTR Wilayah Provinsi. Bagaimanapun, tanpa RTR KSN sebagai cetakbiru penataan ruang di Provinsi Aceh dan kabupaten-kabupaten yang terkait, posisi KEL sebagai penyokong kepentingan nasional hanyalah isapan jempol semata alias pepesan kosong. Cetak biru penataan ruang tersebut dapat berfungsi untuk mengatur pertumbuhan ekonomi masyarakat di sekitar KEL melalui indikasi program yang diadopsi oleh 13 kabupaten yang terpengaruh. Tentu saja, agar penataan yang menjadi usulan Pemerintah Aceh ini mampu mengakomodir berbagai kepentingan, penyusunannya harus memenuhi aspek teknokratis, politis sekaligus partisipatif. Dengan kata lain, usah melakukan revisi RTR Provinsi sebelum RTR KEL ditetapkan.

Penulis Fahmi Rizal, Pernah bergiat di berbagai LSM dan Proyek Lingkungan

 

 

read more
Green StyleRagam

Aktivis Minta Informasi SDA Dibuka Seluas-luasnya

Plt Gubernur Aceh, Nova Iriansyah mengeluarkan kebijakan berupa Keputusan Gubernur Aceh No. 065/962/2018 tentang Penetapan Informasi Publik Yang Dikecualikan Di Lingkungan Pemerintah Aceh, bertanggal 27 Agustus 2018. Keluarnya keputusan ini menimbulkan polemik ditengah masyarakat karena sebagian menganggap ini merupakan bentuk pengekangan hak publik untuk mendapatkan informasi. Apalagi didalamnya mencantumkan jenis informasi apa saja yang tertutup bagi publik salahsatunya informasi yang berkaitan dengan sumber daya alam.

Aktivis lingkungan, T.Muhammad Zulfikar, kepada Greenjournalist, mengatakan Keputusan Gubernur Aceh No. 065/962/2018 ini ternyata belum banyak berubah dari Keputusan sebelumnya yakni KepGub Aceh No. 065/802/2016. “Kesannya masih copy paste dari Kepgub sebelumnya. Padahal, hal ini pernah disuarakan oleh beberapa LSM agar ditinjau kembali karena belum mampu mendorong perbaikan transparansi badan publik dalam mengelola informasi kepada masyarakat secara luas,”.

Zulfikar menambahkan jika mengacu pada UU Keterbukaan Informasi Publik justru sudah sangat jelas bahwa tidak semua informasi dalam pemerintahan tertutup. “Bahkan seharusnya jika kita mau menjaga lingkungan lebih baik, informasi terkait pengelolaan sektor sumber daya alam harusnya dibuka seluas-luasnya agar bisa kita pantau dan kita jaga bersama,”katanya.

Zulfikar memberikan contoh berbagai rencana pembangunan di Aceh, yang tiba-tiba sudah ada izin pemberian IUP Pertambangan di Nagan Raya, di Aceh Tengah, serta tiba-tiba sudah ada izin lingkungan untuk PLTA di Gayo Lues, Izin HGU perkebunan di Nagan Raya, dan berbagai kegiatan dadakan lainnya yang mengejutkan publik.

“Sudah tidak zamannya lagi informasi ditutup-tutupi. Justru demi kemaslahatan ummat mari kita buka selebar-lebarnya dan seluas-luasnya. Boleh saja informasi dikecualikan apabila jika diketahui publik akan menambah besarnya konflik sosial, terganggunya kedamaian dan keamanan di Aceh. Tapi saya rasa tidak usah terlalu banyaklah informasi yang bersifat rahasia di Aceh,”terangnya.

Dalam Keputusan Gubernur Aceh No. 065/962/2018 tentang Penetapan Informasi Publik Yang Dikecualikan Di Lingkungan Pemerintah Aceh, salah satu data yang dikecualikan tertutup bagi publik adalah data milik perusahaan pemegang izin Usaha Pertambangan dan sejumlah bidang yang terkait sumber daya alam.

 

 

read more
Green Style

Kisah Perjuangan Farwiza Farhan Selamatkan Hutan Leuser

Farwiza Farhan, seorang perempuan aktivis lingkungan berjuang melindungi hutan belantara Ekosistem Leuser di Sumatra, satu tempat di dunia di mana orangutan, badak, gajah dan harimau masih hidup berdampingan di alam liar. Pada tahun 2012, LSM Yayasan HAkA, tempatnya bekerja menggugat perusahaan kelapa sawit yang telah membuka hutan tanpa izin yang sah.

Mengapa Farwiza berjuang menyelamatkan lingkungan? Rasa ketidakadilan bahwa tidak ada yang berbicara untuk kepentingan satwa liar mendorongnya untuk menjadi aktivis lingkungan. “Bayangkan berdiri di bawah kanopi hutan yang sangat besar dan Anda melihat ke atas – Anda dapat mendengar burung Enggang terbang melesat dan kemudian Anda melihat ke sekeliling dan Anda mendengar suara Owa bergema melalui hutan, di wilayah mereka”.

Orangutan – ibu dan bayi berayun dari pohon ke pohon – dan di antara semua satwa liar yang berbeda ini, melihat semua kera yang berbeda menjerit. Tapi kemudian dari waktu ke waktu, keheningan melanda, hampir tidak terdengar suara hewan apapun.

“Di kejauhan kadang-kadang Anda dapat mendengar suara gergaji mesin, Anda dapat mendengar suara kehancuran semakin mendekat. Anda tahu bahwa ada sesuatu yang dapat Anda lakukan untuk mencegah hal itu terjadi. Anda tahu ada sesuatu yang dapat Anda lakukan untuk menghentikan gergaji mesin. Merusak hutan lebih dalam,”

“Saya menjadi konservasionis awalnya karena saya menonton terlalu banyak siaran BBC Blue Planet. Saya jatuh cinta dengan lautan, dengan terumbu karang, ketika saya masih sangat muda dan saya menetapkan di hati saya bahwa ini adalah apa yang akan saya lakukan selama sisa hidupku.

“Kemudian, ketika saya benar-benar lulus sebagai ahli biologi kelautan, saya kembali ke karang yang sama di mana saya jatuh cinta dengan lautan pertama kalinya, untuk melihatnya benar-benar hancur – semua karena perubahan iklim – dan ini membuat saya marah,”ujarnya.

“Jadi, dalam pikiran naif saya saat itu, saya pikir, mungkin saya akan mencoba melindungi hutan. Mungkin itu sedikit lebih mudah, mungkin saya hanya perlu memasang pagar di sekitarnya dan itu akan baik-baik saja. Dan tentu saja saya terbukti salah waktu dan waktu lagi.

Ancaman Terhadap Ekosistem Leuser
“Ancaman utama bagi Ekosistem Leuser adalah kegiatan eksploitasi dan pembangunan yang tidak berkelanjutan. Perusahaan besar yang ingin menanam kelapa sawit – salah satu tanaman paling menguntungkan di dunia – menjadi ancaman bagi ekosistem yang sangat rapuh ini,”kata Farwiza.

“Permasalahan kebun kelapa sawit itu cukup rumit. Sangat sulit untuk mempersempit isunya dengan mengatakan, ‘Jangan membeli minyak sawit, atau hanya membeli minyak sawit yang berkelanjutan’ atau ‘memboikot semuanya’. Cara kita melihat minyak sawit – Ini hanya tanaman yang sangat menguntungkan, dan masalahnya adalah bagaimana permintaan telah mendorong ekspansi besar perkebunan kelapa sawit,”jelasnya.

“Masalah utama dengan minyak kelapa sawit adalah tata kelolanya – bagaimana konsumen di negara maju dapat mendorong minyak sawit yang benar-benar bebas konflik. Karena kita sering mencari jalan pintas. Kita menginginkan produk yang berkelanjutan, tetapi kita tidak mau membayar untuk itu,”ujarnya.

Farwiza mengatakan saat ini manusia hidup di zaman informasi yang berlebihan. Di masa lalu, ia akan mengatakan kepada orang-orang untuk membaca lebih banyak atau mencari tahu lebih banyak. Sekarang sepertinya ia akan mendorong orang-orang berjanji melihat lebih banyak atau mengalami langung lebih banyak tempat yang akan punah.

“Tempat-tempat seperti Sumatera, Amazon, Madagaskar adalah tempat-tempat di bawah ancaman luar biasa dari eksploitasi, termasuk minyak sawit. Jika Anda datang ke tempat itu dan melihat keadaannya sekarang dan Anda ingin menyaksikan tempat itu kembali di masa depan, Anda akan memiliki hubungan yang lebih kuat untuk mengetahui apa yang harus dilakukan ketika menyangkut minyak sawit dan deforestasi. “[]

Sumber: bbcnews.com

 

 

read more
Flora Fauna

YEL Telah Lepasliarkan 109 Orangutan ke Hutan Jantho

Salah satu bukti nyata bahwa proses reintroduksi dalam membentuk populasi baru dan mandiri orangutan di Jantho berjalan dengan baik adalah dengan ditemukan kelahiran dua bayi orangutan di hutan Jantho pada tahun 2017 dari induk orangutan yang dilepasliarkan pada tahun 2011 lalu.

Direktur Program Konservasi Orangutan Sumatera (SOCP), Ian Singleton mengatakan, hingga saat ini 109 individu orangutan telah dilepasliarkan ke Cagar Alam Hutan Pinus Jantho. Hal ini sesuai dengan tujuan untuk membentuk populasi baru orangutan yang hidup liar dan mandiri.

“Momen yang sangat istimewa ketika orangutan ini lulus dari Pusat Karantina dan Rehabilitasi orangutan kami, mengingat beberapa dari mereka tiba pertama kali dalam kondisi yang menyedihkan. Kemudian melanjutkan ke tahap berikutnya untuk proses reintroduksi,” kata Ian, sebagaimana dikutip dari Analisa, Kamis (15/11/2018).

Supervisor Pusat Rehabilitasi dan Reintroduksi Orangutan Yayasan Ekosistem Lestari (YEL-SOCP), Drh Citrakasih menjelaskan, sebelum memulai kegiatan reintroduksi di Jantho, tidak ada populasi orangutan liar di sana. Dengan melepaskan orangutan seperti Leo dan kawan-kawannya, akan mendorong terciptanya populasi liar yang benar-benar baru dan mandiri dari spesies sangat terancam punah ini.

Manajer Stasiun Reintroduksi Orangutan SOCP di Jantho, Mukhlisin menambahkan, pihaknya sangat senang mengetahui orangutan yang sering dijadikan sebagai satwa peliharaan ilegal, yang tak jarang dalam kondisi memprihatinkan, dapat pulih dari traumanya, dan belajar menjadi orangutan liar lagi.

Pelepasliaran Empat Orangutan
Empat Orangutan Sumatera bernama Leo, Ully, Cut Luwes dan Aruna dikirim YEL melalui Program Konservasi Orangutan Sumatra (SOCP) ke Pusat Reintroduksi Orangutan di Jantho, Kabupaten Aceh Besar, Aceh. Setiba di Jantho, Leo, Ully, Cut Luwes, dan Aruna akan terlebih dahulu menjalani fase adaptasi untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan baru dan pengasuh baru mereka, serta jenis-jenis makanan baru yang akan mereka temukan setelah lepas di dalam hutan.

Setelah nanti dilepasliarkan sepenuhnya, mereka akan tetap dimonitor secara ketat pasca pelepasliaran oleh tim pemantau SOCP. Apabila semuanya berjalan dengan baik, dan mereka dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan di alam liar, dalam beberapa tahun kedepan mereka akan menghasilkan bayi mereka sendiri, dan akan menjadi bagian dari ‘pendiri’ populasi baru orangutan di Hutan Jantho.

Kepala Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, Sapto Aji Prabowo menyebut, hingga saat ini kegiatan reintroduksi dan menciptakan populasi baru orangutan yang mandiri di Jantho sangat berhasil. Akan tetapi pihaknya masih perlu menangani akar masalah di lapangan, dengan fakta bahwa orangutan seperti Leo, Aruna, Cut Luwes, Ully, dan banyak orangutan lain masih ditangkap dan dipelihara secara ilegal sebagai hewan peliharaan.

 

 

read more
Flora FaunaKebijakan Lingkungan

Lima Ribuan Jerat Harimau Disita Tim Ranger di Hutan Leuser

Kondisi hutan di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) terus dirusak pelaku pembalakan liar dan perambahan. Jika hal ini tidak dicegah, nasib Harimau Sumatera berada di ambang kepunahan.

“Untuk harimau kalau tidak diselamatkan sekarang akan sangat berpotensi punah. Dulu di Aceh terkenal kearifan lokal dengan harimau, dulu harimau jadi kawan tapi sekarang banyak masyarakat yang menganggap harimau sebagai hama,” kata Database Manajer Forum Konservasi Leuser (FKL), Ibnu Hasyim, seperti dikutip dari detikcom, Selasa (13/11/2018).

Perburuan harimau yang terjadi di beberapa tempat di Aceh menyebabkan jumlah populasi raja rimba tersebut semakin berkurang. Selain diburu untuk dijual, perambahan hutan dan pembalakan liar juga membawa dampak terhadap keberadaan harimau. Menurut Ibnu, Kawasan Ekosistem Leuser menjadi salah satu habitat terbaik Harimau Sumatera. Hal itu karena hutan Leuser masih tergolong paling bagus di Sumatera.

Salah satu koridor Harimau Sumatera saat ini yaitu di KEL yang terletak di Nagan Raya, Aceh. Sepanjang 2018, tim patroli ranger FKL menemukan 172 jejak harimau yang terdiri dari tapak, cakaran, kotoran dan bekas makanannya. Selain itu, tim ranger juga menemukan sekitar 5 ribuan jerat berbagai ukuran. Ibnu menduga, jerat tersebut dipakai untuk menangkap harimau. Di salah satu lokasi juga terlihat adanya tulang-tulang berserakan yang diduga sebagai umpan untuk menangkap harimau.

Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh Sapto Aji Prabowo, mengatakan, di seluruh wilayah Aceh, populasi Harimau Sumatera diperkirakan sekitar 250 ekor.

Untuk saat ini, satwa yang dilindungi berdasarkan Undang-undang No.5/1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya paling banyak ditemukan di Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL).

 

 

read more
Flora Fauna

TFCA Sebut Harimau Sumatera Tinggal 400 Ekor

Lebih kurang 4.000 harimau diyakini yang masih hidup bebas di luar penangkaran namun, usaha untuk melindungi harimau mengalami hambatan karena ketidakpastian jumlah subspesies yang masih ada berkeliaran di alam bebas. Upaya untuk menyelamatkan harimau dari kepunahan mengalami peningkatan setelah para ahli ekologi menyampaikan, harimau yang masih hidup di alam liar tinggal enam jenis di dunia.

Beberapa waktu lalu, sebuah hasil penelitian inovatif mengungkapkan, jumlah subspesies yang masih berkeliaran di alam liar tinggal enam jenis, yaitu, Harimau Bengal, Harimau Amur, Harimau Cina Selatan, Harimau Sumatra, Harimau Indocina, dan Harimau Malaya. Peneliti menambahkan bahwa tiga subspesies lain yang pernah ada dipastikan telah punah.

Dr Shu-Jin Luo dari Peking University di Tiongkok, mengatakan, kurangnya konsensus mengenai jumlah subspesies harimau telah menghambat upaya global dalam memulihkan spesies harimau dari petaka kepunahan.

“Hal itu terjadi karena penangkaran dan intervensi lansekap populasi liar semakin membutuhkan penggambaran eksplisit atas unit pengelolaan konservasi. Penelitian ini adalah yang kali pertama mengungkap sejarah alam harimau dari perspektif genom utuh. Hasilnya memberikan bukti yang kuat mengenai asal usul alam dan evolusi dari spesies megafauna yang kharismatik ini,” jelas Dr Luo.

Dr Luo dan rekan-rekan memulai penelitian dengan mengumpulkan tiga bukti genetik yang sebelumnya telah mereka temukan melalui riset mengenai sejarah evolusi harimau dan struktur populasi menggunakan pendekatan genom utuh untuk melihat urutan DNA harimau lengkap.

Mereka juga mengimplementasikan metode skrinning untuk mencari bukti kelompok harimau yang berbeda yang telah mengalami seleksi alam untuk beradaptasi dan berkembang biak. Mereka pun menemukan bahwa harimau telah ada di dunia semenjak dua hingga tiga juta tahun lalu.

Namun, bukti gen harimau yang mereka gunakan untuk penelitian, memperlihatkan partisipan harimau tersebut baru ada di dunia sekitar 110.000 tahun silam ketika predator mengalami kendala dalam berpopulasi.

Keragaman genetiknya yang terbatas justru mengantarkan para peneliti menemukan bukti bahwa subspesies harimau masing-masing memiliki sejarah evolusi yang unik dengan melihat pola yang sangat terstruktur di seluruh kelompok.

“Temuan ini cukup unik untuk kelompok kucing besar. Populasi harimau tidak ada campuran dengan hewan lain, seperti misalnya jaguar, yang terbukti mengalami campuran populasi di seluruh benua,” tulis Yu-Chen Liu, Peneliti Utama Studi.

Dia menambahkan, subspesies harimau memiliki fitur yang berbeda. Harimau Amur memiliki tubuh yang besar dengan bulu oranye pucat, sedangkan harimau Sumatra di Kepulauan Sunda tubuhnya cenderung lebih kecil dengan bulu yang gelap dan tebal.

Berdasarkan Tropical Forest Conversation Action (TFCA) Sumatera, Harimau Sumatra adalah subspesies terakhir dari jenis harimau yang berpopulasi di Indonesia. Dua jenis harimau lainnya di Indonesia, Harimau Bali sudah punah semenjak tahun 1940-an dan Harimau Jawa sudah tidak lagi pernah terlihat semenjak tahun 1980-an. Jumlah Harimau Sumatra diperkirakan tinggal tersisa 400 ekor saja.

Dr Luo mengatakan bahwa sinyal seleksi terkuat yang mereka temukan ada pada harimau sumatra, yakni mengandung gen ADH 7 yang berhubungan dengan ukuran tubuh di seluruh wilayah genom.

Para peneliti berpendapat, ukuran tubuh Harimau Sumatra yang lebih kecil bisa jadi karena kebutuhan energinya tidak sebesar jenis harimau lainnya. Lingkungan hidup Harimau Sumatra dan mangsa yang lebih kecil, seperti babi hutan dan anak rusa, mempengaruhi ukuran dan energi harimau sumatra.

“Harima dari Rusia secara evolusi berbeda dengan yang berasal dari India. Bahkan, harimau dari Malaysia sama sekali berbeda dengan yang berasal dari Indonesia,” jelasnya.

Jenis asal-usul spesies Harimau Cina Selatan masih belum terselesaikan oleh para peneliti. Pasalnya, hanya ada satu harimau tersebut yang ada di penangkaran karena subspesies lainnya telah punah di alam liara.

Para peneliti berencana untuk mempelajari spesimen lama dengan pengetahuan yang mereka dapat dari seluruh daratan Tiongkok untuk mengungkap sejarah evolusi harimau yang masih hidup di dunia. Mereka juga mengambil informasi dari gen specimen, termasuk yang mewakili harimau Caspian, Jawa, dan Bali yang punah.

Sumber: Journal Current Biology

 

 

 

read more
Hutan

Konversi Hutan Ancam Kelestarian Rawa Singkil

Suaka Margasatwa Rawa Singkil Aceh adalah salah satu hutan rawa gambut di Indonesia, yang terletak di bagian selatan Aceh. Hutan rawa gambut ini merupakan kombinasi hutan hujan tropis dan hutan gambut. Hutan rawa gambut sangat penting karena memiliki peran sebagai penampung air alami untuk menyimpan kelebihan air daerah sekitarnya dan mengurangi risiko banjir. Rawa Singkil memiliki kekayaan alam yang sangat unik dan penting bagi makhluk hidup. Hutan ini juga merupakan habitat satwa langka yang terancam punah, seperti orangutan sumatera, harimau sumatera, gajah sumatera, badak sumatera dan lain-lain.

Hutan ini juga memiliki kekayaan flora yang memiliki nilai ekonomi tinggi, di antaranya adalah jenis kayu seperti Meranti, Gaharu, Damar, Kapur, dan Kerwing. Oleh karena itu, hutan ini ditetapkan sebagai Kawasan Konservasi Alam berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan no. 166 / Kpts-II / 1998.

Isi dari keputusan itu ada perubahan fungsi dan penunjukan kawasan Hutan Rawa Singkil yang terletak di Provinsi Aceh, Kabupaten Aceh Selatan, dengan luas 102.500 hektar menjadi kawasan Cagar Alam dengan nama Rawa Singkil Wildlife Reserve. Sebagian besar penduduk lokal di Aceh Selatan, Subulussalam dan Aceh Singkil bergantung pada hutan Rawa Singkil ini. Mereka memanfaatkan sumber daya alam yang berkelanjutan.

Namun, pada 2015, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengeluarkan Keputusan No. 103 / MenLHK-II / 2015 yang menetapkan pengurangan area Suaka Margasatwa Rawa Singkil menjadi 81.338 hektar. Pengurangan luas hutan mencapai 20 ribu hektar.

Sekarang kondisi Suaka Margasatwa Rawa Singkil secara perlahan mengalami kehancuran. Adanya perburuan hewan langka mengakibatkan keberadaan hewan langka punah dan menghancurkan ekosistem yang ada di kawasan hutan. Belum lagi maraknya pembukaan lahan skala besar dimulai dengan pembakaran hutan dan membuka lahan menggunakan alat berat yang tujuannya adalah menjadikan daerah tersebut menjadi lahan pertanian atau perkebunan kelapa sawit dan karet.

Sekitar 80 hektar hutan di kawasan ini telah ditebangi menjadi perkebunan kelapa sawit, tepatnya di Desa Ie Meudama, Kabupaten Aceh Selatan. Ini dilakukan oleh mafia darat yang ingin menjadikan hutan konservasi ini sebagai perkebunan. Masyarakat lokal tidak mungkin merusak hutan di mana mereka bergantung pada kehidupan mereka dengan membuka kebun sawit, apalagi menggunakan alat berat.

Jika kehancuran ini terus terjadi maka bencana terbesar adalah penduduk lokal yang tinggal di hutan rawa dan akan menjadi beban baru bagi pemerintah. Untuk mencegah hal ini terjadi, pemerintah bersama dengan Pusat Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh dan tim melakukan patroli rutin.

Selain itu, beberapa operasi gabungan dilakukan oleh polisi dengan Balai Penegakan Hukum dan Keamanan Lingkungan dan Kehutanan Sumatera. Pencegahan juga dilakukan dengan mensosialisasikan dan mendidik masyarakat sekitar agar tidak menyalahgunakan sumber daya alam yang ada.

Pemerintah dan masyarakat sekitarnya berjanji dan berusaha untuk melindungi kawasan hutan rawa singkil sehingga keanekaragaman hayati di kawasan itu tetap berkelanjutan. Hutan ini adalah potensi yang dapat diandalkan dalam ekowisata. Pesona alam dan keunikan hutan rawa singkil merupakan daya tarik yang menarik bagi wisatawan dan peneliti untuk mengenali keragaman flora dan fauna yang ada. Karena itu, keberadaan Suaka Margasatwa Rawa Singkil Aceh perlu dilindungi dan dilestarikan.[]

Sumber: Sarah Beekmans/www.sarahbeekmans.com

 

read more
1 2
Page 1 of 2